Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Psikologi

Volume 44, Nomor 2, 2017: 97 . 106


DOI: 10.22146/jpsi.22793

Peran Identifikasi Tokoh Wayang


dalam Pembentukan Identitas Diri
Antonius Handoko & Subandi
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Abstract. One of the tasks of human development is to discover its identity. There are many
ways a person can find that identity. One of them is through the identification of the idol
figure. This study aims to understand the process of identity formation through the
identification of shadow puppet figures in the context of Javanese culture. A qualitative
phenomenological approach was used to understand the process retrospectively. Three
main participants were involved in the study. The process of collecting data was done
through in-depth interview methods to both the main participants and their significant
others. FGD (focused group discussion) is also conducted to explore participants'
understanding of their process of identity formation. Data analysis was done by
phenomenological method. This study found three main themes, namely interested in
shadow puppet figures, matching self-image with puppet characters, and the use of feeling
as a bridge between self and the puppet. This study concluded that shadow puppets can be
used as a means to find identity among their fans.
Keywords: Javanese culture, identification, identity, shadow puppet figure

Abstrak. Salah satu tugas perkembangan manusia adalah menemukan identitas dirinya.
Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menemukan identitas tersebut. Salah satu
diantaranya adalah melalui identifikasi tokoh yang menjadi idola. Penelitian ini bertujuan
untuk memahami proses pembentukan identitas diri melalui identifikasi tokoh wayang
pada para penggemar wayang dalam konteks budaya Jawa. Pendekatan kualitatif
fenomenologis digunakan untuk memahami proses tersebut secara retrospektif. Tiga orang
partisipan utama terlibat dalam penelitian ini. Proses pengumpulan data dilakukan melalui
metode wawancara mendalam baik pada partisipan utama maupun orang-orang dekat
mereka. FGD (focused group discussion) juga dilakukan untuk menggali pemahaman
partisipan secara bersama-sama. Analisis data dilakukan dengan metode fenomenologis.
Penelitian ini menemukan tiga tema pokok, yaitu ketertarikan terhadap tokoh wayang,
mencocokkan gambaran diri dengan tokoh wayang, dan penggunaan rasa sebagai
jembatan antara diri dan wayang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa wayang dapat
dijadikan sebagai sarana untuk menemukan identitas diri pada penggemarnya.
Kata kunci: budaya Jawa, identifikasi, identitas diri, tokoh wayang

Salah 1satu tugas penting dalam hidup besar Yunani (Naisaban, 2004) mengatakan
manusia ialah mengetahui siapa dirinya bahwa mengenal diri sendiri atau know
yang sebenarnya. Socrates salah satu filsuf yourself (gnooti seauton) merupakan awal

1
Korespondensi mengenai artikel ini dapat melalui:
subandi@ugm.ac.id

JURNAL PSIKOLOGI 97
HANDOKO & SUBANDI

manusia berinteraksi dengan dirinya dan Selain keluarga, faktor eksternal yang
juga modal yang kuat untuk berinteraksi memengaruhi pembentukan diri adalah
dengan sesamanya. Mengenali diri sendiri budaya. Hal ini mengingat bahwa individu
berarti menemukan identitas diri. Bamberg akan menyerap nilai-nilai, sikap-sikap dan
(2011) mendefinisikan identitas diri sebagai kebiasaan dari budaya di mana ia tinggal
satu set karakter fisik dan psikologis yang (Ryder, Alden & Paulhus, 2000). Bahkan
berbeda dari orang lain. Identitas diri ini identitatas diri seringkali erat kaitannya
berfungsi untuk membedakan dan dengan identitas budaya. Misalnya
mengintegrasikan kesadaran diri dan penelitian Azmuddin dan Ibrahim (2011)
pribadi dari berbagai dimensi. mengkaji pembentukan identitas diri
Š•Ž•’Ž—½1 •Š—1 žœ•’Œ”’œ1 ûXVW\ü1 remaja Turki di Australia. Mereka
menyebutkan berbagai teori terkait konsep menemukan bahwa bahasa Turki sebagai
identitas diri. Salah satu diantaranya salah satu aspek dari budaya Turki
adalah teori kognitif-sosial dari Berzonsky. mempunyai peranan yang penting dalam
Menurut teori ini identitas diri seseorang proses pembentukan identitas diri mereka.
adalah sebuah model kognitif bagaimana Kedua peneliti tersebut menyimpulkan
orang tersebut memproses dan mengolah bahwa identitas diri dan identitas etnis
berbagai hal yang relevan dengan mempunyai hubungan timbal balik
’•Ž—•Š•’•Šœ1 •’›’ï1 Ž•Š’—1 ’•ž1 Š•Ž•’Ž—½1 •Š—1 (interdependent). Hal ini sesuai dengan teori
Justickis (2016) juga mengungkapkan teori Erikson (1982) yang menyebut identitas
self realisation yang dikemukakan oleh psikososial memiliki keterkaitan erat
Waterman. Menurut teori ini identitas diri antara sintesis batin (ego) dalam diri
merupakan suatu bentuk realisasi dari individu dan integrasi peran kelompoknya.
potensi diri seseorang yang paling baik. Individu akan belajar untuk meng-
identifikasikan diri dengan prototipe-
Berbagai faktor memengaruhi pem-
prototipe ideal. Interaksi antara setiap
bentukan identitas diri seseorang. Monceri
pribadi dengan budayanya membentuk
(2009) mengemukakan bahwa identitas diri
apa yang disebut sebagai identitas etnik
merupakan hasil konstruksi dari keadaan
(ethnic identity) yang menetap dalam diri.
masing-masing individu yang melakukan
Identitas etnik mencakup penghayatan
identifikasi terhadap faktor-faktor ekster-
sebagai anggota dari kelompok etnik
nal. Faktor eksternal yang utama adalah
berkaitan dengan cara hidup dan juga adat
”Ž•žŠ›•Šï1 Š•Š–1 ™Ž—Ž•’•’Š—1 Š•Ž•’Ž—½1 •Š—1
istiadat yang dihidupinya (Santrock, 2010).
Justickis (2016) ditemukan bahwa pola
asuh sangat memengaruhi identitas diri Dalam budaya Jawa, wayang meru-
remaja. Pola asuh demokratis sangat pakan salah satu dimensi budaya yang
berpengaruh pada diferensiasi identitas sangat penting. Wayang menjadi sumber
diri, terutama pada remaja laki-laki. inspirasi kehidupan bagi masyarakat Jawa
Sementara itu Vargas dkk (2016) menga- dari semua golongan masyarakat. Pertun-
dakan penelitian terkait pembentukan jukan wayang menampilkan tokoh-tokoh
identitas diri remaja laki-laki yang diasuh wayang dan menunjukkan bagaimana
oleh single mother. Ditemukan bahwa setiap peran itu harus dijalankan. Setiap
remaja laki-laki mengalami kecemburuan tokoh wayang memiliki karakter yang jelas
pada teman-temannya yang memiliki ayah, dan dapat diketahui sikap dan tindakan
walau mereka sangat menghargai ibunya mana yang dapat diharapkan dari tokoh-
yang membesarkannya. tokoh tersebut (Suseno, 1991). Menurut

98 JURNAL PSIKOLOGI
IDENTIFIKASI TOKOH WAYANG, IDENTITAS DIRI

Sedyatmanto (dalam Effendi, 2009), Metode


wayang berguna tidak hanya sebagai
pertunjukan dan hiburan, tetapi juga untuk Penelitian ini menggunakan pendekatan
membentuk watak dan karakter. kualitatif fenomenologis. Studi fenomeno-
Pertunjukan wayang diyakini oleh logis dalam psikologi bertujuan meng-
masyarakat Jawa tidak hanya menjadi hasilkan deskripsi yang akurat dari
tontonan namun juga tuntunan pengalaman hidup manusia, karena itu
(pembimbing/petunjuk) (Khomarudin, studi ini sangat mengedepankan apa yang
2008; Kresna, 2010; Hermawan, 2013). dialami langsung dari seseorang (first-hand-
experience) (Giorgi, 2003).
Menurut Marbangun (1983) wayang
merupakan identitas utama manusia Jawa. Partisipan utama dalam penelitian ini
Tokoh-tokoh wayang menampilkan berjumlah tiga orang, yang diperoleh
berbagai karakter manusia. Tokoh-tokoh berdasarkan kriteria utama, yaitu usia di
tersebut dapat memberikan inspirasi bagi atas 40 tahun dan mempunyai hobi
para penggemar wayang (Marbangun, menonton pertunjukan wayang secara
1983). Termasuk sebagai penyamaan diri langsung atau mendengarkan siaran
(identifikasi diri) dan cerminan bagi pertunjukan wayang. Metode pengum-
masyarakat Jawa. pulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam terhadap ketiga orang partisi-
Penelitian tentang proses pemben-
pan. Untuk memperdalam informasi
tukan identitas diri telah banyak
wawancara juga dilakukan pada informan
dilakukan, baik di dalam maupun di luar
yang dekat dengan partisipan yaitu kerabat
negeri. Namun partisipan penelitian dalam
dan juga rekan kerja dari para partisipan.
penelitian-penelitian tersebut pada
Selain itu ketiga orang partisipan utama
umumnya adalah remaja. Misalnya,
dikumpulkan dalam FGD (Focused Group
Š•Ž•’Ž—½1 •Š—1 žœ•’Œ”’œ1 ûXVW\ü1 meneliti
Discussion) untuk memahami berbagai isu
remaja di Lituania. Vargas dkk (2016)
penting terkait dengan dunia pewayangan
meneliti remaja di Amerika. Sementara itu
dan pengalaman pribadi partisipan.
Azmuddin dan Ibrahim (2011) meneliti
Panduan pertanyaan dalam FGD antara
remaja Turki di Australia. Demikian juga
lain terkait isu (1) makna wayang dalam
beberapa penelitian di Indonesia, antara
kehidupan keseharian partisipan, (2) alasan
lain Amelia (2013) melihat pengaruh gaya
memilih tokoh-tokoh wayang yang
pengasuhan orang tua terhadap identitas
kemudian menjadi idola, (3) cara
diri. Dessy (2012) meneliti identitas diri
partisipan menghayati tokoh-tokoh
mahasiswa lesbian. Hasanah (2013)
wayang tersebut dan (4) peran tokoh
meneliti identitas diri remaja putri bertato.
wayang yang diidolakan dalam
Rahma dan Reza (2013) mengkaji kaitan
membentuk karakter partisipan
antara identitas diri dan perilaku
konsumtivisme. Data hasil wawancara dan FGD
selanjutnya dianalisis dengan mengguna-
Berbeda dengan penelitian sebelum-
kan metode reduksi fenomenologi yang
nya, penelitian ini berusaha memahami
mengacu pada teknik eksplikasi yang
bagaimana peran wayang dalam
dikembangkan oleh Von Eckartsberg,
pembentukan identitas diri penggemarnya
Wertz dan Schweitzer (lihat Subandi, 2009).
dalam rentang kehidupan mulai kanak-
kanak sampai dewasa.

JURNAL PSIKOLOGI 99
HANDOKO & SUBANDI

Hasil biaya. Saat melatih karawitan BN


senantiasa menerapkan kedisiplinan dan
Hasil penelitian ini disajikan dalam dua ketulusan seperti yang juga dia pelajari dari
sub bab. Pertama, memberikan gambaran tokoh Anoman.
tentang partisipan dan proses identifikasi
Partisipan kedua adalah RH, seorang
tokoh wayang sejak masa kanak-kanak
guru berusia 54 tahun. Sewaktu kanak-
sampai dewasa, selanjuitnya disajikan
kanak dia sering kali diejek dan dihindari
sintesis tema. Untuk menjaga kerahasiaan
oleh teman-temannya karena dia memiliki
partisipan, dalam penelitian mereka
wajah jelek dan keluarganya miskin.
disebut sebagai BN, RH dan SS. Kedua,
Sebenarnya partisipan RH sudah menyu-
tema-tema identifikasi tokoh wayang.
kai pertunjukan wayang sejak kecil.
Namun baru pada usia remaja dia tertarik
Partisipan dan tokoh idolanya
dengan penjelasan dari gurunya tentang
Partisipan BN adalah seniman gamelan seorang raksasa kecil yang buruk rupa tapi
Jawa yang berusia 61 tahun. Dia dibesarkan memiliki sifat dan hati yang baik. Tokoh
dari keluarga dalang, sehingga dia sudah wayang itu bernama Sukrasana. Partisipan
mengenal wayang sejak kecil. Ketika sangat tertarik karena pengalaman diejek
ayahnya mendalang dia ikut menonton waktu kecil karena berwajah buruk, persis
dan mengamati berbagai tokoh wayang. seperti Sukrasana. Bagi partisipan RH,
Anoman adalah sosok yang paling yang menarik dari Sukrasana adalah
memikat hatinya, sekalipun berwujud meskipun berwajah jelek, tapi dia memiliki
kera, namun Anoman memiliki sifat yang hati yang baik. Sejak itu dia berusaha untuk
baik. Selain itu Anoman selalu bekerja meniru Sukrasana untuk berbuat baik
keras dan bertanggung jawab sejak usia kepada orang lain. Sampai pada usia
muda. Demikian juga yang dialami BN. dewasa RH selalu berusaha menjadi orang
Ketika remaja ayahnya meninggal, baik hati walaupun berwajah buruk. Pada
sehingga dia sebagai anak pertama harus masa ini dia sudah mulai memiliki rasa
bekerja keras untuk kelangsungan hidup percaya diri. Dia mengatakan hal ini karena
keluarganya. Seperti halnya tokoh dia menda™Š•”Š—1 Š›’œŠ— 1œ’•Š•1 ž”›ŠœŠ—Šï1
Anoman, partisipan sejak muda selalu Di usia 54 tahun saat ini dia semakin dalam
bekerja keras dan berdisiplin. Sifat suka menghayati sifat Sukrasana yang tetap
bekerja keras merupakan salah satu sifat berbuat baik walaupun mendapatkan
yang dijunjung oleh BN. Ketika usia BN perlakuan jelek dari orang lain (dalam
menginjak dewasa, ia berusaha mengiden- kisah Sukrasana dia mendapatkan
tifikasikan diri dengan karakter Anoman perlakuan jelek dari kakaknya sendiri,
yang penuh tanggung jawab dan selalu yaitu Raden Sumantri). Bahkan lebih dari
melindungi keluarganya. Di usia dewasa itu, seperti Sukrasana, partisipan RH juga
akhir saat ini dia meniru sifat Anoman selalu menolong orang lain dengan tulus
yang tetap bekerja sampai tua. Dia tidak ikhlas, tanpa pamrih. Dia berusaha
mau kalah dengan anak muda dalam meneladani Sukrasana dengan mencintai
bekerja. Selain itu BN juga terinspirasi oleh orang lain dengan tulus. RH merasa bahwa
tokoh Anoman untuk berbagi apa yang dia keutamaan diri dan nilai diri seseorang
miliki kepada orang lain. Karena dia tidak semata-mata didasarkan pada
memiliki keterampilan menabuh gamelan, kondisi fisik. Baginya menjadi orang baik
maka BN memberikan pelajaran menabuh yang suka menolong itu lebih utama dari
gamelan kepada orang lain dengan tanpa

100 JURNAL PSIKOLOGI


IDENTIFIKASI TOKOH WAYANG, IDENTITAS DIRI

penampilan yang bagus. Sosok wayang Ketiga partisipan dalam penelitian ini
Sukrasana yang berwujud raksasa tapi menyatakan bahwa pada awalnya mereka
memiliki hati mulia, selalu menjadi merasa tertarik dengan wayang dan
inspirasi baginya, sehingga wayang pertunjukan wayang. Menurut mereka
Sukrasana ini dipasang di tembok wayang menyajikan gambaran-gambaran
rumahnya tentang kehidupan. Rasa senang pada
Partisipan ketiga adalah SS, seorang wayang selanjutnya menimbulkan rasa
laki-laki berusia 46 tahun yang berprofesi suka terhadap lakon-lakon wayang dan
sebagai wiraswastawan. Dia membuka tertarik dengan tokoh wayang tertentu.
usaha persewaan alat-alat pesta. Usahanya Salah satu faktor yang menimbulkan
kerap terlilit masalah, misalnya saat musim ketertarikan partisipan penelitian
sepi hajatan, orang yang menggunakan jasa terahadap tokoh tertentu adalah karena
persewaanya menurun, padahal ia tetap kesesuaian kehidupan mereka dengan
menggaji karyawan. Namun ia percaya cerita tokoh tersebut. Salah seorang
bahwa apa yang diinginkannya asalkan itu partisipan mengungkapkan:
baik pasti mendapatkan berkat dari Tuhan. ó1 Kan kita mengidolakan tokoh
Ia mengatakan bahwa semangatnya untuk tersebut biasanya sesuai dengan latar
terus bekerja terispirasi dari sosok Werku- belakang kehidupan sehari-hari kita,
dara. Werkudara baginya ialah sosok yang itu kok seperti itu,ósaya ini cocoknya
bisa diteladani soal keteguhan mencapai seperti tokoh ituóitu butuh fase itu .
cita-cita. Tokoh ini tidak akan berhenti (FGD.718-721).
sebelum apa yang diinginkannya tercapai.
Partisipan BN tertarik dengan
Sosok Bima atau Werkudara yang ia Anoman karena Anoman selalu bekerja
kagumi terasa berbeda saat ia kecil dan keras. Demikian juga BN, sejak kecil selalu
sekarang ini. Saat kecil ia hanya kagum bekerja keras mengingat dia dibesarkan
karena wayang Bima itu besar, selain itu dalam keluarga seniman yang kurang
Bima juga sosok yang kuat dan sakti. mampu. Sejak lulus dari SMP dia telah
Ketika sudah dewasa SS melihat Bima tidak membantu orangtuanya untuk memenuhi
hanya kuat untuk berperang namun ia juga kebutuhan keluarga. Partisipan RH
sosok yang gigih untuk terus berjuang. Ini memilih wayang Sukrosono sebagai
tergambar dalam lakon Dewa Ruci. Bima idolanya, karena RH juga memiliki wajah
ditampilkan sebagai sosok yang terus yang jelek seperti Sukrosono. Selain karena
berjuang dengan sekuat tenaga, kesamaan dan kesesuaian, ketertarikan
mengarungi gunung, hutan, dan samudra terhadap tokoh wayang adalah gambaran
untuk menemukan air perwitasari. ideal yang dicita-citakan. Ini terlihat pada
partisipan SS yang mengidolakan Bima.
Tema proses identifikasi tokoh wayang Dia tertarik dengan Bima karena badannya
Proses pembentukan identitas diri para yang besar dan kesaktiannya.
penggemar wayang terdiri dari tiga tema Dari rasa ketertarikan terhadap salah
utama, yaitu ketertarikan terhadap tokoh satu tokoh wayang, selanjutnya partisipan
wayang, mencocokkan gambaran diri berusaha mengenali lebih dalam tokoh
dengan tokoh wayang, dan penggunaan wayang yang disenangi tersebut untuk
rasa sebagai jembatan antara diri dan menemukan kecocokan. Mereka menyebut
wayang. bahwa sebelum menjadikan tokoh wayang
sebagai tokoh idola harus terlebih dahulu

JURNAL PSIKOLOGI 101


HANDOKO & SUBANDI

mengenal tokoh tersebut. Tahu siapa tokoh perlu untuk mendengar terlebih dahulu
tersebut, bagaimana karakter dan sifatnya dan tahu ceritanya. SS menyetujui apa yang
dan juga apa yang menarik dari tokoh diungkapkan oleh RH dalam diskusi
tersebut. BN menyebutkan bagaimana tersebut. Menurutnya saat menonton
seseorang bisa mencitai sesuatu kalau tidak wayang perlu diperhatikan (dimatké),
tahu atau tidak dikenal. Maka perlu sekali disimak dan baru bisa dirasakké. Rasa
mengenal tokoh wayang tersebut dan merupakan sesuatu hal yang penting agar
kemudian menemukan mana yang dirasa seseorang bisa tepat dalam menggam-
cocok dengan diri sendiri, mana tokoh barkan dirinya dengan tokoh wayang yang
wayang yang dirasa pas untuk diidolakan. Rasa ini membuat orang bisa
menggambarkan karakter diri. Ungkapan ikut terlibat dalam lakon yang sedang
yang sering disampaikan partisipan untuk dijalankan. Rasa ini juga yang membuat
memilih tokoh wayang tertentu ialah orang yang menonton wayang bisa
karena mereka merasa cocok. Merasa cocok terbawa emosinya untuk menangis atau
karena merasa ada kesamaan antara apa tertawa.
yang dialami dengan apa yang dilihat Mau mengidolakan Janaka (Arjuna)
dalam wayang. Misalnya, partisipan RH saya ini orangnya jelek, kalau mau
merasa cocok dengan tokoh Sukrasana mengidolakan Semar ya terlalu
karena ketika menonton pertunjukan tinggi . (R2.01.14-15).
wayang dia merasa ada sesuatu yang cocok
sekali dengan kondisi dirinya. Setelah sampai pada penghayatan
dengan rasa, maka partisipan ingin meniru
Kalau tidak ada sesuatu yang
dan meneladan karakter dari tokoh
mengena ya tidak cocok. Rasa
wayang tersebut. Mereka ingin
mengena karena wajah saya jelek,
mengidentifikasikan sifat-sifat yang ada
mengena terbawa kesana ke mari, lalu
dalam diri tokoh wayang tersebut ke dalam
karena melihat yang seperti itu tadi .
diri mereka. Apa yang ada dalam diri tokoh
(FGD.698-702)
wayang tersebut menjadi cita-cita yang
Mencocokkan ini melalui suatu proses ingin diraihnya. Partisipan SS
¢Š—•1 •’œŽ‹ž•1 •Ž—•Š—1 ngerasakké 1 (me- mengungkapkan:
rasa-kan) antara diri sendiri dengan diri Ya bukan saya terus mendewaka—ó1
wayang yang disukai. Ngerasakké wayang hanya untuk cita-cita. Mengapa tokoh
merupakan proses untuk mengenal tokoh Bima ya seperti itu. Sifat Bima yang
wayang secara mendalam sambil mencari saya ambil ya sifat-sifat yang positif,
titik temu antara diri sendiri dan sosok (SS.02.130-134)
wayang tersebut. Ngerasakké sampai
merasa bahwa pribadinya memiliki
kemiripan dengan wayang. Partisipan BN Diskusi
mengatakan: Data penelitian ini menunjukkan bahwa
Harus dirasakan, setiap wayang pertunjukan wayang diyakini oleh para
sifatnya berbeda jadi harus berbeda penggemar wayang sebagai suatu
pula. Itu seperti makan harus gambaran kehidupan manusia dan
dirasakan . (BN.02.181-184). merupakan gambaran atau bayangan dari
kehidupan manusia yang nyata. Tokoh-
Partisipan RH dalam FGD menyebut
tokoh wayang dipandang memiliki
‹Š‘ Š1 ž—•ž”1 œŠ–™Š’1 ™Š•Š1 ›ŠœŠ orang
karakter dan sifat yang menggambarkan

102 JURNAL PSIKOLOGI


IDENTIFIKASI TOKOH WAYANG, IDENTITAS DIRI

sifat-sifat dan karakter manusia. Para perhatian merupakan dasar dari modeling.
penggemar wayang memiliki kebiasaan Fokus perhatian adalah orang-orang yang
untuk melihat pertunjukan wayang supaya diasosiasikan dengan diri sendiri dan
bisa mengerti jalan cerita wayang dan juga perhatian juga akan terarah pada model
memahami tokoh-tokoh wayang tersebut. yang menarik atau atraktif. Mengingat
Pemahaman akan tokoh wayang membuat (retention); mengingat merupakan proses
orang memahami gambaran karakater kognitif untuk merepresentasikan sebuah
dirinya. Gambaran tentang diri (self-image) pengamatan dalam bentuk verbal dan
akan menjadi salah satu faktor yang gambar. Mereproduksi (reproduction)
membentuk identitas diri. Gambaran merupakan proses mereproduksi perilaku
tentang diri menyangkut sifat dan dari model yang telah diamati. Motivasi
kepribadian, kelebihan dan kekurangan (motivation) merupakan dorongan untuk
baik fisik maupun psikis. Gambaran diri ini melakukan perilaku yang ditiru.
yang membuat para partisipan merasakan Gambaran teori Bandura ini sama
cocok dengan wayang tertentu yang dengan proses yang dialami oleh
selanjutnya akan dijadikan idolanya. partisipan dalam penelitian ini. Mereka
Wayang yang diidolakan merupakan menyebutkan bahwa pada saat mendengar
sosok yang ingin diteladani atau ingin atau menonton wayang partisipan
ditiru oleh partisipan. BN dengan kondisi memperhatikan dengan serius (dimatké)
keluarga yang miskin ingin meniru dan juga mendengar dengan seksama
semangat Anoman untuk bekerja. RH yang (dirungoaké). Para penggemar wayang
memiliki wajah yang jelek ingin meniru biasanya akan mampu mengingat dengan
sosok Sukasrana yang tetap memiliki hati detail adegan atau cerita wayang yang
baik dan tulus. SS dengan pengalaman disukainya. Mengingat bagaimana tokoh
kesulitan untuk menggapai cita-cita yang yang disukainya itu berprilaku dalam
diinginkan memilih Bima sebagai gambar menghadapi segala tantangan hidupnya.
keteguhan hati dalam menggapai cita-cita. Ingatan itu kemudian diwujudkan
Gambaran yang ditampilkan dalam setiap (reproduction) dalam tindakan atau dalam
tokoh wayang idola merupakan gambaran sikap diri dalam menghadapi hidupnya.
diri ideal yang ingin ditiru. Melihat Sukasrana membuat RH menerima
Proses seseorang untuk menjadikan keadaan dirinya dan tetap bisa melihat
tokoh wayang tertentu sebagai sosok yang bahwa kebaikan hati itu lebih penting dari
disukai memiliki kemiripan dengan teori penampilan fisik. Motivasi juga menjadi
modeling yang dikemukakan oleh Bandura faktor penting bagi para penggemar
(1977). Menurut Bandura modeling wayang di mana mereka menjadikan tokoh
merupakan proses menirukan dengan Š¢Š—•1 •Ž›œŽ‹ž•1 œŽ‹Š•Š’1 ŒŽ”Ž•Š— 1 atau
mengurangi atau menambahi perilaku teladan yang bisa ditiru.
yang diobservasi dan dari pengamatan Temuan penting dalam penelitian ini
tersebut ia menyimpulkan bahwa modeling adalah bahwa proses modeling para
meliputi proses kognitif, bukan hanya pengggemar wayang tidak hanya dalam
imitasi belaka. memberi tekanan pada sisi kognitif seperti
Bandura (1986) menyebutkan ada yang dikemukakan dalam teori Bandura.
empat tahapan yang harus dilewati agar Namun gabungan antara kognitif dan
seseorang bisa meniru model yang ia afektif. Setelah mengamati dan memper-
contoh yaitu perhatian (attention), hatikan sungguh-sungguh kehidupan

JURNAL PSIKOLOGI 103


HANDOKO & SUBANDI

tokoh wayang yang dipilih, partisipan tokoh wayang dapat dijadikan sebagai
kemudian menggunakan kemampuan petunjuk perilaku sempurna mulai dari
afeksinya untuk menyelami lebih dalam kesantunan sampai sistem etika. Wayang
tokoh tersebut. Partisipan meyebut dengan menjadi model untuk menjadi pribadi yang
”Š•Š1 •’›ŠœŠ””Ž (dirasakan) dan bukan lebih baik, pribadi yang bisa mengontrol
‘Š—¢Š1 •’™’”’›Š”Ž (dipikirkan). diri, mengontrol nafsu-nafsu diri dan juga
ŠœŠ 1 –Ž—“Š•’1 ”unci utama yang egoisme. Sifat-sifat yang ada pada Anoman
menghubungkan antara diri partisipan menurut BN menginspirasinya. Ia memiliki
dengan tokoh wayang. Š•Š1 ›ŠœŠ 1 dalam keterampilan yang baik dalam bidang
bahasa Jawa memiliki pengertian yang karawitan sehingga ia tergerak hatinya
rumit. Menurut Driyarkara (1969) ›ŠœŠ 1 untuk membagikan apa yang ia bisa
berarti kebijaksanaan (wisdom) yang sangat kepada orang lain dengan melatih
tinggi, sehingga dengan rasa itu manusia karawitan secara cuma-cuma tidak
mengerti tempatnya sendiri, dirinya berpamrih. Sikap tanpa pamrih yang
sendiri, bisa menilai segala keadaan dan dikembangkan oleh BN ini mampu
sebagainya. Sementara itu menurut Stange membuatnya merasa bahagia dan sehat di
ûW_^Zü1 ›ŠœŠ memiliki definisi yang hari tuanya.
tumpang tindih. Rasa bisa dipahami mulai RH melalui tokoh wayang Sukasrana
dari sentuhan indra, rasa yang berkaitan belajar untuk nrimå. Nrimå berarti sikap
dengan hati dan juga rasa berkaitan dengan menerima segala yang diterima dan diha-
makna terdalam dari suatu pengalaman dapi tanpa ada protes dan pemberontakan.
spiritual. Wajah jelek yang pada awalnya menjadi
Sugiyarto (2015) menggali konsep bahan ejekan orang terhadap dirinya ia
raos (kata yang lebih halus dari rasa) dari terima dengan senang hati. Sikap nrimå
Ki Ageng Suryomentaram, salah seorang ditunjukkan dengan menjadikan kondisi
™Ž–’”’›1 Š Šï1 ’œŽ‹ž•”Š—1 ‹Š‘ Š1 ›ŠœŠ 1 fisiknya sebagai anugerah dan tidak segan-
memiliki dimensi yang luas. Mulai dari segan untuk menjadikannya sebagai bahan
rasa sebagai tanggapan (perasaan berupa bercanda dengan rekan-rekannya.
rasa sedih dan senang) sampai dengan rasa Sukasrana merupakan salah satu sosok
sebagai pengetahuan tentang diri sendiri. yang menginspirasinya untuk bisa
Ž•Š•ž’1 ›ŠœŠ orang bisa mengetahui siapa menerima kondisi fisik. Bahkan lebih jauh
dirinya sendiri dan juga bisa memahami lagi, kakarakter Sukasrana ini juga
orang lain. Oleh karena itu tidak heran jika mengajarkan kepadanya selalu
–Ž•Š•ž’1 ›ŠœŠ ini para penggemar wayang memberikan kasih sayang dan berbuat baik
dŠ™Š•1 –Ž–Š‘Š–’1 ›ŠœŠ 1 •Š›’1 ”Š›Š”•Ž›1 kepada orang lain, walaupun orang
wayang yang dijadikan idola. tersebut telah menyakitinya. Sementara itu
SS melalui tokoh Bima belajar agan
Proses identifikasi tokoh wayang tidak
keteguhan hati, untuk tidak menyerah
hanya terbatas pada peniruan karakter dan
sebelum apa yang dicita-citakan berhasil.
perilaku, namun juga untuk menjadi figur
Selama ini Bima telah membuatnya
ideal yang dicita-citakan. Sutrisno (2010)
mampu mengejar apa yang dicita-citakan
menyebut peniruan karakter dan perilaku
dan mengatasi segala rintangan dengan
tokoh-tokoh wayang sebagai model of.
baik. Sosok Bima yang ia idolakan juga
Sementara itu penggunaan wayang sebagai
merupakan sosok yang suka menolong
petunjuk dan cita-cita yang diharapkan
tanpa mengharapkan pamrih dan iapun
disebut wayang sebagai model for. Artinya

104 JURNAL PSIKOLOGI


IDENTIFIKASI TOKOH WAYANG, IDENTITAS DIRI

saat ini meniru sifat-sifat Bima tersebut. SS University of Tun Abdur Razak E-Journal
dikenal sebagai seorang wirausahan yang 7(1), 27-38
murah hati yang rela menolong orang lain Bamberg, M. (2011). Who am I? Narration
tanpa banyak bicara dan banyak syarat. and its contribution to self identity.
Theory & Psychology, 21(1), 3-24
Kesimpulan Bandura, A. (1977). Social learning theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall
Pembentukan identitas diri para
Bandura, A. (1986). Social foundations of
penggemar wayang memiliki tiga tema
thought and action: A social cognitive
utama, yaitu ketertarikan terhadap tokoh
theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice
wayang, mencocokkan gambaran diri
Hall
dengan tokoh wayang, dan penggunaan
rasa sebagai jembatan antara diri dan Dessy. (2012). Dinamika pembentukan
wayang. Tema penggunaan rasa ini meru- identitas diri pada mahasiswa lesbian
pakan temuan penting dalam penelitian ini (Studi kasus mahasiswa lesbian di
yang spesifik. Rasa ini merupakan suatu Yogyakarta). Skripsi. Yogyakarta:
instrumen atau sarana yang digunakan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
oleh para partisipan untuk mengenal diri Universitas Islam Negeri Sunan
sendiri dan juga mengenal karakter Kalijaga Yogyakarta. Diakses pada
wayang idola. Penelitian ini tanggal 21 Agustus 2015 dari
menyimpulkan bahwa wayang dapat http://digilib.uin-suka.ac.id/7859/
dijadikan sebagai sarana untuk menemu- 1/BAB%20I,%20VI,%20DAFTAR%20P
kan identitas diri pada penggemarnya. USTAKA.pdf.
Driyarkara, N. (1989). Filsafat manusia.
Saran Yogyakarta: Kanisius.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan Effendi, A. (2009). Prof. Dr. Ir. Sedyatmo:
menggali berbagai bentuk budaya yang Intuisi mencetus daya cipta. Mizan.
dapat dijadikan sebagai sarana Jakarta.
pembentukan identitas diri pada konteks Erikson, E. H. (1982). The life cycle completed:
budaya lain. A review. New York: Norton.
Giorgi, A. & Giorgi, B. (2003). Pheno-
Kepustakaan menology. Dalam Smith, J. A. (Ed.).
Qualitative psychology: A practical guide
Amelia, J. (2013). Asosiasi antara gaya to research methods (hlm. 25-50).
pengasuhan dan status identitas diri London: Sage Publications
remaja etnis Jawa. Calyptra: Jurnal
Hasanah. (2013). Pembentukan identitas
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
diri dan gambaran diri pada remaja
2(1). Diakses pada 21 Agustus 2015
putri bertato di Samarinda. eJournal
dari http: journal.ubaya.ac.id/ index.
Psikologi i.p. fisip-unmul, 1(2): 177-186.
php/jimus/article/download/253/228
Diakses pada 15 Agustus 2015 dari
Azmuddin dan Ibrahim. (2011). The http://ejournal.psikologi.fisip-
contribution of language to the unmul.ac.id/site/
construction of self identity among
Hermawan, D. (2013). Semar dan kentut
young Turkish-Australian females.
kesayangan. Yogyakarta: Diva Press.
Yogyakarta.

JURNAL PSIKOLOGI 105


HANDOKO & SUBANDI

Khomarudin, H. (2008). Reinveting and parenting style. Psichologija, Online


Indonesia, menemukan kembali masa Journal, 53 hlm. 24-43
depan bangsa. Yogyakarta: Mizan. Ryder, A. G., Alden, L. E., & Paulhus, D. L.
Kresna, A. (2010). Semar & Togog. Yin Yang (2000). Is acculturation unidimensional
dalam budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi. or bidimensional? A head-to-head
Marbangun, H. (1983). Manusia Jawa. comparison in the prediction of
Jakarta: Yayasan Idayu personality, self-identity, and
adjustment. Journal of personality and
Santrock, J. W. (2010). Life spand development
social psychology, 79(1), 49.
13th. Texas: Mc. Graw Hill.
Rahma, F. A. & Reza, M. (2013). Hubungan
Sugiyarto. (2015). Psikologi raos:
antara pembentukan identitas diri
Saintifikasi kawruh jiwa Ki Ageng
dengan perilaku konsumtif pembelian
Suryomentaram. Yogyakarta: Pustaka
merchandise pada remaja. Character:
Ifada.
Jurnal Penelitian Psikologi. 1(3). Diakses
Suseno, F. M. (1985). Etika Jawa: Sebuah
pada 21 Agustus 2015 dari
analisa filsafi tentang kebijaksanaan hidup
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/
Jawa. Jakarta: Gramedia.
character/article/view/2717
Suseno, F. M. (1991). Wayang dan panggilan
Stange, P. (1984). The logic of rasa in Java.
manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Indonesia Journal, 38 (1984) hlm. 113-
Utama.
134, Southeast Asia Program
Sutrisno, M. (2010). Sukma di balik rupa Publications. NY: Cornell University.
wayang. Pengantar dalam Heru S.
Subandi, M. A. (2009). Psikologi dzikir studi
Sudjarwo, Sumari, dan Undung
fenomenologi pengalaman transformasi
Wiyono, Rupa & karakter wayang purwa,
religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar &
Dewa, Ramayana, Mahabharata. Jakarta:
Publikasi Fakultas Psikologi UGM.
Kakilangit Kencana.
Vargas, A.P.; Park-Taylor, J.; Harris, A.M.
Monceri, F. (2009). The transculturing self
and Ponterotto, J.G. (2016). The
II: Constructing identity through
identity development of urban
identification 1. Language and
minority young men in single-mother
Intercultural Communication, 9(1), 43-53.
households. Journal of Counseling &
Naisaban, L. (2004). Para psikolog terkemuka Development, 94, 473-482. doi: 10.1002/
dunia: Riwayat hidup, pokok pikiran, dan jcad.12106
karya. Jakarta: Grasindo.
Waterman, A. S. (1982). Indentitiy
Š•Ž•’Ž—½, T. dan Justickis, V. (2016). development from adoloscent to
—•Ž››Ž•Š•’˜—1 ˜•1 Š•˜•ŽœŒŽ—ŒŽ œ1 ’•Ž—•’•¢1 adulthood: An extention of theory and
development, differentiation of self a reviw of reasearch. Journal of Develop-
ment Psychology, 18(3), 341-358.

106 JURNAL PSIKOLOGI

Anda mungkin juga menyukai