Anda di halaman 1dari 2

A.

Sejarah Perkembangan Konseling di Indonesia


Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade
1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya
kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara
meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan
baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional
dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-
dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas
budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan
keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu
masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan
atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan,
bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman
dan perbedaan budaya yang memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan
sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada
variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas
budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang
kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa,
orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).
Keniscayaan tersebut di atas yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai gerak maju peradaban
yang di satu sisi harus dihadapi dan dijalani kalau tidak ingin dikatakan sebagai komunitas yang tertinggal
dan terkesan mengisolasi diri, sementara itu di sisi yang lain dampak dari kesemuanya itu adalah terjadinya
persoalan benturan budaya. Persoalan yang tidak sederhana ini tidak hanya menuntut adanya pemecahan
atau resolusi. Lebih dari itu perlu penyikapan yang sehat yang berangkat dari kesadaran dan pemahaman
individu dan masyarakat akan adanya keberagaman budaya yang pada gilirannya menuntut kompetensi
mereka dalam beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan yang luas, mengatasi konflik yang
berakar pada perbedaan budaya. Konseling itu tidak berlangsung dalam ruang vakum (kosong). Ketika
seorang klien memasuki ruang konseling, perilakunya sebagai fokus layanan bantuan oleh konselor
memuat aspek-aspek tertentu seperti kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai hidupnya, kepercayaan, pola berpikir
klien yang tidak lain adalah faktor-faktor budaya klien. Jadi sangatlah ceroboh jika kita mengabaikan
faktor-faktor budaya pada perilaku klien dalam proses konseling. Apalagi seorang konselor harus berprinsip
bahwa klien itu unik baik itu secara psikologis maupun ditinjau dari latar budayanya. Kritik kubu kedua ini
terhadap pandangan kubu pertama adalah jika konselor mengabaikan faktor-faktor budaya klien maka akan
muncul bahaya bagi konseling karena konselor tidak peka budaya, kurang empatik, bahkan bisa terjebak
pada pemaksaan nilai-nilai budayanya kepada klien yang dibantunya.
Dalam kajian antropologi dikenal konsep yang disebut : ethic dan emic. Kedua konsep ini
pertamakali dikembangkan oleh Pike pada tahun 1950an. Ethic dan emic secara etimologis diangkat dari
kajian antropologi bahasa. Ethic berasal dari phonetics yaitu studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang
digunakan dan ditemukan pada semua bahasa secara universal pada berbagai budaya. Sebaliknya emic
berasal dari kata phonemic yaitu studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang unik pada bahasa tertentu.
Pike selanjutnya mengadopsi dua istilah di atas sebagai titik pandang dalam mempelajari perilaku dalam
latar budaya. Para ilmuwan psikologi yang tertarik pada kajian lintas budaya kemudian memakai dua
konsep itu untuk menjelaskan dua hal yang berbeda, yaitu, Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul
konsisten pada semua budaya sedangkan Emic adalah aspek kehidupan yang muncul dan benar pada budaya
tertentu saja. Upacara pernikahan adalah contoh ethic, tetapi carok bagi budaya Madura atau harakiri bagi
budaya Jepang adalah contoh emic.
Dengan demikian, asumsi kedua kubu tentang konseling di atas sesungguhnya bertolak dari konsep
antropologi tentang ethic dan emic. Kubu yang mengabaikan faktor budaya klien dalam konseling bertolak
dari konsep ethic yang menyatakan bahwa pada diri klien berlaku prinsip-prinsip umum dan universal yang
secara konsisten berlaku pada semua manusia. Sebaliknya kubu kedua yang mengakui dan
mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien dalam konseling berangkat dari konsep emic yang mengakui
keunikan klien dengan segala latar budayanya.
Dalam hal ini apabila kita memiliki seorang klien dengan tingkat keanekaragaman yang sangat
kompleks, sehingga dengan hal itu kita menjadikannya sebagai suatu pemahaman bagi diri kita, dan kita
dapat memberikan penghargaan serta penilaian atas budaya yang dianutnya tanpa kita meremehkan atau
memojokkan kebudayaannya.dan kita dapat menambah ilmu pengetahuan tentang kebudayaan yang
dianutnya.

B. Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia


Makin terasa, mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki
beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu
tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK
yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat
manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa
penyelenggaraan BK harus dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup
dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih
maju.(Adhiputra,2010.190)

C. Penyelenggaraan Konseling di Indonesia


Proses konseling memperhatikan, menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan tersebut.
Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi individu.
Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya tertentu; menyadarkan bahwa
permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya
pengentasan masalah individu tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai