3. Bagaimana pengalaman anda dengan orang atau hal sekitar terkait kemampuan
memori yang anda miliki misalnya dalam mengingat sesuatu?
Jawab:
Memori adalah sebuah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang
meliputi pengkodean (encoding), penyimpanan (store), dan pemanggilan kembali
(retrive) informasi. Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka
pendek yaitu memori yang rnenyimpan informasi tidak lebih dari 15 hingga 25 detik,
dan memori jangka panjang atau memori yang ini menyimpan informasi relatif
permanen rneskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil kembali (Feldman,
1999). Saya termasuk orang yang memiliki memori jangka panjang, karena dapat
mengigat informasi-informasi atau suatu kejadian dalam jangka waktu yang cukup
lama. Misalnya, kejadian yang telah terjadi beberapa bulan atau tahun yang lalu, saya
masih bisa mengingat detail kejadian bahkan hingga tanggal dan waktu kejadian
tersebut. Saya juga cenderung lebih mudah dalam hal menghapal, terkadang hanya
mendengarkan saja saya sudah bisa mengingat apa yang disampaikan tanpa harus
diulangi. Namun, harus dengan kondisi yang benar-benar fokus.
4. Berikan salah satu contoh problem solving dalam kehidupan sehari-hari dengan
konteks budaya!
Jawab:
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang
benar dari alternatif-alternatif jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu
sasaran atau ke arah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa
kemampuan ini sangat terkait dengan faktor pendidikan dan pengalaman termasuk
pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog telah
mencoba memisahkan proses problem solving dan budaya dengan meminta individu-
individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan
yang tidak familiar dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Tipe permasalahan yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan
budaya adalah kemampuan berpikir silogis. Contoh, semua bocah suka permen, Siti
masih kanak-kanak, apakah Siti menyukai permen? Dalam penelitiannya yang luas
pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal tradisional
dan nomaden (hidup berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan
berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada
dengan perbedaan budaya. Subyek rata-rata kurang mampu memberikan jawaban
yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang sudah pernah
bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di
desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana
tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat Pendidikan.
Luria meyakini bahwa orang-orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis
memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang yang sudah mampu baca tulis.
Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari
pengenalan huruf, menggabungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan
suku kata-suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.