Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental


yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan.
Proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau
obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses
mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan
seterusnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud kaitan psikologi lintas budaya dengan kognisi?

2. Apa yang dimaksud kajian lintas budaya tentang kategorisasi ?

3. Apa saja kategori dan pembentukan konsep tentang pengetahuan


tradisional ?

4. Apa yang dimaksud dengan ingatan ?

5. Apa saja pemecahan masalah pengetahuan tradisional ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahuan kaitan psikologi lintas budaya dengan kognisi?

2. Untuk mengetahui kajian lintas budaya tentang kategorisasi ?

1
3. Untuk mengetahui kategori dan pembentukan konsep tentang
pengetahuan tradisional ?

4. Untuk mengetahui ingatan ?

5. Untuk mengetahui pemecahan masalah pengetahuan tradisional ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaitan Psikologi Lintas Budaya dengan Kognisi

Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental


yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan.
Proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau
obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses
mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan
seterusnya.

B. Kajian Lintas Budaya Tentang Kategorisasi


Beberapa aspek universal kategori. Beberapa kategori yang
digunakan untuk berpikir dan menyampaikan informasi yang kurang
relative tidak tergantung atau dipengaruhi budaya. Contohnya ekspresi
emosi dasar (senang, sedih, marah, takut, terkejut, dan jijik) ditempatkan
pada kategori yang sama di berbagai budaya.
Ada juga kesepakatan yang sama dalam hal warna-warna yang
primer dan sekunder. Cara orang memilih dan mengingat warna
tampaknya hampir tak terpengaruh oleh budaya dan bahasa. Mereka juga
lebih mudah mengingat warna-warna primer ketika diminta untuk
membandingkan dan mengingat kembali warna-warna dalam eksperimen.
Orang dari budaya yang berbeda juga cenderung mengelompokkan
bentuk berdasarkan contoh terbaik dari bentuk-bentuk dasar (lingkaran
sempurna, segitiga sama kaki, dan bujur sangkar) daripada membuat
kategori untuk bentuk-bentuk geometris yang tak beraturan. Kesamaan-
kesamaan lintas-budaya ini menunjukkan bahwa yang mempengaruhi cara
manusia mengelompokkan beberapa stimulus dasar adalah faktor-faktor
fisiologis. Artinya, orang tampaknya memiliki kecenderungan bawaan

3
(predisposisi) untuk lebih memilih bentuk, warna, dan ekspresi wajah
tertentu.
Beberapa aspek kategorisasi yang khas budaya. Dalam
mengkaji kategorisasi dapat dilihat bahwa pada area-area di mana
pengalaman antar budaya tidak berbeda seperti dalam hal warna, bentuk,
dan ekspresi wajah orang membuat pengelompokan dan penilaian yang
serupa. Namun ketika ada perbedaan pengalaman kultural, orang dari
budaya yang bereda akan membuat penilaianyan yang sangat berbeda
tentang berbagai hal. Dasar dari proses-proses kategorisasi tidaklah
berbeda, sedangkan yang berbeda adalah basis pengalaman yang
digunakan untuk membuat kategori.
Salah satu yang digunakan peneliti untuk mempelajari bagaimana
orang membuat pengelompokan adalah dengan menggunakan tugas
penyortiran (sorting task). Bila dihadapkan pada gambar-gambar yang bisa
dikelompokkan berdasarkan fungsi, bentuk, dan warnanya, pada usia dini
dan anak-anak di budaya-budaya Barat cenderung mengelompokkan
benda berdasarkan bentuk dan kemudian fungsinya. Ini berarti orang Barat
dewasa akan cenderung mengelompokkan alat-alat menjadi satu kelompok
dan binatang-binatang ke dalam kelompok lain, ketimbang mengumpulkan
semua yang merah atau semua yang bundar ke dalam satu kelompok.
Dengan demikian, tampaknya ada proses-proses yang memang
universal dalam kategorisasi dan pembentukan konsep. Hal-hal universal
ini biasanya terkait dengan benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang
dialami secara umum di semua budaya, seperti warna atau ekspresi wajah.
C. Kategori Dan Pembentukan Konsep Pengetahuan Tradisional
Orang melakukan kategorisasi berdasarkan kemiripan-kemiripan
dan kemudian melekatkan label yaitu kata-kata untuk mengelompokkan
hal-hal yang kelihatannya punya kemiripan. Dengan demikian, orang
menciptakan kategori-kategori dari hal-hal yang punya ciri-ciri tertentu.
Seseorang cenderung menciptakan kategori-kategori dari hal-hal
yang punya ciri-ciri tertentu. Dan pada umumnya berupa kesamaan kata-

4
kata, warna, bentuk, fungsi (mengelompokkan hal-hal yang menurut
individu memiliki kemiripan ).
Contoh : kursi bantal, kursi makan, dan kursi di ruang teater
memiliki bentuk yang berbeda, tapi tergolong dalam satu kategori dasar
yang sama yakni : “kursi” karena semua memiliki fungsi yang sama. Di
budaya Barat kursi adalah benda yang dapat dan seharusnya digunakan
untuk duduk.
Dalam hal ini penentu utama kategorisasi adalah fungsi. Namun
dapat saja di Indonesia dapat menggolongkan contohnya: karpet, kursi,
dan bantal sebagai benda yang dapat berfungsi sebagai tempat duduk
seperti kursi. Sedangkan di budaya Barat kursi meja makan merupakan
contoh yang paling baik digunakan untuk tempat duduk karena kursi meja
makan mendekati prototipe kursi.
Dapat dibayangka bagaimana individu dari masyarakat lain
membuat pengelompokan terhadap benda- benda lain.
D. Ingatan
Dengan memiliki memori, manusia bisa mengingat pengetahuan
yang telah diperolehnya sehingga bisa membangun peradabannya. Memori
sendiri adalah sebuah proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang
meliputi pengkodean (encoding), penyimpangan (strore), dan pemanggilan
kembali (retrieve) informasi. Berdasar jangka waktunya, memori
dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan
informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam
memanggil kembali.
1. Pengetahuan Tradisional
Tugas intelektual penting lain yang di alami semua orang dalam
menghadapi dunia adalah mengingat berbagai hal. Kita mengalami
susahnya berusaha menghafal untuk uji dan mengalami kesulitan saat
berusaha mengingat-ingat daftar tanggal atau nama untuk hal semacam
ini. Bila memungkinkan, kita selalu menggunakan alat abntu seperti

5
daftar belanjaan dan kalender untuk membantu kita mengingat hal-hal
yang kita tahu, berdasarkan pengalaman, yang biasanya kita lupakan.
Kita tahu bahwa ada beberapa jenis ingatan, seperti ingatan
sensori, ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang
a. Ingatan sensori
Mengacu pada informasi asli yang bertahan di organ-organ
indra selama beberapa saat, biasanya hanya sepersekian detik,
setelah diterima.
b. Ingatan jangka pendek
Mengacu pada suatu kapasitas ingatan yang terbatas di
mana informasi bisa dipertahankan untuk selang waktu yang
sedikit lebih panjang, biasanya anatara 20 sampai 30 detik.
c. Ingatan jangka panjang
Mengacu pada masuknya informasi yang bisa disimpan
untuk jangaka waktu yang jauh lebuh panjang.

Pengulang-ulangan (rehearsal) adalah salah satu cara yang mudah


untuk menyimpan informasi dalam ingatan jangaka pendek dan
kemudian ingatan jangka panjang. Pembongkahan (chunking) yakni
mengelompokkan butir-butir informasi ke dalam bagian-bagian kecil
yang bermakna juga bisa membantu penyimpanan dan penggunaan
kembali informasi.
Dua aspek ingatan yang paling sering dikaji dalam psikologi
eksperimental adalah:
a. Efek Awal (Primacy)
Adalah kecenderungan kita untuk lebih mengingat hal-hal
pertama dari suatu konteks daripada yang berada di tengah-tengah.
b. Efek Akhir (Recency)
Adalah kecenderungan kita untuk mengingat dengan lebih
baik hal-hal yang lebih akhir atau baru saja terjadi dari pada yang
sebelumnya.

6
2. Kajian Lintas Budaya Tentang Ingatan
Ross dan Millson menduga bahwa orang yang mengandalkan
tradisi oral akan lebih baik ingatannya. Mereka kemudian
membandingkan ingatan mahasiswa Amerika dengan mahasiswa
Ghania dalam mengingat cerita yang dibacakan keras-keras. Secara
umum mereka menemukan bahwa mahasiswa-mahasiswa Ghania lebih
baik dari pada mahasiswa Amerika dalam mengingat cerita-ceriat
tersebut. Dengan begitu, tampaknya budaya-budaya yang memiliki
tradisi oral memeng lebih unggul dalam ingatan.
Namun Cole dan kawan-kawan menemukan bahwa subjek-subjek
Afrika yang buta huruf tidak lebih unggul ingatannya bila mereka
dihadapkan pada daftar kata dan buku cerita. Temuan ini berarti bahwa
perbedaan-perbedaan kultural dalam ingatan akibat pengaruh
tradisioral mungkin terbatas pada materi yang bermakna.
Secar lebih khusus dapat dikatan bahwa kemampuan seseorang
untuk mengingat informasi yang tidak saling berhubungan tampaknya
tidak begitu dipengaruhi oleh budaya melainkan lebih terkait dengan
apakah orang tersebut pernah mengenyam sekolah atau tidak. Di ruang
kelas anaka didorong untuk menghafal huruf, tabel-tabel perkalian, dan
fakta-fakta dasar lainnya. Karena itu, subjek yang pernah sekolah lebih
banyak berlatih menghapal dari pada yang tidak sekolah. Individu
yang mengenyam sekolah juga mampua menerapkan keterampilan
ingatan tersebut dalam situasi-situasi tes yang mirip dengan
pengalaman sekolah mereka.
Dengan demikian, penelitian lintas budaya tentang ingatan
menunjukkan bahwa orang-orang dengan tradisi budaya oral punya
ingatan yang lebih baik dari pada orang dari budaya dengan tradisi
tulis. Namun hal ini tampaknya terbatas materi ingatan yang bermakna
seperti kisah atau cerita, dan tidak berlaku pada suatu daftar benda.

7
E. Pemecahan Masalah Pengetahuan Tradisional
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan
urutan yang benar dari alternatif-alternatif jawaban suatu masalah dengan
mengarah pada satu sasaran atau kearah pemecahan yang ideal.
Kemampuan ini sangat tekait dengan faktor pendidikan dan pengalaman
termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Pemecahan
masalah adalah proses di mana kita berusaha menemukan cara-cara
mencapai suatu tujuan yang tampaknya tidak langsung bisa didapat. Jenis
masalah yang berbeda mengarah pada jenis pemecahan yang berbeda pula.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami
perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan
Cole yaitu tentang memecahkan masalah dalam membuka kotak/box
antara responden Amerika dan Liberia. Dari beberapa penelitian yang
dilakukan, didapatkan hasil bahwa kemampuan orang Liberia untuk
berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks.
Ketika masalah yang disajikan menggunakan material dan konsep yang
sudah mereka kenal, orang-orang Liberia berpikir logis sama baiknya
dengan orang – orang Amerika.
Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal,
mereka tampak mengalami kesulitan dari mana memulai langkah
pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa orang
Liberia memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang Amerika.
Masalah biasanya dipecahkan lewat beberapa cara. Mislanya,
pemecahan masalah bisa dilakukan melalui proses coba-coba atau tral-
and-error, yaitu denag mencoba berbagai solusi samapai ada yang tampak
berhasil. Orang juga bisa melukaknnya melalui analisis means/end atau
cara/ tujuan akhir, yaitu dengan mengidentifikasi cara-cara yang mirip
dengan hasil akhir yang diharapkan.
1. Jenis masalah

8
Jenis masalah yang berbeda dapat mengarah pada pemecahan
masalah yang berbeda pula.
a. Masalah yang terkait dengan struktur
Orang harus menemukan hubungan antar berbagai
komponen atau elemen yang tercakup dalam permasalahan
tersebut.
b. Masalah yang terkait dengan penataan
Orang harus menemukan cara untuk menata komponen atau
elemen suatu persoalan sedemikian rupa sehingga bisa
menyelesaikan seluruh atau sebagian masalah tersebut.
c. Masalah transformasi
Orang harus menjalankan suatu urutan langkah tertentu
agar bisa mencapai tujuan atau memecahkan masalahnya.
2. Faktor tingkat kesulitan pemecahan masalah
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan
pemecahan masalah, antara lain informasi yang tidak relevan, mental
set tentang cara-cara memecahkan masalah serupa di masa lalu namun
tidak bisa diterapkan pada masalah yang sedang dihadapi, dan
ketidakmampuan dalam memikirkan penggunaan elemen-elemen
permasalahan secara berbeda dari penggunan tradisionalnya.
3. Penelitian Lintas Budaya Tentang Pemecahan Masalah
Masalah yang terkait dengan perilaku. Perbedaan kultural dalam
pemecahan masalah sulit diukur dalam setting natural karena akan sulit
memisahkan antara apakah seseorang itu sedang melakukan dedukasi
logis dan apakah perilaku mereka mencerminkan latar belakang
kulturalnya. Para ahli psikologi berusaha mengisolasi proses
pemecahan masalah ini dengan meminta orang-orang dari beberapa
kebudayaan yang berbeda untuk menyelesaikan maslah-masalah yang
belum mereka kenal dalam setting buatan.

9
a. Eksperimen Cole dkk
Cole dan rekan-rekannya membuat sebuah eksperimen
untuk mengetahui perbedaan proses pemecahan masalah antara
orang Amerika dan Liberia. Mereka menyimpulkan bahwa
kemampuan orang Liberia untuk bernalar secara logis dalam
memecahkan masalah tergantung pada konteks.
Ketika dihadapkan pada masalah yang mengandung
materi-materi dan konsep-konsep yang sudah akrab bagi mereka,
orang Liberia tanpa kesulitan akan bisa menarik kesimpulan-
kesimpulan logis. Tapi bila situasi tesnya asing bagi mereka, orang
Liberia akan bingung mencari di mana mereka harus memulai.
b. Penelitian soal kata
Kemampuan memecahkan soal kata adalah salah satu aspek
penalaran logis yang juga sudah diteliti secara lintas-budaya.
Dalam sebuah kajian yang luas terhadap masyarakat suku dan
nomaden di Asia Tengah dan Timur, Luria mencatat adanya
perbedaan tajam dalam cara orang mendekati soal verbal seperti
ini. Ada beberapa penjelasan yang diajukan untuk menerangkan
ketidakmampuan orang tak berpendidikan menjawab soal kata.
Luria menyimpulkan bahwa orang yang buta huruf memang
berpikir secara berbeda dari orang yang berpendidikan.
Penelitian-penelitian yang mengkaji bagaimana dan kapan
anak sekolah pertama menggunakan logika formal tampaknya
mendukung interpretasi ini. Tulviste dalam penelitiannya terhadap
anak-anak berusia 8 sampai 15 tahun di Estonia menyimpulkan
bahwa kemampuan bernalar secara logis tampaknya merupakan
keterampilan yang terlebih dahulu diperoleh dan diterapkan anak di
ruang kelas, dan baru kemudian diterapkan pada kehidupan sehari-
hari mereka.
Scribner menyangsikan bahwa subjek buta huruf benar-
benar tak bisa berpikir logis. Ia kemudian secara lebih dekat

10
meneliti alasan kenapa orang tak berpendidikan gagal memberi
jawaban yang tepat pada soal-soal verbal. Para subjek dalam
penelitiannya terlihat tidak bisa atau tidak mau menerapkan
konsep-konsep pemikiran ilmiah pada soal-soal verbal. Tapi ini
bukan karena mereka tak punya kemampuan bernalar logis; mereka
hanya tak paham bahwa soal-soal verbal itu bersifat hipotesis.

4. Cara pemecahan masalah


Masalah dapat diselesaikan beberapa cara, antara lain melalui
proses trial and error, yaitu mencoba berbagai solusi sampai ada yang
berhasil. Cara berikutnya adalah melalui analisis means/end, yaitu
dengan mengidentifikasi cara-cara yang bisa mengubah situasi saat ini
ke arah yang mirip dengan hasil akhir yang diharapkan.
Cara lainnya adalah dengan memecahkan masalah dari belakang,
memulai dari hasil akhir dan secara sistematis bekerja mundur sampai
pada situasi saat ini.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental
yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan.
Proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau
obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya.
b. Kajian Lintas Budaya Tentang Kategorisasi, ada dua bagiannya
yaitu: 1) Beberapa aspek universal kategori. 2) Beberapa aspek
kategorisasi yang khas budaya.
c. Kategori Dan Pembentukan Konsep Pengetahua Tradisional,
Orang melakukan kategorisasi berdasarkan kemiripan-kemiripan dan
kemudian melekatkan label yaitu kata-kata untuk mengelompokkan
hal-hal yang kelihatannya punya kemiripan. Dengan demikian, orang
menciptakan kategori-kategori dari hal-hal yang punya ciri-ciri
tertentu.
Contoh : kursi bantal, kursi makan, dan kursi di ruang teater memiliki
bentuk yang berbeda, tapi tergolong dalam satu kategori dasar yang
sama yakni : “kursi” karena semua memiliki fungsi yang sama. Di
budaya Barat kursi adalah benda yang dapat dan seharusnya
digunakan untuk duduk.
d. Ingatan, Dengan memiliki memori, manusia bisa mengingat
pengetahuan yang telah diperolehnya sehingga bisa membangun
peradabannya. Memori sendiri adalah sebuah proses pengelolahan
informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding),
penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi.
e. Pemecahan Masalah Pengetahuan Tradisional, Problem solving
merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar
dari alternatif – alternatif jawaban suatu masalah dengan mengarah
pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal.

12
B. Saran

Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai kaitan psikologi


lintas budaya dengan kognisi dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kelebihan dan kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan
kekurangan dalam rujukan referensi yang berhubungan dengan judul
makalah kelompok kami ini.
Kami selaku penulis banyak berharap kepada para pembaca yang
sudi memberikan kritik dan saran yang tentunya sangat membangun
kepada kami, demi tercapainya kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga
makalah ini dapat berguna bagi kami dan khususnya bagi seluruh pembaca
makalah ini.

13
14

Anda mungkin juga menyukai