Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

INTERAKSI LINTAS BUDAYA DALAM PERNIKAHAN


ANTARA SUKU JAWA DAN SUKU SUNDA

Tugas Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas


Matakuliah Psikologi Lintas Budaya
Disusun Oleh:
NAMA: NIM:
DIKI SETIAWAN F.131.19.0002
DYLA AYU NUGRAHENI F.131.19.0005
AJENG FEBRI HAPSARI F.131.19.0006
LUCKY BIMANTORO F.131.19.0011
DIRA AGUSTINA F.131.19.0015
NURUL FATIKHAH F.131.19.0017
ARINDA DILLA F.131.19.0038

KELAS:
Psikologi A Sore

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMESTER GASAL 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikologi lintas-budaya merupakan cabang dari ilmu psikologi itu sendiri dimana
para ahli psikologi meyakini bahwa tingkah laku dan pola pikir manusia sangat
dipengaruhi oleh budaya tempat manusia hidup dan berkembang. Setiap daerah di
berbagai belahan dunia ini memiliki ciri khas yang berbeda dan unik, serta masing-
masing memiliki karakteristik yang dapat dengan mudah dibedakan antara satu daerah
dengan daerah lain sebagai wujud dari kekayaan budaya itu sendiri. Tidak terkecuali juga
di negeri kita yang tercinta Indonesia, dengan memiliki 652 bahasa resmi dan 1331 suku
yang tersebar di seluruh indonesia. Sehingga hal tersebut membuat kita memiliki banyak
perbedaan antara satu dengan yang lainya.
Memiliki ribuan suku membuat karakteristik masyarakat yang ada di Indonesia berbeda
pada setiap daerah-daerah, hal ini dipengaruhi oleh adanya nilai dan norma yang di anut
setiap masyarakatnya. Seseorang yang tinggal di suatu daerah memiliki perilaku dan pola
pikir yang sama dengan budaya yang ada di daerahnya tersebut, sehingga hal tersebut
yang membedakan dengan individu lain dari daerah yang berbeda. Hal yang paling
mencolok dari perbedaan tersebut adalah bahasa yang digunakan.
Dalam bermasyarakat komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.
komunikasi merupakan sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara
pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku. Jumlah simbolsimbol yang
dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk
simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami komunikasi pun seolah tidak ada
habisnya, mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi
kehidupan manusia, salah satunya mengenai komunikasi antar budaya.
Kita sadar bahwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia selalu mengandung potensi
perbedaan. Sekecil apapun perbedaan dalam berkomunikasi, akan sangat membutuhkan
upaya untuk menghasilkan proses komunikasi yang efektif, yaitu yang lebih baik dan
mudah dipahami terutama untuk mereka yang berbeda budaya. Memiliki bahasa sama
merupakan hal yang penting Manusia hidup dalam sebuah komunitas yang mempunyai
kebijakan tentang sesuatu yang mereka miliki bersama, dan komunikasi merupakan satu-
satunya jalan untuk membentuk kebersamaan itu. Komunikasi, seperti kata Robert E Park
(1996) adalah menciptakan atau membuat segala kebimbangan menjadi lebih pasti.
Sebuah pengertian bersama diantara individu - individu sebagai anggota kelompok sosial
akan mudah menghasilkan tidak hanya unit-unit sosial, tetapi juga unit-unit kultural atau
kebudayaan dalam masyarakat.
Salah satunya adalah Suku Jawa dan Suku Sunda, meskipun kita berada di pulau yang
sama, atau adanya daerah suku jawa yang langsung berbatasan dengan suku sunda, hal
tersebut mempengaruhi perilaku seseorang tersebut berdasarkan adat dan norma yang
berlaku. Bahkan ada banyak mitologi yang beredar antar kedua suku, yang hingga kini
masih dianut sebagian orang. Berdasarkan uraian diatas ada beberapa penyebab kedua
suku berpandangan pernikahan suku jawa dan sunda menjadi sebuah momok untuk kedua
belah suku tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Psikologi Lintas budaya?.
2. Apa asal mula yang melandasi pemikiran dilarangnya suku jawa dengan suku sunda
menikah?.
3. Bagaimana pendapat para ahli mengnai pernikahan antara suku jawa dengan suku
sunda?.

1.3 Tujuan Penelitian


1. untuk lebih dalam memahami psikologi lintas budaya.
2. untuk megetahui dasar-dasar pemikiran kebudayaan pernikahan antara suku jawa dan
suku sunda.
3. untuk mengetahui alasan yang terjadinya larangan penikahan antara orang sunda dan
jawa .
BAB II

ISI

2.1 Pengertian psikologi lintas budaya

Psikologi lintas budaya merupakan sebuah kajian atau cabang dari ilmu psikologi
yang membahas mengenai persamaan dan perbedaan secara psikologis dalam fungsi
individu diberbagai budaya serta etnik dalam masyarakat, mengenai hubungan antara
perubahan sosial budaya dan psikologis. Para ahli psikologi meyakini bahwa tingkah laku
dan pola pikir manusia sangat dipengaruhi oleh budaya tempat manusia itu hidup dan
berkembang. Dan Psikologi lintas budaya juga memberikan perhatian khusus pada
pengujian berbagai kemungkinan dalam batas pengetahuan dengan mempelajari orang-
orang dari berbagai budaya dan daerah yang berbeda. Yang diperhatikan disini ialah
mengenai teori, metode, serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari seperti bagaimana
budaya tersebut memberi pengaruh pada masyarakat yang tinggal di wilayah atau daerah
tertentu.
Dan juga Psikologi lintas budaya tidak terbatas pada sebuah topik tertentu, dengan kata
lain psikologi lintas budaya tertarik dengan berbagai fenomena yang terkait dengan
perilaku, persepsi, hingga bahasa. Seorang ahli psikologi bisa menerapkan teknik lintas
budaya guna menguji keuniversalan atau ke khas an kultural dalam semua aspek perilaku
manusia. Salah satu cara utama menggolongkan prinsip psikologi lintas-budaya adalah melalui
penggunaan istilah etik (etics) dan emik (emics). Kedua istilah ini sangat terkait dengan
pembahasan kita sebelumnya tentang keuniversalan atau kekhasan budaya pengetahuan dan
kebenaran.
Etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten/ tetap di berbagai budaya; dengan kata
lain, sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Emik, sebaliknya,
mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan
demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya. Karena implikasinya
pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-konsep yang
kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang perilaku manusia dan menganggapnya sebagai
kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagai mana kita
ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun.
Kalau yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu
ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran
tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Bahkan, kebenaran itu
bisa sangat berbeda. Kebenaran, dalam hal ini, adalah hal yang relatif, tidak absolut. Definisi
kebenaran yang memperhitungkan etik dan emik ini memaksa kita semua untuk mem-
pertimbangkan kebenaran hal-hal yang kita yakini. Kadang kala untuk memisahkan diri dari latar
belakang prasangka budaya kita sendiri untuk memahami perilaku orang lain. Ketahanan hal
tersebut merupakan dasar dari hal yang disebut etnosentrisme.

Apa itu Etnosentrisme? Etnosentrisme yaitu cara pandang dan penafsiran orang lain dari
pandangan budaya kita sendiri. Etnosentrisme sangat terkait dengann stereotip.
Apa itu Stereotip? Stereotip yaitu keyakinan, sikap dan pendapat priadi tentsng orang yang
berasal dari budaya lain.

2.2 Asal mula dilarangnya suku jawa dan suku sunda menikah

Banyak dari kita mungkin sudah pasti pernah mendengar tentang larangan bagi
lelaki jawa untuk menikah dengan perempuan dari sunda, dan juga sebaliknya lelaki
sunda dilarang menikah dengan perempuan jawa. Mitos yang telah beredar luas di
masyarakat ini yaitu jika kedua suku jawa dan sunda tersebut menjalin sebuah pernikahan
maka diyakini bahwa kehidupan dalam pernikahan mereka tidak akan bahagia, berpisah
atau sering ditimpa masalah. Ternyata mitos ini muncul pada awalnya setelah terjadi
tragedi Perang Bubat sehingga memunculkan mitos tersebut. Perang bubat sendiri terjadi
pada tahun 1357 Masehi atau sekitar abad ke-14.
Perang tersebut terjadi pada masa kerjaan Majapahit (jawa) yang dipimpin oleh Hayam
Wuruk perang tersebut terjadi akibat keinginan sang raja yang berniat mempersunting
Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Pajajaran (sunda). Hal tersebut bermula
ketika Hayam Wuruk jatuh cinta pada sang putri setelah melihat sebuah lukisan seorang
seniman bernama Sungging Prabangkara.
Sehingga hal tersebut Kerajaan Majapahit lantas mengirim surat lamaran pada Maharaja
Linggabuana dari sunda. Pada saat rombongan kerajaan pajajaran diterima di
Pesanggrahan Bubat. Gajah Mada yang saat itu menjabat sebagai mahapatih kemudian
berniat menyerang mereka. Akibat serangan itu, rombongan Kerajaan Sunda yang hanya
diiringi sedikit pasukan kalah Semua anggota keluarga Dyah Pitaloka meninggal.
Lantaran tidak sanggup menahan kesedihan, Dyah Pitaloka tidak jadi menikah dan justru
melakukan tindakan bunuh diri. Dengan tewasnya anggota keluarga Kerajaan Padjajaran,
Pangeran Niskalawantu Kancana yang ditinggal di istana kemudian diangkat jadi penerus
tahta.
Akibat peristiwa tersebut hubungan antara kedua kerjaaan menjadi rusak. Sehingga
akibat dari rusaknya hubungan kedua kerajaan tersebut Kerajaan Pajajaran kemudian
melarang penduduknya menikah dengan orang dari luar kerajaan. Sebagian dari ilmuan
menafsirkan aturan ini sebagai larangan untuk tidak menikahi seseorang dari Kerajaan
Majapahit atau orang Jawa tersebut atau sebalinya.
Hingga kini, sentimen itu masih tersisa. Jika diperhatikan, di jawa barat tidak akan
menemukan nama jalan “Gajah Mada” atau “Majapahit” di provinsi tersebut. Meski versi
ini kerap dipercaya, ada pula versi lain yang mengatakan sebenarnya Gajah Mada ingin
menyatukan Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Padjajaran melalui pernikahan. Namun
karena merasa masih punya tanggung jawab untuk memenuhi titah ayah Hayam Wuruk,
niat itu lantas pupus. Meskipun sudah banyak orang dari kedua suku tersebut menikah,
namun masih banyak juga yang mempercayai mitos tersebut.

2.3 Pendapat Ahli Mengnai Pernikahan Antara Suku Jawa Dengan Suku Sunda

Kita hidup di sebuah negara dengan budaya dan adat istiadat yang beragam, sehingga
membuat masyarakat Indonesia tak luput dari beberapa mitos yang terjadi di daerah
tertentu serta stereotip (stereotip merupakan asumsi terhadap seseorang berdasarkan
pengalaman atau keyakinan yang dimiliki sebelumnya). yang menyelimuti pemikiran
terhadap norma, suku, dan tradisi yang ada. Salah satunya adalah dalam urusan.
Di beberapa daerah yang ada di indonesia, larangan menikah antar suku masihlah sangat
kental, bahkan menjadi sesuatu hal yang tabu. Tak jarang dari hal terdsebut
mengakibatkan, beberapa pasangan terpaksa membatalkan pernikahanya, hanya karena
leluhur keluarga yang tak bisa merestui hubungan antar suku tersebut.
Mitos yang paling populer sampai saat ini yang mungkin sudah sering kita dengar adalah
tentang pernikahan antara suku Jawa dan Sunda. Ada paham yang berkembang di antara
masyarakat bahwa pernikahan orang yang berasal dari suku Jawa dengan suku Sunda
sangat dilarang terkait sejarah masa lalu tentang Perang Bubat, antara Kerajaan Majapahit
dengan Kerajaan Sunda. Walaupun ini merupakan cerita rakyat yang turun temurun,
namun di generasi modern saat ini ternyata masih menjadi sebuah momok dan bahasan
yang masih seru untuk di bahas.

Lalu apakah benar tabu pernikahan antara kedua suku ini atau hanya merupakan akibat
trauma sejarah atau sebenarnya karena adanya steorotip antarsuku yang cukup kuat di
Indonesia?
(kumparan.com) menghubungi Notty J Mahdi, Antropolog dalam Forum Kajian
Antropologi Indonesia untuk membahas mitos menarik ini.
“Kebetulan saya punya pengalaman pribadi tentang pernikahan dua suku yang berbeda
ini. Suami saya Sunda, dan saya Jawa,” paparnya. Notty bercerita bahwa rencana
pernikahannya sempat tersendat, lantaran, menurut pini sepuh keluarganya yang
menganggap bahwa ‘awu’ diri Notty sebagai orang Jawa, lebih tua dari sang suami.
“Artinya biarpun usia suami saya 5 tahun lebih tua dari saya namun secara sejarah (dan
dalam kepercayaan Jawa) saya dianggap lebih tua dari suami. Itu tidak boleh menurut
adat, harusnya suami lebih tua dari istri,” tambah Notty.
Latar belakang kepercayaan budaya tersebut menjadi salah satu halangan pertama Notty
untuk menikahi calon pasangannya. Namun, secara general Notty berpendapat bahwa ada
berbagai stereotip lain yang menyebabkan pernikahan antara suku Jawa dan Sunda
menjadi tabu. Diantaranya hal paling jelas menurut Notty adalah yang berkaitan dengan
perempuan Sunda. Terdapat asumsi bahwa mereka tidak pandai memegang uang, terlalu
gemar berdandan, tak pandai memasak dan bersih-bersih rumah, tidak sopan, dan masih
banyak lagi.
Hal tersebut terjadi dikarenakan dahulu saat orang-orang Jawa datang ke daerah
Pasundan, mereka melihat para perempuan (Sunda) suka duduk-duduk di depan rumah
dan sudah berdandan. Perbedaan kebiasaan ini yang menimbulkan anggapan mereka
matre,” jelas Notty. Sebaliknya, ada pandangan dari perempuan Sunda, bahwa suara pria
Jawa, khususnya Jawa Timur yang tegas, memunculkan asumsi bahwa pria Jawa itu
kasar. Namun, menurut Notty, sebenarnya hal tersebut hadir bukan karena mitos. Hanya
saja sebuah asumsi yang sudah menempel dari masa ke masa yang akhirnya
mempengaruhi cara berpikir orang tua terdahulu.
“Semua orang tua ingin anaknya langgeng dalam pernikahan, mereka lebih comfortable
seandainya anak-anak mereka menikah dengan orang-orang dari suku yang sama.
Setidaknya, mereka mengerti tentang adat istiadatnya, juga bahasanya,” jelas Notty.
Lalu bagaimana pendapat Notty mengenai mitos terkait sejarah di masa lampau tentang
Perang Bubat antara kerajaan Sunda dengan kerajaan Jawa? Ia menjawab bahwa itu
hanya bagian dari mitologi saja. “Itu cerita-cerita yang lahir dari sebuah peristiwa,”
paparnya. Dalam penjelasan Notty, mitos-mitos tersebut hadir untuk menjaga keselarasan
dalam bermasyarakat. Tentunya, untuk menghindari konflik karena bahasa, kebiasaan,
hingga adat kesopanan.
“Ini terjadi dalam rumah tangga saya, kalau kumpul-kumpul dengan keluarga saya dan
kita berbahasa Jawa, suami curiga kita ngomongin dia, begitu juga sebaliknya. Akhirnya
kami berdua jadi penerjemah kalo kumpul-kumpul,” ungkap Notty.
Apabila dikaitkan dengan relevansi saat ini, pemikiran terhadap larangan antarsuku, perlu
diakui, masih ada di beberapa masyarakat. Namun kabar baiknya, seiring perubahan
masa, keadaan ekonomi sosial berubah, dan cara pandang masyarakat terhadap suku di
luar lingkupnya juga ikut berubah.
“Waktu saya penelitian batik di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, para ibu-ibu (di
sana) mengatakan mantu idaman mereka malah pria Jawa karena ulet bekerja, sopan dan
jarang berbicara,” kenang Notty. Karena itu, pernikahan antara dua suku itu memang
perlu dibicarakan sedari awal hubungan. Karena bagaimana pun, terdapat beberapa hal
penting yang berbeda, dan perbedaan tersebut dapat menimbulkan konflik seandainya
tidak ada kesepakatan.
“Pada akhirnya, saat pernikahan dua manusia berbeda suku, itu juga merupakan sebuah
perayaan dan pesta keluarga luas yang mementingkan hubungan sesama, bawahan dan
atasan, juga Tuhan dan manusia,” tutup Notty.
Semua budaya memiliki fungsi dan peran bagi pengalaman anggota-anggota budaya
tersebut meskipun nilainya berbeda. Dengan kesadaran pemahaman seperti ini, akan
muncuk sikap saling menghargai mengenai kebutuhan, aspirasi, dan perasaan manusia.

BAB III

Penutup

Dari apa yang telah dijelaskan di atas bahwa dilarangnya pernikahan antar dua suku yang
berbeda itu terjadi dikarenakan dahulu saat orang-orang Jawa datang ke daerah Pasundan,
mereka melihat para perempuan (Sunda) suka duduk-duduk di depan rumah dan sudah
berdandan. Sehingga menimbulkan persepsi yang sampai sekarang masih di percayai sebagai
mitos yang bersangkutan dengan terjadinya tragedi perang bubat. Tetapi fakta yang kita telah
bahas bahwa watak orang Jawa dan Sunda berbeda, sehingga kalau dipaksakan menikah tanpa
adanya pembicaraan sedari awal hubungan maka akan mudah terjadi perselisihan dan
permasalahan dalam kehidupan rumah tangga mereka dan bahka dapat mengakibatkan
perceraian. Karena bagaimana pun, terdapat beberapa hal penting yang berbeda, dan perbedaan
tersebut dapat menimbulkan konflik seandainya tidak ada kesepakatan antar kedua keluarga.

Ini tidak hanya perkawinan orang Jawa dengan Sunda saja akan tetapi juga bagi masyarakat luas,
sesama orang Jawa atau sesama Sunda juga pasti akan terjadi masalah dalam perkawinan.
Masalah cerai atau tidak itu tergantung pada bagaimana orang tersebut menjalani perkawinannya
tersebut apakah dapat menyatukan dua keluarga yang berbeda atau tidak.
Daftar Pustaka

- http://repository.iaincurup.ac.id/99/1/Dina%20Hajja Psikologi%20Lintas
%20Budaya%20ok.pdf

- https://kumparan.com/kumparanstyle/pendapat-ahli-tentang-larangan-menikah-
antara-suku-jawa-dan-sunda/full

- http://lib.stikes-mw.id/wp-content/uploads/2020/06/PSIKOLOGI-LINTAS-
BUDAYA.pdf

Anda mungkin juga menyukai