Anda di halaman 1dari 3

Teori Speech codes

Teori ini dikembangkan oleh Gerry Philipsen (dalam Gudykunst, 1983). Teori ini meneliti tentang
kemampuan orang asing dalam menyesuaikan suasana melalui gaya bahasa ketika bersama atau di
lingkungan orang asing. Perbedaan budaya dari orang-orang yang berkomunikasi dan menganut
kepercayaan, nilai, tingkah laku, serta latar budaya yang berbeda dan menjadi ciri terpenting dari
komunikasi antar budaya. Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang
keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah
budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut: 1

1. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu ditemukan speech code yang khas.
2. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
3. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan
pendengar untuk mengkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
4. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
5. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk
memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens
(bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.

Terdapat tiga substansi speech codes, yakni menyangkut psikologi, sosiologi dan retorika.

1. Psikologi. Dalam konteks psikologi, setiap tanda dari cara berbicara secara tematis adalah
keaslian dari individuindividu yang diungkapkan dengan cara berbeda.
2. Sosiologi. Dalam konteks sosiologi, cara berbicara mencakup jawaban tentang hubungan
antara diri sendiri dan orang lain yang dianggap pantas dan sumber apa yang pantas dan
efektif digunakan dalam relasi tersebut.
3. Retorika. Philipsen mendefinisikannya sebagai double sense, yakni pengetahuan tentang
kebenaran dan persuasi.

Dalam proses komunikasi biasanya menggunakan atau menyampaikan kode-kode pesan


yang selalu digunakan dalam proses interaksi. Komunikasi verbal dan komunikasi non verbal menjadi
salah satu analisis speech code komunikasi antar budaya dalam menyampaikan pesannya di
antaranya melalui nada suara, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh yang digunakan sebagai salah satu
aturan speech code dalam komunikasi antar budaya. 2 Dalam banyak hal, hubungan antarbudaya dan
komunikasi bersifat timbal balik dan saling memengaruhi. Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita
1
Zaenal Mukarom, Teori-Teori Komunikasi, (Bandung: Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, 2020), h. 177.
2
Muhammad Iqbal, “Adaptasi Speech Code Komunikasi antar Budaya pada Warga Lokal dan Pendatang di
Kampung Yafdas”. Jurnal Komunikasi, Politik, dan Sosiologi, Vol.2, No.2, 2020, h. 18.
membicarakannya, apa yang kita lihat, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan dipengarui
oleh budaya. Budaya tidak akan hidup tanpa komunikasi, dan sebaliknya, komunikasi tidak akan
hidup tanpa budaya. Kedua aspek tersebut tidak akan berubah tanpa menyebabkan perubahan yang
signifikan pada aspek lainnya. Namun, tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik dan
efektif.

Disisi lain, seperti yang sudah dikemukakan oleh Gerry Phillipsen mengenai Speech Codes
Theory atau Teori Kode Bicara dimana kode bahasa yang digunakan oleh setiap orang yang berbeda
budaya memiliki kecirikhasannya masing-masing yang terkadang membuat orang lain yang
mendengar atau bahkan melihatnya menjadi tidak memahami maksud dan tujuan dari kode bahasa
yang disampaikan oleh orang-orang tersebut, maka dapat dipastikan akan adanya kesalahpahaman
dalam penyampaian ataupun penyerapan informasi yang disampaikan sehingga menimbulkan
sebuah kesalahpahaman yang memunculkan sebuah konflik sosial.3

Analisis antara teori Speech codes dan pengalaman

Dari study kasus yang terjadi di pesantren Gontor, sangat berkaitan erat dengan teori speech codes.
Kasus tersebut membicarakan murid gontor yang bernama Anis dari Indonesia dan Aisya dengan
status bernegara Thailand. Tentu hal tersebut diperlukan adaptasi agar dapat bertahan hidup dan
terbiasa dengan lingkungan sekelilingnya. Anis sebagai penduduk orang Indonesia sangat baik untuk
memahami Aisyah. Ia menerapkan tiga substansi speech codes, yakni menyangkut psikologi,
sosiologi dan retorika.

Anis berusaha untuk mengerti apa yang disampaikan Aisya. Cara berkomunikasi mereka berdua
menggunakan Bahasa gerak tubuh. Dikarenakan Aisya tidak mengerti bahasa internasional yaitu
Bahasa Inggris, maka cara yang tepat untuk berkomunikasi adalah menggunakan bahasa gerak
tubuh. Tanpa disadari, teori speech codes muncul. Mereka saling memahami dalam menyesuaikan
suasana melalui gaya bahasa ketika bersama. Walaupun banyak persepsi yang miss sehingga terjadi
kesalahpahaman dsb. Dalam hal ini, Persepsi juga sebagai inti dari komunikasi yang menjelaskan
bahwa dalam setiap simbol yang kita kirimkan kepada orang lain tidaklah begitu saja dimengerti oleh
orang tersebut.

Beradaptasi terhadap pertemanan dengan orang asing tidak mudah. Setiap negara pasti punya
budaya dan kebiasaan yang tentunya berbeda-beda dan unik. Begitu juga di Indonesia, banyak ciri

3
Syalma Alvryda Rezkyniama, dkk, “Kode Komunikasi Pemimpin Beretnik Mongondow dalam Menyampaikan
Program Kerja pada Masyarakat di Desa Mooat Kab. Bolaang Mongondow Timur”. Jurnal Acta Diurna
Komunikasi, Vol.3, No.3, 2021, h. 2-3.
khas yang dianggap aneh oleh orang luar tapi menjadi wajar di Indonesia, salah satunya adalah
makan.

Ketika Anis dibuatkan makanan oleh Aisyah, Anis merasa tidak suka karena terlalu asam bahkan
terasa mentah. Sedangkan masakan Thailand hal itu sudah menjadi ciri khas makanan negara
tersebut. begitupun juga sebaliknya. Ketika Aisya mencoba makanan Indonesia yaitu Pecel. Ia
beranggapan bahwa pecel adalah salad. Ketika Aisya mencoba makan pecel, ia langsung
memuntahkan makananya. Ia beranggapan bahwa makanan yang ia makan adalah salad lumpur.
Tentu kita sebagai orang Indonesia tidak berpikir demikian, karena makanan pecel dan salad adalah
suatu hal yang berbeda.

Dari hal ini dapat dilihat setiap orang yang berbeda budaya memiliki kecirikhasannya masing-masing
yang terkadang membuat orang lain yang mendengar atau bahkan melihatnya menjadi tidak
memahami maksud dan tujuan dari kode bahasa yang disampaikan oleh orang tersebut, maka dapat
dipastikan akan adanya kesalahpahaman dalam penyampaian ataupun penyerapan informasi yang
disampaikan sehingga dapat menimbulkan sebuah kesalahpahaman.

Hal ini menjadi suatu yang wajar, karena setiap orang memiliki gambaran berbeda mengenai realitas
di sekelilingnya, ini tergantung bagaimana dia tumbuh, di mana, bersama siapa, bagaimana dan
faktor-faktor lain dalam proses perkembangan serta hidupnya. Persepsi berdasar pengalaman yang
telah dipelajari dari masa lalu, sehingga persepsi sangat bergantung pada apa yang diajarkan
budayanya mengenai hal itu.

Solusi dari study kasus ini adalah dengan mengurangi cara berfikir kita yang etnosentris atau
penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai sosial dan standar budaya sendiri sebagai pusat
dari segala-galanya. Kemudian Berkomunikasi dengan memasuki kode simbolik pesan dari
kebudayaan orang lain. Implikasinya, kita harus menjadi seperti orang lain (berempati) sebagaimana
apa adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki dan meningkatkan kesadaran bahwa
kebudayaan itu selalu relative dalam relasi antar budaya.

Anda mungkin juga menyukai