Dosen Pengampu :
Dr. Herman Nirwana, M.Pd., Kons
Oleh :
Aisyah Nayrah
18006228
2021
A. Budaya Dan Perkembangan Kognisi
Piaget merupakah tokoh besar yang berfokus pada perkembangan kognitif manusia sedari
kecil hingga dewasa. Perkembagan kognitif merupakan bidang psikologi yang
mempelajari tentang bagaimana kemampuan berpikir berkembang dari waktu kewaktu.
Berdasarkan observasi yang dilakukan pada sekelompok anak Swiss, Piaget menjabarkan
4 tahapan perkembangan kognitif yang dilalui manusia (Herdiyanto, dkk., 2016)
1. Tahap Sensorimotorik (0 – 2 tahun)
Pada tahap ini anak anak memahami dunia melalui persepsi indrawi dan
pengalaman motorik mereka. Setelah itu mereka akan mempelajari suatu hal
dengan cara menerima dan melakukan kembali. Pencapaian terpenting pada tahap
ini adalah pemahaman anak mengenai simbol-simbol dan permanensi objek, yakni
memahami bahwa suatu benda tetap nyata meskipun tidak tampak.
2. Tahap Pra-Operational (2 – 7 tahun)
Perkembangan kognitif anak-anak pada tahap ini dijabarkan dalam 5 katergori berikut
yaitu: Kemampuan konservasi : anak memahami bahwa suatu benda tetap memiliki
kuantitas yang sama meski bentuknya berubah,
a. Sentrasi : anak hanya fokus pada satu aspek pada permasalahan,
b. Ireversibilitas : anak tidak mampu untuk melakukan sesuatu secara terbalik,
c. Egosentris : tidak mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain,
d. Animism : anak percaya bahwa seluruh benda itu hidup.
3. Tahap Operasional Konkret (7 – 12 tahun)
Pada tahap ini anak sudah berhasil melampaui 5 karakteristik pada tahap pra-
operasional. Anak juga belajar cara-cara baru untuk melakukan suatu kegiatan.
Meski demikian, hal-hal yang dilakukan anak pada tahapan ini bukan berdasarkan
kemampuan logika tetapi lebih ke proses trial-and-error.
4. Tahap Operasional Formal (>12 tahun)
Anak mampu berpikir dengan logika, berpikir abstrak, dan mampu lebih sistematis
dalam pendekatannya untuk penyelesaian masalah.
1
2
Terdapat 2 hal yang mempengaruhi proses perkembangan kognitif dari tahap satu
ketahap lainnya yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah memahami pengalaman-
pengalaman baru dari segi skema yang ada. Akomodasi adalah mengubah skema yang
ada agar sesuai dengan situasi baru. Kognisi adalah proses dasar psikologis manusia.
Kognisi merujuk kepada proses berpikir yang meliputi bagaimana mendapat informasi,
menyimpannya dalam otak, dan menggunakannya untuk memecahkan masalah, berpikir
dan memformulasikan bahasa. Kognisi adalah proses berpikir manusia mulai dari
pencarian (seeking), penerimaan (sensation), pemaknaan (perception), penyimpanan
(storing), hingga penggunaan informasi (using) (Dayakisni & Yuniardi, 2008).
Watson dan Thorndike mengganggap bahwa belajar hanya berasal dari direct experience
(pengalaman langsung). Mereka berpendapat bahwa belajar terjadi sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan, bukan dari hasil pengamatan. Hal ini menimbulkan empat
pendekatan teori psikologi: fungsionalistik domain, teori assosiasonistik domain, teori
kognitif domain dan teori neurofisiologis domain. Pada teori kognitif domain melahirkan
teori-teori baru yang fokus pada pendekatan untuk pembelajaran. Salah satunya adalah
teori belajar sosial. Teori ini didasarkan atas bagaimana manusia memperhatikan perilaku
model yang menjadi penguat di lingkungan. Dalam eksperimennya, mereka melihat
bahwa prilaku manusia dikendalikan oleh motivasi dan respons organisme yang dapat
menstimulasi organisme lain, yaitu generalized imitation, dan imitasi ini dapat menjadi
kebiasaan (Sudjatnika, 2016).
1
3
B. Pengaruh Budaya Dan Perkembangan Pola Pikir Seseorang
Menurut Matsumoto dan Juang (2004) tanpa kita sadari, budaya mempengaruhi cara kita
menerima dan memproses informasi mengenai lingkungan disekitar kita. Hal ini tampak
dalam penelitian yang dilakukan oleh Greenfield, Reich, dan Oliver pada orang dewasa
Amerika keturunan Afrika kulit hitam dan orang dewasa Amerika kulit putih dan anak-
anak Amerika kulit putih. Di dalam penelitian tersebut, para orang Afrika yang menjadi
partisipan diminta untuk merapihkan barang, mereka menunujukan kecendrungan yang
kuat untuk mengelompokan barang berdasarkan warna dibandingkan fungsinya. Hal ini
berbeda dari orang dewasa kulit putih yang cenderung mengelompokan barang sesuai
jenis dan fungsi barang. Sementara anak kulit putih cenderung mengelompokan
berdasarkan warna nya. Hasil penelitian ini memberikan kesan bahwa ada sesuatu
disamping kematangan yang bertanggung jawab atas perilaku yang muncul tersebut,
misalnya budaya dan tingkat pendidikan yang dimiliki partisipan.
1. Budaya dan Memory
Menurut Ros dan Millson (Sarwono, 2015) budaya juga memiliki pengaruh
terhadap kemampuan seseorang mengingat sesuatu. Tradisi lisan membuat orang-
orangnya lebih mudah dalam mengingat. Mereka membandingkan kemampuan
mahasiswa Amerika dan Ghana dalam mengingat cerita yang dibacakan dan daftar
kata-kata. Hasil peelitian tersebut menunjukan bahwa mahasiswa Ghana lebih
mengingat cerita yang dibacakan dibandingkan daftar kata-kata. sementara
mahasiswa Amerika sebaliknya.
Meskipun demikian, Cole dan koleganya menemukan bahwa orang Afrika yang
buta huruf menunjukan peforma yang baik saat diminta mengingat cerita yang
dibacakan dibandingkan daftar kata-kata. Hal ini menunjukan bahwa budaya yang
masih mempertahankan tradisi lisan membuat orang-orangnya lebih kuat dalam
mengeja cerita (kontekstual), sedangkan tradisi tulis membuat orang-orang di
dalamnya lebih kuat dalam mengingat kata-kata lepas.
2. Budaya dan Intelegensi
Budaya memiliki pengaruh terhadap intelegensi orang-orang didalamnya. di
Amerika Serikat, intelegensi diartikan sebagai konglomerasi berbagai kemampuan
1
4
intelektual yang berpusat pada tugas-tugas lisan (verbal) dan analitik (Matsumoto dan
Juang, 2004).
Studi lintas budaya dan multi budaya mengenai intelegensi menunjukan bahwa
tes IQ tidak selalu valid mengukur inteligensi individu karena ada pengaruh bahasa
dan konteks budaya dalam item-item yang diajukan (Matsumoto dan Juang, 2004).
Misalnya anak-anak imigran yang tidak terlalu fasih menggunakan bahasa inggris
tentunya akan mengalami kesulitan dalam mengikuti test inteligensi (dalam bahasa
inggris), sehingga rentang mendapatkan skore IQ yang rendah pada akhir test.
Budaya juga mempengaruhi familiaritas individu terhadap tugas-tugas performance
yang diberikan dalam test IQ. Kemudian, muncul perdebatan mengenai perbedaan IQ
dalam masyarakat dan kelompok etnis tertentu disebabkan oleh faktor hereditas atau
keturunan. Penelitian Jensen (1974, 1995, 2000) menunjukan bahwa rata-rata Afrikan
Amerikan memiliki skore IQ lebih rendah dibandingkan European Amerikan. Lebih
lanjut, ia menyatakan bahwa 80% dari intelegensi seseorang dipengaruhi oleh faktor
bawaan dan jarak yang terjadi diantara skore IQ European Amerikan dengan etnis
minoritas di Amerika Serikat disebabkan oleh faktor biologis.
Menurut Koentjaraningrat (1990) faktor budaya berkaitan dengan kultur masyarakat
yang berupa persepsi atau pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Peserta didik
selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh budaya yang negatif dan
salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan pola
pikir anak.
1
5
tinggi untuk ambiguitas dan kekacauan.. Negara atau budaya yang dapat
memfasilitaskan orang-orang dengan ciri seperti tersebut akan dapat menghasilkan
lebih banyak orang kreatif. Hal ini karena kreativitas membutuhkan orang untuk
melihat sesuatu secara out of the box, menyulitkan mereka untuk menjadi kreatif.
1
6
Perbedaan kemampuan matematika ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti bahasa terkai berhitung dan angka yang digunakan oleh masing-masing
wilayah, sistem sekolah dalam mnegajarkan materi matematika yang dianggap
pentng dalam budaya nya, nilai-nilai keluarga terkait kemampuan berhitung,
penghargaan terhadap siswa, dan gaya belajar serta hubungan guru dan siswa nya
(Matsumoto dan Juang, 2004).
1
7
KEPUSTAKAAN
Herdiyanto, dkk., 2016. Bahan Ajar Konseling Lintas Budaya. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
1
8
9