Beberapa peneliti telah member kritik pada teori Kohlberg yang dianggap
bias budaya (Bornstein & Paludi, 1998) Miller & Bersoff (1992) membandingkan
respon terhadap tugas – tugas keputusan moral antara responden India dan
Amerika. Ternyata, orang – orang India baik anak – anak maupun dewasa
mempertimbangkan bahwa tidak menolong orang lain sebaai pelangaran moral
lebih daripada subjek Amerika, mengabaikan apakah situasi itu mengancam
hidupnya atau tidak. Miller dan Bersoff menafsirkan perbedaan ini disebabkan
oleh adanya perbedaan nilai – nilai afiliasi dan keadilan, yaitu bahwa pada orang –
orang India ditanamkan ajaran untuk memilki tangung jawab social yang lebih
besar dibandingkan dengan orang – orang Amerika.
Snarey (1985) mereview beberapa studi lintas budaya tentang penalaran
moral yang melibatkan subjek dari 27 negara dan menyimpulka bahwa penalaran
moral sifatnya lebih culture specific (berlaku khusus untuk budaya tertentu).
Misalnya Schweder (1990) menemukan moralitas post-konvensional
berdasar penelitiannya di India didasari konsep hukum – hukum alam dan keadilan
bukan prinsip individualism dan sekulerisme atau kontrak social atau mungkin
model keluarga sebagai moral. Ma (19980 berdasar penelitianntya menyimpulkan
bahwa orang – oran Cina menganggap moral baik “maksud baik” (good mean)
yaitu berperilaku seperti yang diharapkan masyarakat, dan “kehendak baik” (good
will) yaitu keutamaan bergabung atau menurut kehendak alam.
3) Perkembangan Sosio-emosional – Erikson
Studi tentan perkembangan social dan emosional diakui sangat kompleks,
karena merupakan produk dari beberapa tingkat. Salah satu teori yang sering
menjadi referensi dalam teori perkembangan sosio-emosional adalah teori
perkembangan dari Erikson. Ia membaginya ke dalam 8 tahapan yang akan terjadi
sepanjang rentang kehidupan manusia, diantaranya :
Developmental Stage Basic Components
Infancy (0-1 thn) Trust vs Mistrust
Early childhood (1-3 thn) Autonomy vs Shame, Doubt
Preschool age (4-5 thn) Initiative vs Guilt
School age (6-11 thn) Industry vs Inferiority
Adolescence (12-10 thn) Identity vs Identity Confusion
Young adulthood ( 21-40 thn) Intimacy vs Isolation
Adulthood (41-65 thn) Generativity vs Stagnation
Senescence (+65 thn) Ego Integrity vs Despair
Budaya orang – orang Amerika yang individualistis memandang perasaan
otonomi pada tahap kedua diangap sebagai hasil yang lebih disenangi, sementara
budaya lain mungkin tidak dan mungkin lebih menyukai anak – anak yang
tergantung pada orang lain. Pada masyarakat yang memiliki buda kolektivistis
tidak mendorong anggotanya untuk otonomi dan lebih mendorong “ktrgantungan”
atau “merging relations”. “Malu” digunakan sebagai sanksi social pada individu
yang otonomi pada masyarakat ini. Sementara di Cina, malu atau hai xiu
dipandang sebagai reaksi hati – hati terhadap situasi baru yang menekan atau
evaluasi social ; manifestasi perilaku malu atau hambatan social memang
teridentifikasi juga di Cina.
2. Kelekatan (Attachment)
Kelekatan adalah ikatan khusus yang berkembang antara bayi dan
pengasuhnya. Banyak para psikolog yang meyakini bahwa kualitas kelekatan
memiliki efek seumur hidup terhadap hubungan seorang individu dengan
orang-orang yang dicintainya.
Kelekatan didasari konsep kepercayaan dasar. Erikson (1963)
menggambarkan formasi kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama
dalam proses perkembangan psikososial yang berlangsung dalam jangka
panjang. Kelekatan yang buruk adalah komponen dari ketidak percayaan,
kegagalan menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan tahap perkembangan bayi.
Orang Amerika berasumsi bahwa kelekatan ideal adalah secure
attachment. Sementara itu orang – orang Jerman menganggap bahawa avoidant
attachment adalah tipe kelekatan yang ideal karena menilai tinggi kemandirian
akan mendorong kemandirian sejak dini pada bayi – bayi mereka. Menurut
mereka tipe secure akan membuat anak – anak menjadi manja. Anak – anak
Israel dibesarkan di Kibbutz (pertanian kolektif) setengahnya menunjukkan
kelekatan ambivalent yang waspada dan sepertigamya merupakan tipe secure.
Sedangkan anak – anak yang dibesarkan dalam keluarga tradisional Jepang
ditandai dengan adanya tipe anxious ambivalent attachment, dengan demikian
prakteknya bukan avoidant (Miyake, Chen, & Campos, 1985). Mereka jarang
sekali meninggalkan anak – anaknya dan mendorong perasaan tergantung yang
kuat pada anak – anak mereka.
Dengan demikian , masih banyak yang harus dilakukan untuk
memahami pola – pola kelekatan pada berbagai negara di dunia. Sebab kualitas
kelekatan dan proses dimana hal itu terjadi adalah keputusan kualitatif yang
dibuat dari perspektif masing – masing budaya.
Bayi – bayi ini akan dengan cepat berhenti menangis karena mereka
belajar sejak awal bahwa hal ini akan tidak membawa respon apapun.
Umumnya, jika suatu masyarakat memiliki tingkat kematian yang tinggi, maka
orang tua berusaha memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan –
kebutuhan dasar fisik daripada aspek perkembangan yang lain.
Levine (1977) mengatakan bahwa lingkungan yang memberikan
pengasuhan mencerminkan sejumlah tujuan yang diurutkan derajat
kepentingannya.
- Pertama, kesehatan fisik dan mempertahankan hidup.
- Kedua, mendorong perilaku – perilaku yang akan mengarahkan pada
pemenuhan diri (self – sufficiency).
- Ketiga, perilaku – perilaku yang mendukung nilai – mnilai budaya
yang lainnya seperti moralitas dan prestise.
Masing – masing negara memiliki prioritas yang berbeda dalam
pemenuhan ketiganya.