Anda di halaman 1dari 8

TUGAS UAS KONSELING LINTAS BUDAYA

Nama: Atta Nur laily

Nim : 23080200037

1. Keberhasilan konseling itu sangat bergantung terhadap nilai-nilai dalam penerapan


konseing dalam penerapan teknik-teknik saat menghadapi konseli yang berbeda
budaya. Seorang konselor harus bisa mempelajari latar belakang sosial budaya dalam
membantu menagangani konseli atau saat proses konseling. Dengan begitulah
menjadi lebih efisien dalam menentukan jalan keluar yang baik. Dengan meningkat
kan pengetahuan antar budaya konselor dapat memahami bagaimana menyelesaikan
masalah konseli. Dengan keefektifan konseling antar budaya akan bertambah
kesadaran seorang konselor tentang suatu proses adaptasi di lingkungan.
FaktorBudaya yang Mempengaruhi Keberhasilan Konseling Di dalam masyarakat
terdapat sebuah kebudayaan di mana kebudayaan tersebut terdapat nilai-nilai yang di
jadikan pedoman dalam bertindakdan bertingkahlaku,yang pada akhirnya kebudayaan
menjadi tradisi di dalam masyarakat(Syamaun, 2019)
Literasi: Suci Rahmadia,Vigo Elvrando,Shevia Fera Susiska,Serli Rizki Novelia,M.
Dwiki RamadhanSyntax Literate: Jurnal Ilmiah, Vol. 7, No. 6Juni, 2022.
2. Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang
mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan
bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan
dan keterampilan. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui
adanya perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan dibantunya.
Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika konselor
memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial
budayanya
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan
pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu
dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari
kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh
konselor, makaSemakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan
untuk berhubungan Dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang
berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas,
maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan
kebutuhan. Misalnya,konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka
konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor
sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar
bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Refrensi: Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education) – Vol. 1 Mei
2016
3. etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini
siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Etik
mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya,
dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda
untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran
yang bersifat khas-budaya (culture-specific).Emik (native point of view) misalnya,
mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang
masyarakat itu sendiri. pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu
yang lebih obyektif. karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan
dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang
diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. bahwa
pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis
proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik.
Refrensi : journal of photography arts and media, ridzkirosfah puuggaan, volume 4
nomor 1,mei 2020,29-40
4. faktor penghambat konseling lintas-budaya
a. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu diperhatikan dalam
proses konseling lintas budaya. Menurut Arredondo pada waktu ini hanya sedikit
praktisi konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga
terjadi di Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis.
b. Stereotip
Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai
penilaian/kritikan (Brown et al, 1988). Stereotip merupakan generalisasi mengenai
orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang member definisi dulu baru
mengamati. Dapat juga dikatakan kecenderungan orang untuk member ciri yang
sifatnya umum tentang kelompok orang dalam bentuk pernyataan verbal. Stereotip
juga disebutkan sebagai suatu konsepsi yang diterima begitu saja tanpa dipikirkan
secara kritis/dianalisis, dan diterima begitu saja. Biasanya dibarengi dengan reaksi
emosional.
Stereotip merupakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena
terbentuk secara lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah
laku yang berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai
hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih
menjadi kendala jika konselor dihinggapi Stereotip. Apabila konselor
menggunakan Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu merespon
klien dengan segala kebutuhannya.
c. Ras atau Suku
Banyak perhatian diberikan pada perbedaan kebudayaan yang ada di antara
kalangan ras golongan minoritas dan pengaruh adanya perbedaan ini pada isu-isu
yang berhubungan dengan konseling (dalam Brown et al, 1988). Selanjutnya
dijelaskan bahwa bukti-bukti memang menunjukkan kalau klien golongan
minoritas cenderung putus terapi lebih awal, tidak menetapi jadwal perjanjian, dan
mengutarakan ketidakpuasannya mengenai jalannya proses bantuan. Proses
konseling itu sendiri bias menimbulkan masalah bagi klien golongan minoritas.
Kebanyakan system terapi menekankan pentingnya intropeksi, hal memikul
tanggung jawab atas konsekuensi hidup dan perlunya klien berhasil menemukan
pemecahan masalah dan mengambil keputusan pribadi. Di pihak lain, klien
golongan minoritas memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah orang yang
tertindas. Mereka menunjuk lingkungan masyarakat di luar mereka sebagai
sumber dari kesulitan hidup mereka. Dengan demikian banyak teori konseling
bertentengan dengan esensi (kenyataan mendasar) identitas kelompok minoritas
ini.
Refrensi: Saroh, Siti. 2013. Konseling Lintas Budaya. Kudus : Progdi BK FKIP
UMK
5. Unsur penyusunan budaya dalamkonseling lintas budaya dan contohnya
a. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya
untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Menurut
Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem per- lambangan manusia secara lisan
maupun tertulis untuk ber- komunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting
dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi-
variasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa tersebut dapat
diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa
sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga. Menurut
Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah
karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat
intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan
bahasa sering terjadi.
b. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan
hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di
dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup
pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehi-
dupannya. Namun, yang menjadi kajian dalam antropologi adalah bagaimana
pengetahuan manusia digunakan untuk mempertahankan hidupnya. Misalnya,
masyarakat biasanya memiliki pengetahuan akan astronomi tradisional, yakni
perhitungan hari berdasarkan atas bulan atau benda-benda langit yang dianggap
memberikan tanda- tanda bagi kehidupan manusia
c. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha
antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui
berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat
kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai
macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke
hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu
keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan
digolongkan ke dalam tingkatan- tingkatan lokalitas geografis untuk membentuk
organisasi sosial dalam kehidupannya.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan
selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi
yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai
peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan
demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
e. Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian
penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian
mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau
sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sistem
ekonomi pada masyarakat tradisional, antara lain:
1. berburu dan meramu;
2. beternak;
3. bercocok tanam di ladang;
4. menangkap ikan;
5. bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi.
Lima sistem mata pencaharian tersebut merupakan jenis mata pencaharian
manusia yang paling tua dan dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pada masa
lampau dan pada saat ini banyak masyarakat yang beralih ke mata pencaharian
lain.
f. Sistem Religi
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam
masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya
suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada
manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi
dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural
tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi
penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa
religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno
yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan
mereka masih primitif.
g. Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi
mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak
yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi
awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknik-
teknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi
awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama
dalam suatu masyarakat.
Contoh: Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan paling luar biasa
di dunia, khususnya dalam konteks masyarakat Lombok yang dikenal dengan Suku
Sasak memiliki kemajemukan dari segi agama, budaya, ras dan lain- lain, salah
satunya di Kelurahan Karang Taliwang. Sehingga di tengah kemajemukan tersebut
sangat memerlukan mutual understanding agar tercipta keseimbangan antar
kelompok, terutama kelompok umat beragama. Di sinilah pentingnya peran perspektif
konseling lintas agama dan budaya dalam memberikan pemahaman yang lebih
inklusif dan humanis kepada masyarakat,tentu sangat dibutuhkan peran besar konselor
dalam melihat potensi budaya yang mampu menjadi spirit membangun harmonisasi
sosial antar umat beragama. Seperti budaya saling jot yang adalah sebuah tradisi
dalam bentuk mengantarkan makanan setelah melaksanakan rangkaian upacara.
Seperti orang Islam yang mengadakan acara aqiqah, pasti akan mengantarkan
makanan ke tetangga sekitar, meskipun beda agama. Kedua, saling pesilaq merupakan
saling mengundang antar masyarakat, bukan hanya sesama satu komunitas agama,
namun dengan komunitas lainnya yang ada di Kelurahan Karang Taliwang dan ketiga
budaya belangaran. Konselor harus memanfaatkan konseling multibudaya seperti di
atas sebagai pembawa perubahan bagi setiap individu dalam masyarakat, karena sadar
akan pentingnya budaya merupakan salah satu dimensi yang harus adaketika akan
memahami masyarakat dengan heterogenitas budaya yang dimilikinya. Hal tersebut
akan bermanfaat untuk konselor dalam berdialog dan memberi pemahaman mengenai
pentingnya menjaga perdamian di tengah perbedaan dalam masyarakat.
Refrensi : AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam Volume 3 Nomor 1, Juni
2021, h. 29-50
6. .
7. .
8. A. Judul jurnal : Guru BK perempuan Jawa-Melayu dan laki-laki Batak lebih
mempengaruhi self-disclosure konseli
Penulis: Nelyahardi Gutji, Hera Wahyuni
nama jurnal: Jurnal Bimbingan dan Konseling | Vol. 4, No. 3, February, (2021), pp.
415-428
Ringkasan jurnal: Guru BK hendaknya memahami perbedaan budaya antara dirinya
dan konseli untuk memudahkan proses self-disclosure dalam konseling individu.
Penelitian ini bertujuan memaparkan hasil uji empirik mengenai perbedaan self-
disclosure konseli dalam konseling individu ditinjau dari jenis kelamin & budaya guru
BK/Konselor. Jenis penelitian yaitu kuantitatif dengan desain komparatif. Populasi
sebanyak 765 siswa, penarikan sampel menggunakan purposive sampling dengan
jumlah 224 siswa yang pernah mengikuti konseling individu. Pengumpulan data
menggunakan instrumen Self-Disclosure dalam Konseling Individu (SSKI). Analisis
data meliputi uji persyaratan analisis, dan uji hipotesis menggunakan Anova dua jalur.
Penelitian menghasilkan perbedaan nilai rata-rata budaya Melayu perempuan 82,075
laki-laki 75,800; budaya Batak perempuan 82,067 laki-laki 86,500; dan pada budaya
Jawa perempuan 87,487 laki-laki 83,086. Kesimpulannya, konseli cenderung lebih
terbuka pada guru BK berjenis kelamin perempuan dengan budaya Jawa dan Melayu
Jambi. Berbeda dengan Batak, konseli cenderung lebih terbuka pada guru BK laki-
laki.
pada budaya Batak self-disclosure lebih dominan pada guru BK berjenis kelamin laki-
laki. Berbeda dengan guru BK yang memiliki latar belakang budaya suku Melayu dan
Jawa, self disclosure siswa lebih cenderung kepada Guru BK berjenis kelamin
perempuan. Hal ini berarti siswa lebih terbuka dengan guru BK berjenis kelamin
perempuan pada budaya Melayu, laki-laki pada budaya Batak, dan perempuan pada
budaya Jawa. Temuan penelitian ini penting dan bermanfaat dalam pengembangan
ilmu maupun praktik dunia konseling individu. Hal ini dikarenakan, konseling
multikultural harus dipahami oleh konselor demi kelancaran proses konseling. Artikel
ini menjadi sebuah temuan bahwa dari ketiga budaya guru BK tersebut, jenis kelamin
guru BK memberikan pengaruh berbeda-beda terhadap self-disclosure siswa dalam
pelaksanaan konseling individu.
Pendapat pribadi: menurut saya layanan konseling individual dengan self disclosure
sangat berkaitan erat. Hal ini karena di dalamnya harus terjadi proses saling
keterbukaan agar tujuan konseling bisa tercapai secara optimal. Keterbukaan ini
bukan sekedar menerima masukan dari luar, tetapi bersedia membuka diri secara jujur
tentang dirinya untuk konseling. faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling
perbedaan pola komunikasi yang berbeda, di antaranya: 1) seksualitas, 2) ras, 3)
gender, dan 4) sosial-ekonomi.Jadi, guru BK dengan gender yang kurang
menguntungkan di budayanya, laki-laki Jawa, laki-laki Melayu, dan perempuan Batak
dapat menggunakan konseling online untuk membantu meningkatkan self-disclosure
siswa dalam konseling. ( Brown, R. L., Moloney, M. E., & Brown, J. (2018). Gender
differences in the processes linking public stigma and self‐disclosure among college students
with mental illness. Journal of Community Psychology, 46(2), 202–212)
Menurut saya masih ada aspek yang belum terungkap berkaitan dengan self-disclosure
siswa dalam konseling individu. perlu diteliti lagi aspek tempat tinggal guru BK/ konselor dan
lingkungan guru BK/ konselor apakah sama dengan budaya yang dibawanya atau tidak.
Implikasi pada peneliti selanjutnya, dapat menambahkan faktor kepribadian guru
BK/konselor, agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap keberhasilan konseling
multikultural dan berbasis gender yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai