1. Keberhasilan konseling itu sangat bergantung terhadap nilai-nilai dalam penerapan
konseing dalam penerapan teknik-teknik saat menghadapi konseli yang berbeda budaya. Seorang konselor harus bisa mempelajari latar belakang sosial budaya dalam membantu menagangani konseli atau saat proses konseling. Dengan begitulah menjadi lebih efisien dalam menentukan jalan keluar yang baik. Dengan meningkat kan pengetahuan antar budaya konselor dapat memahami bagaimana menyelesaikan masalah konseli. Dengan keefektifan konseling antar budaya akan bertambah kesadaran seorang konselor tentang suatu proses adaptasi di lingkungan. FaktorBudaya yang Mempengaruhi Keberhasilan Konseling Di dalam masyarakat terdapat sebuah kebudayaan di mana kebudayaan tersebut terdapat nilai-nilai yang di jadikan pedoman dalam bertindakdan bertingkahlaku,yang pada akhirnya kebudayaan menjadi tradisi di dalam masyarakat(Syamaun, 2019) Literasi: Suci Rahmadia,Vigo Elvrando,Shevia Fera Susiska,Serli Rizki Novelia,M. Dwiki RamadhanSyntax Literate: Jurnal Ilmiah, Vol. 7, No. 6Juni, 2022. 2. Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika konselor memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, makaSemakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan Dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya,konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku. Refrensi: Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education) – Vol. 1 Mei 2016 3. etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik. Refrensi : journal of photography arts and media, ridzkirosfah puuggaan, volume 4 nomor 1,mei 2020,29-40 4. faktor penghambat konseling lintas-budaya a. Bahasa Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu diperhatikan dalam proses konseling lintas budaya. Menurut Arredondo pada waktu ini hanya sedikit praktisi konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. b. Stereotip Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai penilaian/kritikan (Brown et al, 1988). Stereotip merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang member definisi dulu baru mengamati. Dapat juga dikatakan kecenderungan orang untuk member ciri yang sifatnya umum tentang kelompok orang dalam bentuk pernyataan verbal. Stereotip juga disebutkan sebagai suatu konsepsi yang diterima begitu saja tanpa dipikirkan secara kritis/dianalisis, dan diterima begitu saja. Biasanya dibarengi dengan reaksi emosional. Stereotip merupakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala jika konselor dihinggapi Stereotip. Apabila konselor menggunakan Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu merespon klien dengan segala kebutuhannya. c. Ras atau Suku Banyak perhatian diberikan pada perbedaan kebudayaan yang ada di antara kalangan ras golongan minoritas dan pengaruh adanya perbedaan ini pada isu-isu yang berhubungan dengan konseling (dalam Brown et al, 1988). Selanjutnya dijelaskan bahwa bukti-bukti memang menunjukkan kalau klien golongan minoritas cenderung putus terapi lebih awal, tidak menetapi jadwal perjanjian, dan mengutarakan ketidakpuasannya mengenai jalannya proses bantuan. Proses konseling itu sendiri bias menimbulkan masalah bagi klien golongan minoritas. Kebanyakan system terapi menekankan pentingnya intropeksi, hal memikul tanggung jawab atas konsekuensi hidup dan perlunya klien berhasil menemukan pemecahan masalah dan mengambil keputusan pribadi. Di pihak lain, klien golongan minoritas memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah orang yang tertindas. Mereka menunjuk lingkungan masyarakat di luar mereka sebagai sumber dari kesulitan hidup mereka. Dengan demikian banyak teori konseling bertentengan dengan esensi (kenyataan mendasar) identitas kelompok minoritas ini. Refrensi: Saroh, Siti. 2013. Konseling Lintas Budaya. Kudus : Progdi BK FKIP UMK 5. Unsur penyusunan budaya dalamkonseling lintas budaya dan contohnya a. Sistem Bahasa Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem per- lambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk ber- komunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi- variasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga. Menurut Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan bahasa sering terjadi. b. Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehi- dupannya. Namun, yang menjadi kajian dalam antropologi adalah bagaimana pengetahuan manusia digunakan untuk mempertahankan hidupnya. Misalnya, masyarakat biasanya memiliki pengetahuan akan astronomi tradisional, yakni perhitungan hari berdasarkan atas bulan atau benda-benda langit yang dianggap memberikan tanda- tanda bagi kehidupan manusia c. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatan- tingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya. d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik. e. Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sistem ekonomi pada masyarakat tradisional, antara lain: 1. berburu dan meramu; 2. beternak; 3. bercocok tanam di ladang; 4. menangkap ikan; 5. bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi. Lima sistem mata pencaharian tersebut merupakan jenis mata pencaharian manusia yang paling tua dan dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pada masa lampau dan pada saat ini banyak masyarakat yang beralih ke mata pencaharian lain. f. Sistem Religi Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif. g. Kesenian Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknik- teknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat. Contoh: Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan paling luar biasa di dunia, khususnya dalam konteks masyarakat Lombok yang dikenal dengan Suku Sasak memiliki kemajemukan dari segi agama, budaya, ras dan lain- lain, salah satunya di Kelurahan Karang Taliwang. Sehingga di tengah kemajemukan tersebut sangat memerlukan mutual understanding agar tercipta keseimbangan antar kelompok, terutama kelompok umat beragama. Di sinilah pentingnya peran perspektif konseling lintas agama dan budaya dalam memberikan pemahaman yang lebih inklusif dan humanis kepada masyarakat,tentu sangat dibutuhkan peran besar konselor dalam melihat potensi budaya yang mampu menjadi spirit membangun harmonisasi sosial antar umat beragama. Seperti budaya saling jot yang adalah sebuah tradisi dalam bentuk mengantarkan makanan setelah melaksanakan rangkaian upacara. Seperti orang Islam yang mengadakan acara aqiqah, pasti akan mengantarkan makanan ke tetangga sekitar, meskipun beda agama. Kedua, saling pesilaq merupakan saling mengundang antar masyarakat, bukan hanya sesama satu komunitas agama, namun dengan komunitas lainnya yang ada di Kelurahan Karang Taliwang dan ketiga budaya belangaran. Konselor harus memanfaatkan konseling multibudaya seperti di atas sebagai pembawa perubahan bagi setiap individu dalam masyarakat, karena sadar akan pentingnya budaya merupakan salah satu dimensi yang harus adaketika akan memahami masyarakat dengan heterogenitas budaya yang dimilikinya. Hal tersebut akan bermanfaat untuk konselor dalam berdialog dan memberi pemahaman mengenai pentingnya menjaga perdamian di tengah perbedaan dalam masyarakat. Refrensi : AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Volume 3 Nomor 1, Juni 2021, h. 29-50 6. . 7. . 8. A. Judul jurnal : Guru BK perempuan Jawa-Melayu dan laki-laki Batak lebih mempengaruhi self-disclosure konseli Penulis: Nelyahardi Gutji, Hera Wahyuni nama jurnal: Jurnal Bimbingan dan Konseling | Vol. 4, No. 3, February, (2021), pp. 415-428 Ringkasan jurnal: Guru BK hendaknya memahami perbedaan budaya antara dirinya dan konseli untuk memudahkan proses self-disclosure dalam konseling individu. Penelitian ini bertujuan memaparkan hasil uji empirik mengenai perbedaan self- disclosure konseli dalam konseling individu ditinjau dari jenis kelamin & budaya guru BK/Konselor. Jenis penelitian yaitu kuantitatif dengan desain komparatif. Populasi sebanyak 765 siswa, penarikan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah 224 siswa yang pernah mengikuti konseling individu. Pengumpulan data menggunakan instrumen Self-Disclosure dalam Konseling Individu (SSKI). Analisis data meliputi uji persyaratan analisis, dan uji hipotesis menggunakan Anova dua jalur. Penelitian menghasilkan perbedaan nilai rata-rata budaya Melayu perempuan 82,075 laki-laki 75,800; budaya Batak perempuan 82,067 laki-laki 86,500; dan pada budaya Jawa perempuan 87,487 laki-laki 83,086. Kesimpulannya, konseli cenderung lebih terbuka pada guru BK berjenis kelamin perempuan dengan budaya Jawa dan Melayu Jambi. Berbeda dengan Batak, konseli cenderung lebih terbuka pada guru BK laki- laki. pada budaya Batak self-disclosure lebih dominan pada guru BK berjenis kelamin laki- laki. Berbeda dengan guru BK yang memiliki latar belakang budaya suku Melayu dan Jawa, self disclosure siswa lebih cenderung kepada Guru BK berjenis kelamin perempuan. Hal ini berarti siswa lebih terbuka dengan guru BK berjenis kelamin perempuan pada budaya Melayu, laki-laki pada budaya Batak, dan perempuan pada budaya Jawa. Temuan penelitian ini penting dan bermanfaat dalam pengembangan ilmu maupun praktik dunia konseling individu. Hal ini dikarenakan, konseling multikultural harus dipahami oleh konselor demi kelancaran proses konseling. Artikel ini menjadi sebuah temuan bahwa dari ketiga budaya guru BK tersebut, jenis kelamin guru BK memberikan pengaruh berbeda-beda terhadap self-disclosure siswa dalam pelaksanaan konseling individu. Pendapat pribadi: menurut saya layanan konseling individual dengan self disclosure sangat berkaitan erat. Hal ini karena di dalamnya harus terjadi proses saling keterbukaan agar tujuan konseling bisa tercapai secara optimal. Keterbukaan ini bukan sekedar menerima masukan dari luar, tetapi bersedia membuka diri secara jujur tentang dirinya untuk konseling. faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling perbedaan pola komunikasi yang berbeda, di antaranya: 1) seksualitas, 2) ras, 3) gender, dan 4) sosial-ekonomi.Jadi, guru BK dengan gender yang kurang menguntungkan di budayanya, laki-laki Jawa, laki-laki Melayu, dan perempuan Batak dapat menggunakan konseling online untuk membantu meningkatkan self-disclosure siswa dalam konseling. ( Brown, R. L., Moloney, M. E., & Brown, J. (2018). Gender differences in the processes linking public stigma and self‐disclosure among college students with mental illness. Journal of Community Psychology, 46(2), 202–212) Menurut saya masih ada aspek yang belum terungkap berkaitan dengan self-disclosure siswa dalam konseling individu. perlu diteliti lagi aspek tempat tinggal guru BK/ konselor dan lingkungan guru BK/ konselor apakah sama dengan budaya yang dibawanya atau tidak. Implikasi pada peneliti selanjutnya, dapat menambahkan faktor kepribadian guru BK/konselor, agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap keberhasilan konseling multikultural dan berbasis gender yang dilakukan.
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita