Anda di halaman 1dari 135

BAHAN AJAR

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Tim Penyusun:

 Yohanes Kartika Herdiyanto  Naomi Vembriati


 David Hizkia Tobing  Ni Made Ari Wilani
 Dewi Puri Astiti  Ni Made Swasti Wulanyani
 I Made Rustika  Adijanti Marheni
 Komang Rahayu Indrawati  Putu Wulan Budisetyani
 Luh Kadek Pande Ary Susilawati  Supriyadi
 Luh Made Karisma Sukmayati Suarya  Tience Debora Valentina
 Made Diah Lestari

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
PRAKATA

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memperkenankan buku itu dituliskan
untuk membantu para mahasiswa matakuliah Psikologi Lintas Budaya untuk memahami dan
mendalami materi yang dibahas dalam matakuliah tersebut.

Penyusunan buku ini masih sangat membutuhkan perbaikan dan penyesuaian dengan topik-topik
terkini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan maupun kritik demi perbaikan di masa
yang akan datang.

Selamat belajar.

Denpasar, 21 Juli 2016

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

PRAKATA ................................................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
MATERI 1: PENGANTAR PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA ............................................................................. 8
MATERI 2: METODE PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA ................................................ 14
MATERI 3: ENKULTURASI ...................................................................................................................... 24
MATERI 4: BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGAN............................................................................. 34
MATERI 5: MATERI KOGNISI ................................................................................................................. 44
MATERI 6: BUDAYA DAN KESEHATAN .................................................................................................. 51
MATERI 7: BUDAYA DAN EMOSI ........................................................................................................... 61
MATERI 8: BUDAYA, BAHASA DAN KOMUNIKASI ................................................................................. 72
MATERI 9: BUDAYA DAN KEPRIBADIAN ................................................................................................ 83
MATERI 10: BUDAYA DAN ABNORMALITAS.......................................................................................... 93
MATERI 11: BUDAYA DAN GENDER .................................................................................................... 105
MATERI 12: SELF AND IDENTITY.......................................................................................................... 114
MATERI 13: INTERPERSONAL AND INTERGROUP RELATIONS ............................................................ 125
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 135

3
PENDAHULUAN

1. Manfaat Mata Kuliah


Mata kuliah ini diberikan pada mahasiswa untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif kepada mahasiswa tentang dasar-dasar perilaku wisatawan berdasarkan teori-teori
psikologi dan ilmu sosial yang lainnya. Mahasiswa juga disiapkan untuk menganalisis fenomena-
fenomena sosial yang terjadi pada wisatawan dan penduduk local. Selain memberikan konsep-
konsep tentang perilaku wisatawan, mahasiswa juga diharapkan mampu memahami dan dapat pula
mengaplikasikan berbagai pendekatan penelitian pada bidang perilaku wisatawan tersebut untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul akibat turisme di sekitarnya.

2. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah ini secara garis besar akan membahas tiga hal utama, yaitu yang pertama adalah
proses psikologis turis sebelum datang ke tempat wisata (sampai dengan proses menetapkan tujuan
wisata yang akan dikunjunginya), yang kedua adalah proses psikologis yang dialami oleh turis
maupun host saat turis sampai di tujuan wisata yang telah direncanakannya (sejak turis datang
sampai dengan pulang dari tempat wisata), dan yang terakhir adalah proses yang dialami oleh turis
maupun host setelah kunjungan wisata tersebut berlangsung.

3. Tujuan Instruksional
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini (pada akhir semester), mahasiswa dapat
menunjukkan pemahaman yang komprehensif tentang dasar-dasar perilaku wisatawan berdasarkan
teori-teori psikologi dan ilmu sosial yang lainnya. Mahasiswa diharapkan mampu untuk menganalisis
fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada wisatawan dan penduduk lokal (host). Selain itu,
mahasiswa juga diharapkan mampu memahami dan dapat pula mengaplikasikan berbagai
pendekatan penelitian pada bidang perilaku wisatawan tersebut untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan yang timbul akibat turisme di sekitarnya.

4. Organisasi Materi
Organisasi materi dapat dilihat pada jadwal perkuliahan.

5. Strategi Perkuliahan
Strategi instruksional yang digunakan pada mata kuliah ini terdiri dari:

4
a. Urutan kegiatan instruksional berupa: pendahuluan (tujuan mata kuliah, cakupan materi pokok
bahasan, dan relevansi), penyajian (uraian, contoh, diskusi, evaluasi), dan penutup (umpan balik,
ringkasan materi, petunjuk tindak lanjut, pemberian tugas di rumah, gambaran singkat tentang
materi berikutnya)
b. Metode instruksional menggunakan: metode ceramah, tanya-jawab, diskusi kasus, dan
penugasan lapangan dan penulisan paper.
• Ceramah berupa penyampaian bahan ajar oleh dosen pengajar dan penekanan-penekanan
pada hal-hal yang penting dan bermanfaat untuk diterapkan nantinya.
• Tanya jawab dilakukan sepanjang tatap muka, dengan memberikan kesempatan mahasiswa
untuk memberi pendapat atau pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka mengerti atau
bertentangan dengan apa yang mereka pahami sebelumnya.
• Diskusi kasus dilakukan dengan memberikan contoh kasus/kondisi pada akhir pokok
bahasan, mengambil tema yang sedang aktual di masyarakat dan berkaitan dengan pokok
bahasan tersebut, kemudian mengajak mahasiswa untuk memberikan pendapat atau
menganalisis secara kritis kasus/kondisi tersebut sesuai dengan pengetahuan yang baru
mereka dapatkan.
• Penugasan (berupa penugasan lapangan dan paper) diberikan untuk membantu mahasiswa
memahami bahan ajar, membuka wawasan, dan memberikan pendalaman materi.
Penugasan bisa dalam bentuk kunjungan ke lapangan (daerah wisata, bandara, hotel, dsb.),
menulis tulisan ilmiah, membuat review artikel ilmiah, ataupun membuat tulisan yang
membahas kasus/kondisi yang berkaitan dengan pokok bahasan. Pada penugasan ini,
terdapat komponen analisis sosial, ketrampilan menulis ilmiah, berpikir kritis, penelusuran
referensi ilmiah, dan ketrampilan berkomunikasi.
c. Media instruksionalnya berupa: LCD projector, whiteboard, kertas plano, artikel aktual di surat
kabar/internet/majalah/jurnal ilmiah, buku diktat bahan ajar, handout, dan kontrak perkuliahan.
d. Waktu (per-SKS): 5 menit pada tahap pendahuluan, 40 menit pada tahap penyajian, dan 5 menit
pada tahap penutup.
e. Evaluasi: evaluasi formatif dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung.

6. Materi/Bacaan Perkuliahan
Buku/bacaan pokok dalam perkuliahan ini adalah:
A. Pearce, Philip L. (2005). Tourist Behaviour: Themes and conceptual schemes. NY: Channel view
publications

5
B. Richard, G. and Munsters, W. (ed). (2010). Cultural tourism research methods. Cambridge: CAB
International
C. Reisinger, Y. and Turner, L.W. (2003). Cross-cultural behaviour in tourism: Concept and analysis.
San Francisco: Butterworth Heinemann

7. Tugas
Dalam perkuliahan, diberikan beberapa tugas sebagai berikut:
a. Quiz diberikan secara tak terjadual kurang lebih 4 kali selama proses perkuliahan untuk menilai
pemahaman mahasiswa dan absensi. Format soal quiz berupa pilihan ganda atau essay.
b. Penugasan kunjungan lapangan diberikan secara berkelompok (maksimal 5 orang/kelompok).
Tempat kunjungan lapangan dapat berupa tempat-tempat wisata, sarana transportasi umum
(bandara, pelabuhan, terminal, dsb.), hotel, guide association, rumah sakit/klinik di tempat
wisata, dan unit kepolisian wisata.

8. Kriteria Penilaian
Penilaian akan dilakukan oleh pengajar dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
Nilai dalam huruf Rentang skor
A 80- keatas
B 65-79
C 55-64
D 40-54
E kebawah -39

• Pembobotan nilai adalah sebagai berikut:


Nilai Tugas & Quiz : 30% (kunjungan lap/interview, laporan & presentasi, quiz)
UTS : 35%
UAS : 35%

• Program Studi Psikologi tidak mentolerir adanya kecurangan dalam ujian. Ujian Kuis, UTS, UAS
adalah instrumen untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah. Apabila
mahasiswa menunjukkan gerak-gerik mencurigakan selama tes-tes tersebut, atau ditemukan
mencontek/memberikan contekan, akan mendapatkan pengurangan nilai 25% dari nilai yang
diperolehnya untuk tes tersebut, dan pengurangan ini akan disampaikan secara terbuka pada
waktu pengumuman nilai. Apabila mahasiswa ditemukan membawa/membuat (walaupun tidak

6
membuka) catatan selama tes-tes tersebut, baik berupa kertas, coretan di kursi, dan sebagainya,
maka mahasiswa tersebut akan mendapat nilai 0 untuk tes tersebut.
• Presentasi ketentuan mendapatkan penilaian kehadiran sebagai berikut:
- Setiap mahasiswa wajib hadir tepat waktu saat perkuliahan dimulai. Bagi yang terlambat
melebihi 15 menit maka diperkenankan masuk tetapi tidak diperkenankan melakukan
presensi.
- Bagi mahasiswa yang jumlah presensinya kurang dari 75% dari jumlah kehadiran kuliah
sebelum UTS (atau tidak hadir sebanyak 2 kali) maka orang bersangkutan tidak boleh
mengikuti UTS (atau tidak hadir sebanyak 4 kali) maka orang bersangkutan tidak boleh
mengikuti UAS. Larangan ini tidak berlaku apabila yang bersangkutan mengganti
ketidakhadiran dengan menulis paper/tugas/makalah.

7
MATERI 1:
1: PENGANTAR PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

A. Hakikat Pengetahuan dalam Psikologi


1. Penelitian Ilmiah
Psikologi menggunakan penelitian ilmiah tentang manusia untuk mendapat pengetahuan
bagaimana dan mengapa manusia bertingkah laku. Standar-standar minimal ketepatan logika
ilmiah (scientific rigour) dibutuhkan dalam penelitian agar dapat memastikan kebenaran
psikologis.
2. Parameter
Pengetahuan yang dihasilkan dari pengetahuan psikologis terikat oleh parameter-parameter
dan keterbatasan. Beberapa parameter yaitu :
a. Parameter tugas (task)
Parameter ini diberikan oleh partisipan penelitian. Misalnya, subjek diminta untuk
meilai orang lain berdasarkan persepsinya.
b. Parameter lingkungan
Parameter ini adalah lataratau situasi penelitian dilakukan. Misalnya, di rumah sakit,
pagi hari, dan suasana di rumah sakit saat ini.
c. Parameter partisipan
Parameter yang berkaitan dengan partisipan. Misalnya, suku, agama, pekerjaan, atau
status sosial.
3. Kebenaran Psikologis
Ialah pengetahuan yang berhasil bertahan melalui tantangan waktu dan melewati ujian eksperimen
jaman. Kebenaran psikologis terjadi apabila meemukan hasil yang sama dalam serangkaian
penelitian dimana kita memvariasikan parameter-parameter tugas, lingkungan, dan partisipasinya.
Bila telah melibatkan orang-orang dari berbagai latar belakang, ras, sosial, ekonomi yang berbeda-
beda namun tetap memperoleh temuan yang sama.

B. Apa itu Psikologi Lintas Budaya dan Dampak pada Kebenaran Psikologis
1. Pengertian Psikologi Lintas Budaya
Cabang psikologi yang menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas
pengetahuan dalam memepelajari orang-orang dari budaya berbeda.
a. Pengertian secara sederhana

8
Hanya tentang dilibatkannya partisipan dan latar belakang kultural yang berbeda dan
pengujian pebedaan antar partisipan.
b. Pengertian secara luas
Pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip psikologi bersifat universal atau khas
budaya.

2. Dampak pada kebenaran psikologis


Penelitian tentang psikologi lintas budaya telah sejak lama dilakukan dan mulai populer
belakangan ini dan dampaknya terhadap kebenaran psikologi mulai terlihat.

C. Etik, Emik, Etnosentrisme Dan Stereotip


1. Etik
Etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Dimana dalam hal ini kebenaran
yang diketahui merupakan kebenaran bagi semua orang di budaya apapun. Contoh etik antara
lain : matahari terbit dari timur, bumi itu bulat, bulan dan bintang muncul dimalam hari, awan
berada di langit, air mengalir dari hulu ke hilir.
2. Emik
Emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya. Dimana dalam hal ini, kebenaran
bagi budaya tertentu belum tentu kebenaran bagi budaya lain. Contoh emik antara lain :
misalkan saja, ada budaya yang biasa menatap mata saat melakukan pembicaraan dengan
orang lain, namun ada budaya yang tidak memperbolehkan melakukan kontak mata, disaat
kedua budaya ini saling bertemu dan tidak memahami budaya satu sama lain maka akan terjadi
salah persepsi.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan cara pandang dan penafsiran terhadap orang lain dari kaca mata
kultural kita sendiri. Contoh : berdasarkan contoh emik, orang yang berasal dari budaya yang
biasa menatap mata lawan bicara, akan menafsirkan bahwa lawan bicaranya tidak sopan ketika
tidak menatap matanya saat berbicara, begitu juga sebaliknya orang yang tidak biasa menatap
mata akan menafsirkan lawan bicaranya tersebut tidak sopan. Penafsiran tersebut disebut
etnosentrime.
4. Stereotip
Stereotip adalah sikap, keyakinan, atau pendapat yang baku tentang orang-orang yang berasal
dari budaya lain. Contoh : orang batak itu keras, orang timur itu cocoknya jadi satpam, orang
solo itu lemah lembut, dll. Namun stereotip bisa menjadi berbahaya dan merusak bila kita

9
memegangnya dengan kaku dan menerapkannya secara pukul rata pada semua orang dari latar
belakang budaya tertentu, tanpa menyadari kemungkinan adanya kekeliruan pada dasar-dasar
stereotip tersebut maupun adanya perbedaan individual di dalam sebuah budaya.

D. Beberapa Isu Khusus Tentang Metodologi Penelitian Lintas Budaya


1. Seseorang terhadap pengetahuan, dan kebenaran yang didapat dari penelitian sistematis yang
memenuhi standar ketegaran ilmiah dan metodologis untuk memastikan kualitas pengetahuan
dan kebenaran tersebut.
2. Penting untuk membahas beberapa isu yang relevan bagi bagi pelaksanaan penelitian lintas
budaya. Diantara isu-isu tersebut adalah definisi operasional dari konsep budaya yang
digunakan dalam penelitian, pengambilan sampel (sampling), ekuivalensi lintas budaya,
perumusan pertanyaan penelitian dan penafsiran data, bahasa, lingkungan penelitian, serta
kerangka respon.

E. Definisi-Definisi Operasional Konsep Budaya


1. Budaya merupakan konglomerasi atau sekumpulan sikap, nilai, perilaku, dan keyakinan
bersama, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa.
2. Budaya tidak musti merupakan ras ataupun kebangsaan. Budaya benar-benar merupakan
sebuah konstruk sosiopsikologis.
3. Karena tidak menemukan cara untuk mengukur budaya pada level sosiopsikologis, sesuai
dengan definisi tentang budaya, para peneliti terpaksa “merendahkan standar” kemampuan
untuk benar-benar mengkaji perbedaan lintas budaya.
E. Pengambilan Sampel (Sampling)
1. Kriteria apa yang bisa digunakan sebagai dasar untuk memutuskan apakah jumlah sampel
sudah memadai sebagai representasi budaya tersebut atau tidak. Peneliti lintas budaya
harus memberi perhatian khusus pada isu-isu sampling dalam menjalankan riset.

1. Disamping ketidakmampuan mengukur budaya pada level sosiopsikologis, bila ingin menarik
kesimpulan tentang perbedaan kultural dari suatu sampel, peneliti lintas budaya perlu
memastikan bahwa para peserta penelitian tersebut merupakan representasi yang memadai
dari budayanya, apa pun budaya tersebut.

F. Kesetaraan atau Ekuivalensi Lintas – Budaya

10
1. Untuk melakukan penelitian lintas budaya yang valid, tidak cukup hanya dengan
mendapatkan sampel yang secara memadai mewakili budya yang akan diteliti.
2. Peneliti harus yakin bahwa sampel yang mereka bandingkan sudah setara.
3. Untuk menghadapi dilema ini para peniliti lintas budaya perlu memantapkan dasar-dasar
kesetaraan tertentu antara sampel- sampel yang digunakan agar perbandingan cultural bisa
menjadi bermakna.

G. Rumusan Pertanyaan Penelitian dan Penafsiran Data


1. Penting untuk disadari bahwa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti itu sendiri tak bebas
budaya alias “culture-bound”.
2. Karena itu pertanyaan tersebut bisa saja bermaksa bagi suatu budaya namun tidak bagi budaya
yang lain.
3. Dengan kata lain, dalam penelitian seperti itu kita tidak mungkin tahu apakah suatu temuan
merupakan perbedaan cultural yang “sebenarnya”, ataukah sekedar perbedaan yang timbul
karena perbedaan makna pertanyaan yang diajukan.
4. Peneliti sering datang dari latar belakang budaya yang berbeda dengan para subjek yang dikaji.
5. Peneliti mau tak mau akan menafsirkan data yang mereka peroleh (apakah itu dari kuesioner,
respon atas tugas, atau apapun) berdasar kacamata cultural mereka sendiri.
6. Para subjek bertindak dari latar belakang cultural mereka, yang mungkin saja sangat berbeda
dari latar belakang cultural si peneliti.

H. Tentang Bahasa & Penerjemah

1. Peneliti lintas – budaya sering kali menggunakan prosedur terjemahan-balik (back – trans –
lation ) untuk memastikan kesetaraan tertentu dalam protokol mereka.

2. Dalam prosedur ini, portokol dalam sebuah bahasa diterjemahkan ke bahasa lain, dan
kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa semula oleh orang lain.
3. Perbedaan – perbedaan yang kita temukan antar budaya kemungkinan adalah karena
pengaruh perbedaan lingustik atau semantik dalam protokol penelitian yang digunakan dalam
suatu studi.

I. Lingkungan Penelitian

11
1. Di banyak Universitas Amerika Utara, mahasiswa peserta kuliah pengantar Psikologi
diwajibkan untuk menjadi subjek penelitian sebagai sebagian syarat kelas tersebut.
2. Orang Amerika sudah sangat terbiasa dan tidak asing dengan proses ini, namun orang dari
budaya lain barang kali tidak demikian, dan reaksi mereka dengan berada di lingkungan
penelitian itu sendiri dapat mengganggu perbandingan lintas budaya.

J. Response Set
1. Response set adalah kecenderungan cultural untuk member respon dengan cara – cara
tertentu terhadap tes atau skala repons yang lebih merupakan cermin dari kecenderungan
kultural dan bukan makna skala yang sebenarnya.
2. Ada budaya yang mendorong penggunaan respon yang ekstrim pada skala, ada yang
sebaliknya dan lebih mendorong respon disekitar “tengah – tengah” skala.
3. Subjek dari dua budaya bisa merespon dengan cara yang sama persis terhadap sebuah
kuesioner, hanya saja datanya terletak di bagian skala yang berbeda.
4. Persoalan mengenai response set, selain persoalan lain yang telah dibahas, menunjukkan
bahwa penelitian lintas budaya memiliki persoalan yang khas yang harus dihadapi agar
penelitian menjadi valid.
5. Mengenali dan memahami persoalan – persoalan ini tidak hanya penting untuk melakukan
penelitian lintas budaya, tapi juga sebagai langkah pertama dalam menghargai perbedaan
kultural yang tampak.

K. Kesimpulan
Salah satu tujuan paling penting psikologi adalah untuk memahami perilaku manusia. Psikologi
terutama mengandalkan penelitian ilmiah tentang manusia untuk mendapatkan pengetahuan
mengenai bagaimana dan mengapa manusia bertingkah laku. Semua kajian dalam psikologi
berlangsung dibawah kondisi-kondisi tertentu, dengan beberapa parameter dan keterbatasan
tertentu, karena memang demikianlah sifat setiap penelitian. Psikologi lintas budaya adalah
cabang psikologi yang terutama menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan
batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda.
Budaya adalah sebuah konsep yang cukup sulit didefinisikan secara formal. Dalam pengertian ini
budaya merupakan suatu konstruk individual –psikologis sekaligus konstruk sosial – makro. Ada
dua alasan mengapa isu – isu lintas budaya amat penting untuk dimasukan kedalam
pengetahuan tentang psikologi. Alasan utama yaitu terkait dengan filsafat ilmiah, alasan kedua
yaitu memasukkan isu-isu lintas budaya kedalam psikologi jauh lebih praktis. Saat ini psikologi

12
lintas budaya mengalami dilema dalam operasionalisasi metodologis budaya- yakni dalam
persoalan bagaimana budaya didefinisikan dan diukur dalam penelitian. Untuk melakukan
penelitian lintas budaya yang valid, tidak cukup hanya dengan mendapatkan sampel yang secara
memadai mewakili budya yang akan diteliti. Penting untuk disadari bahwa pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti itu sendiri tak bebas budaya alias “culture-bound”. Peneliti lintas – budaya
sering kali menggunakan prosedur terjemahan-balik (back – translation) untuk memastikan
kesetaraan tertentu dalam protokol mereka. Dalam prosedur ini, portokol dalam sebuah bahasa
diterjemahkan ke bahasa lain, dan kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa semula oleh
orang lain.

J. Latihan soal mandiri (quiz)


1. Stereotip merupakan cara pandang dan penafsiran terhadap orang lain dari kaca mata
kultural kita sendiri. (B / S)
2. Hipotesis tunggal meliputi pengetahuan yang menarik namun belum bisa disimpulkan. (B / S)
3. Menentukan kriteria apa yang bisa digunakan sebagai dasar untuk memutuskan apakah
jumlah sampel sudah memadai sebagai representasi budaya tersebut atau tidak. (B / S)
4. Di banyak Universitas Amerika Utara, mahasiswa peserta kuliah pengantar Psikologi
diwajibkan untuk menjadi subjek penelitian sebagai sebagian syarat kelas tersebut. (B / S)
5. Peneliti lintas – budaya jarang kali menggunakan prosedur terjemahan-balik (back –
translation) untuk memastikan kesetaraan tertentu dalam protokol mereka (B / S)

13
MATERI 2:
2: METODE PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

A. Perbandingan Lintas Budaya


Perbandingan lintas budaya merupakan studi yang dilakukan untuk membandingkan variabel
psikologis dari berbagai budaya.
1. Ekuivalen
Kesetaraan pada konsep serta metode yang digunakan oleh masing-masing budaya, sehingga
perbandingan lintas budaya menjadi bermakna. Jika tidak terdapat ekuivalensi, perbandingan
lintas budaya akan banyak mengandung bias.
a. Linguistic Equivalence
Penelitian lintas budaya kerap menggunakan bahasa yang beragam sehingga peneliti
perlu untuk membangun linguistic equivalen pada alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data seperti item pada kuisioner serta instruksi. Terdapat dua cara yang
dapat dilakukan guna mencapai linguistic equivalen yakni back translation (Brislin, 1970)
dan committee approach. Back translation dilakukan dengan mengalihbahaskan alat
pengumpulan data penelitian ke bahasa yang berbeda, kemudian di alihbahasakan
kembali ke bahasa asli. Dimana hasil sesudah dan sebelum dilakukan back translation
harus memiliki arti yang sama. Committee approach dilakukan dengan mengumpulkan
beberapa ahli bahasa yang nantinya akan mengartikan instrumen penelitian menjadi
bahasa yang telah disepakati.
b. Measurement Equivalence
Measurement equivalence terkait dengan sejauh mana pengukuran terhadap alat yang
digunakan dalam pengukuran lintas budaya memiliki validitas dan reliabilitas yang
setara. Validitas adalah kesesuaian alat ukur dengan apa yang diukur, sedangkan
reliabilitas adalah sejauh mana alat ukur memiliki hasil yang relatif sama pada budaya
yang berbeda. Setiap budaya memiliki arti yang berbeda terhadap sebuah konsep,
walaupun memiliki penulisan yang sama hal tersebut tidak dapat dikatakan memiliki arti
yang sama. Measurement Equivalence dapat dilakukan dengan metode statistic
menggunakan psychometric equivalence saat pengumpulan data melalui kuisioner.
Struktur yang digunakan pada berbagai budaya hendaknya sama. Selain itu dapat
menggunakan reliabilitas internal yakni masing-masing item pada kuisioner saling
terkait. Reliabilitas internal tinggi dapat diraih jika item pada kuisioner saling
berhubungan.

14
c. Cross-Cultural Validation Studies
Terkait dengan kebutuhan untuk mengadakan tes terkait reliabilitas dan validitas
pengukuran dalam berbagai budaya yang berbeda untuk dapat memastikan bahwa
pengukuran tersebut dapat diterapkan di berbagai budaya.
d. Sampling Equivalence
Terkait dengan apakah suatu sampel sudah merepresentasikan budaya mereka secara
tepat dan apakah sampel – sampel setara dengan variabel – variabel non kultural
demografis.
Para peneliti melakukan cara berikut untuk melakukan kontrol atas variabel non kultural
demografis tersebut :
- secara eksperimen mengontrol mereka dengan konstan menahan mereka pada
partisipan yang telah diseleksi dan,
- secara statistik mengontrol mereka melalui analisis data.
e. Procedural Equivalence
Berhubungan dengan prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada budaya
yang berbeda. Baik secara laboratorium atau lapangan, pagi atau malam, kuisioner atau
observasi akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda arti pada budaya yang berbeda.
Contoh : Banyak universitas di United States, mahasiswa sangat dianjurkan untuk
berpartisipasi sebagai subjek penelitian pemenuhan parsial dari rekruitmen kelas.
Banyak pelajar Amerika merupakan “research-wise”.
f. Theoretical Equivalence
Kesetaraan dalam pengertian kerangka teori diuji secara keseluruhan dan hipotesis
spesifik ditempatkan diurutan pertama. Data yang diperoleh tidak akan kompatibel jika
hal tersebut tidak setara antar kultur yang berpartisipasi pada penelitian, karena mereka
mengartikan lain. Sebaliknya, jika kerangka teori dan hipotesis setara antar kultur, maka
penelitian akan berarti dan relevan.

B. Bias Respon
Budaya yang berbeda memunculkan tipe bias respon yang berbeda. Bias respon adalah suatu
kecenderungan sistematis untuk merespon item atau skala dengan cara tertentu. Bias respon
menyebabkan kesulitan ketika akan membandingkan data antar budaya.
1. Beberapa tipe bias respon :
a. Socially desirable responding

15
Kecenderungan untuk memberikan jawaban yang membuat seseorang terlihat
baik. Tipe bias respon ini terdiri dari dua segi, yaitu :
• self-deceptive enhancement (melihat seseorang dalam sebuah sinar positif),
lebih bertautan dengan individu dengan budaya yang lebih individualistik.
• Impression management lebih bertautan dengan individu dengan orientasi
lebih kolektif.
b. Acquiescence bias
Kecenderungan untuk setuju daripada tidak setuju dengan item dalam kuisioner.
c. Extreme respon bias
Kecenderungan untuk menggunakan akhir dari skala tanpa menghiraukan
konten dari item.
d. Reference group effect
Ide ini berdasarkan dugaan bahwa orang – orang membuat perbandingan sosial
secara implisit dengan orang lain ketika membuat rating pada skala daripada
mempercayai kesimpulan sebenarnya mengenai privasi sistem penilaian
personal.

C. Menafsirkan dan Menganalisis Data dari Perbandingan Lintas Budaya


1. Efek Analisis Ukuran
Analisis ukuran, dalam pengujian perbedaan budaya dari variabel target, peneliti
sering menggunakan statistik inferensial seperti chi square atau analisis varian (ANOVA).
Statistik ini membandingkan perbedaan yang diamati antara kelompok dengan perbedaan
yang biasanya diharapkan atas dasar kebetulan saja dan kemudian menghitung probabilitas
bahwa hasilnya akan diperoleh semata-mata secara kebetulan. Perbedaan antara sarana
kelompok yang signifikan secara statistik, namun tidak dengan sendirinya memberikan
indikasi tingkat perbedaan praktis antara kelompok. Berarti kelompok yang berbeda secara
statistik meskipun jumlah individu yang terdiri dari dua kelompok menafsirkan perbedaan
kelompok adalah bahwa mereka menganggap kebanyakan orang dari kelompok-kelompok
berbeda dalam cara serta dengan nilai rata-rata.
Dengan demikian, jika perbedaan yang signifikan secara statistik ditemukan antara
Amerika dan Jepang, misalnya pada ekspresivitas emosional seperti yang orang Amerika
memiliki skor statistik signifikannya lebih tinggi dari Jepang, orang sering menyimpulkan
bahwa semua orang Amerika lebih expensive daripada Jepang. Prosedur statistik yang
tersedia yang membantu untuk menentukan sejauh mana perbedaan nilai rata-rata

16
mencerminkan perbedaan bermakna antara individu. Kelas umum statistik yang melakukan
hal ini disebut "Efek Ukuran Statistik". Ketika digunakan dalam setting lintas budaya,
Matsumoto dkk menyebutnya “Efek Ukuran Statistik Budaya” (Matsumoto, Grissom, &
Dinnel, 2001). Dengan statistik ini, peneliti dan konsumen dapat memiliki gagasan tentang
sejauh mana perbedaan budaya antar kelompok mencerminkan perbedaan antar individu
yang diuji, hal ini membantu memecahkan pandangan stereotype berdasarkan penemuan
perbedaan kelompok.
2. Efek Sebab vs Interpretasi Korelasional
Dalam pengujian hipotesis studi lintas budaya, kelompok budaya seringkali dijadikan
sebagai variabel independen dalam desain penelitian dan analisis data, hal ini menjadikan
studi ini sebuah kuasi eksperimen. Data dari studi-studi ini pada dasarnya bersifat
korelasional sehingga kesimpulan yang dapat ditarik dari data tersebut hanya kesimpulan
korelasional. Contohnya ketika peneliti membandingkan kelompok budaya Amerika dan
Jepang yang hasil penelitian eksperimental tersebut kemudian tidak dapat diterapkan dalam
setiap penelitian yang variabel utama nya adalah kelompok budaya. Hal ini dikarenakan
asumsi yang tidak masuk akal mengenai hubungan kausal antara keanggotaan dalam suatu
budaya dan variabel minat yang didasari oleh jenis kelamin, warna rambut, atau tinggi
badan.
3. Kekeliruan Atribusi Budaya
Jenis penafsiran keliru adalah untuk menunjukkan alasan spesifik mengapa
perbedaan budaya terjadi walaupun alasan spesifik tidak pernah diukur dalam penelitian ini.
Matsumoto dan Yoo (2006) menyebutnya “Kekeliruan Atribusi Budaya”, yang dapat terjadi
ketika peneliti mengklaim suatu perbedaan budaya antar kelompok tanpa memiliki justifikasi
empiris untuk melakukan nya.
4. Bias Peneliti
Kebanyakan peneliti pasti menginterpretasikan data yang mereka peroleh melalui
filter budaya mereka sendiri dan bias-bias ini dapat mempengaruhi interpretasi mereka
untuk berbagai derajat.
5. Berurusan dengan Data Nonequivalent
Meskipun upaya terbaik untuk membangun kesetaraan dalam teori, hipotesis,
metode, dan manajemen data, terkait dengan penelitian budaya, inheren, dan pasti
nonequivalen. Dengan demikian, peneliti sering dihadapkan dengan pertanyaan tentang
bagaimana untuk menangani data nonequivalent. Poortinga (1989) memaparkan empat cara
yang berbeda dimana masalah nonequivalent data lintas budaya dapat ditangani, yaitu:

17
a. Mengecualikan Perbandingan
Hal yang paling konservatif yaitu peneliti bisa tidak membuat perbandingan
ditempat pertama melainkan menyimpulkan bahwa itu akan menjadi tidak berarti.
b. Mengurangi Nonequivalent pada Data
Banyak peneliti mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi bagian yang
setara dan nonequivalent serta perbandingan mereka hanya pada bagian-bagian yang
setara. Sebagai contoh, jika seorang peneliti menggunakan skala 20 item untuk
mengukur kecemasan dalam dua budaya dan menemukan bukti untuk nonequivalence
pada skala, ia mungkin kemudian akan memeriksa masing-masing untuk 20 item
tersebut untuk kesetaraan dan menghitung kembali hanya dengan menggunakan item
yang terbukti setara.
c. Menafsirkan Nonequivalence
Strategi ketiga adalah untuk peneliti dalam menafsirkan nonequivalence sebagai
bagian penting dari informasi mengenai perbedaan budaya.
d. Mengabaikan Nonequivalence
Sebaiknya, apa yang banyak peneliti lintas budaya lakukan adalah hanya
mengabaikan masalah, memperkuat keyakinan mengenai skala invarian lintas budaya
meskipun kurangnya bukti untuk mendukung keyakinan mereka.

D. Studi Tingkat Ekologi


Studi tingkat ekologi menggunakan negara atau budaya sebagai unit analisis nya. Data dapat
diperolah dari individu-individu dalam budaya berbeda, tetapi data tersebut seringkali diringkas
dan dirata-ratakan untuk masing-masing budaya, dan rata-rata tersebut yang digunakan sebagai
titik data pada setiap budaya.
Studi tingkat ekologi merupakan bagian penting dari studi tahap II dalam psikologi lintas
budaya. Banyak peneliti lintas budaya menyadari betapa terbatasnya perbandingan lintas
budaya pada tahap I, karena hanya menunjukkan perbedaan antara dua kelompok budaya tidak
menunjukkan bahwa perbedaan terjadi karena perbedaan budaya di antara mereka. Setelah itu,
perbedaan antara dua kelompok budaya bisa terjadi karena banyak faktor, termasuk dan tidak
termasuk budaya. Dengan demikian, peneliti menjadi tertarik dalam mengidentifikasi jenis
dimensi psikologis yang mendasari budaya dalam rangka untuk lebih memahami budaya pada
tingkat subjektif dan menjelaskan perbedaan yang lebih baik ketika diamati dalam penelitian.

E. Cultural Studies

18
Setelah mengidentifikasikan dimensi kebudayaan dari keragaman, seperti disebutkan diatas,
bidang ini mulai menggunakan dimensi-dimensi ini dalam menciptakan teori yang lebih rumit
dan menarik tentang bagaimana dimensi kebudayaan yang menghasilkan perbedaan dan
mengapa itu terjadi. Sejauh ini, dimensi yang paling luas digunakan adalah Individualisme vs
Collectivisme. Perkembangan ini memacu penelitian-penelitian tentang kebudayaan yang terdiri
dari fase III dari evolusi penelitian lintas budaya. Penelitian tentang budaya diartikan dengan
banyak sekali deskripsi dari teori-teori kompleks lintas budaya yang memprediksikan dan
menjelaskan perbedaan dalam hal kebudayaan. Salah satu contoh penelitian yang dilakukan
tentang ini adalah Mesquita (Mesquita,2001; Mesquita & Karasawa,2002), yang menjelaskan
bagaimana sistem kebudayaan memproduksi konsep yang berbeda tentang diri, yang kemudian
memproduksikan tipe-tipe berbeda dari masalah yang spesifik. Menurut pandangannya,
kebudayaan individualistic mendorong perkembangan dari kesadaran independen dari diri yang
mendorong perhatian pada permasalahan pribadi dan pandangan bahwa tanda emosi internal,
perasaan yang subjektif dan budaya kolektivis secara jelas mendorong perkembangan dari
kesadaran yang bergantung dari diri yang mendorong perhatian pada nilai sosial seseorang dan
nilai sosial pada kelompoknya, dan gagasan bahwa emosi merefleksikan sesuatu tentang
hubungan interpersonal.
F. Linkage Studies
Seperti yang telah disebutkan diatas, penelitian tentang budaya adalah langkah pasti kearah
bidang psikologi karena penelitian-penelitian ini menunjukkan kekayaan, kompleksitas, dan
pengaruh yang luas dari budaya dalam susunan dari proses psikologi yang luas. Oleh karena itu,
ini sangat penting dalam evolusi penelitian lintas budaya. Namun, tetap saja terbatas, karena
dalam beberapa situasi, kebanyakan penelitian tentang budaya tidak menghubungkan kerangka
teori tentang kebudayaan tersebut dengan fenomena psikologis di dalam penelitiannya untuk
menunjukkan bahwa kerangka tersebut benar-benar tekait secara empiris kepada proses
psikologi dan mempengaruhinya dalam sebuah hipotesis. Contohnya, Iwata dan Higuchi (2000),
membandingkan siswa Jepang dan Amerika menggunakan State-Trait Anxiety Inventory (STAI)
(Spielberger & Syderman, 1994), dan melaporkan bahwa siswa Jepang lebih kurang dalam
mengatakan tentang perasaan positif dan lebih banyak mengatakan tentang kecemasan
daripada Siswa Amerika. Permasalahan dari interpretasi ini adalah tidak adanya faktor yang
disediakan untuk menghubungkan perbedaan negera dalam kecemasan dimana sebenarnya
diukur dalam penelitian dan dikaitkan kepada perbedaan yang didapat dari observasi. Terdapat
2 tipe dari lingkage studies yang digunakan dalam bidang ini sekarang:
1. Unpackaging Studies

19
Unpackaging studies adalah kelanjutan dari perbandingan lintas budaya dasar, tetapi
termasuk pengukuran terhadap variable yang menilai isi dari sebuah budaya yang dianggap
untuk memproduksi perbedaan dalam variable yang dibandingkan lintas budaya. Dalam tipe
ini, budaya sebagai variable yang tidak ditentukan diganti dengan variable yang lebih spesifik
supaya dapat menjelaskan dengan jelas perbedaan kebudayaan.
a. Individual-Level Measures of Culture
Merupakan pengukuran yang menilai dimensi psikologis yang terkait dengan dimensi
yang bermakna dari keragaman budaya dan dikerjakan perseorangan. Contoh:
Oyserman, Coon, and Kemmelmeier (2002) mengadakan penelitian menggunakan meta-
analisis terhadap 83 penelitian yang menguji tentang perbedaan kelompok dalam
Individualism dan Collectivism (IC) dan kontribusi yang mungkin dari IC kepada proses
psikologis yang bervariasi. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa orang Eropa-
Amerika lebih individualistis dan sangat minim kolektivisnya dibandingkan yang lain
secara umum. Tetapi mereka tidak lebih individualis dibandingkan Afrika-Amerika atau
Latin, ataupun lebih tidak kolektivis dibanding Orang Jepang atau Korea, yang
bertentangan dengan stereotype yang berkembang secara umum dalam masyarakat.
b. Self-Construal Scales
Terpacu dengan kerangka IC, Markus dan Kitayama (1991) mengusulkan bahwa budaya
individualis dan kolektivis berbeda dalam dalam jenis-jenis dari konsep diri yang
ditumbuhkan, dengan budaya individualis mendorong perkembangan dari pembentukan
diri independen, dan budaya kolektivis mendorong perkembangan dari pembentukan
diri interdependen (bergantung). Menggunakan skala ini, Singelis, Bond, Sharkey dan Lai
(1999) menunjukkan bahwaperbedaan kebudayaan dalam kepercayaan diri dan malu
dikaitkan kepada perbedaan individual dalam tipe-tipe pembentukan diri.
c. Personality
variabel apapun yang dianggap berbeda dalam tingkat budaya dan mungkin dianggap
bisa mempengaruhi proses psikologi dapat digunakan sebagai variabel konteks,
contohnya adalah kepribadian. Contohnya, Matsumoto (2006a) mengukur regulasi
emosi – kemampuan yang harus di modifikasi oleh individu dan menyalurkan emosi
mereka – di USA dan Jepang, dan menunjukkan keberadaan dari perbedaan dalam
kebudayaan dalam regulasi emosi. Ia juga mengukur beberapa sifat kepribadian dan
menunjukkan bahwa kepribadian yaitu extraversion, neuroticism, dan kehati-hatian
dikaitkan kepada regulasi emosi, dan menjelaskan perbedaan budaya di dalamnya.
d. Cultural Practices

20
Tipe penting yang lain dalam variable konteks yang penting dalam mengaitkan penelitian
adalah yang menilai penerapan kebudayaan seperti pengasuhan anak, sifat hubungan
interpersonal, atau pandangan umum tentang budaya. Heine dan Renshaw (2002),
menunjukkan bahwa Orang Amerika dan Jepang berbeda dalam hal menyukai orang
lain, dan perbedaan dalam menyukai tersebut di kaitkan kepada perbedaan penerapan
budaya. Orang Amerika menyukai orang yang mereka anggap memiliki kemiripan
dengan mereka atau memiliki pandangan yang serupa. Untuk Orang Jepang, menyukai
orang yang terkait dengan keluarga dan ketergantungan terhadap orang lain.
2. Eksperimen
Jenis utama lain dari studi linkage adalah eksperimen. Eksperimen adalah studi dimana
peneliti menciptakan kondisi untuk membuktikan hubungan sebab akibat. Partisipan
ditugaskan secara acak untuk berpatisipasi dalam sebuah kondisi, dan kemudian peneliti
membandingkan hasil dari kondisi tersebut.

Ada berbagai jenis eksperimen yang dilakukan dalam psikologi lintas budaya saat ini, yaitu :
1. Priming studies
Studi yang melibatkan eksperimen untuk memanipulasi pola pikir partisipan dan
mengukur perubahan yang dihasilkan dalam perilaku. Jika partisipan melakukannya,
para peneliti dapat menyimpulkan bahwa pola pikir budaya prima menyebabkan
perbedaan yang dapat diamati dalam perilaku, sehingga memberikan hubungan antara
produk budaya (pola pikir) dan proses psikologis (perilaku).
2. Behavior studies
Eksperimen yang melibatkan manipulasi lingkungan yang sebenarnya dan pengamatan
perubahan perilaku sebagai fungsi dari lingkungan.
G. Kesimpulan
Penelitian adalah salah satu cara yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk menghasilkan
pengetahuan tentang dunia. Salah satu penelitian yang dilakukan adalah penelitian lintas
budaya. Studi ini bertujuan untuk membandingkan variable psikologis dari berbagai budaya,
menguji batas-batas pengetahuan dalam psikologi dan perilaku manusia, dapat mendorong
pengetahuan dan pemahaman tentang individu. Namun, penelitian ini kerap mengalami
kendala terkait dengan tingkat validitas penelitian akibat bias respon serta interpretasi yang
tepat dari temuan. Para peneliti lintas budaya hendaknya memerhatikan tingkat kesetaraan dari
masing-masing budaya seperti bahasa, pengukuran, validitas, sample, prosedur, dan teori yang
digunakan. Sehingga penelitian yang dilakukan dapat bermakna.

21
Fase penelitian dalam sejarah lintas budaya, yaitu cross cultural comparison pada fase I,
ecological level studies pada fase II, cultural studies pada fase III, dan linkage studies pada fase
IV. Unit analisis dari cross cultural comparison, cultural studies, dan linkage studies adalah
individu, dan ecological level studies adalah budaya. Dasar metodelogi dari cross cultural
comparison adalah partisipan dari dua atau lebih budaya diukur variable psikologis yang menarik
dan responnya dibandingkan satu sama lain, dalam ecological level studies data budaya dari
rata-rata respon anggota masing-masing budaya atau data yang berkaitan dengan budaya
dibandingkan satu sama lain, dalam cultural studies kerangka teori mencoba untuk menjelaskan
mengapa perbedaan dapat terjadi dalam satu tempat, dan linkage studies memperkirakan
aspek-aspek tertentu dari budaya yang menghasilkan perbedaan yang dapat diukur maupun
dimanipulasi dan secara empiris terkait dengan variable psikologis. Keterbatasan pendekatan
dari cross cultural comparison adalah tidak bisa memastikan dari aspek budaya apa, jika ada
perbedaan, dalam ecological level studies temuan tingkat budaya mungkin tidak berlaku pada
tingkat individu, cultural studies tidak bisa memastikan bahwa proses budaya yang terkait
dengan kerangka teoritis apakah bisa diperhitungkan perbedaannya, dan linkage studies tidak
bisa memastikan bahwa aspek tertentu lainnya dari budaya mungkin bisa dijelaskan dengan
perbedaan yang diamati atau hubungan sebab akibat dalam hipotesis arah. Perbedaan variable
psikologis mungkin menyebabkan perbedaan dalam aspek-aspek tertentu dari budaya. Dengan
demikian, penelitian lintas budaya di masa depan perlu untuk memasukkan data tingkat ekologi,
teori budaya, dan variable linkage secara bersamaan, pada tingkat yang berbeda dari analisis
untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan dalam proses mental dan perilaku.

22
H. Latihan soal mandiri (quiz)
1. Committee approach adalah sebuah metode yang digunakan untuk mencapai language
equivalence dengan mengartikan kuisioner ke bahasa lain dan kembali mengartikannya ke
bahasa asli hingga memiliki arti yang sama (B/S)
2. Socially desirable responding adalah kecenderungan untuk setuju daripada tidak setuju
dengan item dalam kuisioner. (B/S)
3. Pengujian hipotesis lintas budaya menggunakan negara atau budaya sebagai unit analisis,
sedangkan studi tingkat ekologi menggunakan individu sebagai unit analisisnya (B/S)
4. Kepribadian merupakan variabel yang termasuk dalam level kebudayaan yang dapat
mempengaruhi proses psikologis (B/S)
5. Priming studies melibatkan eksperimen untuk memanipulasi pola pikir partisipan dan
mengukur perubahan yang dihasilkan dalam perilaku dan behavior studies melibatkan
manipulasi lingkungan yang sebenarnya dan pengamatan perubahan perilaku sebagai fungsi
dari lingkungan. (B/S)

23
MATERI 3:
3: ENKULTURASI
ENKULTURASI

A. Enkulturasi dan Sosialisasi


1. Sosialisasi
adalah proses dimana kita belajar dan menginternalisasi aturan dan pola perilaku yang
dipengaruhi oleh budaya. Proses ini kadang memerlukan waktu yang panjang, melibatkan
proses belajar dan menguasai norma-norma sosial dan budaya, sikap, nilai-nilai, dan sistem
kepercayaan. Beberapa orang percaya bahwa temperamen biologis dan kecenderungan
yang kita bawa sejak lahir sebenarnya bagian dari proses sosialisasi.
2. Enkulturasi
adalah proses di mana anak-anak belajar dan mengadopsi cara-cara dan perilaku dalam
budaya mereka.
3. Perbedaan Sosialisasi dan Enkulturasi
Sosialisasi umumnya lebih mengacu pada proses yang sebenarnya dan mekanisme dimana
orang mempelajari aturan masyarakat dan budaya. Enkulturasi umumnya mengacu pada
produk dari proses sosialisasi - yang subjektif, yang mendasari, aspek psikologis dari budaya
yang menjadi diinternalisasikan melalui pengembangan.
4. Agen dari Sosialisasi dan Enkulturasi
adalah orang-orang, lembaga, dan organisasi yang ada untuk membantu memastikan bahwa
sosialisasi (atau enkulturasi) terjadi. Yang paling pertama dan paling penting dari agen
tersebut adalah orang tua, dimana mereka membantu menanamkan adat istiadat dan nilai-
nilai budaya pada anak-anak mereka dan memperkuat adat serta nilai-nilai tersebut. Selain
orang tua, saudara kandung, keluarga besar dan teman sebaya juga penting dalam sosialisasi
dan enkulturasi.

5. Bronfenbrenner (1979) berpendapat bahwa perkembangan manusia adalah proses interaktif


yang dinamis antara individu dan lingkungan mereka pada beberapa tingkatan. Ini termasuk:
a. Microsystem :
yang berinteraksi langsung dengan orang-orang disekitarnya seperti keluarga,
sekolah, dan kelompok sebaya.
b. Mesosystem :
keterkaitan antara Microsystems, seperti antara sekolah dan keluarga
c. Exosystem :

24
konteks yang secara tidak langsung mempengaruhi anak-anak , seperti tempat kerja
orang tua
d. Macrosystem :
budaya, agama, masyarakat.

B. Parenting and Families


1. Penelitian Whiting and Whiting – Children of Six Culture
mengumpulkan data dari Mexico, India, Kenya, Amerika Serikat, Okinawa dan Fillipina.
Mereka berfokus pada sebuah project yaitu untuk mengerti bagaimana anak dibesarkan dan
perilaku anak di kultur yang memiliki konteks berbeda. Dari observasi mereka mendapatkan
hasil bahwa perilaku social anak dapat dideskripsikan dalam beberapa dimensi mulai dari
Nurturant Responsible (peduli dan berbagi) ke Dependent - Dominant (mencari pertolongan
dan menegaskan dominansi) dan Sociable-Intimate (bersikap ramah) serta Authoritarian-
Aggressive (bersikap agresif). Contohnya, pada keluarga dimana kedua orang tua bekerja
sama untuk membesarkan anak akan lebih mudah bersosialisasi sedangkan jika kedua orang
tunya terpisah dalam pengasuhan, maka anak akan lebih agresif nantinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variasi dalam lingkungan budaya (ekonomi atau pekerjaan wanita)
berhubungan dengan adanya variasi dalam pola pengasuhan anak dan tumbuh kembang
anak
2. Parenting Goals and Belief
a. Tujuan pengasuhan yang dimiliki orang tua
Parenting memiliki banyak dimensi yaitu tujuan dan keyakinan bahwa orang tua
memegang anak-anak mereka, gaya umum dari pengasuhan orang tua yang dipilih,
dan perilaku tertentu yang mereka gunakan untuk mewujudkan tujuan mereka.
Tujuan yang dimiliki orang tua untuk perkembangan anak mereka didasarkan pada
konteks pengasuhan dan perilaku dari masing-masing nilai-nilai budaya tertentu
b. Keyakinan orang tua mengenai peran mereka sebagai pengasuh
Rentang keyakinan orangtua akan tercermin dalam jenis dan tingkat keterlibatan
dalam pengasuhan anak-anak, seperti apakah atau tidak ibu akan mengirimkan
pengetahuan budaya oleh verbalisasi atau pengharapkan anaknya untuk belajar
terutama oleh observasi dan imitasi.
3. Gaya Pengasuhan
Baumrind (1971) telah mengidentifikasi tiga pola utama orangtua :
a. Authoritarian

25
dimana orang tua bersikap otoriter. Perintah atau perkataan dari orang tua tidak
boleh dibantah dan berpikir bahwa anak perlu dikontrol. Anak-anak dari orang tua
yang otoriter yang ditemukan lebih cemas dan menarik diri, kurang spontanitas dan
rasa ingin tahu intelektual.
b. Permissive
dimana orang tua lebih hangat dan mengasuh anak mereka dengan manja, selain itu
anak diperbolehkan untuk mengatur hidup mereka sendiri. Anak-anak dari orang tua
permisif cenderung tidak dewasa; mereka memiliki kesulitan mengendalikan
dorongan mereka dan bertindak secara independen.
c. Authoritative
yaitu dimana orang tua sensitif dengan kedewasaan anak mereka serta bersikap
tegas, adil dan wajar. Mereka juga memberikan kehangatan dan afeksi yang tinggi
terhadap anak mereka. Gaya ini paling sering digunakan. Remaja dengan orang tua
autoritatif cenderung memiliki harga diri lebih tinggi, menunjukkan prestasi yang
lebih tinggi di sekolah, dan lebih sosial dan moral dewasa
Peneliti lain (Maccoby & Martin, 1983) telah mengidentifikasi jenis keempat gaya
pengasuhan yaitu Uninvolved dimana orang tua hanya berfokus pada kehidupan mereka
sendiri dan tidak langsung merespon pada kebutuhan anak dan terkesan acuh tak acuh atau
bisa dikatakan mengabaikan. Anak-anak dari orang tua yang “uninvolved” bisa menjadi yang
terburuk, menjadi tidak patuh dan menuntut.
4. Parenting Behavior and Stategies
Perbedaan perilaku pengasuhan lintas budaya dan sejauh mana perbedaan pengasuhan
berkontribusi dengan perbedaan budaya pada berbagai konstruksi psikologis
Penelitian lintas budaya tidak hanya menunjukkan perbedaan budaya dalam perilaku
orangtua, tetapi juga mendokumentasikan banyak kesamaan budaya. Semua penelitian
menunjukkan bahwa gaya pengasuhan cenderung kongruen dengan tujuan-tujuan
pembangunan yang ditentukan oleh budaya dimana perbedaan budaya dalam nilai-nilai
tertentu, keyakinan, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk kelangsungan hidup
berhubungan dengan tujuan-tujuan pembangunan yang berbeda sehingga anggota
masyarakat dapat dapat berkembang dan melaksanakan pekerjaan budaya yang relevan
terkait dengan kelangsungan hidup. Tampaknya bahwa semua orang adalah sama dalam
proses perkembangan dimana mereka dirancang untuk memenuhi tujuan budaya, namun
dalam sifat spesifik tujuan tersebut perbedaan budaya dalam pengasuhan mencerminkan
faktor-faktor sosial lain juga, seperti situasi ekonomi keluarga.

26
5. Keragaman dalam pengasuhan sebagai fungsi ekonomi
Pengasuhan dan cara membesarkan anak terjadi dalam kondisi ekonomi yang sangat
berbeda di berbagai negara dan budaya. Kondisi budaya dan ekonomi yang berbeda
dimediasi keputusan perempuan untuk bekerja. Jika masyarakat memiliki tingkat tinggi
kematian bayi, upaya orangtua dapat berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan fisik
dasar. LeVine (1977) mengatakan bahwa lingkungan pengasuhan mencerminkan
seperangkat tujuan yang telah disusun sesuai kepentingan. Pertama adalah kesehatan fisik
dan kelangsungan hidup. Berikutnya adalah promosi perilaku yang akan menyebabkan
kepercayaan terhadap diri sendiri. Terakhir adalah perilaku yang mempromosikan nilai-nilai
budaya lainnya, seperti moralitas dan prestise.
6. Saudara
Zukow-Goldring (1995) menyatakan bahwa banyak perilaku dan keyakinan dari kelompok
sosial disalurkan melalui saudara. Saudara dapat memenuhi beberapa peran seperti, tutor,
teman, teman bermain maupun pengasuh. Di berbagai budaya, saudara yang lebih tua
biasanya akan mengasuh saudaranya yang lebih muda. Tanggung jawab yang terlibat dalam
pengasuhan dipandang sebagai tempat pelatihan bagi saudara untuk menjadi saling
tergantung satu sama lain di masa dewasa. Apa yang didapatkan melalui interaksi dengan
saudara dapat mempengaruhi hubungan anak dengan teman lainnya.
7. Keluarga Besar
Extended Family berperan penting untuk menurunkan dan menanamkan nilai budaya dari
generasi ke generasi, berbagi sumber daya, dukungan emosional, dan pengasuhan. Dalam
keluarga besar, meskipun ibu masih dipandang sebagai pengasuh utama, anak-anak sering
mengalami interaksi dengan ayah, kakek-nenek, wali, saudara, dan sepupu. Berbagi rumah
tangga dengan kerabat, karakteristik keluarga besar, dipandang sebagai cara yang baik untuk
memaksimalkan sumber daya keluarga untuk anak sukses membesarkan. Misalkan Keluarga
Hispanik dan Filipina melihat wali sebagai model penting bagi anak-anak, dan sebagai
sumber dukungan untuk orangtua.

C. Culture and Peers


1. Margaret Mead (1978) mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya dengan level pengaruh
teman sebaya yang berbeda.
a. Postifigurative
dimana budaya berubah dengan lambat, sosialisasi dilakukan oleh para orang tua
yang menurunkan pengetahuan mereka kepada anak mereka.

27
b. Configurative
dimana budaya berubah lebih cepat. Orang tua masih menurunkan pengetahuan
mereka, tetapi teman sebaya memiliki peran yang lebih besar.
c. Prefigurative
dimana budaya berubah sangat cepat. Pengetahuan orang tua dianggap tidak cukup
dan orang tua akan meminta anak yang lebih muda untuk memberikan pengetahuan
atau mencari solusi.
2. Paparan dari Kelompok Sebaya
Para peneliti mempelajari bagaimana keterbukaan anak kepada teman sebaya mereka. Di
Negara industri, anak-anak banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya mereka.
Anak-anak yang tumbuh di pemukiman pertanian memiliki keterbatasan dalam berinteraksi
dengan teman bermain yang potensial. Sedangkan anak-anak yang tumbuh dalam
masyarakat berburu akan bersosialisasi oleh teman-teman dari berbagai usia.
3. Friendship
Dalam persahabatan, anak-anak belajar cara budaya negosiasi, timbal balik, kerjasama, dan
sensitivitas interpersonal. Davis dan Davis (1989) mempelajari persahabatan remaja di
Zawiya, Maroko, dan menemukan bahwa salah satu tujuan utama dari persahabatan di
budaya ini adalah untuk belajar tentang membangun "kepercayaan". Sedangkan, remaja
Maroko menekankan bahwa berbagi, menahan diri dari gosip, mengurus reputasi mereka,
dan tidak menjadi pengaruh buruk pada teman-teman mereka merupakan hal penting
dalam persahabatan mereka.

D. Culture and Daycare


1. Variasi dari tempat penitipan anak
Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda mengenai day care. Di Amerika Serikat,
ada kontroversi mengenai apakah penitipan anak harus menjadi tanggung jawab publik atau
pribadi. Banyak pengasuh tidak menerima pelatihan khusus untuk mengajar dan mayoritas
rumah penitipan yang tanpa izin. Oleh karena itu, tidak ada pemantauan untuk memastikan
bahwa anak-anak menerima perawatan yang berkualitas tinggi. Sebaliknya, orang tua seperti
di Israel, berpendapat bahwa semua warga negara harus berbagi tanggung jawab
membesarkan dan mendidik anak-anak. Rosenthal (1992) menunjukkan bahwa kebanyakan
orang tua Israel percaya bahwa tepat dan penting anak-anak untuk berinteraksi dalam
kelompok teman sebaya mereka dan tidak berdiam di rumah.
2. Daycare dan Perkembangan Anak

28
Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa day care berkualitas rendah dapat merusak
kemampuan sosial dan intelektual anak. Sebaliknya, penitipan berkualitas tinggi dapat
meningkatkan perkembangan anak, terutama bagi mereka yang berasaldari SES rendah.

E. Culture and Education


1. Perbedaan Lintas Nasional dalam pencapaian di bidang Matematika
Banyak penelitian dari lintas nasional dan lintas budaya yang berfokus pada prestasi dalam
bidng matematika. Mempelajari matematika menempati tempat yang spesial dalam
memahami budaya, sosialisasi dan sistem edukasi. Matematika sangat penting dalam
mengembangkan sains di masyarakat. Menurut Stigler dan Baranes (1988), kemampuan
matematika tidak dibentuk secara logika atas dasar dari stuktur kognitf yang abstrak, tetapi
lebih tertempa dari kombinasi pengetahuan dan skill sebelumnya (yang memang sudah
didapatkan) dan masuknya budaya baru. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata murid
di Amerika jauh dibawah dibandingkan anak-anak dari Asia seperti Jepang, Korea dan Cina.
Untuk mengetahui penyebab perbedaan ini, Geary (1996) mengatakan adanya perbedaan
antara kemampuan primer dan sekunder. Kemampuan primer, dimana semua orang berbagi
kemampuan matematika yang terbentuk karena adanya proses evolusi. Sedangkan untuk
kemampuan sekunder adalah kemampuan yang tidak didapat secara alami yang sebagian
besar didasari oleh kemampuan primer.
2. Faktor Sosial dan Budaya yang mempengaruhi pencapaian dalam bidang matematika
Perbedaan lintas nasional dalam pencapaian dalam matematika berhubungan dengan
kemampuan sekunder daripada primer, yang menunjukkan bahwa factor sosial dan budaya
memainkan peran penting dalam perbedaan tersebut.
a. Bahasa
Stingler, Lee dan Setevenson (1986) mengatakan adanya perbedaan kemampuan
matematika pada anak di Jepang, Cina dan Amerika dipengaruhi karena adanya
perbedaan fungsi dalam bahasa Cina, Jepang dan Inggris yang berhubungan dengan
menghitung dan angka. Anak didaerah Asia membuat lebih sedikit kesalahan dan
lebih baik dalam memahami konsep dasar matematika yang berhubungan dengan
berhitung dan angka.
b. Sistem Sekolah
Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang hal apa yang dianggap
penting. Dengan adanya perbedaan itu, maka sistem edukasi memperkuat
pandangan tertentu tentang kognisi dan intelegensi. Dalam masyarakat industri,

29
guru dianggap sebagai orang yang memberikan edukasi, berbeda dengan budaya
lain dimana untuk pendidikan formal maka dibentuk sebuah kelompok kecil yang
dipimpin oleh orang yang lebih tua dan di budaya lain merupakan tugas bagi sebuah
keluarga.
c. Nilai dari Pengasuhan dan Keluarga :
Cara pengasuhan orang tua dipercaya mempengaruhi kemampuan matematika
anak. Contohnya, orang tua di Amerika lebih befokus pada kemampuan daripada
usaha, sebaliknya orang Jepang lebih menghargai usaha daripada kemampuan.
Kepercayaan terhadap kemampuan daripada usaha membuat adanya penilaian
bahwa anak itu terbatas akan kemampuan yang mereka miliki.
d. Sikap dan Penghargaan :
Adanya penelitian tentang perbedaan budaya antara orang Asia dan Asia Amerika
tentang hubungan dalam test kegelisahan, konsep diri dan persepsi murid tentang
dukungan orang tua. Hasilnya, anak Asia Amerika lebih mementingkan bagaimana
cara menyenangkan orang tua mereka dengan beban yang cukup besar tetapi juga
dengan dukungan yang seimbang.
e. Gaya guru mengajar dan hubungan antara murid dan guru :
Perbedaan penggunaan ruang kelas dapat menjelaskan beberapa perbedan
kemampuan matematika. Contohnya di Jepang, anak-anak lebih banyak
menghabiskan waktu dikelas untuk belajar ditemani oleh gurunya daripada anak-
anak di Amerika yang jumlah waktu belajarnya lebih sedikit dan tanpa pengawasan
dari gurunya. Yang menajdi sorotan dalam pembelajaran ini dimana hadir setiap hari
dalam hubungannya dengan gaya pengajaran, ekspektasi dan sikap sebenarnya
mungkin dapat menjelaskan mengapa adanya perbedaan ini.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa perbedaan dalam pencapaian akademik ini
dipengaruhi oleh banyak factor social dan budaya. Tidak ada satupun penelitian yang
mengatakan bahwa satu faktor bisa menjelaskan seluruh perbedaan, melainkan kombinasi
dari semua faktor diatas. Kemampuan siswa dalam berbagai mata pelajaran dengan budaya
yang berbeda merupakan perpaduan dari keyakinan, kemampuan, pengalaman dan
dinamika keluarga. Bagaimana pendidikan dapat mempengaruhi enkulturasi dapat dilihat
dari sikap orangtua dan anak, praktisi edukasi dan kurikulum serta perilaku guru. Mereka
menanamkan pentingnya pengetahuan akan budaya dimana siswa sebagai anggota dari
masyarakat yang berbudaya dan memainkan peran yang besar serta membantu dalam
menyebarkan informasi tentang budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

30
F. Religion
Lembaga kegamaan membantu dalam membuat aturan tentang sikap, mempersiapkan anak
untuk peran yang akan mereka mainkan sebagai laki-laki maupun perempuan dan membantu
orang untuk membentuk identitas dirinya. Selain itu, komunitas keagamaan juga memberi
dukungan dalam perkembangan anak, menumbuhkan rasa memiliki dan penegasaan atas
penghargaan diri. Agama merupakan pengalaman manusia yang dapat memberikan bimbingan,
struktur dan bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam berbagai aspek. Contohnya,
keluarga yang tinggal di Inggris menggunakan agama dan praktik keagamaan dalam kehiudapan
sehari-hari untuk meneruskan nilai-nilai dan bahasa budaya mereka kepada anak mereka Agama
memegang peran penting dalam perkembangan dan mempertahankan identitas personal
mereka. Tetapi masih harus diindentifikasi lagi apa keterkaitan antara agama dengan budaya
dan bagaimana mereka bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak, gaya pengasuhan serta
kepercayaan dalam sebuah keluarga.

G. Kesimpulan
Enkulturasi adalah proses sebuah budaya atau kelompok orang didalam suatu budaya
menurunkan atau mewariskan budaya ke anggota barunya sehingga memungkinkan si anak
bereprilaku sesuai dengan yang diharapkan dari budayanya, sedangkan sosialisasi adalah proses
individu mulai belajar dan diajar, menyesuaikan diri dengan unsur-unsur kebudayaan yang
dimulai dari lingkungan keluarga dan makin meluas sehingga membutuhkan waktu yang lebih
lama. Dalam memastikan sudah terjadinya sosialisasi dan enkulturasi dibantu oleh agen yaitu
oran-orang, lembaga maupun organisasi.
Terdapat penelitian yang bernama The Six Culture yang hasilnya menunjukkan bahwa variasi
dalam lingkungan budaya berhubungan dengan adanya variasi dalam pola pengasuhan anak dan
tumbuh kembang anak. Tujuan dari pengasuhan oleh orang tua terhadap perkembangan anak
didasarkan pada pengasuhan dan perilaku dari masing-masing nilai-nilai budaya tertentu,
sedangkan untuk rentang keyakinan orangtua akan tercermin dalam jenis dan tingkat
keterlibatan dalam pengasuhan anak-anak
Telah diidentifikasi terdapat empat gaya pengasuhan yaitu : Authoritarian yaitu perintah atau
perkataan dari orang tua tidak boleh dibantah dan merasa anak perlu dikontrol. Permissive
dimana orang tua lebih hangat dan mengasuh anak mereka dengan manja. Authoritative yaitu
dimana orang tua sensitif dengan kedewasaan anak mereka serta bersikap tegas, adil dan wajar.
Mereka juga memberikan kehangatan dan afeksi yang tinggi, Uninvolved dimana orang tua

31
hanya berfokus pada kehidupan mereka sendiri dan tidak langsung merespon pada kebutuhan
anak.
Terdapat tiga tipe budaya dengan level pengaruh teman sebaya yang berbeda. Postifigurative
dimana budaya berubah dengan lambat, sosialisasi dilakukan oleh para orang tua yang
menurunkan pengetahuan mereka kepada anak mereka. Configurative dimana budaya berubah
lebih cepat. Orang tua masih menurunkan pengetahuan mereka, tetapi teman sebaya memiliki
peran yang lebih besar. Prefigurative dimana budaya berubah sangat cepat. Pengetahuan orang
tua dianggap tidak cukup dan orang tua akan meminta anak yang lebih muda untuk memberikan
pengetahuan atau mencari solusi. Selain itu, pertemanan merupakan saran yang penting dalam
semua budaya. Pertemanan ini mengajarkan anak untuk saling bernegosiasi, timbal balik
(berbagi), serta kerja sama.
Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda mengenai day care dan masih harus ada
pemantauan untuk memastikan bahwa anak-anak menerima perawatan yang berkualitas tinggi.
day care berkualitas rendah dianggap dapat merusak kemampuan sosial dan intelektual anak.
Sedangkan, penitipan berkualitas tinggi dapat meningkatkan perkembangan anak, terutama bagi
mereka yang berasaldari SES rendah
Edukasi adalah hal penting dalam instruksi mekanisme formal di banyak budaya dan social.
Mempelajari matematika sangat penting dalam mengembangkan sains di masyarakat. Banyak
penelitian dari lintas negara dan lintas budaya yang berfokus pada prestasi dalam bidang
matematika. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata murid di Amerika jauh dibawah
dibandingkan anak-anak dari Asia. Perbedaan lintas nasional dalam pencapaian akademik tidak
bisa dijelaskan oleh factor biologis dari budaya yang berbeda. Tidak ada satupun penelitian yang
mengatakan bahwa satu faktor bisa menjelaskan seluruh perbedaan, melainkan kombinasi dari
semua faktor diatas.
Agama merupakan pengalaman manusia yang dapat memberikan bimbingan, struktur dan
bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam berbagai aspek. Lembaga kegamaan
membantu dalam membuat aturan tentang sikap, mempersiapkan anak untuk peran yang akan
mereka mainkan sebagai laki-laki maupun perempuan dan membantu orang untuk membentuk
identitas dirinya.

32
H. Latihan soal mandiri (quiz)
1. Di Negara industri, anak-anak banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya
mereka. Anak-anak yang tumbuh di pemukiman pertanian memiliki keterbatasan dalam
berinteraksi dengan teman bermain yang potensial. (B/S)
2. Proses belajar dan menginternalisasi aturan dan pola perilaku yang dipengaruhi oleh
budaya disebut enkulturasi (B/S)
3. Berdasarkan pada penelitian lintas budaya yang ada, menunjukkan perbedaan dan
persamaan antar budaya dalam gaya pengasuhan dan pemeliharaan anak (B/S)
4. Agama merupakan pengalaman manusia yang dapat memberikan bimbingan, struktur
dan bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam berbagai aspek. (B/S
5. Cara orang tua memperlakukan anak sangat menentukan pemahaman nilai budaya bagi
anak tersebut, namun tidak mempengaruhi kepribadian dari anak tersebut (B/S)

33
MATERI 4:
4: BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGAN

A. Budaya dan Tempramen


Beberapa orang percaya bahwa temperamen dan disposisi kita bawa sejak lahir ke dunia kecuali
bagian dari proses sosialisasi. Karakteristik yang kita bawa sejak lahir menentukan sampai batas
tertentu bagaimana beraaksi dan berinteraksi. Anak dengan budaya yang berbeda lahir
predisposisi biologis yang berbeda untuk belajar praktek kebudayaan tertentu.
1. Pengetahuan Tradisional
Temperamen adalah dasar biologis dalam berinteraksi dengan dunia sejak lahir. Thomas dan
Chess (1977) mendeskripsikan tiga kategori utama dari temperament yaitu eassy, difficult,
dan slow to warm up. Easy temperament adalah sangat teratur, mudah beradaptasi, gaya
agak intens, perilaku yang positif dan responsif. Difficult temperament adalah intens, tidak
teratur , penarikan diri umumnya ditandai dengan suasana hati negatif. Slow to warm up
bayi membutuhkan waktu untuk melakukan transisi dalam aktivitas dan pengalaman.
Mereka walanya mungkin menarik diri atau merespon negatif, berikan waktu dan dukungan,
sehingga mereka akan beradaptasi dan bereaksi positif.
2. Studi Lintas Budaya mengenai Tempramen
Beberapa studi telah meneliti anak-anak budaya non-Amerika mempunyai gaya
temperamen yang umum, berbeda dengan yang mereka deskripsikan untuk anak-anak
Amerika. Inded, Freedman (1974) menemukan bahwa bayi China-Amerika atau bayi Afrika-
Amerika lebih kalem dan lebih tenang dibandingkan dengan bayi Eropa-Amerika atau bayi
Afrika-Amerika. Caudill (1988) menemukan bahwa bayi Jepang lebih tidak menangis, kurang
bersuara, dan kurang aktif dibandingkan dengan bayi Anglo. Freedman (1974) juga
menemukan perbedaan serupa dengan bayi Jepang-Amerika dan bayi Navajo ketika
membandingkan dengan Eropa-Amerika. Likewise, Chisholm (1983) Studi ekstensiv bayi
Navajo lebih kalem dari bayi Eropa-Amerika. Garcia Coll, Sepkoski, dan Lester (1981)
menemukan perbedan dalam kesehatan pada ibu hamil Puerto Rican terkait dengan
perbedaan temperamen pada bayi ketika dibandingkan dengan bayi Eropa-Amerika atau
Afrika-Amerika. Bayi Puerto Rican waspada dan tdak mudah menangis. Bayi Afrika-Amerika
lebih tinggi skor kemampuan motorik, perilaku yang melibatkan gerakan otot dan
koordinasi.
3. Studi Lintas Budaya menggunakan Skala Penilaian Neonatal Behavior

34
Saco – Pollit (1989) menginvestigasi bagaimana sikap mungkin untuk berhubungan
melahirkan perilaku yang baru. Ia membandingkan bayi Peruvian yang dibesarkan dalam
lingkungan sikap yang baik dan sikap yang tidak baik. Perbandingan bayi yang dibesarkan
dalam sikap yang tidak baik / rendah, kurang perhatian, kurang responsif, dan kurang aktif
dan memiliki waktu yang lebih sulit untuk menenangkan diri. Tinggal di lingkunnsikap yang
baik memungkinkan berkontribusi melahirkan perbedaan munculnya perilaku baru.
4. Tempramen dan Pembelajaran Budaya
Interaksi antara respon orang tua dan temperamen bayi adalah salah satu kunci untuk
mengerti proses perkembangan budaya dan sosialisasi. Temperamen tenang yang penting
pada bayi dari latar belakang Asia dan Amerika Aslimungkin distabilkan lebih lanjut
padamasa bayi dan anak-anak dengan respon dari Ibu. Bayi Navajo dan Hopi menghabiskan
banyak waktu dalam periode tertutup, Orangtua China mempertahankan nilai harmoni
melalui pengekangan emosional (Bond & Wang, 1983).
5. Kesesuaian antara Tempramen dan Budaya
Penelitian bayi Masai di Kenya mengkolaborasikan pentingnya kesesuaian antara
temperamen bayi dan lingkungannya. Dasar klasifikasi temperamen dari Thomas dan Chess,
deVres (1987,1989) mengidentifikasi bayi Masia yang difficult dan easy dan mengikuti
mereka untuk beberapa tahun. Yang menjadi standar di Negara Barat menjadi protektif
terhadap temperament difficult faktor resiko kekurangan gizi selama masa kekeringan.
Beberapa bayi yang klasifikasi difficult memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan
hidup dibandingkan dengan rekan-rekan mereka pada klasifikasi eassy. DeVers menjelaskan
temuan mengejutkan ini pada bayi difficult yang sangat aktif dan rewel , menuntut dan
akibatnya mereka lebih dirawat dan dipelihara oleh Ibu mereka. Bayi di US yang memiliki
temperament difficult telah ditemukan berada pada resiko untuk masalah perilaku nanti
(Capsi, Henry, McGee, Moffitt, Silva,1995;Graham, Rutter & George, 1973). Bagaimanapun
memiliki temperament difficult disituasi yang ekstrem mungkin menjadi protektif daripada
faktor resiko, meningkatkan kesempatan bayi untuk bertahan. Disposisi dan perilaku yang
sama mungkin memiliki arti yang berbeda ketika tempat/lingkungan dalam konteks budaya
yang berbeda.
6. Sumber lain mengenai Perbedaan Tempramen
Tekanan lingkungan dan budaya menghasilkan perbedaan biologis melalui proses fungsional
adaptif pada bayi. Pengalaman budaya Ibu pada masa kehamilan, termasuk diet dan
hubungan praktek budaya lain, mungkin berkontrbusi untuk lingkungan prenatal yang
memodifikasi komposisi biologis bayi agar sesuai dengan praktek budaya mereka.

35
Lingkungan janin merupakan salah satu konteks dimana stimulasi yang signifikan terjadi,
namun sifat dan konsekuensi dari stimulasi ini sebagian besar tidak diketahui.
B. Budaya dan Kelekatan
Kelekatan mengacu pada ikatan khusus yang berkembang antara bayi dan pengasuh utamanya.
Banyak psikolog percaya bahwa kualitas kelekatan memiliki efek seumur hidup pada hubungan
kita dengan orang yang dicintai. Kelekatan dapat memberikan rasa aman secara emosional pada
anak. Setelah kelekatan tercipta, bayi akan merasa tertekan oleh pemisahan dari ibunya( hal ini
disebut distress perpisahan atau kecemasan). Studi tentang kelekatan pada monyet rhesus oleh
Harlows (Harlow & Harlow, 1969) menunjukan pentingnya sentuhan dan kenyamanan fisik
dalam perkembangan kelekatan.
1. Teori Kelekatan Bowlby
Bowlby (1969) menyimpulkan bahwa bayi memiliki dasar biologis yang sudah terprogram
sebelumnya untuk menjadi lekat pada pengasuhnya. Program ini mencakup perilaku-perilaku
seperti tersenyum dan tertawa yang nantinya memicu perilaku-perilaku yang mendorong
terbentuknya kelekatan dari pihak ibu.
2. Sistem Klasifikasi Kelekatan Ainsworth
Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (1978) membedakan tiga gaya kelekatan : aman (secure),
menghindar (avoidant), dan ambivalen. Bayi yang lekat secara aman biasanya punya ibu yang
sangat responsif dan hangat. Anak-anak yang menghindar, yang mengindari ibunya,
mempunyai ibu yang diduga intrusif ( terlalu mencampuri ) dan terlalu menstimulus. Anak-
anak yang ambivalen merespon ibu mereka secara tidak pasti, berubah-ubah dari mencari dan
menolak perhatian ibu. Ibu dari anak-anak yang demikian biasanya sensitif dan kurang terlibat
dengan anaknya.
Kelekatan ini mendasari konsep kepercayaan dasar (basic trust). Erikson (1963)
menggambarkan formasi kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama dalam proses
perkembangan psikososial yang berlangsung seumur hidup. Kelekatan yang buruk adalah
komponen dari ketidakpercayaan (mistrust) kegagalan menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan
tahap perkembangan bayi. Kepercayaan dasar dipandang akan mempengaruhi hubungan-
hubungan serta tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Erikson menggambarkan bahwa
tahap-tahap perkembangan dalam masa anak-anak mencakup tugas-tugas memapankan atau
membentuk otonomi, inisiatif, dan kompetensi. Semua ini adalah bagian dari diri yang sedang
berkembang dan dipengaruhi oleh bagaimana ibu dan orang-orang penting lain merespon
terhadap anak tersebut.
3. Studi Lintas Budaya Kelekatan

36
Salah satu asumsi orang Amerika tentang sifat kelekatan adalah bahwa kelekatan ideal adalah
kelekatan aman. Bahkan, istilah yang dipilih Ainsworth untuk menyebutkan kelekatan tipe ini,
serta istilah-istilah negatif yang dipakai untuk menggambarkan tipe kelekatan lainnya, sudah
mencerminkan bias yang ada dibalik pandangan ini. Tapi kenyataaannya masing-masing
budaya punya konsep tentang kelekatan “ideal” yang berbeda. Misalnya, ibu-ibu Jerman
menganggap penting dan mendorong kemandirian sejak dini dan karena itu menganggap
kelekatan menghindar sebagai yang lebih ideal. Orang tua Jerman memandang anak-anak
yang lekat secara “aman” sebagai anak yang “dimanja” ( Grossmann, Grossmann, Spangler,
Sues & Unzner 1985). Diantara anak-anak Israel yang dibesarkan disebuah kibbutz ( tanah
pertanian kolektif ), separuhnya menunjukan kelekatan ambivalen yang cemas dan hanya
sepertiga yang tampaknya lekat secara aman ( sagi dkk., 985). Anak-anak yang dibesarkan
dikeluarga jepang tradisional juga dicirikan oleh tingginya kelekatan ambivalen yang cemas,
tanpa ada kelekatan yang menghindar ( miyake, chen,& campos 1985). Ibu-ibu tradisional ini
jarang meninggalkkan anak- anak mereka dan mendorong terbentuknya rasa ketergantungan
tang tinggi pada anak-anak mereka. Hal ini mendukung nilai loyalitas keluarga secara kultural
dipandang ideal. Dikeluarga-keluarga Jepang non tradisional, dimana para ibu mungkin
memiliki karir, pola-pola kelekatan yang ditemui mirip dengan yang ada di Amerika Serikat
(Durrett, Otaki & Richards, 1984).
Beberapa penelitian lintas budaya juga menantang pemahaman bahwa kedekatan dengan ibu
merupakan syarat untuk terbentuknya kelekatan yang aman dan sehat. Pemahaman seperti
ini memang dipegang kuat oleh teori-teori tradisional tentang kelekatan yang didasarkan pada
penelitian yang melibatkan penelitian –penelitian di Amerika Serikat.
4. Validitas Lintas Budaya Menilai Kelekatan
Metode Validitas Lintas Budaya mengenai penilaian kelekatan dan arti dari klasifikasi
kelekatan seringkali dipertanyakan. Arti dari Strange Situation, pengukuran yang digunakan
pada kelekatan, sering di pertentangkan. Dalam Strange Situation, bayi dipisahkan dengan ibu
mereka dalam waktu yang singkat. Kualitas kelekatan berasal dari penilaian bagaimana reaksi
bayi ketika dipisahkan dan selanjutnya dipertemukan dengan ibu. Namun arti dari pemisahan
mungkin berbeda di budaya lainnya (Takahashi,1990). Seperti disebutkan sebelumnya, bayi
Jepang jarang dipisahkan dari ibu mereka, dan pemisahan selama Strange Situation mungkin
merupakan situasi yang tidak biasa dan merupakan situasi yang amat berbeda untuk bayi di
Jepang dan begitu juga dengan bayi serta ibu dari Amerika Serikat. Peneliti lain mempelajari
bahwa bayi Cina dan ibu mereka mempertanyakan mengenai penghindaran merupakan
ketidakamanan kelekatan. Para peneliti menyatakan bahwa ibu dari Cina menekankan awal

37
kemerdekaan pada bayi mereka, dan pada saat yang sama pula bayi menekankan
ketergantungan mereka pada nonparental (pengasuh/significant others).
5. Apakah Kelekatan yang Aman secara Universal, Ideal?
Di Amerika Serikat, kelekatan yang kuat diasumsikan ideal. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa ada perbedaan dalam menggambarkan kelekatan di budaya lainnya. Misalnya, ibu-ibu
dari Jerman membiasakan untuk tidak meningkatkan kelekatan pada anak, karena avoidant
attachment dianggapnya ideal. Jika anak kelekatannya kuat dengan ibunya maka tergolong
manja (Grossmann, Grossmann, Spangler, Suess, & Unzner, 1985). Berbeda halnya dengan
anak-anak yang dibesarkan secara tradisional di keluarga Jepang, mereka ditandai dengan
ambivalen dan kecemasan, dan hampir tidak adanya penghindaran baik antara ibu dan anak
(Miyake, Chen, & Campos, 1985). Ibu yang jarang meninggalkan anak (tidak diasuh oleh
babysitter) akan menumbuhkan kelekatan yang kuat serta rasa ketergantungan pada anak-
anak mereka. Crittenden (2000) menunjukkan bahwa kita harus berhenti menggunakan istilah
seperti "mengamankan" dan "tidak aman" dalam menggambarkan hubungan kelekatan.
Namun lebih baik untuk mengambarkan hubungan kelekatan yang “adaptif” maupun
“maladaptif” dengan konteks tertentu yang akan mempertimbangkan bagaimana budaya
berbeda mempengaruhi hubungan kelekatan antara ibu dan anak.
6. Kelekatan dan Perkembangan Anak
Perkembangan kompetensi pada anak sangat dipengaruhi oleh hubungan kelekatan antara ibu
dan anak. Beberapa penelitian menyatakan bahwa stabilitas lingkungan pengasuh
memberikan implikasi terhadap perkembangan. Hubungan keterikatan bayi dengan pengasuh
yang berbeda juga memperlihatkan sikap/perilaku yang ditunjukkan berbeda. Bayi Gusii di
Kenya yang memiliki kelekatan yang baik pada pengasuhnya dinilai lebih tinggi pada Bayley
Scales of Infant Development, yang mencakup penilaian perkembangan kognitif, daripada
mereka yang kelekatannya tidak baik dengan pengasuhnya. Dalam contoh ini, keamanan bayi
dengan kelekatan atau keterikatan terhadap ibu kandungnya tidak semata-mata dapat
memprediksi perkembangan kognitif. Namun hubungan kelekatan bayi dan ibunya dalam
status gizi atau kesehatan dapat dinyatakan bahwa bayi yang memiliki kelekatan yang baik
dengan ibunya, mereka dinilai memiliki status gizi yang lebih tinggi daripada bayi tidak
memiliki kelekatan baik dengan ibunya. Dengan demikian, berbagai hubungan kelekatan
terhadap bayi dan ibunya dapat mempengaruhi perkembangan bayi secara berbeda-beda.
7. Ringkasan
Masih banyak yang perlu dilakukan untuk memahami pola attachment/kelekatan di lain
budaya dan hubungan antara lingkungan budaya, temperamen bayi, dan gaya attachment.

38
Gagasan tentang kualitas attachment dan prosesnya terjadi secara penilaian kualitatif dari
perspektif masing-masing budaya. Apa yang dianggap gaya attachment optimal mungkin
tidak selalu optimal di semua budaya. Setiap kebudayaan memiliki penilaian yang berbeda
tetapi belum tentu nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu budaya sama baiknya dengan
nilai dari budaya lain. Selain itu, karena pola asuh nonparental berbeda baik secara norma
atau bentuk lain yang sering terjadi di sebagian besar budaya (Weisner Gallimore,1977).
Informasi yang diperoleh sampai saat ini mengenai temperamen dan hubungan attachment
hanya terdapat beberapa cara dari begitu banyak cara di mana akulturasi terjadi seluruh
dunia. Anak-anak yang lahir dengan perbedaan kecenderungan biologis atau temperamen
dapat membuat lebih mudah bagi mereka untuk terlibat dalam pembelajaran budaya yang
terjadi di seluruh sosialisasi dan enkulturasi. Perbedaan dalam attachment menyediakan
panggung pembelajaran bagi anak-anak yang memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan-
tujuan pembangunan yang ditanamkan oleh budaya tertentu mereka. Dengan demikian,
karakteristik temperamental yang diturunkan serta respon pengasuh, gaya temperamental,
dan hubungan keterikatan yang dihasilkan bersama-sama memainkan peran penting dalam
bagaimana individu memperoleh aspek budaya secara spesifik.

C. Perkembangan Kognitif
1. Teori Piaget
Piaget merupakah tokoh besar yang berfokus pada perkembangan kognitif manusia sedari
kecil hingga dewasa. Perkembagan kognitif merupakan bidang psikologi yang mempelajari
tentang bagaimana kemampuan berpikir berkembang dari waktu kewaktu. Berdasarkan
observasi yang dilakukan pada sekelompok anak Swiss, Piaget menjabarkan 4 tahapan
perkembangan kognitif yang dilalui manusia:
a. Tahap Sensorimotorik (0 – 2 tahun)
Pada tahap ini anak anak memahami dunia melalui persepsi indrawi dan
pengalaman motorik mereka. Setelah itu mereka akan mempelajari suatu hal
dengan cara menerima dan melakukan kembali. Pencapaian terpenting pada tahap
ini adalah pemahaman anak mengenai simbol-simbol dan permanensi objek, yakni
memahami bahwa suatu benda tetap nyata meskipun tidak tampak.
b. Tahap Pra-Operational (2 – 7 tahun)
Perkembangan kognitif anak-anak pada tahap ini dijabarkan dalam 5 katergori
berikut yaitu:

39
a. Kemampuan konservasi : anak memahami bahwa suatu benda tetap memiliki
kuantitas yang sama meski bentuknya berubah,
b. Sentrasi : anak hanya fokus pada satu aspek pada permasalahan,
c. Ireversibilitas : anak tidak mampu untuk melakukan sesuatu secara terbalik,
d. Egosentris : tidak mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain,
e. Animism : anak percaya bahwa seluruh benda itu hidup.
c. Tahap Operasional Konkret (7 – 12 tahun)
Pada tahap ini anak sudah berhasil melampaui 5 karakteristik pada tahap pra-
operasional. Anak juga belajar cara-cara baru untuk melakukan suatu kegiatan.
Meski demikian, hal-hal yang dilakukan anak pada tahapan ini bukan berdasarkan
kemampuan logika tetapi lebih ke proses trial-and-error.
d. Tahap Operasional Formal (>12 tahun)
Anak mampu berpikir dengan logika, berpikir abstrak, dan mampu lebih sistematis
dalam pendekatannya untuk penyelesaian masalah.
Terdapat 2 hal yang mempengaruhi proses perkembangan kognitif dari tahap satu ketahap
lainnya yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah memahami pengalaman-pengalaman
baru dari segi skema yang ada. Akomodasi adalah mengubah skema yang ada agar sesuai
dengan situasi baru.
2. Teori Piaget dalam Perspektif Lintas Budaya
a. Apakah dalam budaya yang berbeda urutan tahapan perkembangan Piaget tetap sama?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak-anak Inggris, Australia, Yunani, dan
Pakistan menunjukan bahwa anak-anak dengan latar budaya yang berbeda menujukkan
urutan tahapan perkembangan kognitif yang sesuai dengan teori Piaget.
b. Apakah usia pada setiap tahapan perkembangan Piaget sama dengan budaya lain?
Studi lintas budaya yang dilakukan membuktikan bahwa usia pada tahap ke-3 dan ke-4
cenderung lebih bervariasi.
c. Apakah ada variasi budaya dalam tahapan Piaget?
Ada variasi budaya yang cukup besar dalam urutan dimana anak memperoleh
keterampilan spesifik dalam tahap Piaget. Dalam studi perbandingan anak suku
pedalaman (Inuit, Aranda, Baoul), setengah dari anak-anak Inuit yang diuji memecahkan
tugas spasial pada usia 7 tahun, sebagian dari Aranda menyelesaikan tes pada usia 9
tahun, dan Baoul menyelesaikan pada 12 tahun. Namun pada uji konservasi cairan, hasil
yang didapatkan berbanding terbaik. Itu terjadi karena Inuit dan Aranda anak-anak hidup
dalam kelompok yang berpindah-pindah, di mana anak-anak perlu belajar keterampilan

40
spasial karena keluarga mereka terus berpindah. Anak-anak Baoul hidup dalam
masyarakat menetap, di mana mereka jarang berpergian tetapi sering mengambil air dan
menyimpan biji-bijian.
3. Teori-teori lain terkait perkembangan kognitif
a. Teori oleh Hegel (Abad 18), mengurutkan semua masyarakat dalam skala evolusi
berdasarkan pada klasifikasi keyakinan agama, dengan Kristen pada urutan pertama
b. Teori oleh Darwin (Awal abad 19), mengenai evolusi manusia banyak dipertimbangan
dalam pengembangan teori-teori kognitif lainnya
c. Teori oleh Levy-Bruh (Abad 20), menarik sebagian besar kesimpulan dari material-maerial
yang berkaitan dengan keyakinan mistis dan religius masyarakat non-Barat. Levy-Bruh
menempatkan great divided theory. Ia menggambarkan orang-orang non-Barat memiliki
cara yang berbeda dari pemikiran, yang ia atribusikan terhadap efek budaya. Menurut
Levy-Bruh non-Barat tidak terganggu oleh kontradiksi logis dan dicampur rasa yang jelas
identitas individu

D. Penalaran Moral
Hubungan yang sangat dekat terjalin antara moralitas dan budaya. Prinsip moral dan etika
menyediakan pedoman bagi perilaku orang-orang mengenai apa yang sesuai dan tidak sesuai.
Pedoman ini merupakan hasil dari budaya spesifik dan masyarakat, kemudian diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya. Moralitas berfungsi sebagai dasar hukum, yang merupakan
pedoman formal untuk perilaku yang sesuai dan tidak sesuai. Teori dominan tentang penalaran
moral dalam psikologi perkembangan adalah teori yang diajukan oleh Kohlberg. Teori ini
didasarkan pada karya-karya Piaget megenai perkembangan kognitif.
1. Teori Moralitas Kohlberg :
a. Moralitas prekonvensional memiliki penekanan pada kepatuhan terhadap aturan untuk
menghindari hukuman dan mendapat hadiah.
b. Moralitas konvensional memiliki penekanan pada konformitas pada aturan yang
ditentukan oleh persetujuan orang lain atau aturan-aturan masyarakat.
c. Moralitas pascakonvensional memiliki penekanan pada prinsip-prinsip dan hati nurani
individual.
Kajian yang dilakukan oleh Gilligan dan rekan-rekannya (Gilligan, 1982) menyatakan bahwa
keenam sub-tahap teori tersebut memilki bias yang berkaitan dengan cara pandang khas
antara laki-laki dan perempuan dalam memandang hubungan. Menurutnya, penalaran

41
moral laki-laki dikaitkan dengan keadilan, sedangkan perempuan dikaitkan dengan tugas dan
tanggung jawab.
2. Studi Lintas Budaya pada Penalaran Moral
Beberapa peneliti mengkritik teori Kohlberg karena memuat bias budaya. Penelitian yang
dilakukan oleh Miller dan Bersoff (1992) membandingkan antara subjek India dan subjek
Amerika dalam merespon suatu tugas penilaian moral. Hasilnya, dibandingkan dengan subjek
Amerika, subjek-subjek di India (baik anak-anak maupun orang dewasa) lebih menganggap
tindakan tidak menolong seseorang sebagai suatu pelanggaran moral terlepas dari situasinya
(apakah mengancam nyawa atau apakah orang yang butuh pertolongan itu merupakan
anggota keluarga). Snarey (1985) melakukan penelitian penalaran moral yang melibatkan
subjek dari 27 negara, hasilnya yaitu penalaran moral jauh lebih spesifik mengenai budaya.

E. Proses Perkembangan Lainnya


Penelitian lintas budaya untuk proses piskologis di perkembangan berlanjut menjadi salah satu
dari yang paling populer dan sepenuhnya mempelajari area dari bidang tersebut. Penelitian ini
memberikan pengetahuan yang mendalam untuk pertanyaan mengenai bagaimana perbedaan
yang diamati pada orang dewasa pada banyak studi lainnya selama bertahun-tahun.
Proses lainnya yang berkaitan dengan perkembangan yaitu tujuan berorientasi masa depan dan
komitmen, proses penilaian, harapan sosial, afectif dan hubungan yang romantis pada remaja,
formasi politik pada remaja, tugas ketekunan, respon anak-anak usa prasekolah pada konflik
dan kesedihan, social pretend play dan social competences pada anak-anak, dan interaksi sosial.

F. Kesimpulan
Penelitian lintas budaya dapat memberi sumbangan yang berarti, seperti pemahaman-
pemahaman tentang temperamen, kelekatan, peran sebagai orang tua, pengasuhan anak,
struktur dan lingkungan keluarga, dan penalaran moral yang dibentuk oleh konteks budaya.
Selain itu juga membuat kita menyadari berbagai akar perbedaan budaya yang terdapat pada
kehidupan orang dewasa.
Perbedaan perkembangan yang didiskusikan pada chapter ini, semuanya berbicara menganai
bagaimana sebuah budaya berkembang diantara kita. Budaya menampilkan pengaruhnya pada
melalui jalannya sendiri yang spesial dan unik. Kita tidak dapat melihat perbedaan atau
bagaimana budaya itu sendiri berkembang dalam diri kita ketika kita berada ditengah-tengah
budaya. Dengan melihat keluar dari diri kita dan memeriksa perkembangan serta proses
sosialisasi dari kebudayaan lainnya, maka dengan demikian kita dapat melihat diri kita yang

42
sebenarnya. Hanya melalui hal inilah kita dapat mengahargai bahwa perbedaan dan persamaan
yang ada adalah budaya itu sendiri, atau paling tidak manifestasi dari kebudayaan kita.

Latihan soal mandiri


1. Interaksi antara respon orang tua dan temperamen bayi adalah salah satu kunci untuk mengerti
proses perkembangan budaya dan sosialisasi (B/S)
2. Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall membedakan tiga gaya kelekatan yaitu : aman, otonomi,
ambivalen (B/S)
3. Pada Strange Situation, bayi dipisahkan dengan ibu mereka dalam waktu yang singkat (B/S)
4. Penelitian lintas budaya menunujukkan anak-anak yang berasal dari berbagai latar budaya
memasuki tahap-tahapan perkembangan kognitif pada usia yang relative sama seperti yang
dikemukakan Piaget. (B/S)
5. Moralitas prekonvensional memiliki penekanan pada kepatuhan terhadap aturan untuk
menghindari hukuman dan mendapat hadiah (B/S)

43
MATERI 5:
5: MATERI KOGNISI

Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan –
masukan dari indra menjadi pengetahuan. Proses ini mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan
seterusnya. Setiap orang memiliki proses – proses mental yang serupa namun setiap orang dari
budaya yang berbeda untuk mengorganisasi, menyampaikan, dan merespon informasi secara
berbeda – beda. Beberapa aspek penting dalam kognisi diantaranya : 1. Kategorisasi 2. Memori
(ingatan) 3. Pemecahan masalah.

A. Kategorisasi dan Pembentukan Konsep


1. Pengetahuan Tradisional
Salah satu proses mental paling mendasar seseorang ialah bagaimana seseorang
mengelompokkan hal – hal ke dalam kategori – kategori. Kategorisasi berdasarkan
kemiripan kemudian melekatkan label yaitu kata – kata untuk mengelompokkan hal – hal
yang terlihat memiliki kemiripan. Seseorang cenderung menciptakan kategori-kategori dari
hal-hal yang punya ciri-ciri tertentu. Dan pada umumnya berupa kesamaan kata-kata, warna,
bentuk, fungsi (mengelompokkan hal-hal yang menurut individu memiliki kemiripan ).
Contoh : kursi bantal, kursi makan, dan kursi di ruang teater memiliki bentuk yang berbeda,
tapi tergolong dalam satu kategori dasar yang sama yakni : “kursi” karena semua memiliki
fungsi yang sama. Di budaya Barat kursi adalah benda yang dapat dan seharusnya
digunakan untuk duduk (Rosch, 1978). Dalam hal ini penentu utama kategorisasi adalah
fungsi.
Namun dapat saja di Indonesia dapat menggolongkan contohnya: karpet, kursi, dan
bantal sebagai benda yang dapat berfungsi sebagai tempat duduk seperti kursi. Sedangkan
di budaya Barat kursi meja makan merupakan contoh yang paling baik digunakan untuk
tempat duduk karena kursi meja makan mendekati prototipe kursi. Dapat dibayangka
bagaimana individu dari masyarakat lain membuat pengelompokan terhadap benda – benda
lain.

B. Kajian Lintas-Budaya tentang Kategorisasi


Beberapa aspek universal kategori. Beberapa kategori yang digunakan untuk
berpikir dan menyampaikan informasi yang kurang relative tidak tergantung atau
dipengaruhi budaya. Contohnya ekspresi emosi dasar (senang, sedih, marah, takut, terkejut,

44
dan jijik) ditempatkan pada kategori yang sama di berbagai budaya.Ada juga kesepakatan
yang sama dalam hal warna-warna yang primer dan sekunder. Cara orang memilih dan
mengingat warna tampaknya hampir tak terpengaruh oleh budaya dan bahasa. Mereka juga
lebih mudah mengingat warna-warna primer ketika diminta untuk membandingkan dan
mengingat kembali warna-warna dalam eksperimen. Orang dari budaya yang berbeda juga
cenderung mengelompokkan bentuk berdasarkan contoh terbaik dari bentuk-bentuk dasar
(lingkaran sempurna, segitiga sama kaki, dan bujur sangkar) daripada membuat kategori
untuk bentuk-bentuk geometris yang tak beraturan. Kesamaan-kesamaan lintas-budaya ini
menunjukkan bahwa yang mempengaruhi cara manusia mengelompokkan beberapa
stimulus dasar adalah faktor-faktor fisiologis. Artinya, orang tampaknya memiliki
kecenderungan bawaan (predisposisi) untuk lebih memilih bentuk, warna, dan ekspresi
wajah tertentu.
Beberapa aspek kategorisasi yang khas budaya. Dasar dari proses-proses
kategorisasi tidaklah berbeda, sedangkan yang berbeda adalah basis pengalaman yang
digunakan untuk membuat kategori. Cara lain yang digunakan peneliti untuk mempelajari
bagaimana orang membuat pengelompokkan adalah tugas penyortiran (sorting tasks).Anak-
anak budaya barat mengelompokkan berdasarkan warna kemudian berdasarkan bentuk lalu
fungsi seiring usianya. Orang dewasa budaya barat mengelompokkan berdasarkan fungsi
daripada warna atau bentuk. Sebagian subjek penelitian ini pernah masuk sekolah formal,
sedangkan yang lain tidak. Para peneliti memberikan tugas penyortiran dan menemukan
bahwa pengelompokkan berdasar warna lebih umum ditemui pada orang yang tidak atau
hanya sedikit mengalami sekolah formal. Dengan demikian, tampaknya ada proses-proses
yang memang universal dalam kategorisasi dan pembentukkan konsep. Ada beberapa bukti
yang menunjukkan perbedaan kultural dalam kategorisasi. Saat ini masih belum jelas apakah
perbedaan kultural dalam tugas penyortiran dan kategorisasi ini lebih baik di atribusikan
pada perbedaan warisan kultural atau pendidikan formal.

C. Ingatan
1. Pengetahuan Tradisional
Tugas intelektual penting lain yang dialami semua orang dalam menghadapi dunia
adalah mengingat berbagai hal. Kita mengalami susahnya berusaha menghafal untuk ujian
dan mengalami kesulitan saat berusaha mengingat-ingat daftar tanggal atau nama atau hal
semacam ini.

45
Kita tahu bahwa ada beberapa jenis ingatan seperti ingatan sensori
(inderawi),ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang. Ingatan sensori mengacu
pada informasi asli yang bertahan di organ-organ indera selama beberapa saat,biasanya
hanya seper-sekian detik, setelah diterima. Ingatan jangka pendek mengacu pada suatu
kapasitas ingatan yang terbatas di mana informasi bisa dipertahankan untuk selang waktu
sedikit lebih panjang, biasanya antara 20 sampai 30 detik. Ingatan jangka panjang mengacu
pada masuknya informasi yang bisa disimpan untuk jangka waktu yang jauh lebih panjang.
Pengulang-ulangan (rehearsal) adalah salah satu cara yang mudah untuk menyimpan
informasi dalam ingatan jangka pendek dan kemudian ingatan jangka panjang.
Pembongkahan (chunking) – yakni pengelompokan butir – butir informasi ke dalam bagian-
bagian kecil yang bermakna – juga bisa membantu penyimpanan dan penggunaan kembali
informasi.
Dalam aspek ingatan yang paling sering dikaji dalam psikologi eksperimental adalah
efek urutan posisi yang terdiri dari efek awal (primacy) dan efek akhir (recency). Efek awal
adalah kecenderungan kita untuk lebih mengingat hal-hal pertama dari suatu konteks
daripada yang berada di tengah-tengah. Efek akhir adalah kecenderungan kita untuk
mengingat dengan lebih baik hal-hal yang lebih akhir atau baru saja terjadi daripada yang
sebelumnya.
2. Kajian Lintas-Budaya tentang Ingatan
Rose dan Millson (1970) menduga bahwa orang yang mengandalkan pada tradisi
oral akan lebih baik ingatannya. Mereka kemudian membandingkan ingatan mahasiswa
Amerika dengan mahasiswa Ghania dalam mengingat cerita yang dibacakan keras-keras.
Secara umum mereka menemukan bahwa mahasiswa-mahasiswa Ghania lebih baik daripada
mahasiswa Amerika dalam mengingat cerita tersebut.
Tampaknya budaya-budaya yang memiliki tradisi oral memang lebih unggul dalam
ingatan. Namun Cole dan rekan-rekannya menemukan bahwa subjek-subjek Afrika yang
buta huruf tidak lebih unggul ingatannya bila mereka dihadapkan pada daftar kata dan
bukan cerita.
Wagner mengusulkan ada dua bagian dalam proses mengingat : bagian “perangkat
keras” (hardware) yang merupakan batasan dasar dari ingatan dan tidak berubah dari satu
budaya ke budaya lain,dan bagian :perangkat lunak” (software) atau bagian program yang
terkait dengan bagaimana orang mengingat,yang merupakan hasil belajar. Bagian kedua
atau “perangkat lunak” inilah yang bervariasi antarbudaya. Secara khusus dapat dikatakan
bahwa kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang tidak saling berhubungan

46
tampaknya tidak begitu dipengaruhi oleh budaya melainkan lebih terkait dengan apakah
orang tersebut pernah mengenyam sekolah atau tidak.
Dengan demikian, penelitian lintas-budaya tentang ingatan menunjukkan bahwa
orang dengan tradisi budaya oral punya ingatan yang lebih baik daripada orang dengan
budaya tradisi tulis. Namun hal ini nampaknya terbatas pada materi ingatan yang bermakna
seperti kisah atau cerita,dan tidak berlaku bagi daftar benda. Penelitian lintas-budaya lain
mencatat adanya perbedaan kultural dalam efek posisi urutan.

D. Pemecahan Masalah Pengetahuan Tradisional


Pemecahan masalah adalah proses dimana kita berusaha menemukan cara-cara mencapai suatu
tujuan yang tampaknya tidak langsung bisa didapat.
1. Jenis masalah
Jenis masalah yang berbeda dapat mengarah pada pemecahan masalah yang berbeda pula.
a. Masalah yang terkait dengan struktur
Orang harus menemukan hubungan antar berbagai komponen atau elemen yang
tercakup dalam permasalahan tersebut.
b. Masalah yang terkait dengan penataan
Orang harus menemukan cara untuk menata komponen atau elemen suatu persoalan
sedemikian rupa sehingga bisa menyelesaikan seluruh atau sebagian masalah tersebut.
c. Masalah transformasi
Orang harus menjalankan suatu urutan langkah tertentu agar bisa mencapai tujuan atau
memecahkan masalahnya.
2. Faktor tingkat kesulitan pemecahan masalah
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan pemecahan masalah, antara lain
informasi yang tidak relevan, mental set tentang cara-cara memecahkan masalah serupa di
masa lalu namun tidak bisa diterapkan pada masalah yang sedang dihadapi, dan
ketidakmampuan dalam memikirkan penggunaan elemen-elemen permasalahan secara
berbeda dari penggunan tradisionalnya.
3. Cara pemecahan masalah
Masalah dapat diselesaikan beberapa cara, antara lain melalui proses trial and error, yaitu
mencoba berbagai solusi sampai ada yang berhasil. Cara berikutnya adalah melalui analisis
means/end, yaitu dengan mengidentifikasi cara-cara yang bisa mengubah situasi saat ini ke
arah yang mirip dengan hasil akhir yang diharapkan. Cara lainnya adalah dengan

47
memecahkan masalah dari belakang, memulai dari hasil akhir dan secara sistematis bekerja
mundur sampai pada situasi saat ini.
4. Penelitian Lintas-Budaya tentang Pemecahan Masalah
Perbedaan kultural dalam pemecahan masalah sulit diukur dalam setting natural karena
akan sulit memisahkan antara apakah seseorang itu sedang melakukan deduksi logis dan
apakah perilaku mereka mencerminkan latar belakang kulturalnya.
a. Eksperimen Cole dkk
Cole dan rekan-rekannya membuat sebuah eksperimen untuk mengetahui perbedaan
proses pemecahan masalah antara orang Amerika dan Liberia. Mereka menyimpulkan
bahwa kemampuan orang Liberia untuk bernalar secara logis dalam memecahkan
masalah tergantung pada konteks. Ketika dihadapkan pada masalah yang mengandung
materi-materi dan konsep-konsep yang sudah akrab bagi mereka, orang Liberia tanpa
kesulitan akan bisa menarik kesimpulan-kesimpulan logis. Tapi bila situasi tesnya asing
bagi mereka, orang Liberia akan bingung mencari di mana mereka harus memulai.
b. Penelitian soal kata
Kemampuan memecahkan soal kata adalah salah satu aspek penalaran logis yang juga
sudah diteliti secara lintas-budaya. Dalam sebuah kajian yang luas terhadap masyarakat
suku dan nomaden di Asia Tengah dan Timur, Luria (1976) mencatat adanya perbedaan
tajam dalam cara orang mendekati soal verbal seperti ini. Ada beberapa penjelasan yang
diajukan untuk menerangkan ketidakmampuan orang tak berpendidikan menjawab soal
kata. Luria (1976) menyimpulkan bahwa orang yang buta huruf memang berpikir secara
berbeda dari orang yang berpendidikan.
Penelitian-penelitian yang mengkaji bagaimana dan kapan anak sekolah pertama
menggunakan logika formal tampaknya mendukung interpretasi ini. Tulviste (1978)
dalam penelitiannya terhadap anak-anak berusia 8 sampai 15 tahun di Estonia
menyimpulkan bahwa kemampuan bernalar secara logis tampaknya merupakan
keterampilan yang terlebih dahulu diperoleh dan diterapkan anak di ruang kelas, dan
baru kemudian diterapkan pada kehidupan sehari-hari mereka.
Scribner (1979) menyangsikan bahwa subjek buta huruf benar-benar tak bisa berpikir
logis. Ia kemudian secara lebih dekat meneliti alasan kenapa orang tak berpendidikan
gagal memberi jawaban yang tepat pada soal-soal verbal. Para subjek dalam
penelitiannya terlihat tidak bisa atau tidak mau menerapkan konsep-konsep pemikiran
ilmiah pada soal-soal verbal. Tapi ini bukan karena mereka tak punya kemampuan
bernalar logis; mereka hanya tak paham bahwa soal-soal verbal itu bersifat hipotesis.

48
E. Kesimpulan
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan –
masukan dari indra menjadi pengetahuan. Setiap orang memiliki proses – proses mental yang serupa
namun setiap orang dari budaya yang berbeda untuk mengorganisasi, menyampaikan, dan
merespon informasi secara berbeda-beda. Salah satu proses mental paling mendasar seseorang
ialah bagaimana seseorang mengelompokkan hal-hal ke dalam kategori-kategori. Yang pertama
adalah kategorisasi berdasarkan kemiripan kemudian melekatkan label yaitu kata – kata untuk
mengelompokkan hal – hal yang terlihat memiliki kemiripan. Aspek universal kategori yang
digunakan untuk berpikir dan menyampaikan informasi yang kurang relative tidak tergantung atau
dipengaruhi budaya. Contohnya ekspresi emosi dasar (senang, sedih, marah, takut, terkejut, dan
jijik) ditempatkan pada kategori yang sama di berbagai budaya. Aspek kategorisasi yang khas budaya
berdasar dari proses-proses kategorisasi tidaklah berbeda, sedangkan yang berbeda adalah basis
pengalaman yang digunakan untuk membuat kategori. Tugas intelektual penting lain yang dialami
semua orang dalam menghadapi dunia adalah mengingat berbagai hal. Kita tahu bahwa ada
beberapa jenis ingatan seperti ingatan sensori (inderawi),ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka
panjang. Dalam aspek ingatan yang paling sering dikaji dalam psikologi eksperimental adalah efek
urutan posisi yang terdiri dari efek awal (primacy) dan efek akhir (recency). Ada juga penelitian yang
terkait dengan pemecahan masalah dimana kita berusaha menemukan cara-cara mencapai suatu
tujuan yang tampaknya tidak langsung bisa didapat. Jenis masalah yang berbeda dapat mengarah
pada pemecahan masalah yang berbeda pula. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
kesulitan pemecahan masalah, antara lain informasi yang tidak relevan, mental set tentang cara-cara
memecahkan masalah serupa di masa lalu namun tidak bisa diterapkan pada masalah yang sedang
dihadapi. Masalah dapat diselesaikan beberapa cara, antara lain melalui proses trial and error, yaitu
mencoba berbagai solusi sampai ada yang berhasil. Namun,perbedaan kultural dalam pemecahan
masalah sulit diukur dalam setting natural karena akan sulit memisahkan antara apakah seseorang
itu sedang melakukan deduksi logis dan apakah perilaku mereka mencerminkan latar belakang
kulturalnya. Kemampuan memecahkan soal kata adalah salah satu aspek penalaran logis yang juga
sudah diteliti secara lintas-budaya.

49
F. Latihan Soal
1. Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan – masukan dari indra menjadi pengetahuan. (B/S)

2. Pengelompokan butir – butir informasi ke dalam bagian- bagian kecil yang bermakna disebut
rehearsal (S/B)

3. Anak-anak budaya barat mengelompokkan berdasarkan bentuk (B/S)

4. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pemecahan masalah adalah informasi yang
relevan (B/S)

5. Di afrika anak-anak dan orang dewasa pun masih cenderung mengelompokkan sesuatu
berdasarkan warna, bukan bentuk dan fungsi ( B/S)

50
MATERI 6:
6: BUDAYA DAN KESEHATAN

A. Perbedaan budaya dalam mendefinisikan kesehatan


1. Menurut WHO:
“kondisi fisik yang lengkap, mental, kesejahteraan sosial, dan bukan hanya ketidakhadiran
dari penyakit dan kelemahan” (WHO, 1994)
2. Menurut masyarakat USA :
a. Model Biomedis
Model ini memandang penyakit sebagai hasil dari sesuatu yang spesifik.
diidentifikasi karena berasal dari dalam tubuh. Penyebabnya antara lain, apakah
virus,bakteri, atau hal lain. Hal tersebut dinamakan patogen, dan dilihat sebagai akar
dari semua penyakit fisik dan medis. Seperti contoh penyakit kardiovaskular, yang
dikaitkan dengan patogen spesifik seperti kloting dari lipid dan kolesterol.
b. Pendekatan Psikologi Tradisional
Pendekatan psikologi tradisional memandang asal dari perilaku abnormal sebagai
yang ada dalam diri seseorang.
Jadi, model biomedis tradisional dari kesehatan dalam medis dan psikologi keduanya
mempunyai sebuah pendalaman pengaruh pada pendekatan treatment (pengobatan). Jika
spesifik medis atau perilaku psikologis yang bersifat pathogen eksis atau berkembang dalam
tubuh seseorang, pathogen tersebut harus ditangani dengan pengobatan penyakit.
Pendekatan pengobatan medis dan tradisional psikologis focus pada membuat intervensi di
dalam diri seseorang. Pada model tradisional biomedis, sehat dikarakteristikan sebagai
kekurangan penyakit. Jika seseorang didiagnosa bebas daari penyakit, orang tersebut dapat
dikatakan sehat.
3. Menurut Masyarakat China dan Yunani Kuno
Memandang sehat bukan hanya sebagai ketiadaan dari kondisi negative tapi juga sebagai
kehadiran kondisi positif. Keseimbangan antara diri dan alam dan pada perbedaan individual
di hidup ini dilihat sebagai suatu bagian dari sehat di banyak budaya di budaya Asia.
Keseimbangan ini dapat memproduksi kondisi yang positif (sebuah sinergi dari kekuatan diri,
alam, dan lainnya) yang banyak dikatakan sebagai sehat. Di China, konsep dari kesehatan
berdasarkan pada filosofi dan agama di China. Focus pada prinsip Yin dan Yang, yang mana
melambangkan energy positif dan negative.
4. Menurut Masyarakat Indian Amerika

51
Masyarakat Indian (Amerika) mempunyai pandangan menyeluruh dari kesehatan dan siapa
mempertimbangkan kesehatan yang baik untuk dapat hidup pada harmoni satu badan dan
satu lingkungan. Ketika satu orang tidak hidup dalam suatu harmoni, dan berperilaku
negative seperti melakukan tindakan terhina kepada orang di kehidupan sekarang atau masa
lalu, menganggu hidup tumbuhan dan binatang, penyalahgunaan dari upacara keagamaan
yang sakral, emosi kuat dan tidak terkontrol, melanggar aturan sosial dan tabu. Hasilnya
adalah tidak sehat.

B. Budaya dan Konsep dari Tubuh


Perbedaan budaya pada bagaimana mereka memandang tubuh manusia. Perbedaan tersebut
tersusun dari pengaruh tubuh manusia bagaimana orang dari beda budaya memandang sehat
dan sakit, treatment, dan bahkan mungkin jenis dari penyakit yang berdampak pada mereka.
1. Teori pertama berkembang dari Hippocrates
Mempengaruhi pandangan dari tubuh manusia dan penyakit di kebanyakan negara industry
dan budaya sekarang, dilihat dari itu tubuh terdiri dari 4 bagian yaitu darah, lendir, empedu
kuning, dan empedu hitam. Terlalu sedikit atau terlalu banyak dari keempat hal tersebut
membawa tubuh jauh dari keseimbangan, menghsilkan penyakit. Turunan dari hal tersebut
seperti optimis (sanguine), apatis (plegmatik), dan mudah tersinggung (kolerik) adalah
secara luas digunakan pada kesehatan dan ruang lingkup medis saat ini.
2. Amerika Latin (Indian)
MacLachlan (1997) menunjukkan bahwa teori umum dari penyakit di banyak budaya
Amerika Latin melibatkan keseimbangan antara panas dan dingin hal tersebut tidak
mengacu pada suhu, tapi untuk kekuatan intrinsik dari perbedaan zat pada tubuh. Beberapa
penyakit atau kondisi yang panas, yang lain dingin. Sebagai contoh, nomer dari pelajaran
didapatkan hubungan antara kelas sosial dan berat badan di banyak budaya Amerika dan
Eropa, yaitu individu dengan kelas sosial yang tinggi umumnya mempunyai berat badan yang
rendah dibanding individu dengan kelas sosial yang rendah (review dari Furnham & Alibhai,
1983). Terbalik, kadang itu benar di banyak budaya lain.

C. Socialcultural Influence on Physical Health and Medical Disease Processes


1. Psychosocial Determinants of Health and Disease
Selama beberapa tahun terakhir, psikologi semakin sadar akan pengaruh budaya pada
kesehatan. Beberapa penelitian mendokumentasikan adanya hubungan antara faktor
psikosoial dan kesehatan. Menurut Adler (1994), status ekonomi-sosial (SES) sangat

52
berhubungan erat dengan kesehatan. Orang dengan SES tinggi memiliki tingkat kesehatan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dengan SES rendah. Selain itu persepsi
seseorang akan SESnya lebih memprediksikan tingkat kesehatan daripada asesmen SES
secara obyektif.
2. Social Isolation and Mortality
Penelitian awal terhadap pengaruh faktor sosiokultural pada kesehatan dan penularan
penyakit menunjukkan adanya kaitan antara social support dan kematian. Menurut hasil
penelitian Alameda County yang dilakukan terhadap 7000 individu tentang social contact
(Berkman dan Syme, 1979), individu dengan jumlah ikatan sosial yang rendah memiliki
angka kematian yang tinggi, dan individu dengan ikatan sosial yang tinggi memiliki angka
kematian yang rendah.
3. Individualsm and Cardiovascular Disease
Triandis, Bontempo, Villareal, Asai dan Lucca (1988) melakukan penelitian tentang dimensi
individualisme-kolektivisme dan kaitannya dengan npenyakit jantung terhadap delapan
budaya yang berbeda. Orang Eropa-Amerika, yang memiliki tingkat individualisme yang
tinggi diantara delapan budaya tersebut, memiliki tingkat serangan jantung yang tinggi,
sedangkan Trappist Monks dengan tingkat individualisme paling rendah memiliki tingkat
serangan jantung yang rendah. Triandis (1988) mengungkapkan bahwa social support
memiliki peran yang sangat penting. Budaya kolektivisme memiliki ikatan sosial yang lebih
kuat dan lebih dalam dibandingkan dengan budaya individualisme. Hubungan sosial ini
menjadi ”buffer” terhadap stress dan mengurangi resiko pengakit kardiovaskular, dan
sebaliknya npada budaya individualisme.
4. Other Dimension of Cultural and Other Disease
Penitian Triandis (1988) merupakan studi pertama antara pengaruh perbedaan kebudayaan
dan risiko mengidap penyakit tertentu. Namun penelitian ini hanya melihat angka kematian
dan angka pengidap kardiovaskular. Dimensi kebudayaan yang lain dapat saja memiliki
pengaruh atas penyakit lainnya. Penelitian Triandis (1988) mengungkapkan bahwa budaya,
terutama social support, memiliki peran penting terhadap tingkat stess, yang mana
mempengaruhi kesehatan. Namun, menurut hasil penelitian Matsumoto dan Fletcher
(1996), meskipun hubungan sosial menjadim “buffer” atas stress dan pencegahan serrangan
jantung, ada faktor lain pada budaya kolektivisme yang meningkatkan daya tahan terhadap
jenis penyakit lain.
5. Cultural Discrepancies and Physical Health

53
Selain budaya, hal lain yang mempengaruhi kesehatan adalah perbedaan antara nilai-nilai
individu dengan nilai-nilai di masyarakat. Matsumoto, Kouznetsova, Ray, Ratzlaff, Biehl, dan
Raroque (1999) melakukan penelitian tentang nilai-nilai budaya individu, persepsi terhadap
nila-nilai kelompok, dan nilai-nilai ideal. Partisipan pada penelitian ini juga diminta untuk
mengisi skala tentang strategi coping terhadap stress, kesemasan, depresi dan tekanan
emosional lain; serta kesehatan fisik dan mental. Perbedaan yang besar antara nilai-nilai
individu dan nilai-nilai kelompok dapat menimbulkan stress, yang dapat mempengaruhi
emosi dan mood, serta menyebabkan berbagai tingkat kecemasan dan depresi, yang dapat
berujun pada penurunan kesehatan fisik.
6. Culture and Eating Disorder
Penelitian Cogan, Bhalla, Sefa-Dedeh, dan Rothblum (1996) mengenai berat badan, frekuensi
diet, aktivitas sosial, persepsi tubuh ideal, pola makan, dan stereotip kurus-gemuk pada
wanita Ghana dan Amerika menunjukan bahwa, orang Ghana memiliki persepsi tubuh ideal
adalah tubuh yang besar, sedangkan orang Amerika cenderung untuk diet. Penelitian
Crandall dan Martinez (1996) pada orang Meksiko dan US menunjukkan bahwa orang
Meksiko tidak terlalu memperhatikan barat badan dan lebih bisa menerima orang yang
overweight dibandingkan dengan orang US. Hasil penelitian Akan dan Grilo (1995)
menunjukkan orang Eropa-Amerika memiliki tingkat kelainan pola makan dan perilaku diet
yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Asia atau Afrika-Amerika. Pada penelitian
Abrams, Allen, dan Gray (1993), wanita kulit putih memiliki tingkat kelainan pola makan
dibandingkan dengan wanita kulit hitam, yang berhubungan dengan depresi, kecemasan
dan, self-esteem yang rendah. Penelitian Hamilton, Brooks, Gunn, dan Warren (1985)
menunjukkan 15 sampai 19 persen penari kulit putih menderita anorexia atau bullimia.
Secara kolektif, penelitian ini menunjukkan pandangan terhadap bentuk dan ukuran tubuh,
dan pola makan dipengaruhi oleh budaya. Nilai, kepercayaan, sikap, dan pandangan
terhadap kekayaan, kecantikan, kekuatan dan karakter psikologi mempengaruhi sikap
terhadap pola makan, kurus dan obesitas.
7. Culture and Suicide
Sampai saat ini, telah banyak dilakukan penelitian perbedaan cross-cultural tentang perilaku
bunuh diri, yang menuntun pada cara berbeda antar individu dari budaya yang berbeda
memandang, tidak hanya bunuh diri, namun juga kehidupan itu sendiri. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa perubahan budaya adalah penyebab dari perilaku bunuh diri. Stress
yang berhubungan dengan perubahan sosial dan perubahan budaya menjadi penyebab
bunuh diri di beberapa budaya seperti penduduk asli Hawaii, Yunani, Inggris, dan lain-lain.

54
D. PENGARUH BUDAYA PADA SIKAP DAN KEYAKINAN TERKAIT DENGAN ASPEK KESEHATAN DAN
PENYAKIT
Budaya dapat mempengaruhi kesehatan dalam banyak hal. Budaya mempengaruhi sikap
tentang menjaga kesehatan dan pengobatan, attributions mengenai penyebab kesehatan dan proses
penyakit, ketersediaan kesehatan dan penyediaan sistem layanan kesehatan, perilaku mencari
bantuan, dan banyak aspek lain penyakit dan layanan kesehatan. Kita baru sekarang mengetahui
pentingnya perbedaan sociocultural ketika menyusun perawatan dan intervensi program untuk
kesehatan dan masalah psikologis.
Dalam satu studi, Matsumoto dan rekannya ( 1995 ) merekrut wanita jepang dan jepang
amerika berusia di atas 55 yang tinggal di san francisco bay area untuk berperan serta dalam
sebuah studi sikap dan nilai terkait dengan osteoporosis dan perawatannya. Osteoporosis adalah
gangguan medis di mana terjadi penurunan kepadatan tulang secara bertahap yang melemahkan
tulang.Hal ini dapat menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi wanita yang lebih tua keturunan
eropa atau asia. Penelitian mencangkup sejarah medis yang lengkap, penilaian faktor resiko
khususnya untuk osteoporosis, sebuah survei sikap tentang penyakit ini, dan penilaian isu layanan
kesehatan. Selain itu, sebuah subsample wanita yang dinilai untuk tingkat kepadatan dan kandungan
mineral tulang mereka ( bmd ).
Di antara yang paling menarik hasil studi ini adalah perbedaan budaya ditemukan pada
survey sikap dan penilaian isu layanan kesehatan. Seluruh sampel perempuan dibagi menjadi dua
kelompok: yang lahir dan dibesarkan di amerika serikat yang berbicara bahasa inggris sebagai bahasa
utama mereka, dan orang orang yang lahir dan dibesarkan di jepang yang berbicara bahasa jepang
sebagai bahasa utama mereka. Ketika ditanya mengenai berbagai jenis permasalahan yang dihadapi
mereka ketika didiagnosis mengidap osteoporosis, lebih banyak perempuan jepang dibandingkan
amerika serikat melaporkan masalah yang berkaitan dengan keuangan dan berkaitan dengan
mencari pertolongan. Masalah utama bagi wanita america yakni kemampuan mobilitas yang dimiliki
.Temuan ini sangat menarik karena kemampuan mobilitas adalah elemen utama dari individualism ,
yang lebih merupakan karakteristik amerika serikat ketimbang jepang. Ketika ditanya masalah
seperti apa yang mereka akan dapat jika mereka harus mengurus seseorang dengan osteoporosis ,
banyak perempuan jepang menyebutkan tidak cukup waktu .Wanita amerika lagi menyebutka
masalah yang melibatkan kemampuan fisik mereka.
Para peneliti juga mempertanyakan jenis jasa pendukung wanita yang ingin disediakan jika
mereka yang didiagnosis menderita osteoporosis . Banyak perempuan jepang melaporkan bahwa
mereka ingin lembaga , rumah sementara , pusat rehabilitasi , perawatan rumah , pelayanan

55
informasi , pelayanan sosial organisasi , dan pengorganisasian untuk mendapat bantuan . Banyak
wanita amerika melaporkan ingin pelayanan lain yang menyangkut perawatan medis .
Lebih banyak perempuan amerika serikat mengetahui apa itu osteoporosis . Banyak
perempuan jepang , bagaimanapun , melaporkan bahwa itu konsentrasi utama untuk mereka dan
mereka akan melihat itu sangat negatif ketika didiagnosa .Juga , kebanyakan perempuan amerika
ketimbang jepang melaporkan bahwa kaum yang lain dari teman atau keluarga akan peduli dengan
mereka jika didiagnosa. Jika didiagnosis menderita osteoporosis , perempuan jepang lebih menyukai
untuk menggangap yang menjadi penyebab penyakit adalah takdir, kesempatan , atau
keberuntungan; wanita amerika lebih mungkin untuk mengatribusikan penyakit ke diet .Menariknya
, tidak ada perbedaan antara kelompok derajat tanggung jawab pribadi atau kontrol , dan jumlah
perempuan yang secara khusus meminta tes osteoporosis, dan perasaan mereka tentang terapi
estrogen .
Banyak studi juga menyarankan pentingnya budaya pada pembentukan sikap , keyakinan ,
dan nilai nilai tentang penyakit dan pengobatan .Domino dan lin ( 1993 ) , misalnya , meminta siswa
di taiwan dan amerika serikat untuk menilai berbagai metafora terkait dengan kanker .Yang dimana
metafora ini kemudian dicetak menurut empat jenis skala . Hasilnya menunjukkan bahwa siswa
Taiwan memiliki nilai tes lebih tinggi daripada orang amerika di kedua terminal pesimisme dan
optimisme masa depan; itu artinya , mereka tampil untuk keduanya lebih pesimis dan lebih optimis
dibandingkan dengan mitra pendamping amerika .
Cook ( 1994 ) juga melaporkan perbedaan dangkal tentang penyakit kronis dan peran
jejaring sosial di antara cina, india, dan anglo-celtic kanada. Dalam penelitiannya, Cook meminta
peserta dari ketiga budaya kelompok untuk merespons tiga skala dirancang untuk menilai
psychosocial, phenomenological, dan seputar jaringan sosial untuk pilihan pengobatan, penyakit,
dan dukungan sosial. Analisis data menunjukkan perbedaan yang signifikan di ketiga kelompok
budaya dalam merating phenomenological menyebabkan penyakit , psychosocial dan
phenomenological yang menghasilkan penyakit, aspek pengobatan psychosocial dan
phenomenological, dan di jejaring sosial.
Peneliti lain telah memeriksa bagaimana perspektif terhadap kesehatan nantinya
bermacam-macam tergantung pada tingkat akulturasi .Quah dan Bishop ( 1996 ) berkata kepada
sekelompok china amerika mengenai persepsi mereka pada kesehatan dan juga diukur tingkat
akulturasi dengan mengumpulkan informasi mengenai status seluruh generasi , bahasa lisan , afiliasi
agama , dan mendapat persetujuan dari nilai-nilai tradisional china .Mereka menemukan kembali
orang-orang yang menilai dirinya memiliki kepercayaan cina yang lebih bahwa penyakit itu adalah
sebagai hasil dari ketidakkeseimbangan dalam tubuh , seperti dingin yang berlebihan atau panas

56
yang berlebihan , sejalan dengan pandangan tradisional china dari penyakit . Orang-orang yang
menilai diri mereka sendiri lebih rendah pada keprcayaan cina , sebaliknya , percaya bahwa penyakit
adalah sebagai hasil dari virus, sejalan dengan pandangan penyakit biomedis bagian barat. Para
peneliti juga menemukan bahwa orang orang yang percaya kepada pandangan tradisional cina
kesehatan dan penyakit lemah cenderung untuk beralih kepada praktisi obat tradisional china dalam
menggali perawatan medis . Studi lain dari akulturasi dan kesehatan melibatkan asia kanada
menemukan bahwa orang orang yang lebih tinggi orientations ke budaya asia lebih mungkin untuk
mendukung tradisional cina melihat kesehatan dari yang diperbuat orang orang dengan
meningkatnya orientations ke arah budaya barat .Selain itu , orang orang mendukung tradisional
china medis keyakinan juga melaporkan menjadi kurang puas dengan perawatan medis barat(
armstrong & amp swartzmann; , 1999 ).
Hasil temuan menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan perlu tidak hanya berurusan
dengan pasien penyakit juga , dan mungkin lebih penting , psikologi yang berkaitan dengan penyakit
.Ini mungkin termasuk variabel variabel seperti attributions dan keyakinan tentang penyebab
penyakit; sikap tentang kesehatan , penyakit , dan; layanan preferensi yang terkait dengan bantuan
sosial dan jaringan psychosocial; kebutuhan berkaitan dengan kewenangan untuk atau
ketergantungan pada orang lain dan perawatan; kepatuhan.

E. PERBEDAAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI PENYAKIT


Perbedaan dalam Kesehatan dan Penyampaian Sistem Medis
Sistem pelayanan kesehatan sebuah negara adalah produk dari banyak faktor, termasuk
pembangunan sosial dan ekonomi, kemajuan teknologi dan ketersediaan, dan pengaruh tetangga
dan negara-negara berkolaborasi. Juga, mempengaruhi jasa pengiriman perawatan kesehatan
sejumlah tren sosial, termasuk urbanisasi, industrialisasi, struktur pemerintahan, hukum
perdagangan internasional dan praktek, perubahan demografis, tuntutan untuk privatisasi, dan
belanja publik.
1. Sistem kesehatan nasional dapat dibagi menjadi empat jenis utama (Roemer, 1991). Yang
dalam masing-masing kategori umum, setiap negara sangat bervariasi dalam hal tingkat
ekonomi mereka, yaitu :
a. Kewirausahaan
Amerika Serikat adalah contoh dari sebuah negara dengan tingkat ekonomi yang relatif
tinggi yang menggunakan sistem kewirausahaan perawatan kesehatan, ditandai dengan
industri yang meliputi individu swasta besar maupun kelompok. Masuk akal bahwa
sistem kewirausahaan digunakan di Amerika Serikat, misalnya, karena sifat yang sangat

57
individualistis budaya Amerika. Filipina dan Ghana juga menggunakan sistem
kewirausahaan perawatan kesehatan, tetapi memiliki tingkat ekonomi menengah dan
rendah, masing-masing.
b. Kesejahteraan Berorientasi
Misalnya, Perancis, Brasil, dan Burma adalah contoh tinggi, moderat, dan negara-negara
berpenghasilan rendah dengan sistem kesehatan kesejahteraan berorientasi.
c. Komprehensif
Swedia, Costa Rica, dan Sri Lanka memiliki perawatan kesehatan yang komprehensif
d. Sosialis
bekas Uni Soviet, Kuba, dan Cina memiliki sistem kesehatan sosialis.
Namun, pengaruh budaya tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap
sistem pelayanan kesehatan nasional. Dalam interaksi yang kompleks antara budaya, ekonomi,
teknologi, dan pemerintah, aspek sosial budaya tidak dapat dipisahkan dari lembaga-lembaga sosial.

Pengembangan Pendekatan Pengobatan budaya Sensitif


Di masa lalu, setidaknya di Amerika Serikat, tenaga kesehatan dan masyarakat medis cenderung
mendekati kesehatan dan pengobatan penyakit fisik dalam semua orang sama, dengan asumsi yang
mendasari bahwa tubuh manusia semua sama. Orang-orang di profesi kesehatan Amerika secara
perlahan menyadari kebutuhan untuk mengembangkan pendekatan pengobatan budaya sensitif dan
tepat.
Studi kelompok budaya lain juga menyoroti pentingnya keluarga dan masyarakat dalam pengobatan
masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Para penulis menyimpulkan bahwa pengobatan
budaya sensitif dan tepat perlu melibatkan keluarga dekat dan anggota keluarga jika pengobatan
yang efektif. Ini dan temuan lainnya menunjukkan bahwa masalah kesehatan timbul sebagai banyak
dari sistem kolektif individu dan agen sosial sebagai dari satu individu. Sistem kolektif ini, oleh
karena itu, harus terlibat jika pengobatan adalah untuk menjadi relevan dan efektif.
Armstrong dan Swartzman (2001) juga menunjukkan kebutuhan untuk memahami bagaimana
budaya yang berbeda berbicara dan berkomunikasi tentang penyakit. Misalnya, orang-orang dari
budaya kolektif tidak mungkin langsung memberitahu dokter apa yang mengganggu mereka, tetapi
mungkin jauh lebih berhati-hati dalam menggambarkan penyakit mereka. Jika dokter memiliki
orientasi individualistik dan jauh lebih langsung dalam mencoba untuk mencari tahu apa yang
sedang sakit pasien dengan mengajukan menunjuk, pertanyaan langsung dan mengharapkan
jawaban langsung, hal ini dapat menyebabkan penderitaan bagi pasien dan dapat menghalangi baik
pasien dan perawatan kesehatan penyedia dalam menangani penyakit.

58
Hal ini sangat sulit untuk memahami kompleksitas bahwa budaya membawa ke pengembangan
pendekatan pengobatan yang berhasil dan efektif. Selain masalah keluarga, sejumlah variabel
mungkin termasuk agama dan spiritualitas, jaringan dukungan sosial, kepercayaan dan sikap tentang
penyebab dan pengobatan, faktor sosial ekonomi, hambatan bahasa, malu, wajah, dan banyak
lainnya.
Jelas, lapangan masih berjuang untuk menemukan apa variabel yang relevan secara budaya paling
penting dan apakah variabel ini sama atau berbeda di seluruh kelompok budaya. Dugaan kami akan
bahwa ada beberapa kebutuhan cultureconstant yang perlu ditangani, tetapi kebutuhan ini terwujud
dalam cara yang berbeda dalam sikap yang berbeda, nilai-nilai, keyakinan, dukungan sosial, keluarga
besar, dan sejenisnya. penelitian masa depan memiliki pekerjaan besar dalam mengevaluasi
sejumlah variabel yang berpotensi penting untuk menyaring seperangkat pedoman yang dapat
berguna bagi para profesional perawatan kesehatan dalam upaya mereka untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat.

F. Kesimpulan
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap proses kesehatan dan penyakit. Selain efek lingkungan,
diet, langsung perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (merokok, konsumsi alkohol), dan
ketersediaan pelayanan kesehatan, budaya juga merupakan faktor utama. Memahami peran yang
dimainkan budaya dalam perkembangan penyakit, apakah medis atau psikologis, akan membawa
kita jauh ke arah pengembangan cara-cara untuk mencegah penyakit di masa depan. Dalam bab ini,
kita telah meneliti bagaimana penelitian lintas-budaya telah berusaha untuk mengeksplorasi
pengaruh budaya pada kesehatan fisik. Kita telah melihat bagaimana budaya yang berbeda memiliki
definisi yang berbeda dari kesehatan dan penyakit, dan konsepsi yang berbeda dari tubuh. Kami juga
telah melihat bagaimana perbedaan budaya individu mungkin berhubungan dengan kesehatan, dan
bagaimana budaya mempengaruhi perilaku tertentu seperti makan dan bunuh diri. Kami telah
menjelajahi sifat dari pendekatan pengobatan budaya yang relevan dan sensitif, termasuk
pentingnya keluarga dan masyarakat dalam beberapa kelompok budaya. Namun, masih banyak yang
harus dipelajari, dan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Pengakuan peran budaya dalam
mempengaruhi definisi dan ekspresi dari kesehatan menunjukkan bahwa kita harus mengubah
metode kami menilai dan mengobati penyakit. Mengembangkan strategi penilaian yang memadai
mengharuskan definisi berdasarkan budaya kesehatan dan penyakit diperhitungkan. Kesadaran
sistem budaya khusus penyembuhan juga diperlukan untuk mengembangkan metode yang efektif
dari kedua penilaian dan pengobatan. penilaian dan pengobatan metode budaya sensitif sangat

59
penting untuk meningkatkan kemampuan kami untuk memenuhi kebutuhan kesehatan populasi
beragam budaya, baik di Amerika Serikat dan global.

G. Latihan Soal
1. Menurut Hippocrates tubuh terdiri dari 4 bagian yaitu darah, lender, cairan empedu putih dan
hitam. (B/S)
2. Masyarakat Indian (Amerika) mempunyai pandangan menyeluruh dari kesehatan dan siapa
mempertimbangkan kesehatan yang baik untuk dapat hidup pada harmoni satu badan dan satu
lingkungan. (B/S)
3. Matsumoto, dkk. mengungkapkan bahwa budaya, terutama social support, memiliki peran
penting terhadap tingkat stess, yang mana mempengaruhi kesehatan. (B/S)
4. Budaya mempengaruhi sikap tentang menjaga kesehatan dan pengobatan. (B/S)
5. Dalam studi yang dilakukan Matsumoto banyak perempuan jepang menyebutkan tidak cukup
waktu ketika ditanya masalah sepertiapa yang mereka akan dapat jika mereka harus mengurus
seseorang dengan osteoporosis. (B/S)

60
MATERI 7:
7: BUDAYA DAN EMOSI
EMOSI

A. The Evolution od Human Emotion (evolusi Emosi Manusia)


Emosi mewarnai pengalaman hidup kita. Emosi memberi makna pada peristiwa. Orang
awam umumnya tidak membedakan antara emosi dan perasaan. Namun, sebagian besar
peneliti emosi mempertimbangkan perasaan (pengalaman subjektif) untuk menjadi bagian dari
emosi, tapi tidak emosional. Emosi melibatkan lebih dari perasaan. Kami mendefinisikan emosi
sebagai sesuatu yang sementara. Terdapat system komponen yang meliputi pengalaman
subjektif (perasaan), ekspresif perilaku seperti wajah, suara atau tindakan nonverbal; reaksi
fisiologis seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan lebih cepat; kecenderungan tindakan
dll, seperti bergerak menuju atau menjauh dari objek dan kognisi spesifikasi pola berfikir.
Perasaan emosi sangat cepat, bisa bertahan hanya beberapa detik atau menit. Emosi
berbeda dengan moods, moods bisa bertahan lebih lama beberapa jam atau seharian. Saat
emosi terjadi, rangsangan yang menimbulkan emosi akan membantu mempersiapkan tubuh kita
untuk bertindak. Emosi mempunyai arti social yang penting. Emosi membantu memecahkan
masalah-masalah kompleks social karena. Manusia mahluk yang unik karena memiliki emosi
yang diasosiasikan dengan refleksi diri seperti rasa malu, rasa bersalah, kebanggaan. Manusia
juga memiliki konstruk moralitas, dimana emosi moral seperti penghinaan dan jijik memainkan
peran penting (Haidt, 2001; Rozin, Lowery, Imada,, & Haidt 1999). Penghinaan dan jijik telah
terbukti menjadi emosi terutama peledak dan menghancurkan jika dilihat dalam interaksi
perkawinan (Gottman, 1994; Gottman & Levenson, 2002).

B. Universality in Emotion – The Basic Emotions Perspective (Emosi Universalitas – Perspektif


Emosi Dasar)
Marah, jijik, takut, kenikmatan, kesedihan dan kejutan dikenal sebagai emosi dasar (Ekman,
1992, 1999). Ini adalah emosi yang diekspresikan secara universal semua manusia melalui
ekspresi wajah, terlepas dari budaya ras, jenis kelamin, etnis atau asal kebangsaan. Tanda
fisiologis baik di pusat dan auto system saraf yang merupakan bagian dari system respon yang
terkoordinasi yang mempersiapkan individu untuk melawan, melarikan diri, atau melompat
gembira. Primata seperti simpanse juga memiliki emosi dasar yang sama, yang diungkapkan
mereka lewat wajah dengan cara yang sama dan digunakan dengan cara yang sama untuk
memecahkan masalah-masalah sosial.

61
C. The Original Universality Studies (Studi Universalitas)
Darwin menyatakan bahwa manusia berevolusi dari hewan yang lebih primitive seperti kera
dan simpanse, dan bahwa perilaku kita saat ini karena dipilih melalui proses adaptasi
evolusioner, The Expression of Emotion in Man an Animals (1872, edisi baru 1998). Darwin
berpendapat, ekspresi emosi di wajah mereka persis dengan cara yang sama di seluruh dunia,
terlepas dari ras dan budaya. Margaret Meaddan Ray Birdwhistell berpendapat bahwa ekspresi
wajah emosi tidak bisa bersifat universal, mereke menyarankan bahwa ekspresi wajah emosi
harus dipelajari (Ekman, Friesen, & Ellsworth, 1972). Sama seperti budaya yang berbeda memiliki
bahasa yang berbeda, mereka juga memiliki ekspresi wajah yang berbeda dari emosi.
Paul Ekman dan Wallace Friesen (Ekman 1971) dan Carroll Izard (1971), di dorong oleh karya
Sylvan Tomkins (1962, 1963) melakukan penelitian yang disebut studi universalitas. Dipilih foto-
foto ekspresi wajah emosi dari Ekman, Friesen, dan Tomkins. Peneliti menunjukkan foto ini di
lima Negara yaitu Amerika Serikat, Argentina, Brazil, Chili dan Jepang, mereka diminta untuk
melabel setiap ekspresi. Data menunjukkan tingkat yang sangat tinggi dari semua pengamat di
lima budaya dalam menafsirkan enam emosi: marah, jijik, takut, kebahagiaan, kesedihan dan
kejutan. Izard (1971) melakukan penelitian serupa dan mendapatkan hasil yang serupa. Tetapi
terdapat masalah dalam penelitian ini yaitu semua budaya yang termasuk dalam penelitian ini
melek huruf, industry dan relative modern. Jadi pengamat bisa belajar dari media massa yang
ada unutk menginterpretasikan ekspresi wajah.
Ekman, Sorenson dan Friesen (1969) melakukan studi serupa di dua suku yang belum melek
huruf dari New Guinea. Mereka diminta menggambarkan ekspresi wajah dalam grafik foto dan
data yang diperoleh mirip dengan yang diperoleh di melek huruf. Ekman dan rekan-rekannya
meminta anggota suku untuk menunjukkan ekspresi mereka dengan emosi yang berbeda. Lalu
foto tersebut di bawa ke Amerika dan terbukti pengamat Amerika tidak pernah melihat anggota
suku New Guinea. Mereka diminta untuk melabel emosi anggota suku tersebut dan data yang
diperoleh sama seperti sebelumnya sehingga ini bukti ketiga mendukung universalitas.

D. Universality in Emotion Antecedents (Universalitas dalam Anteseden Emosi)


Anteseden emosi adalah kejadian atau situasi yang memicu atau menimbulkan emosi. Dalam
literature ilmiah, anteseden emosi juga dikenal sebagai elisitor emosi. Penelitian Bouncher dan
Brandt (1981) meminta peserta Amerika dan Malaysia untuk menggambarkan situasi dimana
seseorang menyebabkan orang lain merasa marah, jijik, takut, kebahagiaan, kesedihan, kejutan.
Hasil penelitian menunjukkan Amerika diklasifikasikan anteseden sama baiknya terlepas dari

62
apakah mereka awalnya dihasilkan oleh Amerika atau oleh oran Malaysia; yaitu budaya asal
tidak mempengaruhi klasifikasi.
Scherer dan rekan-rekannya melakukan penelitian menggunakan kuisioner yang dirancang
untuk menilai kualitas dan sifat pengalaman emosional dalam kebudayaan yang berbeda.
Mereka melibatkan 3.000 peserta di 37 negara di lima benua. Mereka menanyakan kepada
responden tentang kapan mereka marah, jijik, takut, gembira, sedih, malu dan rasa bersalah.
Responden menulis tentang situasi yang membawa masing-masing emosi ini. Temuan
menunjukkan bahwa tidak ada kategori budaya khusus yang diperlukan untuk kode data, semua
kategori peristiwa umumnya terjadi di semua budaya untuk menghasilkan masing-masing tujuh
emosi dipelajari. Terdapat kesamaan di seluruh budaya dalam kejadian yang menimbulkan
emosi yaitu elisitor kebahagiaan yang berhubungan dengan “teman-teman” dan “prestasi”,
elisitor marah adalah “hubungan” dan “ketidakadilan”. Elisitor kesedihan yaitu “hubungan” dan
“kematian”. Temuan ini mendukung pandangan bahwa anteseden emosi bersifat universal lintas
budaya.

E. Universality in emotion appraisal processes (Universalitas dalam Proses Penilaian Emosi)


Penilaian emosi dapat longgar didefinisikan sebagai proses dimana orang mengevaluasi
peristiwa, situasi, atau kejadian yang mengarah untuk memiliki emosi mereka.
Scherer menemukan bahwa proses emosi penilaian yang lebih mirip daripada yang berbeda
di seluruh budaya. Temuan ini mengindikasikan bahwa proses emosi penilaian yang lebih mirip
daripada yang berbeda di seluruh budaya . Selain itu, ada tingkat yang sangat tinggi dari
kesamaan lintas budaya dalam proses emosi penilaian, dan kesepakatan budaya ini lintas dalam
penilaian telah direplikasi oleh peneliti lain sebagai weel. Temuan ini mendukung gagasan bahwa
emosi dasar tampaknya dinilai dengan cara yang sama secara universal.

F. Universality in Expressive Behavior (Universalitas dalam Perilaku Ekspresif)


Ekman ( 1972) dan Friesen ( 1972) melakukan penelitian di Amerika Serikat dan Jepang ,
meminta subyek Amerika dan Jepang untuk melihat rangsangan yang sangat stres sebagai reaksi
wajah mereka direkam tanpa kesadaran mereka . Amerika dan Jepang memang menunjukkan
jenis yang sama persis dari ekspresi wajah pada titik-titik yang sama dalam waktu, dan ekspresi
ini Corre - ditanggapi dengan ekspresi yang sama yang dianggap universal dalam pertimbangan
penelitian. Menunjukkan aslinya enam emosional ekspresi - marah, jijik, takut, kebahagiaan,
kesedihan, dan terkejutyang ditemukan universal mantan ditekan dan diakui di seluruh budaya .
(Ekspresi ketujuh , penghinaan , akan dibahas dalam kaitannya dengan studi yang lebih

63
baru.)Jika kesimpulan ini benar, mereka memiliki implikasi yang luas. Singkatnya, mereka
menyarankan bahwa kita semua dilahirkan dengan kapasitas untuk pengalaman,
mengungkapkan, dan merasakan set dasar yang sama emosi.
Ekman dan Friesen (1969) dalam aturan yang mengatur bagaimana emosi yang universal
dapat dinyatakan. Aturan-aturan ini berpusat pada kesesuaian menampilkan setiap emosi dalam
keadaan sosial tertentu. Aturan ini dipelajari sejak dini, dan mereka mendikte bagaimana
ekspresi emosi yang universal harus diubah sesuai dengan situasi sosial. Dengan dewasa, aturan
ini otomatis, yang telah berlatih sangat baik, disebut sebagai Cultural display rules.

G. Universality in Physiological Responses to Emotion (Universalitas dalam Respon Fisiologis


Terhadap Emosi)
Ekman, Levenson, dan Friesen ( 1983) menunjukkan bahwa masing-masing dari emosi yang
universal, ketika ditandai dengan ekspresi universal, memiliki tanda tangan fisiologis yang
berbeda dan diskrit dalam sistem saraf otonom. Penelitian selanjutnya telah direplikasi temuan
ini, dan menunjukkan bagaimana ada pola tertentu dalam aktivitas sistem saraf pusat ( otak )
juga. Tsai dan Levenson (1997 ), menunjukkan bagaimana respon fisiologis orang Cina dan Eropa
Amerika adalah serupa. Levenson, Ekman, Heider, dan Friesen ( 1992) menunjukkan bahwa
orang-orang dari budaya yang sangat berbeda Minangkabau dari Sumatra Barat , Indonesia juga
menunjukkan pola yang sama dari respon fisiologis. Temuan ini menunjukkan bahwa emosi
membantu individu untuk menanggapi rangsangan emosional dengan mempersiapkan tubuh
untuk terlibat dalam kegiatan. Takut mempersiapkan kita untuk melarikan diri.

H. Universality in Subjective Emotional Experience (Universalitas dalam Pengalaman Emosional


Subjektif)
Data analisis menunjukkan bahwa pengamat dari kedua budaya terkait kekuatan layar
eksternal dengan kekuatan diduga dari pengalaman internal untuk semua ekspresi,
menunjukkan kesamaan dalam linkage seluruh budaya. Hubungan antara kehadiran atau tidak
adanya ekspresi dan pengalaman yang mendasari, dan intensitas kedua, adalah topik yang
sangat penting dalam teori kontemporer emosi.
Scherer dan rekan-rekannya telah melakukan sejumlah studi menggunakan pertanyaan yang
dirancang untuk menilai kualitas dan sifat dari pengalaman emosional dalam banyak
kebudayaan yang berbeda. Sebuah studi awal (Scherer, Summerfield, & Wallbott, 1983)
melibatkan sekitar 600 peserta di lima negara Eropa. Dalam penelitian kedua (Scherer, Wallbott,
& Summerfield, 1986), mereka mengumpulkan data tambahan dari tiga negara Eropa,

64
meningkatkan total menjadi delapan negara. Studi ketiga (Scherer, Matsumoto, Wallbott, &
Kudoh, 1988) kemudian dibandingkan sampel tertimbang dari peserta Eropa untuk sampel dari
Amerika Serikat dan Jepang.Di semua tiga penelitian, para peneliti menyimpulkan bahwa budaya
dapat dan tidak mempengaruhi pengalaman emosi ini, tetapi pengaruh ini jauh lebih kecil
daripada perbedaan mendasar antara emosi diri sendiri. Lebih jelas, budaya menunjukkan lebih
kemiripan dari perbedaan.

I. Universality in The Coherence among Emotion Response System (Universalitas dalam


Koherensi antara System Respons Emosional)
Koherensi respon system emosi mengacu pada perbedaan respon komponen muka, suara,
fisiologis dan lainnya yang berhubungan dengan cara yang berarti.Banyak penelitian budaya
tertentu mendemontrasikan koherensi antara respon system emosi. Bukti lintas budaya mulai
muncul. Contoh, menganalisis data ulang dari penelitian Scherer menjelaskan hal di atas dan
memeriksa hubungan antara self reported ekspresi, kebiasaan, pengalaman emosi dan sensasi
fisiologis . Ada cukup korelasi antara tiga system respon pada responden dalam 27 negara yang
telah di analisa. Ada juga korelasi yang konsisten antara ekspresi verbal dan non verbal, sebaik
antara intensitas emosi dengan sensasi fisiologis, semua yang menyarankan koherensi
mendasari kenyataan neurofisiologis. Lebih dari itu, koherensi ini benar di lintas budaya.

J. Universality in Emotion Recognition (Universalitas dalam Pengenalan Emosi)


Aspek penting dalam teori dasar emosi adalah tidak hanya emosi yang biasanya di tunjukan,
melainkan mereka di kenali secara umum. Bagian penelitian emosi universala yang aslil,
faktanya, peneltian dalam beberapa observasi budaya yang berbeda terlihat reaksi wajah dan
emosi yang digambarkan pada mereka. Peneltian yang dilakukan Ekman dan Izard
mendemostrasikan 6 ekspresi wajah secara umum yaitu marah, jijik, takut, senang, sedih, dan
terkejut.

K. Cultural Differences in Emotion (Perbedaan Budaya dalam Emosi)


Walaupun manusia mungkin memiliki emosi dasar yang sama, budaya memiliki pengaruh
yang penting dalam aspek emosi. Dalam bab ini kita akan mencari tahu bagaimana itu terjadi,
dimulai dengan pengaruh budaya yang sebelumnya.

L. Cultural Differences in Emotion Antecedents (Perbedaan Budaya dalam Anteseden Emosi)

65
Perbedaan budaya muncul pada frekuensi perbedaan peristiwa ansenden. Contohnya dalam
penelitian Scherer, peristiwa budaya seperti kelahiran anggota keluarga, dan penghargaan
merpuakan ansenden kesenangan pada negara Eropa dan Amerika daripada Jepang. Kematian
keluarga atau temen dekat lebih memicu kesedihan di negara Eropa dan Amerika dibandingkan
Jepang. Sedangkan masalah dalam suatau hubungan, membuat sedih pada budaya di Jepang
dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Merasa diasingkan menimbulkan ketakutakan
pada budaya Amerika, sedangkan situasi yang baru, kemacetan dan hubungan lebih
menimbulkan ketakutakan pada budaya Jepang. Situasi yang melibatkan orang asing
menimbulkan kemarahan pada budaya Jepang dibandingkan dengan Amerika dan Eropa. Situasi
yang melibatkan suatu hubungan menimbulkan kemarahan lebih pada negara Amerika
dibandingkan dengan Jepang.
Emosi ini timbul berdasarkan kondisi fisiologis yang sama. Emosi-emosi ini muncul
berdasarkan budaya-budaya tertentu. Pada kasus kematian, dalam beberapa budaya hal ini
menimbulkan kesedihan, namun menimbulkan emosi yang berbeda pada budaya yang lain.

M. Cultural Differences in Emotion Appraisal (Perbedaan Budaya dalam Penilaian Emosi)


Pada penelitian membadingkan respon Amerika dan Jepang, menunjukan bahwa self esteem
and self confidence menimbulkan efek positif pada emosi di Amerikan. Pada budaya Amerika
lebih menunjukan emosinya kepada orang lain, sedangkan pada budaya Jepang lebih memilih
untuk menyimpan emosi dan mereka percaya bahwa bisa menyalurkan dengan cara yang positif.
Orang Amerika pada umumnya memiliki skor kontrol lebih tinggi daripada responden di tiga
negara lainnya. Scherer (1997a, 1997b) melaporkan perbedaan budaya dalam penilaian emosi.
Pada bagian pertama, Scherer (1997a) diklasifikasikan masing-masing dari 37 negara menjadi
salah satu dari enam daerah geopolitik: North / Eropa Tengah, Mediterania Basin, New World,
Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Korelasi antara dimensi penilaian di daerah menunjukkan
kesamaan yang besar di daerah dalam proses penilaian.
Analisis lebih lanjut Scherer ini (1997b) menunjukkan bahwa untuk semua emosi kecuali
kebahagiaan, peserta dari negara-negara Afrika yang dinilai peristiwa emosi-memunculkan
sebagai tinggi pada ketidakadilan, penyebab eksternal, dan amoralitas daripada orang dari
daerah lain. Responden dari Amerika Latin memiliki skor lebih rendah pada persepsi dari
amoralitas yang melibatkan iklim, nilai-nilai budaya, dan faktor-faktor sosial ekonomi dan
demografi tidak memperhitungkan perbedaan-perbedaan ini.
Studi ini menunjukkan bahwa, ada ruang untuk beberapa perbedaan budaya, terutama
dalam dimensi penilaian yang membutuhkan penilaian relatif terhadap norma-norma budaya

66
atau sosial seperti keadilan dan moralitas. Perbedaan budaya dapat terjadi lebih "kompleks"
appraisal dimensi, tapi tidak pada lebih "primitif" dimensi, seperti yang disarankan oleh
Roseman dan rekan (1995).

H. Cultural Differences in Expressive Behavior: Display Rules (Perbedaan Budaya Dalam


Mengekspresikan Perilaku : Display Rules)
1. The Original Display Rule Study (Tampilan asli dari aturan penelitian)
Faktanya ekspresi wajah bersifat universal, terkadang kita mengalami kesalahan dalam
menafsir ekspresi orang lain dari latar belakang budaya yang beda. Meskipun ekspresi emosi orang
lain dari latar belakang budaya yang berbeda terlihat sama namun ada banyak perbedaan.
Ekman dan Friesen (1969) menyatakan bahwa ada beberapa cara di mana aturan tampilan
dapat bertindak untuk memodifikasi ekspresi (cultural display rules) yaitu :
g. mengekspresikan dengan kurang atau memperlemah (deamplification)
h. mengungkapkan dengan lebih atau melebih-lebihkan (amplification)
i. tidak menunjukkan (neutralization)
j. menunjukkan emosi tapi dengan emosi lain untuk mengomentari itu (qualification)
k. perasaan menyembunyikan dengan menunjukkan sesuatu yang lain (masking)
l. menunjukkan emosi ketika mereka benar-benar tidak merasakan itu (simulation)
2. Penelitian lintas - budaya baru pada aturan tampilan (display rules).
Keakraban dan keintiman diri dalam kelompok budaya memberikan rasa aman dan
nyaman untuk mengekspresikan emosi secara bebas, bersama dengan toleransi yang lusadalam
spektrum perilaku emosional. Bagian dari sosialisasi emosional melibatkan pembelajaran yang
berada dalam kelompok dandiluar anggota kelompok serta perilaku yang sesuai dengan mereka.
Ekspresi perasaan positif dan negatif terhadap anggota diluarkelompok.
Penelitian telah mendokumentasikan keberadaan akan perbedaan budaya dalam ekspresi
emosional antara kelompok etnis di Amerika Serikat. Sebuah temuan menunjukkan bahwa orang
Caucasia dinilai lebih rendah daripada orang Asia, lebih tepat disebut menjengkelkan daripada
kulit hitam dan Latin , lebih penakut daripada latinos, dan lebih menyedihkan tepat daripada
orang kulit hitam dan orang Asia.
Meskipun manusia secara umum memiliki dasar yang sama dalam berekspresi, penelitisan
menunjukkan bahwa budaya sangat mempengaruhi ekspresi emosional mereka. Ekspresi wajah
secara umum dipengaruhi oleh emosi, factor biologis dan budaya. Berdasarkan pada kondisi
sosial, penampilan dapat berpengaruh untuk menetralkan, memperkuat, melemahkan,
membentuk sifat, atau ekspresi mimik wajah secara umum. Mekanisme ini menjelaskan

67
bagaimana dan mengapa orang-orang bisa membedakan ekspresi emosional mereka secara
umum.
3. Cultural Differences in Judging Emotions in Other (Perbedaan Budaya dalam Menilai Emosi
Orang Lain)
Penelitian telah dipercaya menunjukkan perbedaan antar budaya dalam tingkat
pengenalan yang tepat. Penelitian Matsumoto’s (1992), membandingkan Amerika dan Jepang
dalam mengenal emosi, dan menunjukkan bahwa Amerika mengakui diri mereka marah,
memuakkan, penakut, dan kesedihan daripada Orang Jepang. Tetapi, tingkat akurasi tidak
berbeda untuk nilai kebahagiaan atau kejutan.
Maculinity (Kejantanan) MA untuk setiap budaya. Meta analisis (Schimmak, 1996)
menemukan perbedaan dalam persepsi emosi sebagai budaya. Para peneliti juga mengabadikan
ketertarikan pada perbedaan budaya dalam menyimpulkan ekspresi emosional terutama pada
ekspresi wajah.

O. Cultural Differences in The Concept and Social Meaning of Emotion (Perbedaan Budaya dalam
Konsep dan Makna Sosial dari Emosi)
1. The Concept of Emotion (Konsep dari Emosi)
Kita mengingat keunikan individu dan perasaan individu terhadap sesuatu, peristiwa,
keadaan, dan orang lain di sekitar kita. Kita secara aktif mencoba untuk mengenali perasaan
anak-anak kita dan orang-orang muda lain di sekitar kita.Pada terapi psikologi banyak difokuskan
untuk membantu individu secara bebas mengekspresikan perasaan dan emosi mereka.
Contohnya; terapi kelompok dalam terapi kelompok, penekanannya adalah pada
mengkomunikasikan perasaan terhadap orang lain dalam kelompok dan mendengarkan dan
menerima ekspresi perasaan orang lain.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata atau konsep untuk apa yang kita namakan emosi
dalam bahasa Inggris. Penelitia ini menunjukkan bahwa ekpresi, kesempurnaan, perasaan,
situasi yang kita sebut emosi tidak selalu mewakili apa yang sama dari fenomena dalam budaya
lain.
2. The Categories of Emotion (Kategori dari Emosi)
Perbedaan dalam menggunakan budaya kata dapat mengidetifikasi dan memberi kita
petujuk pada dunia tentang cara yang berbeda dalam menunjukan pengalaman dari emosi
mereka. Bukanberarti tidak pernahmerasakanemosi tersebut, namunadapenekananbudaya yang
berbeda terhadap hal tersebut.
3. The Location of Emotion (Lokasi dari Emosi)

68
Budaya yang tidak sama menunjukan emosi di tempat yang berbeda menginformasikan kita
bahwa emosi dipahami dan memiliki arti yang berbeda untuk orang lain. Dengan
mengidentifikasi emosi dengan hati, orang Amerika mengenali dengan organ biologis yang paling
penting diperlukan untuk bertahan hidup. Faktanya bahwa budaya lain mengidentifikasi dan
menemukan emosi di luar tubuh, seperti dalam hubungan sosial dengan orang lain, berbicara
pentingnya hubungan dalam kebudayaan, sangat berbeda dengan individu budaya Amerika.
4. The Meaning of Emotions to People and to Behavior (Arti dari Emosi untuk Orang dan
Prilaku)
Perbedaan budaya dalam peran dan makna dari emosi. Banyak budaya, misalnya,
mengganggap emosi sebagai pernyataan tentang hubungan antara manusia dan lingkungan
meraka, baik itu benda di lingkungan meraka atau hubungan sosial dengan orang lain. Ketika
berbicara dengan orang lain tentang perasaan, kita tidak bisa hanya berasumsi bahwa mereka
akan memahami kita seperi yang kita harapkan, meskipun kita berbicara sesuatu yang
mendasar seperti emosi manusia., kita juga tidak bisa berasumsi bahwa kita mengetahui apa
yang orang lain rasakan, kita hanya mengetahui tentang emosi dari sudut padang kita yang
terbatas.
5. Cultural Constructionist Approaches to Emotion (Konstruksionis Budaya dalam Pendekatan
Emosi)
Budaya yang berbeda memiliki realitas yang berbeda dan ideal menghasilkan kebutuhan
psikologis yang berbeda dan tujuan mereka menghasikan kecenderungan kebiasaan emosional.
Model budaya emosi ini diringkas dalam Figure 8.4. Karena hubungan saling terkait antara
budaya dan emosi, secara biologis emosi tidak mungkin sama untuk semua orang. Mereka
menyarankan bahwa keseluruhan emosi adalah sebuah ironi, dan di dukung oleh temuan
eksperimen dari para peneliti yang sudah meraka laporkan.

P. Kesimpulan
Emosi - paling pribadi , personal , dan bisa dibilang yang paling penting sebagai - aspek-
kehidupan kita - memberikan peristiwa kehidupan yang berarti. Mereka memberitahu kami apa
yang kita suka dan apa yang tidak kita lakukan, apa yang baik dan buruk bagi kita. Mereka
memperkaya hidup kita, memberikan warna dan makna peristiwa dan dunia di sekitar kita.
Mereka memberi tahu kita siapa kita dan bagaimana kita faring dengan orang lain. Emosi adalah
perekat tak terlihat yang mengikat kita dengan seluruh dunia, apakah itu peristiwa di sekitar kita
atau orang-orang.

69
Emosi memainkan peran seperti sentral dalam kehidupan kita bahwa ada budaya heran,
bahwa pembentuk tak terlihat dari pengalaman, bentuk dan cetakan dunia emosional kita.
Meskipun kita mungkin dilahirkan dengan kemampuan bawaan tertentu, seperti kapasitas untuk
mengekspresikan dan merasakan emosi di wajah kami dan untuk merasakan emosi, budaya
membantu untuk membentuk kapan, di mana, dan bagaimana kita dapat mengekspresikan,
merasakan, emosi mereka. Budaya menciptakan makna emosi bagi kita, apakah kita memahami
emosi sebagai pengalaman yang sama sekali pribadi, swasta, dan individu atau sebagai inter-
personal, publik, pengalaman kolektif dengan orang lain. Dalam bab ini, kita telah melihat
universalitas dari set kecil wajah ekspresi keputusan emosi yang paling mungkin evolusioner
adaptif dan biologis bawaan. Namun kita juga telah melihat bahwa budaya dapat berbeda dalam
ekspresi emosi mereka melalui aturan tampilan budaya, dan persepsi emosional mereka melalui
aturan decoding budaya. Orang berbeda antar budaya dengan cara-cara di mana mereka
mengalami emosi, dan dalam kejadian sebelumnya tertentu yang menimbulkan itu. Beberapa
aspek emosi penilaian, dan bahkan konsep dan bahasa emosi, juga bisa berbeda antar budaya.
Tampaknya universalitas mungkin terbatas untuk satu set agak kecil dari emosi dasar, yang
berfungsi sebagai platform untuk interaksi dengan aturan belajar, adat istiadat sosial, dan
berbagi script sosial, sehingga segudang emosi budaya khusus yang lebih kompleks dan makna
emosional. Fakta bahwa universalitas ada tidak meniadakan potensi perbedaan budaya.
Demikian juga, fakta bahwa perbedaan budaya tidak meniadakan potensi universalitas. Mereka
adalah dua sisi dari mata uang yang sama, dan keduanya harus dimasukkan ke dalam teori masa
depan dan penelitian tentang emosi, baik di dalam atau di seluruh budaya. Memang,
penggabungan mendasari, proses universal, psikobiologi menjadi model konstruksi budaya
emosi merupakan tantangan yang ada di depan di daerah ini penelitian.
Para ilmuwan di daerah ini psikologi akan perlu mengambil tantangan yang lebih besar
tentang bagaimana biologi berinteraksi dengan budaya untuk menghasilkan individu dan
kelompok psikologi kita lihat di seluruh dunia. Jika tidak ada yang lain, setidaknya pengakuan kita
emosi sebagai proses universal dapat membantu membawa orang bersama-sama, terlepas dari
budaya, ras, etnis, atau jenis kelamin. Seperti kita melanjutkan studi kami perasaan manusia dan
emosi antar budaya, mungkin itu adalah yang paling penting untuk mengenali bagaimana batas-
batas tersebut membentuk emosi kita. Meskipun kita semua memiliki emosi, mereka berarti hal
yang berbeda untuk orang yang berbeda dan berpengalaman, menyatakan, dan dengan cara
yang berbeda. Salah satu tugas pertama kami belajar tentang emosi lintas budaya adalah untuk
mengakui dan menghormati perbedaan. Tapi tugas yang sama pentingnya adalah untuk
mengenali kesamaan kami juga.

70
Latihan Soal
1. Tentu saja keuniversalan ekspresi emosi ini saja tidak bisa menjelaskan adanya perbedaan-
perbedaan cultural. Aturan-aturan ini berpusat pada kesesuaian menampilkan setiap emosi
dalam keadaan sosial tertentu. Aturan ini dipelajari sejak dini dan mereka mendikte
bagaimana ekspresi emosi yang universal harus diubah sesuai dengan situasi. Hal ini disebut
dengan Cultural Display Rules. (B/S)
2. Tsai dan levenson (1997), menunjukkan bagaimana respon fisiologis orang Cina dan Eropa
Amerika adalah tidak serupa. (B/S)
3. Kematian atau kehilangan kerabat dekat merupakan salah satu farktor timbulnya kesedihan
pada budaya Jepang dibandingkan dengan Amerika dan Eropa. (B/S)
4. Budaya sangat berpengaruh terhadap ekspresi emosional manusia. (B/S)
5. Darwin menyatakan dalam bukunya The Expression of Emotion in Man an Animals, bahwa
manusia berevolusi dari hewan yang lebih primitive seperti kera dan simpanse, dan bahwa
perilaku kita saat ini karena dipilih melalui proses adaptasi evolusioner. (B/S)

71
MATERI 8:
8: Budaya, Bahasa dan Komunikasi

Komunikasi adalah salah satu aspek yang paling penting dari kehidupan kita. Ini adalah suatu
proses yang mengikat kita semua bersama-sama, membantu kita mendapatkan pekerjaan yang
dilakukan, memiliki hubungan, dan mencapai tujuan. Budaya manusia ada karena kemampuan
untuk memiliki bahasa.

A. STRUKTUR BAHASA
Memahami berbagai komponen bahasa akan memungkinkan kita untuk mempertimbangkan
apa itu tentang bahasa yang dipengaruhi oleh budaya. Ahli bahasa biasanya menggambarkan
bahasa menggunakan berikut, lima-ciri penting membangun struktur, yang tampaknya berlaku
untuk semua bahasa di semua budaya diantaranya :
1. Leksikon atau kosa kata, mengacu pada kata-kata yang terkandung dalam suatu bahasa.
Misalnya, pohon , makan.
2. Sintaks dan tata bahasa dari bahasa mengacu pada sistem aturan yang mengatur
bentuk kata dan bagaimana kata-kata harus dirangkai untuk membentuk ucapan
bermakna.
3. Phonology mengacu pada sistem aturan yang mengatur bagaimana kata-kata harus
terdengar (pengucapan) dalam bahasa tertentu.
4. Semantics mengacu pada apa artinya kata-kata. Sebagai contoh, meja mengacu ke
obyek fisik yang memiliki empat kaki dan permukaan horizontal datar.
5. Pragmatics mengacu pada sistem aturan yang mengatur bagaimana bahasa digunakan
dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.

B. PERBEDAAN BAHASA DI SELURUH BUDAYA


Budaya mempengaruhi struktur dan penggunaan fungsional bahasa, dan bahasa dapat
dianggap sebagai hasil atau manifestasi budaya. Sifat siklus dari hubungan antara budaya dan
bahasa menunjukkan bahwa tidak ada budaya dapat sepenuhnya dipahami tanpa memahami
bahasanya, dan sebaliknya. Dan karena bahasa mempengaruhi pemikiran dan pandangan dunia
kita, pemahaman pengaruh budaya pada bahasa memiliki implikasi penting untuk memahami
perbedaan budaya di perspektif pandangan dunia.

C. HIPOTESIS SAPIR-WHORF

72
Satu perdebatan yang paling penting dan lama dalam studi bahasa dan perilaku melibatkan
hubungan antara proses bahasa dan pikiran. Hubungan ini sangat penting untuk studi lintas
budaya bahasa karena setiap budaya terkait dengan bahasa tertentu sebagai wahana ekspresi.
Selain itu juga disebut relativitas sebagai linguistik, menyarankan bahwa penutur bahasa yang
berbeda berpikir secara berbeda, dan bahwa mereka melakukannya karena perbedaan dalam
bahasa mereka. Karena budaya yang berbeda biasanya memiliki bahasa yang berbeda, hipotesis
Sapir-Whorf sangat penting untuk memahami perbedaan budaya (dan persamaan) dalam pikiran
dan perilaku sebagai fungsi bahasa. Hipotesis ini juga menunjukkan bahwa orang yang berbicara
lebih dari satu bahasa mungkin benar-benar memiliki pola pikir yang berbeda ketika berbicara
bahasa berbeda.
1. Tantangan Hipotesis Sapir-Whorf
Berlin dan Kay (1969) menguji pernyataan dari Gleason (1961) mengenai “ Gradasi
warna yang berkelanjutan yang terdapat di alam direpresentasikan dalam bahasa dengan
serangkaian kategori yang berbeda.” Hasilnya adalah seseorang dari budaya yang berbeda
melihat warna dengan cara yang sama, meskipun berbeda secara radikal bahasa yang
mereka gunakan.
Temuan-temuan Berlin dan Kay ini dikonfirmasi di kemudian hari oleh serangkain
eksperimen yang dilakukan Rosch, yang ingin menguji seberapa universal titik warna fokal
ini secara budaya. Ia membandingkan bahasa Inggris (beragam istilah warna) dengan
bahasa Dani (dua istilah warna, mili (gelap dan dingin) dan mola (cerah dan hangat)). Selain
itu, Rosch juga meneliti hubungan antar bahasa dan ingatan. Minimnya leksikon bahasa
suku Dani untuk warna akan menghambat kemampuan mereka untuk membedakan dan
mengingat warna.
Berlin dan Kay (1969) juga meneliti 78 bahasa dan menemukan 11 istilah warna
dasar yang membentuk sebuah hirarki yang universal, yaitu:
a. Semua bahasa memiliki istilah warna untuk hitam dan putih.
b. Bila sebuah bahasa memiliki tiga istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk
merah.
c. Bila sebuah bahasa memiliki empat istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk
hijau atau kuning (tapi tidak keduanya).
d. Bila sebuah bahasa memiliki lima istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk
hijau dan kuning.
e. Bila sebuah bahasa memiliki enam istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk
biru.

73
f. Bila sebuah bahasa memiliki tujuh istilah warna , maka ia pasti punya istilah untuk
coklat.
g. Bila sebuah bahasa memiliki delapan atau lebih istilah warna, maka ia pasti punya
istilah untuk ungu, merah muda, orange, atau kombinasi dari warna-warna ini.
Bukti lain yang mendukung hipotesis Sapir-Whorf muncul di tahun 1981 ketika
Bloom melakukan penelitian terhadap orang berbahasa Cina dengan orang berbahasa
Inggris untuk memberi penafsiran hipotesis atas suatu cerita hipotesis. Bloom menafsirkan
temuan ini sebagai bukti kuat bahwa struktur bahasa memang memediasi proses-proses
kognitif.
2. Inti Hipotesis Sapir-Whorf
Pada tahun 1960, Joshua Fishman menerbitkan sebuah telaah komprehensif atas
cara-cara penting bagaimana hipotesis Sapir-Whorf dibahas. Fishman mengurutkan
pendekatan yang berbeda berdasarkan tingkat kompleksitasnya. Terdapat dua faktor yang
menentukan pada tingkat mana sebuah versi hipotesis dikategorikan. Faktor pertama
berhubungan dengan aspek bahasa mana yang dilihat dalam hipotesis, misalnya apa aspek
lesikon yang dilihat. Faktor kedua berkaitan dengan perilaku kognitif apa yang dilihat pada
seorang pengguna bahasa tertentu, misalnya tema kultural dan data non-linguistik.
Data Perilaku Kognitif
Data Karakteristik Bahasa
Data Linguistik Data Non-Linguistik
Leksikal/ semantik Level 1* Level 2
Gramatikal/ tata bahasa Level 3 Level 4**
*paling sederhana
** paling tinggi

D. BILINGUALISME DAN BUDAYA


1. Bilingualisme dan Sapir-Whorf
Banyak individu yang bilingual melaporkan bahwa mereka berpikir, merasa, dan
bertindak berbeda tergantung pada bahasa yang mereka gunakan pada saat itu. Fenomena
semacam itu tidak selalu isu "Whorfian" karena tidak selalu berarti bahwa setiap aspek dari
dua bahasa (sistem leksikal atau gramatikal mereka) menyebabkan perubahan perilaku.
Pada titik ini, mungkin menguntungkan untuk membuat perbedaan lebih lanjut antara
"kuat" dan "lemah" versi hipotesis Sapir-Whorf. Sebuah versi yang kuat, akan menyatakan
bahwa bahasa yang menyebabkan perbedaan dalam berpikir. Sebuah versi yang lemah,
mungkin menyatakan bahasa terkait dengan perbedaan dalam berpikir, tanpa
mempengaruhi mereka.

74
2. Bilingualisme dan Perbedaan Psikologis
Culture affiliation hypothesis menyatakan bahwa bilingual imigran akan cenderung
meng-afiliasi diri dengan nilai-nilai dan yakin bahwa budaya terkait dengan bahasa di mana
mereka saat ini beroperasi. Minority group-affiliation hypothesis sebaliknya, menunjukkan
bahwa imigran bilingual akan cenderung mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok
etnis minoritas dan mengadopsi stereotip perilaku budaya mayoritas tentang minoritas
mereka sebagai diri mereka sendiri ketika mereka mengoperasikan bahasa yang berkaitan
dengan kelompok minoritas mereka.
Kesan negatif dan stereotip, terutama tentang kecerdasan, dapat terjadi ketika
berkomunikasi dengan orang-orang dalam bahasa kedua mereka karena mereka dapat
mengambil lebih banyak waktu di menanggapi dan tampaknya memiliki kesulitan kognitif
saat memproses informasi, yang dikenal sebagai foreign language difficulties. Individu yang
berbahasa bilingual juga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas berpikir nonlinguistik;
kesulitan tersebut dikenal sebagai foreign language effect (Takano & Noda,1993). Istilah ini
mengacu pada penurunan sementara dalam kemampuan berpikir orang yang menggunakan
bahasa asing di mana mereka kurang mahir dalam menggunakannya.
3. Monolingualisme dan Ethnocentrisme
Untuk sebagian besar sejarah dan bahkan hari ini, Amerika Serikat telah sebagian besar
tetap satu bahasa (monolingual). Mereka biasanya percaya bahwa manusia telah membatasi
"ruang" untuk menyimpan bahasa dan "terlalu banyak "bahasa mengambil banyak “ruang "
dari fungsi lain seperti kecerdasan. Gagasan tersebut salah; tidak ada bukti bahwa bilinguals
melakukan lebih buruk pada tugas-tugas intelektual (atau lainnya). Sebaliknya, ada bukti
bahwa pengetahuan lebih dari satu bahasa dapat meningkatkan fleksibilitas. Mengingat
Amerika merupakan yang paling monolingual dari semua bangsa di dunia, bahasanya sangat
terkait dengan budaya, dan multibahasa yang berhubungan dengan apresiasiari budaya yang
berbeda, memungkin bahwa Amerika sebenarnya paling etnosentris.

E. KOMPONEN KOMUNIKASI
Komunikasi tidak terjadi dalam ruang hampa, itu terjadi dalam konteks tertentu. Kapan
kita berinteraksi dengan orang lain, jumlah informasi yang ditransmisikan dari satu orang ke
depan adalah luar biasa besar. Kita mungkin berpikir bahwa satu-satunya bagian, atau bagian
utama, komunikasi adalah kata-kata yang diucapkan.
1. Komunikasi Nonverbal

75
Komunikasi nonverbal dapat diklasifikasikan dalam dua kategori umum: perilaku
nonverbal dan nonbehaviors. Perilaku nonverbal adalah semua perilaku, selain kata-kata,
yang terjadi selama komunikasi. Perilaku nonverbal seperti meliputi: ekspresi wajah
,gerakan dan isyarat tangan, lengan, dan kaki, postur, ramping, dan orientasi tubuh, nada
suara dan karakteristik vokal lainnya, termasuk lapangan, tingkat, intonasi, dan keheningan,
ruang Interpersonal, perilaku menyentuh,gaze dan perhatian visual.
2. Relatif Kontribusi Verbal dan Pesan Nonverbal
Penelitian telah melaporkan bahwa hanya sebagian kecil dari arti orang mendapatkan
dalam interaksi berasal dari kata-kata yang diucapkan; sebagian besar pesan disampaikan
dan dirasakan dalam interaksi yang nonverbal (misalnya, Mehrabian1981). Penelitian
menunjukkan dominasi nonverbal lebih komunikasi verbal sudah termasuk studi tentang
komunikasi ramah dan bersahabat sikap (Argyle, Alkema, & Gilmour, 1978); sikap inferior
dan superior (Argyle, Salter, Nicholson, Williams, & Burgess, 1970); keramahan, persetujuan,
dan pertimbangan (Bugental, kaswan, & Love, 1970); positif dan dominasi (DePaulo,
Rosenthal, Eisenstat,Rogers, & Susan, 1978; Friedman, 1978); positif, evaluasi negatif, dan
netral (Mehrabian & Wiener, 1967); persepsi kepemimpinan (Gitter, Black, & Fishman,
1975); kejujuran dan kebohongan (Stiff, Hale, Garlick, & Rogan, 1990); dan keyakinan
(Walker, 1977).
3. Encoding dan Decoding
Cara lain untuk melihat proses komunikasi adalah dalam hal encoding dan decoding.
Encoding mengacu pada proses di mana orang memilih, sadar atau tidak sadar, modalitas
dan metode tertentu yang digunakan untuk membuat dan mengirim pesan ke orang lain.
Decoding mengacu pada proses dimana seseorang menerima sinyal dari sebuah encoder
dan menerjemahkan sinyal tersebut ke dalam pesan yang bermakna. Tentu saja, komunikasi
bukanlah jalan satu arah, dengan satu orang encoding dan mengirim pesan dan orang lain
decoding itu. komunikasi adalah proses jauh kompleks encoding dan decoding dalam suksesi
cepat, tumpang tindih sehingga terjadi hampir bersamaan.
4. Saluran, Sinyal, dan Pesan
Seiring dengan dua mode utama bahasa verbal dan perilaku nonverbal, dan dua proses
utama encoding dan decoding, komunikasi memiliki jumlah komponen lainnya. Sinyal adalah
kata-kata dan perilaku tertentu yang dikirim selama komunikasi-yaitu, bahasa verbal spesifik
dan perilaku nonverbal yang dikodekan ketika pesan dikirim. Lain Sinyal mungkin termasuk
kata-kata tertentu atau frase, postur tubuh, atau nada suara.

76
Pesan adalah makna yang dimaksudkan atau diterima dengan sinyal. Merupakan
pengetahuan, ide-ide, konsep, pikiran, atau emosi yang encoders berniat untuk
menyampaikan dan decoder menafsirkan. Akhirnya, saluran mengacu pada modalitas
sensorik tertentu dengan yang sinyal dikirim dan pesan akan diambil, seperti penglihatan
atau suara. Yang paling banyak saluran yang digunakan komunikasi visual-lihat ekspresi
wajah, tubuh postur, gerak tubuh, dan kata-kata seperti-dan pendengaran-pendengaran,
nada suara, dan seterusnya.

F. PERAN BUDAYA DAN PROSES KOMUNIKASI


Budaya memiliki pengaruh luas dan mendalam pada encoding verbal dan nonverbal dan
proses decoding. Di sini, kita menyatukan berbagai potongan informasi, meringkas apa yang
telah dibahas sebelumnya. Meskipun kita membahas pengaruh-pengaruh pada proses
komunikasi seolah-olah mereka terpisah, dalam kenyataannya mereka saling terkait dalam
sistem yang kompleks di mana setiap mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh, yang lain.
1. Pengaruh budaya pada Bahasa Verbal dan Perilaku Nonverbal (Encoding)
Seperti yang kita lihat sebelumnya, budaya memiliki pengaruh yang cukup besar selama
bahasa verbal yang kita berbicara. Dalam domain itu, budaya mempengaruhi bahasa
leksikon dan kosa kata, dan aturan yang kata-kata yang disatukan untuk membentuk frasa
bermakna dan kalimat. Budaya juga mempengaruhi pikiran, perasaan kita, dan tindakan
melalui bahasa.
Sama seperti bahasa yang digunakan berbeda dari satu budaya ke yang berikutnya,
begitu tak terucapkan,perilaku nonverbal. Artinya, seperti budaya mempengaruhi bahasa
lisan kami, budaya juga memiliki pengaruh besar atas bahasa nonverbal.
2. Pengaruh budaya pada Decoding
Budaya mempengaruhi proses decoding dalam beberapa cara. Aturan decoding tumbuh
beriringan dengan tampilan atau encoding aturan, dan bagian alami dari pengembangan
keterampilan komunikasi.
Budaya dan stereotip. Stereotip adalah generalisasi tentang orang-orang, terutama
tentang karakteristik psikologis yang mendasarinya atau ciri-ciri kepribadian. Stereotip
adalah produk yang tak terelakkan dari yang normal psikologis proses, termasuk perhatian,
penilaian, pembentukan konsep selektif dan kategorisasi, atribusi, emosi, dan memori.
Stereotip yang tak ternilai bantu mental, membantu kami mengatur informasi tentang
dunia.

77
Budaya dan kognisi sosial. Budaya mempengaruhi bagaimana kita menafsirkan tindakan
orang lain-yaitu, atribusi kami tentang orang lain Singkatnya, budaya memainkan peran
besar dalam sinyal decoding selama komunikasi episode pertama karena hubungan erat
antara aturan budaya mengatur encoding dan decoding, dan kedua karena pengaruh budaya
di pengembangan etnosentrisme, stereotip, dan kognisi sosial.

G. KOMUNIKASI INTRAKULTURAL VS INTERKULTURAL


1. Komunikasi Intrakultural
Selama komunikasi intracultural, mereka menyandi dan membaca sandi pesan
menggunakan kode budaya yang sama. Dalam situasi intracultural, kita sering bereaksi
negatif karena kita kesulitan menafsirkan sinyal yang mereka kirim, karena mereka tidak
sesuai dengan "kemasan" aturan budaya yang kita harapkan sebagai anggota dari budaya
kita, dan kita dapat membuat atribusi disposisi negatif seperti "buruk," "bodoh," "memiliki
pendidikan yang buruk," atau "tidak memiliki akal sehat. "
2. Komunikasi Interkultural
Selama komunikasi interkultural , orang yang berinterksi tidak selalu berbagi aturan
dasar yang sama. Menjadi lebih sulit untuk fokus pada isi pesan yang sedang dipertukarkan,
karena orang mungkin menyandi dan membaca sandi pesan menggunakan kode budaya
yang berbeda. Akibatnya, pesan mungkin tidak jelas, menyimpang, atau ambigu.
Ketidakpastian dan ambiguitas. Ketidakpastian ini melekat pada perilaku verbal dan
nonverbal, pada kedua mode menyandi dan membaca sandi: bagaimana mengemas pesan
menjadi sinyal yang akan ditafsirkan sesuai dengan niat seseorang, dan bagaimana
membuka paket sesuai dengan maksud asli pengirim.
Konflik. Karakteristik kedua dari komunikasi interkultural adalah konflik dan
kesalahpahaman yang tak terhindarkan. Konflik ini muncul di episode interkultural tidak
hanya dengan orang-orang tetapi juga dengan agen lain dari sistem budaya (seperti
transportasi umum, kantor pos, toko, bisnis).

H. MENINGKATKAN KOMUNIKASI INTERKULTURAL


1. Hambatan Komunikasi Efektif
Barna (1996) telah menguraikan enam kendala utama atau "batu sandungan" untuk
komunikasi interkultural yang efektif.

78
Asumsi kesamaan. Salah satu alasan mengapa kesalahpahaman terjadi di
episode komunikasi interkultural adalah bahwa orang-orang naif menganggap bahwa semua
orang sama, atau setidaknya cukup mirip dengan membuat komunikasi menjadi mudah.
Perbedaan bahasa. Ketika orang berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa di mana
mereka tidak sepenuhnya lancar, mereka sering berpikir bahwa kata, frase, atau kalimat
memiliki satu dan hanya satu makna, makna yang ingin mereka sampaikan.
Kesalahan penafsiran nonverbal. Sangat sulit bila harus benar-benar fasih dalam bahasa
nonverbal dari budaya yang bukan milik sendiri. Kesalahpahaman dalam kaitannya dengan
interpretasi perilaku nonverbal bisa dengan mudah menyebabkan konflik atau konfrontasi
yang memecah proses komunikasi
Prasangka dan stereotip. Kepercayaan yang berlebih pada stereotip dapat mencegah
kita dalam melihat orang lain dan komunikasi mereka secara objektif, dan mencari isyarat
yang dapat membantu kita menafsirkan komunikasi dengan cara yang mereka harapkan .
Kecenderungan untuk mengevaluasi. Nilai-nilai budaya juga mempengaruhi atribusi kita
tentang orang lain dan dunia di sekitar kita. Nilai yang berbeda dapat menghasilkan evaluasi
negatif terhadap orang lain.
Kecemasan yang tinggi atau ketegangan. Stres dan kecemasan bisa memperbesar
semua blok sandungan lainnya, sehingga kemungkinan bahwa orang akan berpegang teguh
pada dogma penafsiran yang kaku, memegang stereotip meskipun bukti objektifnya
bertentangan, dan membuat evaluasi negatif terhadap orang lain.
2. Konsep untuk Meningkatkan Komunikasi
Perhatian dan pengurangan ketidakpastian. Ting-Toomey (1996) menekankan
pentingnya kesadaran dalam menangani konflik komunikasi interkultural, sehingga
memungkinkan seseorang untuk terus menciptakan kategori mental yang baru, tetap
terbuka terhadap informasi baru, dan sadar akan berbagai perspektif. Gudykunst (1993) juga
menunjukkan cara untuk meningkatkan komunikasi interkultural yang mencakup kesadaran
dengantiga Komponen utama: faktor motivasi, faktor pengetahuan, dan faktor
keterampilan. Faktor motivasi mencakup kebutuhan khusus pada orang yang melakukan
interaksi, daya tarik antara orang yang berinterksi, ikatan sosial, konsep diri, dan
keterbukaan untuk informasi yang baru. Faktor pengetahuan termasuk harapan, jaringan
berbagi, pengetahuan di lebih dari satu perspektif, pengetahuan tentang interpretasi
alternatif, dan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan. Faktor keterampilan
termasuk kemampuan berempati, mentolerir ambiguitas, adaptasi dalam komunikasi,
membuat kategori baru, mengakomodasi perilaku, dan mengumpulkan informasi yang

79
sesuai. Dengan demikian, pengurangan ketidakpastian adalah salah satu tujuan utama dari
pertemuan awal interkultural. Tanpa pengurangan ketidakpastian, adalah mustahil bagi
orang yang berinterksi untuk mulai memproses isi sinyal dan menafsirkan pesan dengan
benar.
Face. Ting-Toomey (1996) menawarkan saran terpisah untuk manajemen konflik yang
efektif untuk orang-orang dari kecenderungan individualistis sebagai lawan orang dengan
kecenderungan kolektivis. Singkatnya, menurut Ting-Toomey (1996), orang-orang dari
budaya individualistis dan budaya kolektif harus sadar akan kognitif, afektif, dan bias
perilaku dan kerangka di mana mereka biasanya bekerja.
3. Peran Pengendalian Emosi, Keterbukaan, Fleksibilitas, dan Berpikir Kritis
Kemampuan untuk mengatur atau mengendalikan emosi kita, pada kenyataannya,
adalah kunci untuk pertumbuhan pribadi. Mengatur atau mengontrol emosi negatif,
memungkinkan kita untuk menjadi lebih sadar akan komunikasi dan bagaimana melakukan
komunikasi tersebut serta untuk terlibat dalam penciptaan kategori mental baru yang lebih
konstruktif dan terbuka.
Selain regulasi emosional, menjadi pemikir yang kritis ketika dihadapkan dengan
perbedaan budaya dan terbuka untuk ide-ide dan perspektif baru juga bahan kunci untuk
menjadi seorang komunikator interkultural yang efektif. Menjadi terbuka dan fleksibel untuk
menerima, atau setidaknya upaya untuk memahami, perbedaan budaya juga diperlukan.
Secara umum, literatur menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan adalah
komponen penting dari komunikasi interkultural yang efektif, tetapi mereka tidak cukup.
Pengetahuan dan keterampilan harus dikombinasikan dengan keterbukaan dan fleksibilitas
dalam proses berpikir dan penafsiran seseorang, dan dengan motivasi untuk berkomunikasi
secara efektif serta membangun hubungan yang sukses.

I. KESIMPULAN
Komunikasi adalah salah satu aspek yang paling penting dari kehidupan kita. Memahami
berbagai komponen bahasa akan memungkinkan kita untuk mempertimbangkan tentang bahasa
yang dipengaruhi oleh budaya. Terdapat lima-ciri penting membangun struktur bahasa, yaitu:
leksikon atau kosa kata, sintaks dan tata bahasa dari bahasa, phonology, semantics mengacu
pada apa artinya kata-kata, dan pragmatics.
Hipotesis Sapir-Whorf menunjukkan bahwa orang yang berbicara lebih dari satu bahasa
mungkin benar-benar memiliki pola pikir yang berbeda ketika berbicara bahasa berbeda.
Hipotesis ini sangat penting untuk memahami perbedaan budaya (dan persamaan) dalam pikiran

80
dan perilaku sebagai fungsi bahasa. Namun terdapat beberapa tantangan dalam hipotesis ini,
Berlin dan Kay (1969) menguji pernyataan dari Gleason (1961) dengan hasil, seseorang dari
budaya yang berbeda melihat warna dengan cara yang sama, meskipun berbeda secara radikal
bahasa yang mereka gunakan.
Pembahasan inti Sapir-Whorf, Fishman mengurutkan pendekatan yang berbeda berdasarkan
tingkat kompleksitasnya. Terdapat dua faktor yang menentukan pada tingkat mana sebuah versi
hipotesis dikategorikan. Faktor pertama berhubungan dengan aspek bahasa dalam hipotesis dan
faktor kedua berkaitan dengan perilaku kognitif pada seorang pengguna bahasa tertentu.
Komunikasi tidak terjadi dalam ruang hampa, itu terjadi dalam konteks tertentu. Kita
mungkin berpikir bahwa satu-satunya bagian, atau bagian utama, komunikasi adalah kata-kata
yang diucapkan.Tetapi kata-kata yang kita gunakan hanya salah satu bagian dari proses
komunikasi seluruh channel bahasa verbal kita hanyalah salah satu dari banyak saluran
diaktifkan bila kita berkomunikasi. Komunikasi nonverbal, encoding dan decoding, relatif
kontribusi verbal dan pesan nonverbal ,saluran, sinyal, dan pesan juga termasuk komponen dari
komunikasi.
Peran budaya dalam proses komunikasi, budaya memiliki pengaruh luas dan mendalam pada
encoding verbal dan nonverbal dan proses decoding. Meskipun kita membahas pengaruh-
pengaruh pada proses komunikasi seolah-olah mereka terpisah, dalam kenyataannya mereka
saling terkait dalam sistem yang kompleks di mana setiap mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh,
yang lain.
Tak hanya harapan tertentu tentang proses komunikasi : kita juga mempelajari reaksi
emosional yang terhubung dengan harapan tersebut. Reaksi ini dapat disusun dari penerimaan
dan kesenangan hingga penghinaan, permusuhan dan frustasi. Diantaranya yang kita akan
pelajari adalah perbandingan antara situasi komunukasi intrakultural dan interkultural; tentang
bagaimana upaya untuk meningkatkan komunikasi interkultural dengan mengetahui hambatan-
hambatan komunikasi interkultural diantaranya asumsi kesamaan, perbedaan bahasa,
kesalahan penafsiran nonverbal, prasangka dan stereotip, kecenderungan untuk mengevaluasi
dan kecemasan yang tinggi atau ketegangan; kita juga belajar tentang konsep-konsep dalam
meningkatkan komunikasi, diantaranya perhatian dan pengurangan ketidakpastian, face; selain
itu kita juga belajar mengenai peran pengendalian emosi, keterbukaan, fleksibilitas, dan berpikir
kritis ketika sedang berkomunikasi, guna terciptanya komunikasi yang efektif sehingga hubungan
yang dibangun akan sukses.

81
Sumber : Matsumoto, David & Juang, Linda. 2004. Culture and Psychology. Edisi 3. USA:
Wadsworth Cengage Learning.

Latihan Soal
1. Dalam penelitian Lintas Budaya oleh Sapir-Whorf mengatakan bahwa ide bahasa yang digunakan
tidak dapat memperngaruhi pemikiran seseorang. (B/S)
2. Tidak ada perbedaan kemampuan mengingat dari sebuah budaya yang memilki koding
sederhana terhadap warna dengan yang memiliki koding yang kaya atau beragam terhadap
warna. (B/S)
3. Dalam penelitian Berlin dan Kay , Bila sebuah bahasa memiliki empat istilah warna, maka ia pasti
punya istilah untuk hijau atau kuning (dapat keduanya). (B/S)
4. Sinyal adalah kata-kata dan perilaku tertentu yang dikirim selama komunikasi yaitu, bahasa
verbal spesifik dan perilaku nonverbal yang dikodekan ketika pesan dikirim (B/S)
5. Salah satu hambatan dalam melakukan komunikasi yang efektif adalah prasangka dan stereotip.
(B/S)

82
MATERI 9:
9: BUDAYA DAN KEPRIBADIAN

A. Defining Personality
Salah satu yang terpenting dan banyak di pelajari di psikologi lintas budaya adalah kepribadian.
Sesungguhnya, pencarian dasar yang mendasari perbedaan psikologi yang berfungsi sebagai dasar
pemahaman kepribadian, memberikan koneksi konseptual dan empiris yang mirip dengan budaya
dalam lingkungan budaya.
1. Definitions
Di Psikologi, kepribadian umumnya dianggap seperangkat karakteristikperilaku dan kognitif
yang relatif bertahan lama, sifat, atau kecenderungan bahwa berbeda untuk setiap orang untuk
situasi yang berbeda, konteks, dan interaksi dengan orang lain dan yang berkontribusi terhadap
perbedaan antara individu. Hal diatas adalah koleksi kualitas kualitas yang membuat seseorang
individu yang khas, atau jumlah keseluruhan kolektif karakteristik perilaku dan mental yang khas
dari seorang individu. Kepribadian umumnya diyakini relatif stabil sepanjang waktu dan konsisten
di seluruh konteks, situasi, dan interaksi.
2. Perspectives
Selama abad ke-20, beberapa pendekatan dan metode yang berbeda telah digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara budaya dan kepribadian. Beberapa kontribusi awal untuk
memahami hubungan ini berasal dari antropolog yang tertarik dalam psikologi manusia dalam
disiplin antropologi mereka. Melalui sebagian besar penelitian lapangan etnografi, orang-orang
ini(seperti Margaret Mead, Edward Sapir, Weston Labarre, dan Ruth Benedict) mengembangkan
ide dan teori tentang budaya dan kepribadian yang berfungsi sebagai dasar untuk perbandingan
lintas budaya dari kepribadian dan psikologi budaya hari ini (Piker, 1998).
Penelitian lintas budaya mengenai kepribadian, bagaimanapun, juga prihatin dengan
ditemukannya ciri-ciri kepribadian budaya tertentu. psikologi lintas-budaya menggambarkan
kepribadian adat budaya khusus sebagai konstelasi ciri-ciri kepribadian dan karakteristik yang
hanya ditemukan dalam budaya tertentu (Ho, 1998; Diaz-Loving, 1998). Jenis studi ini, meskipun
psikologis di alam, yang sangat berpengaruh dalam pendekatan dan pemahaman oleh pandangan
antropologi budaya dan kepribadian.

3. Measuring Personality across Cultures

83
Salah satu isu serius di semua penelitian lintas budaya tentang kepribadian apakah
kepribadian bisa diukur reliabilitas dan validitasnya di budaya yang berbeda. Jika metode
penilaian kepribadian tidak dapat dipercaya atau valid di budaya, hasil dari penelitian
menggunakan metode ini tidak bisa dipercaya untuk memberikan penggambaran yang akurat
dari kesamaan kepribadian atau perbedaan antar budaya.
Beberapa pengukuran kepribadian yang digunakan di penelitian lintas budaya awalnya
dikembangkan pada satu bahasa dan satu budaya, dan valid pada bahasa dan budaya tersebut.
Fakta-fakta psikometri biasanya digunakan untuk mendemonstrasikan reliabilitas dan validitas
pengukuran di satu budaya melibatkan pengujian internal, tes-retes, dan bentuk paralel
reliabilitas, konvergen dan reliabilitas prediktif, dan peniruan dari struktur faktor yang terdiri dari
berbagai skala tes.
Untuk memvalidasi pengukuran kepribadian lintas budaya membutuhkan fakta-fakta
psikomtri dari semua budaya yang di mana tes ini akan digunakan. Dalam arti yang teliti, karena
itu, peneliti tertarik pada studi kepribadian lintas budaya harus memilih instrumen yang telah
memiliki ciri psikometri. Ini jauh dari sekedar memilih tes yang tampaknya menarik dan
menerjemahkannya untuk digunakan dalam budaya lain. Setidaknya, kesetaraan ciri psikometrik
yang harus ditetapkan secara empiris, tidak diasumsi atau diabaikan.

B. Cross-Cultural Studies of Personality Traits : The Five-Factor model of Personality


1. Evidence for The Five-Factor Model
FFM adalah sebuah model konseptual yang dibangun dalam limadimensi kepribadian yang
berbeda dan dasar yang muncul untuk menjadi unoverasi bagi semua manusia. Lima dimensi
tersebut adalah Openness, Conscientiousness, Extroversion, Agreeableness, and Neurotocism
(OCEAN). FFM dipahami setelah adanya angka dari sebuah penelitian yang memberitahukan
kesamaan dimensi kepribadian yang telah muncul di banyak peneletian, baik di dalam dan di
antara budaya-budaya. Dua sifat yang paling penting untuk mendeskripsikan perbedaan perilaku
adalah Extroversion dan Neuroticism.

Sifat-sifat yang berasosiasi dengan Five-Factor Model


Major Trait Subtrait

Openness Fantasi, Estetika, Feelings, Actions, Ide, dan values.

Kompetensi, Order, Kewajiban, Achievement Striving, Disiplin Diri, dan


Conscientiousness
Deliberation.
Extroversion Warmth, Gregariousness, Asertif, Activity, Excitement Seeking, dan

84
Emosi positif.
Trust, Straightforwardness, Altruism, Compliance , Modesty, dan
Agreeableness
Tender-mindedness.
Anxiety, Angry hostility, Depression, Self-consciousness, Impulsiveness,
Neuroticsm
dan Vulnerability.

2. Do Perceptions of National Character Correspond to Aggregate Personality Traits ?


Terraciano (2005) menanyakan kurang lebih 4.000 responden dalam 49 budaya untuk
mendeskripsikan “anggota khas” dari sebuah budaya menggunakan 30 skala bipolar dengan dua
atau tiga kata sifat pada kutub masing-masing skala. Mereka menemukan bahwa adanya
persetujuan yang relatif tinggi mengenai persepsi karakter nasional dari berbagai macam budaya,
tetapi, persepsi ini tidak berkolerasi dengan sebenarnya, tingkat kepribadian agregat individu dari
budaya-budaya tersebut. Penemuan ini disarankan, karena itu, bahwa persepsi dari karakter
nasional sebenarnya bisa menimbulkan stereotip berdasar dari kepribadian anggota dari budaya
tersebut.

C. Where Do These Traits Come From


1. The Five-Factor Theory of Personality
Pendukung utama dari FFT tidaklah begitu mengejutkan, McCrae dan Costa (1999). Menurut
mereka, komponen inti dari FFT adalah Basic Tendencies (Kecenderungan Dasar), Characteristic
Adaptations (Adaptasi Karakteristik) dan Self-Concept (Konsep Diri), dimana sebenarnya
subkomponen dari Characteristic Adaptations (Adaptasi Karakteristik).
FFT menyarankan bahwa sifat kepribadian yang universal mewakili basic tendencies yang
diekspresikan dalam cara karakteristik; cara karateristik ini dapat berpengaruh besar oleh suatu
budaya yang ada, dan di sini adalah di mana budaya memiliki pengaruh penting pada
pengembangan kepribadian dan ekspresi. Characteristic Adaptations itu termasuk kebiasaan,
perilaku, ketrampilan, peran, dan hubungan. Mereka adalah karakteristik sebab mereka
mencerminkan kepribadian inti psikologis sifat disposisi individu; mereka juga adalah adaptasi
karena mereka membantu individu cocok ke dalam lingkungan sosial yang selalu berubah
(McCrae & Costa1999). Budaya bisa mempengaruhi adaptasi karakteristik berikut melalui simber
daya, struktur sosial, dan sistem sosial uang ada di lingkunganyang spesifik untuk membantu
mencapai tujuan. Budaya bisa mempengaruhi nilai tentang berbagai macam sifat kepribadian.
Budaya menjelaskan konteks dan menyediakan berbagai macam pengertian kepada komponen
konteks, didalamnya seperti siapa yang terlibat, apa yang terjadi, dan dimana terjadi.

85
Adaptasi karakter dapat membantu untuk menciptakan konsep diri, dan juga perilaku
tertentu. Seperti contoh, seorang yang depresi ringan, dari segi Neuroticsm (Basic Tendency),
mungkin menghasilkan self-esteem yang rendah, kepercayaan perfectionist yang tidak rasional,
atau pesimistis atau sikap sinis terhadap dunia. Ia mungkin merasa bersalah terhadap pekerjaan
Maupun tidak puas terhadap hidupnya. Seseorang dengan gregariousness tinggi. Yang mana
merupakan bagian dari Extroversion (Basic Tendency). Mungkin akan ramah, bersahabat,
talkative (Characteristic Adaptations).
2. An Evolutionary Approach
Untuk menjelaskan tentang FFM secara universal, beberapa (contohnya, MacDonald, 1998)
mengusulkan pendekatan evolusioner. Pendekatan ini menempatkan universalitas baik pada
kepentingan manusia dan mekanisme neurofisiologis yang mendasari variasi sifat. Struktur
kepribadian terlihat seperti mekanisme psikologis universal, produk dari seleksi alam yang
menyajikan fungsi sosial dan non-sosial dalam pemecahan masalah dan adaptasi lingkungan.
Dalam pandangan ini, sifat seperti conscientiousness (kestabilan emosional), neuroticism
(affect intensity), dan komponen lainnya dari FFM dianggap mencerminkan variasi stabil dalam
sistem yang menyajikan fungsi adaptif kritis. Menurut MacDonald (1991,1998), pendekatan
evolusioner ini menunjukan model hierarki di mana "perilaku yang berhubungan dengan
kepribadian terjadi pada beberapa tingkat berdasarkan dalam aspek motivasi dari evolusi sistem
kepribadian" (p.31). Pada model ini, manusia memiliki evolusi disposisi motif.

Level 1 Evolved Motive Disposition (domain-mekanisme spesifik)


Level 2 Personal Striving (efek psikologis langsung dari domain-mekanisme
spesifik)
Level 3 Concern, Projects, Tasks ( memanfaatkan domain-mekanisme umum)
Level 4 Specific Action Units (memanfaatkan domain-mekanisme umum)

Catatan bahwa model ini dan asumsi tentang universalitas dari FFM dari McCrae dan Costa
dan lainnya (McrCae dan Costa,1997) tidak meminimalkan budaya dan variabilitas individu.
Budaya pada intinya dapat mempengaruhi kepribadian melalui sumber daya, sistem budaya, dan
sistem sosial yang tersedia di lingkungan tertentu untuk membantu mencapai tujuan. Oleh karena
itu memengaruhi maksud tingkat kepribadian dan nilai tentang berbagai karakter kepribadian.
Budaya mendefinisikan konteks dan memberikan makna berbeda terhadap komponen konteks,
dan sejenisnya. Oleh karena itu, budaya memainkan peran penting dalam memproduksi bentuk

86
dari perilaku tertentu -unit tindakan tertentu- individu yang akan terlibat dalam mencapai apa
yang mungkin merupakan tujuan afektif universal.

D. Are There More Than Five Major Personality Traits ?


Salah satu pendapat dari penulis tentang hal ini adalah karena FFM ini pada dasarnya
penelitiannya di buat di Amerika, oleh peneliti Amerika, kemungkinan ada hal yang tidak
terukur atau ada faktor penting yang tidak terukur.
1. Interpersonal Relatedness
Penelitian yang dilakukan oleh Fanny Cheung dan rekan tentang FFM, mereka memulai
penelitiannya dengan gagasan bahwa ada kemungkinan FFM melewati beberapa ciri penting
tentang kepribadian di Asia, khususnya di China. Mereka berpendapat bahwa tidak ada ciri-ciri
dari FFM yang berkaitan dengan isu hubungan relasi yang pokok di China. Sehingga mereka
mengembangkan skala asli yang mengukur kepribadian di China dengan ciri harmony, Ren Qing (
relationship orientation), modernization, thrift v. extravagance, Ah-Q mentality (defensiveness)
dan face. Cheung dan rekan menamai skala tersebut "Interpersonal RelatednessI", mereka juga
membuat skala dalam versi Inggris, menggunakan sampel dari Singapura, Hawai, Midwestern
United Statesm dan dengan China dan Eropa-Amerika.
2. Filipino Personality Structure
Studi yang dilakukan oleh Tim Church dan rekan, meneliti tentang struktur kepribadian dari
orang Filipina, dengan menidentifikasi sebanyak-banyaknya sifat yang bisa diidentifikasi oleh
bahasa Filipina. Pada studi akhir mereka, Church dan rekan (Katigbak, Church Guanzon-Lapena,
Carlota, & del Pilar, 2002) menggunakan dua skala kepribadian asli Filipina mencakup 463 ciri
kata sifat, dan versi Filipina dari NEO-PI-R untuk mengukur FFM. Analisis statistik menunjukkan
bahwa ada tumpang tindih dalam dimensi kepribadian yang muncul dari skala Filipina dan FFM
yang diukur dengan NEO-PI-R, masih beberapa faktor adat muncul, termasuk Pagkamadaldal
(keingintahuan sosial), Pagkamapagsapalaran (mengambil resiko), dan religiositas. Sifat-sifat
tersebutlah yang penting dalam memprediksi perilaku seperti merokok, minum berakohol,
perjudian, beribadah, toleransi pada homoseksual, toleransi terhadap hubungan pranikah dan
tanpa menikah, dan perilaku yang tidak dapat di prediksi oleh FFM.
3. Dominance
Pada pertengahan abad ke-20, para psikologis Eropa menunjukan adanya "kepribadian
authoritarian" dan mengembangkan skala untuk menghitungnya (Adorno, Frenkel-Brunswik, &
Levinson, 1950) Dimensi ini berhubungan pada konsep dominansi, dan mengacu pada fakta
bahwa orang-orang berbeda dalam ketergantungan mereka pada otoritas dan hirarki, perbedaan

87
status antar pihak yang berinteraksi. Hofstede, Bond, dan Luk (1993) menganalisis data dari 1.300
individu di Denmark dan Belanda, dan menemukan 6 dimensi keribadian. Lima dari itu
berhubungan dengan FFM, dan yang keenam tidak berhubungan. Peneliti memberikannya lebel
"authoritarianism".

E. Cross-Cultural Research on Other Aspects of Personality


1. Internal versus External Locus of Control
Salah satu yang banyak dipelajari tentang konsep kepribadian lintas budaya adalah locus of
control. Konsep ini dikembangkan oleh Rotter (1954, 1966), yang menunjukan bahwa orang
berbeda dalam bagaimana kontrol mereka terhadap kepercayaan yang mereka punya dalam
memandang perilaku mereka dan hubungan mereka dengan lingkungan dan orang lain.
Berdasarkan pada skema ini, locus of control dapat dianggap sebagai internal ataupun eksternal
untuk individu. Orang dengan internal locus of control melihat perilaku dan hubungannya dengan
orang lain tergantung dari perilaku dirinya. Percaya bahwa seberapa besar kemampuan diri
tergantung dari usaha yang dilakukan adalah contoh dari internal locus of control. Orang dengan
external locus of control memandang perilaku dan hubungannya dengan lingkungan dan orang
lain sebagai bergantung pada kekuatan di luar dirinya dan di luar kendali mereka. Peneliti yang
meneliti tentang locus of control sudah memperlihatkan kesamaan dan perbedaan lintas budaya.
Secara umum, Amerika memiliki skor internal locus of control yang tinggi, sedangkan yang non-
Amerika lebih memiliki external locus of control. Penemuan ini sering dicerminkan sebagai
budaya Amerika fokus pada individualitas, keterpisahan, dan keunikan, berbeda dengan yang
lebih seimbang antara ketergantungan individu antar individu, dan alami dan kekuatan
supernatural yang ditemukan pada banyak budaya lain.
Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa locus of control benar-benar membangun
beraneka macam konstruk yang mencakup banyak domain yang berbeda, seperti pencapaian
akademik, pekerjaan, hubungan interpersonal, dan sebagainya, dan hal tersebut memisahkan
asesmen dari domain tersebut yang dibutuhkan untuk membuat perbandingan yang berarti pada
konstruk ini. Akhirnya, Smith, Dugan, dan Trompenaars (1997), dengan studi 14 negara tentang
locus of control dan afeksi, menemukan beberapa perbedaan lintas negara pada locus of control,
tetapi perbedaan terbesar terletak pada gender dan status antar negara. Dengan demikian,
penelitian perbedaan lintas budaya dapat menyamarkan perbedaan lebih besar berdasarkan
konstruksi sosial lainnya.
2. Direct, Indirect, Proxy, and Collective Control

88
Yamaguchi menawarkan cara untuk memahami kontrol lintas budaya. Dalam kontrol
langsung (direct control), diri bertindak sebagai agen, dan individu merasa diri untuk menjadi
lebih self efficacious ketika agen mereka dibuat eksplisit, yang mengarah ke perasaan yang lebih
besar dari efikasi dan otonomi. Sedangkan dalam kontrol tidak langsung (indirect control), agen
seseorang tersembunyi atau dikurangi; orang berpura-pura seolah-olah mereka tidak bertindak
sebagai agen meskipun dalam kenyataannya mereka melakukannya. Kontro wakil (proxy control
)merujuk pada kontrol oleh orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Ini merupakan bentuk
kontrol yang dapat digunakan ketika kontrol pribadi – baik langsung atau tidak langsung-tidak
tersedia atau tidak sesuai. Jenis kontrol ini sangat penting untuk kelangsungan hidup bagi mereka
dalam posisi lemah dan dengan demikian tidak dapat mengubah lingkungan mereka sendiri.
Kontrol kolektif (collective control) merupakan salah satu upaya untuk mengontrol lingkungan
sebagai anggota kelompok, dan kelompok berfungsi sebagai agen kontrol.Dalam situasi ini
individu perlu khawatir tentang harmoni antar pribadi berkurang karena kelompok berbagi tujuan
kontrolnya.
3. Autonomy
Kerangka markus dan Kitayama untuk independen versus interdependen diri konstrual
menunjukkan bahwa orang dari budaya kolektif tidak otonom. Menurut teori determinasi diri
oleh Deci dan Ryan, orang yang otonom ketika perilaku yang mereka alami dilakukan dengan
sukarela dan ketika mereka sepenuhnya mendukung tindakan di mana mereka terlibat atau nilai-
nilai yang diungkapkan oleh mereka. Dengan demikian, orang yang otonom setiap kali mereka
bertindak sesuai dengan kepentingan mereka, nilai-nilai, atau keinginan. Kebalikan dari otonomi
adalah heteronomi, di mana tindakan seseorang dianggap dikendalikan oleh orang lain atau
sebaliknya asing bagi diri sendiri.

F. Indigenous Approaches to Personality


Indigenous personalities adalah konseptualisasi kepribadian yang dikembangkan dalam
budaya tertentu yang spesifik dan relevan hanya untuk budaya tersebut. Konsepsi kepribadian
penduduk asli kepribadian ini penting, karena mereka memberikan kita sekilas tentang
bagaimana masing-masing budaya percaya hal tersebut penting untuk mengukir dunia psikologis
mereka. Dengan mengidentifikasi konsep penduduk asli, masing-masing kebudayaan
menyumbangkan penghargaan padacara tertentu untuk memahami dunia mereka, yang
merupakan bagian penting dari setiap pandangan budaya dunia. Dengan memberikan nama
konsep-konsep ini, setiap budaya kemudian diizinkan untuk berbicara tentang mereka, sehingga
memastikan setiap konsep penduduk asli ditempatkan secara khusus dalam budaya mereka.

89
1. Evidence
Berry, Poortinga, Segall, & Dasen mengkaji tiga konsep kepribadian penduduk asli yang
masing-masing berbeda secara fundamental dari konsep-konsep Amerika atau Barat. Model
kepribadian Afrika misalnya, memandang kepribadian terdiri dari tiga lapisan, dimana masing-
masing mewakili aspek yang berbeda dari seseorang. Silsilah keluarga dan masyarakat
mempengaruhi aspek inti yang berbeda dari kepribadian Afrika. Doi telah mempostulasikan amae
sebagai konsep inti dari kepribadian Jepang. Amaemengacu pada sifa tpasif, ketergantungan
seperti anak-anak dari satu orang atau orang lainnya. Semua hubungan manusia di Jepang dapat
ditandai dengan amae, yang berfungsi sebagai sebuah blok bangunan fundamental dari budaya
dan kepribadian Jepang. Deskripsi kepribadian penduduk asli lainnya dari berbagai budaya
termasuk konsep Korea cheong, konsep India nishkama karma, konsep Cina ren qin, dan lain-lain.
2. Indigenous Concept of Personality and the Cultural Psychology Perspective
Beberapa aspek kepribadian dapat diorganisasikan secara universal, namun, tidak selalu
membantah kemungkinan bahwa aspek-aspek lain dari kepribadian mungkin unik secara budaya.
Aspek-aspek unik budaya yang memberikan kepribadian rasa tersendiri di setiap lingkungan
budaya tertentu, dan membuat para peneliti kemungkinan belajar aspek kepribadian yang
mereka mungkin belum lakukan pengamatan dalam budaya lain. Cara utama yang
menguntungkan dalam memahami hubungan antara budaya dan kepribadian mungkin untuk
melihat aspek adat dan aspek universal dari kepribadian sebagai dua sisi mata uang yang sama,
bukan berdiri sendiri. Jika kita memahami hubungan antara budaya dan kepribadian dalam cara-
cara yang memungkinkan untuk hidup berdampingan dari universalitas dan pribumisasi, maka
kita bisa mengatasi masalah mengenai bagaimana untuk mengkonsepkan dan belajar ke
eksistensinya.

G. Kesimpulan
kepribadian umumnya dianggap seperangkat karakteristik perilaku dan kognitif manusia.
Ada beberapa perspektif untuk penelitian psikologi lintas budaya diantaranya adalah antropologi
dan etnografi. Penelitian lintas budaya ini adalah bagaimana tentang memahami kepribadian dari
budaya-budaya di dunia, setiap berbeda budaya memiliki kepribadian yang berbeda pula satu
dengan yang lainnya. Hal tersebut terkait dengan pengukuran kepribadian lintas budaya yang
dimana alat pengukuran pada satu budaya belum tentu bisa dipakai pada kebudayaan lainnya.
Pengukuran lintas budaya tetap harus memenuhi kaidah-kaidah yang ditentukan oleh psikometri.
Di dalam budaya terdapat kepribadian yang berbeda-beda sesuai dengan budayanya,
sehingga memunculkan suatu penelitian yang disebut Five Factor-Model yang memberitahu

90
adanya kesamaan dimensi kepribadian. Five Factor Model dari kepribadian adalah sifat-sifat
nomer yang universal bagi semua orang, memiliki lima dimensi yaitu OCEAN; Opennes,
Conscientiousness, Extroversion, Neuroticism dimana dua sifat yang paling penting
mendeskripsikan perbedaan perilaku adalah Neuroticism dan Extroversion. Dan FFT atau Five
Factor Theory dari kepribadian adalah teori mengenai sumber dari sifat-sifat tersebut yang
memiliki komponen inti yaitu Basic Tendencies, Characteristic Adaptations, Self Concept. Dimana
Characteristic Adaptations menjadi subkomponen.
Menurut MacDonald, pendekatan evolusioner ini menunjukan model hierarki di mana
"perilaku yang berhubungan dengan kepribadian terjadi pada beberapa tingkat berdasarkan
dalam aspek motivasi dari evolusi sistem kepribadian" . Budaya pada intinya dapat
mempengaruhi kepribadian melalui sumber daya, sistem budaya, dan sistem sosial yang tersedia
di lingkungan tertentu untuk membantu mencapai tujuan. Oleh karena itu, budaya memainkan
peran penting dalam memproduksi bentuk dari perilaku tertentu.
FFM pada dasarnya penelitiannya di buat di Amerika, oleh peneliti Amerika, kemungkinan
ada hal yang tidak terukur atau ada faktor penting yang tidak terukur. Sehingga banyak peneliti
yang mengembangkan skala yang mengukur kepribadian asli sesuai dengan keadaan budaya
setempat. Selain itu, pada pertengahan abad ke-20, para psikologis Eropa menunjukan adanya
"kepribadian authoritarian" dan mengembangkan skala untuk menghitungnya.
Salah satu yang banyak dipelajari tentang konsep kepribadian lintas budaya adalah locus of
control. Dimana, orang dengan internal locus of control melihat perilaku dan hubungannya
dengan orang lain tergantung dari perilaku dirinya. Sedangkan orang dengan external locus of
control memandang perilaku dan hubungannya orang lain bergantung pada kekuatan di luar
kendali dirinya.
Yamaguchi menawarkan cara untuk memahami kontrol lintas budaya yakni: direct, indirect,
proxy, collective control. Markus mengatakan bahwa orang dari budaya kolektif tidak otonom.
Sedangkan menurut teori determinasi diri (Deci and Ryan) orang yang otonom setiap kali mereka
bertindak sesuai dengan kepentingan mereka, nilai-nilai, atau keinginan. Kebalikan dari otonomi
adalah heteronomi, di mana tindakan seseorang dianggap dikendalikan oleh orang lain.
Indigenous personalities adalah konseptualisasi kepribadian yang dikembangkan dalam budaya
tertentu yang spesifik dan relevan hanya untuk budaya tersebut. Banyak peneliti melakukan riset
di berbagai negara dan memberikan bukti mengenai konsep kepribadian penduduk asli yang
masing-masing berbeda secara fundamental dari konsep-konsep Amerika atau Barat. Beberapa
aspek kepribadian dapat diorganisasikan secara universal, namun tidak selalu membantah
kemungkinan bahwa aspek-aspek lain dari kepribadian mungkin unik secara budaya. Jika kita

91
memahami hubungan antara budaya dan kepribadian dalam cara-cara yang memungkinkan
untuk hidup berdampingan dari universalitas dan pribumisasi, maka kita bisa mengatasi masalah
mengenai bagaimana untuk mengkonsepkan dan belajar koeksistensinya.
H. Latihan Soal
1. Fakta psikometri dari satu budaya bisa digunakan dalam budaya yang lainnya. (B/S)
2. Seseorang yang depresi ringan, dari segi Extroversion (Basic Tendency), mungkin menghasilkan
self-esteem yang rendah, kepercayaan perfectionist yang tidak rasional, atau pesimistis atau
sikap sinis terhadap dunia (B/S)
3. Menurut teori determinasi diri oleh Deci dan Ryan, orang yang otonom ketika perilaku yang
mereka alami dilakukan dengan sukarela dan ketika mereka sepenuhnya mendukung tindakan di
mana mereka terlibat atau nilai-nilai yang diungkapkan oleh mereka. (B/S)
4. Hofstede, Bond, dan Luk (1993) menganalisis data dari 1.300 individu di Denmark dan Belanda,
dan menemukan 5 dimensi keribadian.(B/S)
5. Salah satu yang banyak dipelajari tentang konsep kepribadian lintas budaya adalah locus of
control. Konsep ini dikembangkan oleh Rotter. (B/S)

92
MATERI 10:
10: BUDAYA DAN ABNORMALITAS

Dalam mendefinisikan perilaku abnormal, psikolog Amerika sering menggunakan pendekatan


statistik atau menerapkan kriteria gangguan atau inefisiensi, penyimpangan, atau tekanan subjektif.
menggunakan pendekatan statistik, misalnya, kita bisa menentukan perilaku wanita sebagai
abnormal karena kejadiannya langka atau jarang. berada di luar berhubungan dengan lingkungan
Anda, memiliki delusi (keyakinan yang salah) bahwa Anda adalah binatang, dan berbicara dengan
orang mati tidak pengalaman umum.
Sebagai alternatif untuk pendekatan tradisional, banyak sarjana lintas budaya berpendapat bahwa
kita dapat memahami dan mengidentifikasi perilaku abnormal hanya jika kita mengambil konteks
budaya ke laporan. sudut pandang ini menunjukkan bahwa kita harus menerapkan prinsip
relativisme kelainan. Budaya yang percaya pada intervensi supranatural dapat dengan jelas
membedakan ketika negara trans dan berbicara dengan roh merupakan bagian diterima dari
perkumpulan perilaku seorang penyembuh dan ketika perilaku yang sama akan dianggap sebagai
tanda gangguan (Murphy, 1976).

A. Cross-Cultural Research On Abnormal Behaviors


Penelitian lintas budaya selama bertahun-tahun telah memberikan kekayaan bukti yang
menunjukkan bahwa perilaku abnormal dan psikopatologi memiliki kedua aspek tertentu universal
dan budaya.

1. Schizophenia
Skizofrenia ditandai dengan "distorsi kasar realitas; penarikan dari interaksi sosial, dan disorganisasi
persepsi, pikiran dan emosi (Carson, Butcher & Coleman, 1988, p. 322). beberapa teori tentang
penyebab skizofrenia memberikan keutamaan faktor biologis (misalnya, kelebihan dopamin atau
ketidakseimbangan biokimia lainnya). teori lain menekankan dinamika keluarga (misalnya, ekspresi
permusuhan terhadap orang sakit). model stres diatesis skizofrenia menunjukkan bahwa mungkin
terjadi pada individu dengan predisposisi biologis untuk gangguan (diatesis) berikut paparan stres
lingkungan.

Para peneliti juga mencatat perbedaan dalam ekspresi gejala lintas budaya. Pasien di Amerika
Serikat kurang mungkin untuk menunjukkan kurangnya wawasan dan pendengaran halusinasi
daripada orang Denmark atau Nigeria. Temuan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan budaya

93
dalam nilai-nilai yang terkait dengan wawasan dan kesadaran diri, yang sangat dihormati di Amerika
Serikat tetapi kurang dihormati di negara-negara lain.

Singkatnya, penelitian WHO memberikan bukti yang cukup dari set universal gejala inti yang
mungkin berhubungan dengan skizofrenia. penelitian lain, bagaimanapun, membantu untuk marah
interpretasi ini dengan mendokumentasikan perbedaan spesifik budaya manifestasi yang tepat,
pengalaman, dan diagnosis skizofrenia dalam konteks budaya yang berbeda.

2. Depression
Kehadiran gangguan depresi, bagaimanapun, melibatkan gejala "kesedihan yang intens, perasaan
kesia-siaan dan tidak berharga, dan penarikan dari orang lain" (Sue, Sue, & Sue, 1990, hal. 325).
Depresi sering ditandai dengan perubahan fisik (seperti gangguan tidur dan nafsu makan) dan
perubahan motivasi (seperti apatis dan kebosanan), serta perubahan emosi dan perilaku (seperti
perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan energi).

Peneliti juga menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan lingkungan sosial dan budaya saat ini
dari gangguan. Misalnya, kriteria untuk depresi besar di edisi sebelumnya dari Chinese Classification
of Mental Disorders (CCMD) termasuk durasi gejala selama 4 minggu (dalam edisi terbaru, itu adalah
2 minggu).

Singkatnya, seperti dengan karya lintas budaya pada skizofrenia, literatur tentang poin depresi untuk
kedua cara universal dan budaya khusus di mana gangguan dapat terjadi dan dialami di seluruh
budaya.

3. Somatization
Somatisasi adalah dasarnya, gejala fisik sebagai ungkapan tekanan psikologis

Beberapa studi telah menyarankan bahwa anggota kelompok budaya tertentu, seperti Hispanik
(Koss, 1990), Jepang (Radford, 1989), Cina (Kleinman, 1982), dan Arab (El-Islam, 1982) cenderung
somaticize lebih dari Eropa atau Amerika. Bahkan, telah biasanya berpikir bahwa laporan seperti
gejala somatik (misalnya, nyeri pinggang atau masalah usus) hanya kode atau kamuflase untuk gejala
psikologis. Dengan demikian, penelitian yang tersedia cenderung menunjukkan bahwa, meski
sebelumnya dianggap sebagai fenomena budaya khusus, somatisasi mungkin fenomena universal
dengan makna budaya khusus dan mode ekspresi.

4. Attention deficit/ hiperactivity disorder


ADHD menjadi lebih dikenal secara luas dalam waktu relatif singkat. Telah diakui dan didiagnosis
pada budaya yang berbeda (Faraone & Biederman, 2004). beberapa ciri-ciri utama ADHD adalah
tidak perhatian (kesulitan memberi perhatian, mudah teralihkan), impulsif (kesulitan menunggu

94
giliran, menyela orang lain), dan hiperactivity (gelisah, tidak bisa duduk diam). penting, gejala-gejala
ini mengganggu kehidupan sosial dan akademik yang berfungsi dalam mempertimbangkan
gangguan.

B. Culture-Bound Syndromes
Bahkan, laporan etnografis sindrom budaya terikat menyediakan mungkin dukungan kuat untuk
relativisme budaya dalam memahami dan menangani kelainan. Menggunakan terutama emic
(budaya khusus) pendekatan yang melibatkan pemeriksaan etnografis perilaku dalam konteks
budaya tertentu, antropolog dan psikiater telah mengidentifikasi beberapa bentuk rupanya yang
unik dari gangguan psikologis. Beberapa kesamaan antara gejala gangguan budaya khusus ini dan
mereka diakui di seluruh budaya telah diamati.

C. Budaya dan Asesmen Untuk Perilaku Abnormal


Asesmen untuk perilaku abnormal meliputi identifikasi dan mendeskripsikan simpton-simpton
perseorangan dalam konteks yang lebih luas meliputi keseluruhan riwayat hidup dan lingkungannya.
Asesmen haruslah sensitif terhadap budaya dan pengaruh lingkungan lainnya terhadap fungsi
perilaku. Literature teknik standar asesmen mengindikasikan bisa menimbulkan bias saat tes
menggunakan metode psikologi yang dikembangkan dalam satu konteks budaya yang harusnya
digunakan pada konteks lainnya.

D. Budaya dan Diagnosis Psikiatri


Asesmen haruslah bersifat valid dan reliable. Reliable adalah ketika hasil asesmen seseorang relative
sama meski di tes berulang kali dan oleh orang yang berbeda. Valid mengarah pada seberapa akurat
diagnosis menggambarkan gangguan klinis yang harus dideskripsikan. Beberapa modifikasi dibuat
untuk DSM IV agar mampu meningkatkan sensitivitasnya terhadap budaya.

1. Memasukkan info tentang bagaimana manifestasi klinis bisa menjadi sangat beragam karena
budaya.
2. Memasukkan 25 sindrom terkait budaya dalam sebuah lampiran.
3. Menambahkan guideline untuk asesmen mendalm terhadap buday seseorang, meliputi
ekspresi budaya dari gangguan individual, faktor budaya yang berhubungan dengan konteks
spesifik individu, serta perbedaan budaya antara individu dan clinician.
Untuk menemukan masalah akibat kurang memperhatikan budaya, sistem diagnosis lokal dibuat,
contohnya adalah CCMD (Chinese Classification of Mental Disorder) yang didalamnya memuat

95
tentang persaingan antar saudara karena aturan satu-anak. Narasi kasus harus mencakup riwayat
kesehatan, unsur budaya, identits budaya, penjelasan buday tentang sakit, lingkungan psikologis,
hubungan klien dan clinician, dan lain-lain.

E. Asesmen Lintas Budaya dan Perilaku Abnormal


Sangat penting untuk memiliki seperangkat alat yang reliable dan valid dalam mengukur perilaku,
perasaan, dan parameter psikologi lainnya yang berhubungan dengan mental illness. Alat tersebut
dapat berupa kuisioner, protocol wawancara, atau tugas yang terstandarisasi. Bisa jadi sangat sulit
untuk menggunakan asesmen psikologi yang dikembangkan di satu budaya kemudian digunakan di
budaya lain karena perbedaan ekspresi distress yang spesifik. Alat bisa saja memiliki makna yang
bervariasi di setiap budaya, bagaimanapun kita menterjemahkannya ke bahasa setempat, mereka
bisa saja samara tau gagal untuk memotret secara spesifik gangguan yang berkaitan dengan ekspresi
spesifik yang dimiliki budaya.

Berbicara tentang anak, Child Behavior Checklist (CBCL) sudah sering digunakan untuk menilai
masalah emosi dan perilaku di berbagai belahan dunia termasuk Thailand, Kenya, US, China,
Denmark, Australia, Jamaika, Yunani, dan 9 lainnya. Secara general, hasilnya adalah anak-anak US
memiliki level perilaku tidak terkontrol yang lebih tinggi dibandingkan anak dari negara lainnya.

Beberapa penelitian menawarkan guideline untuk mengembangkan cara menghitung nilai lintas
budaya pada perilaku abnormal. Hingginbotham menyarankan pentingnya untuk menguji system
penyembuhan indigenous (seperti folk healers). Penelitian lain menunjukkan efek interaksi antara
latar belakang budaya dari terapis dan klien dalam pikiran terapis juga dapat mempengaruhi hasil
asesmen. Klien Chinese-Amerika cenderung dianggap sebagai orang yang canggung, bingung, dan
gugup oleh terapis Eropa-Amerika, tapi dinilai sebagai orang yang mampu beradaptasi, jujur, dan
ramah oleh terapis Chinese-Amerika.

Dalam membuat asesmen klinis ada dua tipe error yang mungkin terjadi : 1) Overpathologizing yang
terjadi ketika clinician tidak familiar dengan budaya klien dan salah menilai bahwa perilaku klien
yang normal secara kulturnya dianggap sebagai gejala patologis. 2) Underpathologizing terjadi ketika
clinician menganggap perilaku klien adalah perilaku budaya padahal itu bisa saja simpton patologis.

Yang menarik dari asesmen klinis lintas budaya, apabila kita dihadapkan dengan klien dengan dua
bahasa (bilingual), tes harus dilakukan dengan dua bahasa tersebut yang dilakuakan oleh clinian
bilingual atau dengan bantuan trainer.

96
F. Pengukuran Kepribadian Untuk Menilai Psikopatologi
Skala yang paling banyak digunakan dalam asesmen lintas budaya adalah MMPI (Minnesota
Multiphasic Personality Inventory). Studi klinis lintas budaya termasuk skala kepribadian MMPI
dapat dikatakan cukup reliable dan valid dalam menilai psikopatologi dan perilaku abnormal dalam
budaya lain. Tapi bagaimanapun yang lain membantah bahwa beberapa aitem di MMPI memiliki arti
yang berbeda di budaya lain.

G. Kesehatan Mental Etnis Minoritas dan Pendatang


1. Afrika-Amerika
Studi menunjukkan prevalensi gangguan mental (schizophrenia, depresi, gangguan kecemasan,
gangguan somatisasi, dan gangguan kepribadian antisocial) menunjukkan angka yang lebih tinggi
pada Afrika-Amerika dibandingkan Eropa-Amerika. Perbedaan tersebut bisa jadi dikarenakan oleh
perbedaan status sosial ekonomi.

2. Asia-Amerika
Beberapa studi menunjukkan bahwa orang-orang Asia-Amerika melaporkan lebih banyak gangguan
mental (seperti simpton depresi dan phobia sosial) daripada Eropa-Amerika. Namun dalam rentang
waktu 12 bulan Asia-Amerika melaporkan prevalensi angka yang paling rendah untuk depresi mayor,
mania, gangguan panic, dan gangguan kecemasan. Orang-orang Korea-Amerika memiliki insiden
depresi yang lebih tinggi diikuti Jepang-Amerika, dan Chinese-Amerika. Alasannya bisa jadi karena
imigran Korea-Amerika tinggal di US dalam periode waktu yang lebih singkat dan memiliki status
pekerjaan yang lebih rendah.

3. Amerika-Latin
Studi menunjukkan bahwa orang-orang Puerto Rico memiliki resiko mayor depresi yang lebih tinggi
dibandingkan orang-orang Cuba dan Meksiko-Amerika. Studi lain menunjukkan Meksiko-Amerika
yang tidak lahir di US memiliki resio gangguan mood dan gangguan kecemasan yang lebih rendah
dibandingkan Meksiko-Amerika yang lahir di US. Faktor yang menyebabkan bisa jadi adalah cara
penerimaan pendatang, riwayat imigrasi, SES, diskriminasi, dan kekuatan etnis komunitas.

4. Native-Amerika
Karakteristik Native amerika dicirikan oleh kesulitan SES, pemisahan dan penggabungan yang
mungkin saja berkaitan dengan masalah kesehatan mental. Angka kekerasan akibat alkohol dan
bunuh diri Native-Amerika juga lebih tinggi dari statistic nasional US. Sebuah studi epidemologi
nasional menunjukkan bahwa Native-Amerika memilika prevalensi yang tertinggi dalam 12 bulan
untuk gangguan mood dan kecemasan dibandingkan etnis lain.

97
5. Pendatang
Pendatang yang berusaha beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru di hadapkan dengan
tantangan seperti kebiasaan dan bahasa baru disaat yang bersamaan harus memelihara tradisi
budaya asli mereka.. Proses adaptasi ini disebut dengan akulturasi. Depresi, kecemasan , dan
psikosomatis adalah masalah yang biasa terjadi. Menariknya, beberapa studi melaporkan bahwa
para pendatang di US memiliki laporan maslaah kesehatan mental dan fisik yang lebih rendah
dibandingkan dengan mereka yang lahir di US. Faktor penyebabnya bia dikarenakan oleh ikatan yang
kuat antar keluarga yang akhirnya menyumbangkan hasil yang positif terhadap kesehatan fisik dan
mental.

6. Pengungsi
Dikarenakan oleh pengalaman traumatis, pengungsi menunjukkan angka gangguan PTSD, depresi,
dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang pindah secara sukarela. Pengungsi yang
belajar bahasa dari budaya yang baru dengan baik menunjukkan angka diagnosis depresi yang lebih
sedikit. Peneliti menemukan bahwa memiliki ikatan dukungan sosial yang kuat antara sesame
kelompok etnis membantu awal-awal tahun perpindahan.

H. Budaya dan Pengobatan Perilaku Abnormal


Salah satu tujuan utama dari psikologi abnormal adalah dengan menggunakan pengetahuan yang
dihasilkan oleh penelitian untuk membantu orang meningkatkan kehidupan mereka. Penilaian yang
tepat dan diagnosis dari psikopatologi merupakan langkah penting ke arah membantu orang-orang
dengan gangguan mental sehingga dapat memperbaiki kehidupan mereka.

1. Budaya dan Psikoterapi


Di antara banyak cara yang psikolog terapkan, tujuan meningkatkan kehidupan masyarakat adalah
melalui intervensi psikologis dengan orang yang memiliki gangguan perilaku abnormal, dan yang
hidupnya disfungsional karena gangguan tersebut.

2. Psikoterapi Tradisional
Psikoterapi tradisional berasal dari Eropa Barat oleh Sigmund Freud, bapak psikoanalisis. Di Wina,
Freud menemukan bahwa pasien di bawah pengaruh hipnosis akan berbicara lebih bebas dan
emosional tentang masalah, konflik, ketakutan, mengingat dan menghidupkan kembali pengalaman
sebelumnya, traumatis muncul untuk mengurangi beberapa gejala pasien. Melalui sesi terapi
individu, ia mendorong pasien untuk mengeksplorasi kenangan mereka dalam pikiran bawah sadar,
sebanyak arkeolog mengeksplorasi kota terkubur (Hotherhall 1990). Psikoterapi diperkenalkan di
Amerika Serikat pada awal 1900-an. Carl Rogers (1942), seorang psikolog Amerika, memodifikasi

98
teknik psikoanalisis Freud mengembangkan pendekatan yang berpusat pada klien psikoterapi.
Rogers pindah dari peran terapis sebagai penerjemah dari masalah pasien untuk menekankan
mendorong diri pertumbuhan klien sementara terapis tetap empathically atau peka terhadap
perasaan dan emosi klien.

3. Keterbatasan Budaya Psikoterapi


(Alarcon & Leetz, 1998; Wohl, 1989) mengusulkan bahwa psikoterapi tidak terikat kerangka
budaya. Pertama, penyebab psikologis yang mendasari, terikat dengan budaya. Kedua, kemampuan
terapis atau dokter berhubungan erat dengan pengetahuan dan pemahaman konteks budaya di
mana perilaku terjadi. Ketiga, jika tujuan dari psikoterapi membantu orang untuk menjadi lebih
fungsional, maka fungsi ditentukan secara kultural. Konteks budaya adalah sebagian terdiri dari
tradisi moral tertanam dalam struktur politik, psikoterapi sendiri tidak mau praktek moral
terkonsekuensi politik dalam kerangka budaya. Hal ini berguna untuk mengambil memeriksa
bagaimana pendekatan terhadap pengobatan terikat dengan norma budaya, nilai, dan keyakinan.
(Sue & Sue 1999).

Dalam psikoterapi tradisional dan kontemporer, psikologi barat fokus pada individu yang diharapkan
untuk mengekspresikan secara verbal emosi, pikiran, dan perasaan untuk terlibat dalam refleksi diri
dan pengungkapan diri yang mendasari penyakit mental. Dan menjadi berhubungan dengan batin
yang penting untuk memahami dan mengobati individu saat tertekan. Dalam beberapa budaya Asia,
pikiran-pikiran seseorang, terutama jika mereka sakit, menyenangkan, atau menjengkelkan, sangat
dihindari dan diyakini memperburuk masalah yang ada.

4. Psikoterapi dalam Budaya luar Amerika Serikat


Psikoterapi sudah di ekspor ke bagian lain dari dunia seperti Singapura (Devan
2001), Malaysia (Azhar & Varma,2000), India (Prasadaro & Matam, 2001), dan China
(Zhang,Young,Lee 2002). Di Malaysia, agama telah dimasukkan ke dalam psikoterapi (Azhar
& Varma, 2000). Di Cina, Tao dan prinsip-prinsip Konfusian yang tertanam dalam teknik
psikoterapi. Orang-orang Arab dalam kelompok mereka memiliki waktu yang sulit melihat
kelompok sebagai terapi dan bukan hanya sebagai kegiatan sosial.

I. Pengobatan dari Perilaku Abnormal berseberangan dengan beragam Budaya di Amerika Serikat
Afrika Amerika tidak menemukan perbedaan dalam hasil dibandingkan dengan kelompok etnis lain (J
yang & Matsumoto, 1982: Lerner 1972). Namun, percobaan klinis berpenghasilan rendah seperti
Afrika Amerika dan wanita Latino menemukan psikoterapi untuk menjadi pengobatan yang efektif
untuk depresi, bahkan 1 tahun kemudian (Miranda, Green. & Krupnick, 2006). Hasil bagi Asia

99
Amerika telah menemukan bahwa terapi psikologi dapat digunakan dengan sukses, di Asia Tenggara
Amerika berurusan dengan gangguan tekanan pasca trauma atau depresi (Kinzie, Leung, & Bui,
1988). Di Los Angeles, (Seattle 1991) menemukan bahwa, dibandingkan dengan kelompok etnis lain,
Latino yang paling mungkin untuk meningkatkan setelah pengobatan psikoterapi. American
Psychological Association (2002) telah menciptakan pedoman untuk menyediakan layanan
kesehatan mental untuk kelompok etnis minoritas. Lainnya peneliti dan dokter sedang
mengembangkan pendekatan teoritis didorong budaya pengobatan, seperti teori konseling dan
terapi multikultural (Sue, Ivey, & Pedersen, 1996; Sue & Sue, 2003).

1. Mencari Pengobatan
(Seattle, Sue 1977) menemukan tingkat yang lebih rendah dari pemanfaatan layanan oleh Amerika
Asia daripada orang Amerika Eropa dan Afrika-Amerika. Ia menemukan bahwa semua kelompok lain
memiliki tingkat putus sekolah tinggi dan hasil pengobatan yang lebih buruk dibandingkan dengan
orang-orang dari Amerika Eropa. Dalam sebuah studi dari tingkat pemanfaatan layanan kesehatan
mental dengan 853 Afrika Amerika, 704 Amerika Asia, 964 Latino Amerika, dan 670 Eropa remaja
Amerika (usia 13 hingga 17 tahun) di Los Angeles selama periode lima tahun. Lamanya pengobatan
adalah variabel penting untuk melihat karena penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak waktu
yang dihabiskan dalam pengobatan, semakin besar kemungkinan itu akan terjadi (Orlinsky, grawe, &
Taman, 1994). Temuan dari studi dengan Asia Tenggara pada khususnya telah dicampur, dengan
beberapa menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari pemanfaatan (Ying & Hu, 1994) dan,
menemukan tingkat yang lebih rendah (Barreto & Segal, 2005, Zane, Hatanaka, Park, & Akutsu,
1994) dibandingkan dengan populasi Amerika Asia secara keseluruhan. Karena orang-orang Asia
Tenggara lebih mungkin menjadi pengungsi yang telah terkena trauma perang dan lebih mungkin
untuk jatuh ke dalam kategori sosial ekonomi rendah yang dapat memperburuk tingkat keparahan
penyakit mental, keberhasilan pengobatan mungkin lebih sulit dicapai. Yeh, Takeuchi, dan Sue
(1994) di Los Angeles menemukan bahwa layanan kesehatan mental etnis tertentu lebih berhasil
dalam memberikan pelayanan kepada Amerika Asia.

2. Hambatan untuk Mencari Pengobatan


Dalam kesehatan mental multikultural adalah Stanley Sue, yang merupakan Direktur Riset di Pusat
Penelitian Nasional Amerika Asia Mental Health. Sue menunjukkan bahwa beberapa alasan mengapa
Amerika Asia sedikit digunakan layanan kesehatan mental meliputi malu, menghindari aktif pikiran
morbid, atribusi penyebab penyakit mental faktor biologis, dan takut sistem tidak diatur untuk
menangani dengan baik dengan perbedaan budaya. Cheng, Leong, dan Geist (1993) melaporkan
bahwa beberapa orang Amerika Asia percaya bahwa pikiran-pikiran atau peristiwa menjengkelkan
hanya akan memperburuk masalah. Di Afrika Amerika, individu dapat didorong untuk mengandalkan

100
kemauan mereka sendiri untuk menghadapi masalah, menjadi mandiri, dan sulit untuk keluar pada
situasi sulit (Broman, 1996; Snowden, 2001). Tolman dan Reedy ( 1998) menunjukkan bahwa
pemanfaatan berkurang dari layanan oleh penduduk asli Amerika mungkin hasil dari keyakinan
budaya yang sakit berasal dari ketidakharmonisan dengan diri sendiri, komunitas, dan alam. Dalam
masyarakat Latino, penyebab gangguan mental yang mungkin disebabkan roh jahat, akibatnya,
diyakini bahwa kekuatan untuk menyembuhkan masalah terletak di dalam gereja dan tidak dengan
profesional kesehatan mental (Paniagua, 1998). Sussman, Robins, dan Earls (1987 menemukan
bahwa Afrika Amerika menyuarakan ketidakpercayaan terhadap layanan kesehatan mental formal,
takut rawat inap dan pengobatan. Takeuchi, Bui, dan Kim (1993) menemukan bahwa orang tua
Afrika Amerika takut datang ke bantuan profesional karena menyebabkan pelembagaan anak
mereka. Uba (1994), studi Asia Amerika diidentifikasi stigma, kecurigaan dan kurangnya kesadaran
tentang ketersediaan layanan sebagai hambatan untuk mencari pengobatan.

3. Treatment Issues ( Permasalahan pada Proses Treatment )


Pada saat menangani pasien dari latar budaya yang berbeda misal minoritas etnik di suatu daerah,
terdapat beberapa tantangan bagi praktisi klinis. Salah satunya kesulitan bagi praktisi Klinis untuk
berkomunikasi dengan pasien, karena kesulitan menggunakan bahasa dan cara berkomunikasi yang
berbeda antar budaya yang menyebabkan cara mengekspresikan perasaan dan menyampaikan
keluhan berbeda. Hal tersebut berpengaruh pada terganggunya peroses penanganan. Kesulitan
dapat berupa penggunaan bahasa yang berbeda antar daerah dan pengamatan perilaku nonverbal
tidak dapat digunakan, contohnya ada beberapa budaya yang menganggap perilaku memandang
mata lawan bicara sebagai tindakan tidak menghormati. Perbedaan budaya juga mempengaruhi
harapan pasien terhadap proses penanganan. Jadi terdapat isu-isu tertentu yang mungkin datang
pada saat melakukan konseling dengan pasien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

4. Culturally Competent Services (Pelayanan yang Kompeten menurut Budaya)


Perkembangan literatur oleh para peneliti dan praktisi, mendorong professional di bidang kesehatan
untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan yang kompeten secara budaya yang dapat
memudahkan dan meningkatkan efektifitas terapi dengan individu yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda-beda. Sue dan rekan-rekan (Comas-Diaz & Jacobsen, 1991; Sue & Sue, 2003;
Sue & Zane, 1987; Tseng & McDermott, 1981) mengusulkan agar metode terapi diubah dan
disesuaikan dengan kebutuhan dan pandangan dari klien dengan latar belakang budaya yang
berbeda-beda. Dan terdapat beberapa indikasi bahwa klien dengan suatu latar belakang budaya,
lebih memilih untuk bertemu dengan terapis yang memiliki latar belakang budaya yang sama, atau
sebuah persamaan dengan mereka, seperti jenis kelamin. Tetapi, persamaan latar belakang budaya
atau jenis kelamin antara praktisi terapi dengan kliennya bukan merupakan faktor pokok untuk

101
proses konseling yang efektif. Proses konseling akan menjadi lebih baik jika praktisi klinis yang
diberikan adalah orang yeng sensitif dengan latar belakang klien dan berusaha untuk memahami
klien terlepas dari latar belakang budayanya.

5. Indigenous Healing
Pembahasan akhir-akhir ini tentang pengobatan perilaku abnormal antar budaya menghasilkan
intervensi yang bersifat culture-specific, atau Indigenous Healing. Indigenous Healing meliputi
system kepercayaan dan praktek terapi yang berlandaskan aspek dari suatu budaya. Atau dengan
kata lain, system kepercayaan dan praktek terapi ini tidak diadaptasi dari budaya luar, melainkan
dikembangkan dari budaya local untuk kepentingan pengobatan penduduk local (Sue & Sue, 1999).

J. Examples of Blending Traditional Western-Based Treatment Approaches with Indigenous


Healing Practices (Contoh Penerapan Metode Pengobatan Gabungan Antara pendekatan
pengobatan tradisional barat dengan praktek pengobatan Lokal)
Dari perspektif ilmu barat, symptom tidak bisa tidur, kecemasan akut, dan depresi tuan Vang adalah
hasil dari trauma dan stress akibat pengalamannya sebagai pengungsi, dan mungkin mengarah
kepada diagnosis posttraumatic distress disorder. Pada akhirnya karena praktisi kesehatan mental
yang bekerja pada kasus ini memperhatikan terhadap latar belakang budaya, dan kepercayaan tuan
Vang sebagai penyebab dari kecemasan akut yang dialaminya, metode pengobatan yang digunakan
adalah gabungan dari metode barat dan metode dari budaya tuan Vang sendiri. Metode pengobatan
yang dilakukan adalah, konseling terapik, dan metode dari kebudayaan Hmong yaitu pembersihan
roh oleh orang pintar (shaman) dan metode yang diberikan berhasil.

K. An Alternative Approach to Treatment (pendekatan alternatife terhadap system pengobatan)


Mayoritas diskusi pada bab ini fokus membahas pada metode pengobatan tertentu berdasarkan
model medisnya. Menyadari keterbatasan dari model medisnya, disiplin ilmu psikologi komunitas
yang dipimpin oleh para peneliti seperti Kelly (1990), dan Trickett (1996), menggabungkan prinsip
dari ilmu psikologi klinis dengan aspek-aspek yang beragam dari ekologi dan aspek individual untuk
menghasilkan sebuah konsep frameworks alternatif untuk memahami perilaku abnormal. Psikolog
komunitas melewati fokus tradisional mereka untuk memberikan respon pada kesulitan seseorang
pada tingkatan individual untuk mengikutsertakan analisis kesehatan mental dari tingkat komunitas.
Pengobatan berbasis komunitas sangat relevan dalam membantu populasi seperti imigran atau
pengungsi, yang tidak terbiasa dengan kebudayaan dari daerah yang mereka tempati saat ini.

102
L. Culture and Clinical Training (kebudayaan dan pelatihan klinis)
Karena isu-isu yang didiskusikan pada bab ini dan pada keseluruhan buku, seluruh program pelatihan
klinis di Amerika Serikat yang terakreditasi, medapatkan arahan untuk memasukan aspek
kebudayaan dan perbedaan atau keberagaman dalam program pelatihan mereka. Dengan harapan
agar praktisi klinis yang turun ke lapangan dapat memahami peran dari kebudayaan pada aspek
ekspresional dan presentasional dari gangguan mental. Isu ini tidak hanya relevan bagi orang dengan
etnik, ras, atau asal Negara yang berbeda.

M. KESIMPULAN
Pada bab ini, telah didiskusikan pentingnya peran budaya dalam percobaan
membantu orang-orang dengan gangguan mental memperbaiki hidup mereka. Salah
satunya penelitian lintas budaya dalam setting klinis seperti mendefinisikan dan memeriksa
abnormalitas dan mendesain pendekatan penanganan yang memobilitas proses
penyembuhan klien secara efektif adalah sebuah keharusan.
Melalui studi budaya psikopatologi, asesmen, dan psikoterapi, kita disediakan
kesempatan untuk memperluas konsep dan teori cakrawala mengenai abnormalitas dan
penanganannya, dan membantu sistem penanganan menuju sistem yang lebih baik dan
lebih besar, secara efektif melayani kelompok-kelompok yang lebih besar.
Gangguan perilaku yang berkaitan dengan budaya tidak bisa di lakukan
sembarangan, clinician harus memahami atau menyelidiki dengan pasti apakah gangguan
tersebut adalah ekspresi budaya yang bersangkutan atau memang simpton-simpton klimis.
Budaya berkaitan dengan perilaku abnormal sebagian besar dikaitkan dengan masalah
status sosial ekonomi, ketersediaan kepindahan, dan diskriminasi.
Psikologi abnormalitas berkaitan dengan sebuah pengalaman pada kebudayaan.
Namun definisi tradisional belum banyak berguna pada pengidentifikasian, penjangkaan
dan perawatan perilaku abnormal. Terdapat perbedaan kultural dalam tingkat kemunculan
dan beberapa gangguan psikologis seperti skizofrenia dan depresi.
Mengingat bahwa psikoterapi tidak dapat terlepas dari ikatan dengan aspek dari
kebudayaan tertentu, mungkin saja semua jenis psikoterapi dapat dilihat sebagai metode
lintas budaya, karena dua orang yang terlibat tidak memiliki internalisasi dari konstruksi
identik mereka masing-masing tentang kebudyaan mereka.
Kesimpulannya, metode sistem pengobatan alternatif ini adalah sebuah evolusi
metode psikoterapi dimana penggunaan kekuatan dan sumber daya sebuah komunitas
tidak hanya ditujukan kepada seseorang atau bersifat individual, tetapi ditujukan kepada

103
kesehatan dari komunitas tersebut secara utuh. Metode ini juga menawarkan alternatif
yang menjanjikan dan memiliki potensi yang tinggi untuk menggantikan model medis dari
psikologi klinis untuk memahami dan merespon kesulitan psikologis pada populasi dengan
latar belakang budaya berbeda.

N. Soal Latihan
1. Angka gangguan PTSD lebih tinggi pada para pendatang dibandingkan pengungsi (Benar-
Salah)
2. CBCL adalah alat yang digunakan untuk menilai masalah emosi dan perilaku anak di berbagai
belahan dunia. (Benar-Salah)
3. Penilaian yang tepat dan diagnosis dari psikopatologi merupakan langkah penting ke arah
membantu orang-orang dengan gangguan mental guna memperbaiki kehidupan mereka
(Benar-Salah)
4. Carl Rogers mendorong pasien untuk mengeksplorasi kenangan mereka dan pikiran bawah
sadar, sebanyak arkeolog mengeksplorasi kota terkubur. (Benar-Salah)
5. Kesamaan atau kemiripan latar belakang budaya, system kepercayaan, dan jenis kelamin
antara klien dengan terapis merupakan hal pokok dan penting untuk diperhatikan dalam
memberikan proses treatment (Benar/Salah)

104
MATERI 11:
11: BUDAYA DAN GENDER

A. The Relationship of Gender and Culture to Mainstream Psychology


Psikolog menjadi semakin sadar akan kemungkinan bahwa psikologis pria dan wanita mungkin
berbeda, mempertanyakan temuan penelitian dan teori-teori sebelumnya. Sarjana, peneliti, guru,
dan siswa mulai mempertanyakan apakah pengetahuan berdasarkan pada laki-laki akurat bagi
orang-orang pada umumnya. Salah satu konsekuensi dari kesadaran ini tumbuh di antara peneliti
dan sarjana adalah menyertakan perempuan sebagai peserta penelitian, untuk memastikan bahwa
temuan penelitian bisa diaplikasikan untuk perempuan maupun laki-laki. Pada saat yang sama,
peningkatan jumlah perempuan menjadi peneliti dan akademisi, membawa perspektif yang berbeda
dengan bidang, teori-teori, dan temuannya. Sekarang, psikologi menikmati kontribusi lebih
seimbang oleh laki-laki dan perempuan, setidaknya di Amerika Serikat, dan kombinasi perspektif dan
keprihatinan yang berbeda untuk membuat dinamika yang kaya, menarik, dan penting bagi
lapangan. Meskipun mempertanyakan ketidakseimbangan penelitian tentang pria dan wanita sulit,
banyak ilmuwan perilaku dan sosial telah merespon dengan baik. Banyak peneliti telah membuat
upaya sadar untuk mempelajari perilaku lintas budaya untuk mempelajari persamaan antar budaya
dan perbedaan. Lembaga akademik juga telah membuat upaya untuk merekrut dan melatih orang-
orang dari latar belakang budaya yang beragam, sehingga mereka juga dapat berkontribusi untuk
penelitian, pengajaran, dan pendidikan dalam psikologi. Kami menafsirkan perubahan ini sebagai
bukti dari evolusi berkelanjutan di lapangan, mirip dengan apa yang telah terjadi dalam kaitannya
dengan gender. Artinya, psikologi terus berubah dan berkembang. Seperti Amerika Serikat dan
seluruh dunia menjadi semakin beragam, kebutuhan psikologi yang utama adalah untuk
menggabungkan, menjelaskan, dan mendeskripsikan bahwa keragaman terus meningkat. Teori,
penelitian, pengajaran, serta pendidikan menjadi lebih peka budaya, dan meningkatnya kesadaran
ini terikat untuk membawa evolusi lain di wajah dan konten psikologi.

B. Beberapa Definisi
1. Androgyny
Sebuah identitas gender yang melibatkan dukungan dari kedua karakteristik pria dan wanita.
2. Gender
Perilaku atau pola kegiatan masyarakat atau budaya dianggap sesuai untuk pria dan wanita.
Pola-pola perilaku ini mungkin atau mungkin tidak terkait dengan peran seks dan seks,
meskipun mereka sering dikaitkan.

105
3. Gender Identity
Tingkat dimana seseorang memiliki kesadaran atau pengakuan bahwa ia telah mengadopsi
peran jenis kelamin tertentu.
4. Gender Role
Tingkat dimana seseorang mengadopsi perilaku spesifik gender berasal oleh budaya-nya.
5. Gender Role Ideology
Penilaian tentang apa peran yang seharusnya pada tiap gender dalam budaya tertentu.
6. Gender Stereotype
Karakteristik psikologis atau perilaku biasanya terkait dengan laki-laki dan perempuan.
7. Machismo
Sebuah konsep yang terkait dengan diferensiasi peran gender Meksiko-Amerika yang
ditandai dengan banyak harapan tradisional terhadap peran gender pria, seperti menjadi
emosional, kuat, berwibawa, agresif, dan maskulin.
8. Sex
Perbedaan biologis dan fisiologis antara pria dan wanita, yang paling jelas perbedaan
anatomi dalam sistem reproduksi mereka
9. Sex Roles
Perilaku dan pola kegiatan laki-laki dan perempuan yang secara langsung terkait dengan
perbedaan biologis dan proses reproduksi mereka.
10. Sexual Identity
Tingkat kesadaran dan pengakuan oleh seorang individu mengenai sex dan sex roles.

C. Penelitian Lintas Budaya Mengenai Gender


Penelitian lintas budaya pada perbedaan gender telah berlangsung sejumlah besar pada tema
psikologis dan konstruksi yang membantu kami mengumpulkan bagaimana perbedaan gender
ada di budaya yang berbeda, dan membantu kami berspekulasi tentang alasan untuk perbedaan
itu. Untuk keperluan presentasi di sini, kita telah dikategorikan penelitian ke dalam empat
bidang: gender stereotypes, gender roles and self-concept, , studi Hofstede, dan perbedaan
gender psikologis, yang meliputi perbedaan persepsi/spasial/kognitif, kesesuaian dan
kepatuhan, agresi, dan konstruksi psikologis lainnya. klasifikasi ini, tentu saja, sepenuhnya
sewenang-wenang; mereka adalah upaya untuk memberikan beberapa struktur ke susunan yang
luas dari penelitian lintas budaya pada perbedaan gender. Selain itu, ulasan ini tidak
komprehensif, tetapi hanya wakil dari sejumlah besar penelitian yang ada di banyak topik
psikologis yang berbeda memeriksa perbedaan gender di seluruh budaya.

106
D. Kultur dan Stereotip Gender
3. Studi William dan Best
Penelitian William dan Best (1982) yang mengambil sampel di 30 negara dengan total 3000
partisipan menggunakan kuesioner ACL (Adjective Check List). Kuesioner tersebut
menghadirkan 300 kata sifat yang menggambarkan karakteristik laki-laki dan perempuan.
Seperti dugaan awal, kata-kata sifat yang lebih kuat dan aktif lebih berasosiasi dengan laki-
laki daripada wanita di semua negara. Williams dan Best (2000) menggunakan kuesioner ACL
yang dikaitkan dengan Five Factor Model of Personality. Hasil penelitian mengungkap
perbedaan gender-stereotype cenderung lebih tinggi pada negara-negara konservatif dan
hirarkis, dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi yang rendah, dan proporsi wanita
yang mengenyam pendidikan yang rendah. Sedangkan, negara yang harmonis dan egaliter,
memiliki orientasi yang kurang terkait sex-roles (tidak terlalu mempermasalahkan), dan
perbedaan yang kecil pada gender-stereotypes dikaitkan dengan the five factors. Laki-laki
secara umum memiliki karakter psikologis, yaitu: aktif, kuat, kritis, dewasa, dengan
kebutuhan psikologis: dominan, mandiri, agresi, keinginan untuk tampil, berprestasi, dan
memiliki daya tahan tubuh yang baik. Laki-laki juga diasosiasikan dengan sifat berhati-hati,
ekstrovert, dan openness. Perempuan secara umum berkarakter pasif, lemah, nurture, dan
adaptif, dengan kebutuhan psikologis: rendah diri, patuh, mengasuh.

E. Kultur, Ideologi Gender Role, dan Konsep Diri


1. Studi William dan Best
Penelitian William dan Best (1990) pada 14 negara dengan menggunakan ACL yang
berhubungan dengan apa yang mereka yakini tentang dirinya dan apa yang mereka ingin
menjadi seperti apa. Skala tersebut juga dilabeli dengan label “tradisional” dan
“egaliter”. Tradisional menggambarkan gender roles yg sesuai dengan norma tradisional
atau umum seperti pada temuan sebelumnya, sedangkan egaliter merefleksikan
kecenderungan perbedaan yang rendah antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai
karakteristik psikologi. Egaliter lebih banyak ditemukan di Belanda, Jerman, dan
Finlandia; sedangkan ideology tradisional lebih banyak ditemukan di Nigeria, Pakistan,
dan India. Negara yg memiliki tingkat sosio-ekonomi yg tinggi, proporsi pemeluk
Protestan yang tinggi, proporsi Muslim yang rendah, jumlah wanita yang bekerja di luar
rumah tinggi, jumlah wanita yg tinggi masuk ke universitas, dan tingkat individualism
tinggi, berasosiasi dengan label egaliter. Williams dan Best (1990) juga meneliti

107
perbedaan gender dalam konsep diri. Siswa yang sama di 14 negara yang sama dinilai
masing-masing dari 300 kata sifat dari ACL mengenai diri merka sendiri atau ideal self
mereka. Tanggapan diberi skor sesuai dengan maskulinitas / feminitas serta dalam hal
keberuntungan, kekuatan, dan aktivitas. Ketika mencetak menurut maskulinitas /
feminitas, baik penilaian mengenai actual self dan ideal self pria lebih maskulin daripada
yang peringkat perempuan, dan sebaliknya, di semua negara. Namun, laki-laki dan
perempuan di semua negara menilai ideal self mereka lebih maskulin daripada diri
mereka yang sebenarnya. Akibatnya, mereka mengatakan bahwa mereka ingin memiliki
lebih dari ciri-ciri tradisional dikaitkan dengan laki-laki. Temuan ini menyorot peran
penting agama dalam memahami bagaimana ideologi peran gender didefinisikan dan
disimpan dalam budaya yang berbeda.
2. Studi Hofstede
Hofstede (2001) mengidentifikasi perbedaan utama antara budaya maskulin dan feminin
dalam konteks seksualitas. Budaya yang memiliki tingkat maskulinitas tinggi (Jepang,
Austria, Venezuela, dan Italy) cenderung memiliki sikap moral tentang seks, standar
ganda tentang seks (wanita harus virgin saat menikah tapi tidak untuk laki-laki), dan
mendorong peran pasif untuk wanita. Budaya yg memiliki tingkat maskulinitas rendah
(Denmark, Norwegia, dan Belanda) cenderung memiliki sikap sesuai keadaan tentang
seks, standar tunggal tentang seks untuk laki-laki dan perempuan, dan norma yg
mendorong peran aktif perempuan dalam lingkungan sosial.
F. Perbedaan Psikologis Gender Antar Budaya
Perbedaan psikologis gender lintas budaya tidak hanya produk biologi dan budaya; mereka juga
penguat penting dari budaya, kembali ke perilaku budaya, peran gender, dan ideologi peran gender.
Dalam mode siklus ini, produk psikologis mengenai difenersiasi jenis kelamin juga menjadi aspek
penting dari hubungan budaya-perilaku-psikologi yang ada di antara orang-orang dan ritual mereka,
tradisi, dan perilaku. Literatur lintas-budaya pada perbedaan psikologis antara jenis kelamin
menyorot tiga bidang umum perbedaan: kemampuan persepsi/spasial/kognitif, kesesuaian dan
ketaatan, dan agresivitas (Berry et al, 1992).
1. Kemampuan persepsi/spasial/kognitif
Mitos di Amerika menyebutkan bahwa laki-laki lebih baik secara perfoma pada matematika
dan tugas spasial, sedangkan perempuan lebih baik pada tugas untuk pemahaman verbal.
Penelitian Maccoby dan Jacklin (1974) menyatakan bahwa laki-laki cenderung lebih baik
pada tugas spasial dan tugas lainnya yang memiliki komponen spasial. Berry (1966)
mengungkapkan perbedaan pada komponen tersebut tidak ditemukan perbedaannya pada

108
laki-laki dan perempuan pada budaya Inuit di Canada. Penelitian lanjutan Berry et all (1992)
mengemukakan bahwa superioritas laki-laki pada tugas cenderung ditemukan dalam budaya
yang ketat (yang relatif homogen), menetap, dan basis pertanian, sedangkan superioritas
perempuan ditemukan dalam budaya yang longgar, nomaden, dan berkelompok.
2. Kesesuaian dan ketaatan
Salah satu stereotype gender-role adalah perempuan lebih mudah sepakat dan taat
daripada laki-laki. Perempuan diharapkan sepakat pada keputusan yang diberikan oleh laki-
laki atau oleh lingkungan secara umum.
3. Agresivitas
Salah satu stereotype gender menyebutkan bahwa laki-laki lebih agresif daripada
perempuan. Laki-laki tercatat lebih banyak melalukan kejahatan dalam bentuk kekerasan di
lingkungan industri maupun non-industri. Peneliti berpendapat bhwa agresi laki-laki
mungkin menjadi mekanisme kompensasi utk mengimbangi konflik yg dihasilkan oleh
identifikasi sso laki-laki muda dg kemunculan sisi feminimnya dan inisiasi ke masa dewasa
sbg pria. Dlm hal ini, agresivitas dipandang sebagai “gender marking”.

G. Bagaimana Budaya Mempengaruhi Gender


Gender adalah konstruksi yang berkembang pada anak-anak karena mereka disosialisasikan dalam
lingkungan mereka. Sebagai anak-anak tumbuh dewasa, mereka belajar perilaku dan pola kegiatan
yang tepat dan pantas untuk seks mereka yang spesifik, dan mereka mengadopsi atau menolak
peran gender mereka. Misalnya, kita belajar apa perilaku, sikap, benda, dan konvensi yang
berhubungan dengan menjadi "laki-laki" dan apa yang terkait dengan menjadi "perempuan," dan
menerapkan skema gender ini untuk memahami orang-orang di sekitar kita serta diri kita sendiri.
Fakta biologis dan kebutuhan reproduksi, bersama dengan perbedaan biologis dan fisiologis lainnya
antara laki-laki dan perempuan, menyebabkan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai masyarakat yang berbeda dan hidup di lingkungan yang berbeda, kelangsungan hidup
memerlukan mereka menyeimbangkan sejumlah faktor, termasuk sumber daya alam, kemakmuran,
dan kepadatan penduduk. Perilaku diferensial ini yang terjadi karena perbedaan eksternal, faktor
lingkungan menyebabkan pola perilaku seluruh waktu yang berhubungan dengan laki-laki dan
perempuan. Pola perilaku tentu saja adalah budaya. Dengan demikian, sebagai budaya yang berbeda
harus berurusan dengan faktor eksternal yang berbeda, wajar saja bahwa perbedaan gender
berbeda di setiap budaya. Satu budaya mungkin mendorong kesetaraan besar antara perempuan
dan laki-laki dan relatif sedikit perbedaan dalam praktik budaya dan karakteristik psikologis. Budaya
lain dapat menumbuhkan perbedaan besar antara jenis kelamin, praktek budaya mereka yang

109
berkaitan dengan reproduksi, dan karakteristik psikologis yang terkait dengan peran seks. Bukti juga
menunjukkan bahwa stereotip dan sikap mengenai perbedaan gender yang relatif konstan di seluruh
budaya, meskipun ada perbedaan yang sebenarnya dalam perilaku psikologis yang ditimbulkan oleh
perbedaan nyata dalam tuntutan ditempatkan pada budaya dan masyarakat oleh lingkungan
mereka. Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa budaya yang berbeda mungkin menunjukkan
hasil yang berbeda melalui proses yang sama.
H. Etnis dan Gender di Amerika Serikat
Laki-laki Afrika-Amerika lebih mungkin untuk hidup di bawah garis kemiskinan, mati pada usia dini,
membuat lebih sedikit uang, berada di penjara, dan dieksekusi untuk kejahatan dibandingkan laki-
laki Amerika-Eropa. Sehubungan dengan proses psikologis, laki-laki Afrika-Amerika mahir bahasa
tubuh, encoding dan decoding nonverbal, dan improvisasi pemecahan masalah (Allen & Santrock,
1993). Penelitian tentang kekhawatiran perempuan Afrika-Amerika telah berubah selama 20 tahun
terakhir (Hall, Evans, & Selice, 1989). Penelitian awal difokuskan hampir secara eksklusif pada
karakteristik dan situasi yang umumnya negatif. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, peningkatan jumlah
penelitian telah difokuskan pada banyak aspek psikologis lain dari wanita Amerika-Afrika, termasuk
harga diri atau prestasi. Misalnya, jumlah PhD diberikan kepada wanita Afrika-Amerika meningkat
sebesar 16% antara tahun 1977 dan 1986 (Allen & Santrock, 1993), menunjukkan beberapa
perbaikan dalam aksesibilitas gelar sarjana canggih untuk wanita Afrika-Amerika dan meningkatkan
motivasi untuk mencapai derajat mereka. Penelitian lain telah menemukan bahwa dibandingkan
dengan gadis-gadis Amerika-Eropa, gadis Afrika-Amerika melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari
harga diri dan kurang peduli dengan penampilan fisik mereka (Basow & Rubin, 1999; Vasquez & de
las Fuentes, 1999). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa identitas gender dari Afrika-Amerika
lebih androgini daripada Eropa-Amerika. Androgini merupakan istilah yang digunakan untuk
identitas gender yang melibatkan endorsement untuk karakteristik laki-laki dan perempuan.
Keluarga Asian-Amerika lebih membawa peran tradisional pada gender, yang diasosiasikan dengan
kebudayaan asli mereka. Perempuan Asia-Amerika lebih banyak melakukan pekerjaan domestik,
membesarkan anak, dan menjadi menantu yang baik. Laki-laki Asia-Amerika lebih dinilai mandiri,
unemotional, otoritatif, terkait isu keluarga. Begitu juga peran tradisional perempuan Mexican-
Amerika adalah mengasuh anak dan merawat rumah. Laki-laki Mexican-Amerika juga memiliki
keinginan yang sama dengan peran perempuan untuk merawat keluarga. Hal tersebut disebut
machismo, yaitu menggabungkan peran tradisional dan harapan laki-laki, seperti menjadi
unemotional, kuat, otoritatif, agresif, dan maskulin.

I. Seks dan Seksualitas

110
Banyak perbedaan budaya terkait nilai-nilai tentang keperawanan, terutama untuk para wanita.
Banyak budaya yang tradisional dan konservatif melihat keperawanan sebagai sebuah keistimewaan
pada wanita yang belum menikah. Kebudayaan lainnya yang lebih terbuka dan eksplisit terhadap
seks, menerima dan mendorong multiple sexual partner sebelum menikah.

J. Memilih dan Mencari Pasangan, dan Kecemburuan


Laki-laki cenderung mencari pasangan yang lebih muda, mencari pasangan untuk melahirkan anak,
sedangkan wanita mencari pasangan yang bisa menyediakan kebutuhan anak jangka panjang.
Penelitian yang berfokus pada dua tipe ketidaksetiaan, seksual dan emosional (Buss & Schmitt, 1993;
Fernandez, Sierra, Zubeidat, & Vera-Villarroel, 2006) mengungkapkan bahwa laki-laki lebih merasa
cemburu pada ketidaksetiaan secara seksual, sedangkan perempuan lebih cemburu pada
ketidaksetiaan secara emosional dari pasangannya.

K. Merubah Kultur dan Gender Roles


Merubah kebudayaan akan memberikan banyak konfrontasi antara perbedaan gender lintas budaya.
Peningkatan ekonomi, kemakmuran,dan individualisme berasosiasi dengan perubahan gender roles.
Lebih banyak wanita yang bekerja di luar rumah, merupakan bentuk kemandirian ekonomi dan
dinilai baik dlm urusan rumah dan dibidang pekerjaan. Namun, ada konsekuensi sosial dari
perubahan budaya, seperti peningkatan angka perceraian (Matsumoto, 2002; Yodanis, 2005).
Keenganan untuk pulang lebih awal dan merawat anak, tingginya perselingkuhan, pembangkangan
terhadap suami dan permasalahan kesehatan untuk perempuan terutama yang disebabkan oleh
polusi pabrik, alkohol, dan merokok.

L. Kesimpulan
Psikolog menjadi semakin sadar akan kemungkinan bawa psikologis pria dan wanita mungkin
berbeda, mempertanyakan temuan penelitan dan teori-teori sebelumnya. Sekarang, psikologi
menikmati kontribusi lebih seimbang oleh laki-laki dan perempuan. Penelitian lintas budaya pada
perbedaan gender telah banyak berkembang khususnya pada tema yang berkaitan secara psikologis.
Penelitian ini dikelompokkan ke dalam empat bidang yaitu : gender stereotypes, gender roles dan
self-concept, studi Hofstede, serta perbedaan gender psikologis yang terdiri dari perbedaan
persepsi/spasial/kognitif, kesesuaian dan kepatuhan, agresi dan konstruksi psikologis lainnya.
Beberapa definisi yang terkait dengan psikologi lintas budaya dan gender yaitu : Androgyny, Gender,
Gender Identity, Gender Role, Gender Role Ideology, Gender Stereotype, Machismo, Sex, Sex Roles,
Sexual Identity.

111
Perbedaan anatara laki-laki dan perempuan membuat perbedaan pada sex role. Laki-laki memiliki
bentuk fisik yang lebih besar dari perempuan sehingga memungkinkan menjalankan peran utama
untuk membuat perlindungan, mencari atau produksi mkaanan dan menangkal musuh, lain halnya
dengan perempuan yang mengambil peran utama pengasuhan untuk anak dari sebelum sampai
sesudah kelahiran.
Penjelasan Williams dan Best (2000) menyatakan bahwa laki-laki secara umum memiliki karakter
psikologis dewasa, aktif, mandiri, dominan, kritis dan laki-laki juga diasosiasikan dengan sifat berhati-
hati, ekstrovert, dan terbuka, sedangkan perempuan lebih berkarakter pasif, lemah, nurture, dan
adaptif dengan kebutuhan psikologis yang rendah diri, patuh, dan mengasuh. Beberapa peneliti
mengungkapkan bahwa identitas gender dari Afrika-Amerika lebih androgini daripada Eropa-
Amerika. Androgini merupakan istilah yang melibatkan endorsement untuk karakteristik laki-laki dan
perempuan. Peran tardisional perempuan Mexican-America adalah mengasuh anak-anak dan
merawat rumah, laki-laki Mexican-America juga memiliki keinginan yang sama dengan peran
perempuan untuk merawat keluarga. Hal tersebut yang disebut Machismo, yaitu menggabungkan
peran tradisional dan harapan laki-laki seperti menjadi un-emotional, kuat, otoritatif, agresif, dan
maskulin.
Penelitian Hofstede (2001) mengidentifikasi perbedaan utama antara budaya maskulin dan feminine
dalam konteks seksualitas. Budaya yang memiliki tingkat maskulinitas tinggi (Jepang, Austria,
Venezuela, dan Italy) cenderung memiliki sikap moral tentang seks, standar ganda tentang seks
(wanita harus virgin saat menitak tapi tidak untuk laki-laki), dan mendorong peran pasif untuk
wanita. Budaya yang memiliki tingkat maskulinitas rendah (Denmark, Norwegia, dan Belanda)
cenderung memiliki sikap sesuai keadaan tentang seks, standar tunggal tentang seks untuk laki-laki
dan perempuan, dan norma yang mendorong peran aktif perempuan dalam lingkungan sosial.

Latihan Soal
1. Persamaan laki-laki dan perempuan membuat beberapa perbedaan pada sex roles (B / S)
2. Gender Stereotypes merupakan kemampuan individu untuk mengadopsi perilaku gender sesuai
dengan budaya mereka (B / S)
3. Egaliter merefleksikan kecenderungan perbedaan yang tinggi antara laki-laki dan perempuan
dalam berbagai karakteristik psikologi (B / S)
4. Peningkatan ekonomi, kemakmuran, dan individualism berasosiasi dengan perubahan Gender
Roles (B / S)
5. Androgini merupakan istilah yang digunakan untuk identitas gender yang melibatkan
endorsement untuk karakteristik laki-laki dan perempuan (B / S)

112
113
MATERI 12:
12: SELF AND IDENTITY

A. Budaya dan Konsep Diri


Disadari atau tidak, konsep diri kita adalah sesuatu yang bersifat integral dan merupakan
bagian penting dalam hidup kita. Berpikir mengenai beberapa deskripsi diri anda, mungkin anda
telah meyakinkan diri anda merupakan seorang yang optimis atau pesimis, introvert atau extrovert.

1. Terkadang kita menggunakan label tersebut untuk memberi karakter terhadap diri kita.
Dekripsi label seperti ini memiliki beberapa arti yakni :
a. Bahwa kita memiliki atribut dalam diri, seperti kita memiliki atribut lain yakni kecakapan,
hak, atau ketertarikan.
b. Bahwa perilaku kita dimasa lalu, perasaan, maupun pikiran memiliki hubungan yang
dekat terhadap atribut kita.
c. Bahwa perbuatan kita dimasa depan, rencana, perasaan, maupun pikiran kita akan
mengontrol atau menjaga atribut ini dan dapat memprediksi kurang atau lebih akurat
dari itu.

2. Perasaan terhadap diri adalah inti dari diri kita, kesadaran yang secara otomatis
mempengaruhi pikiran, perilaku, dan perasaan kita. Perbedaan budaya juga menghantarkan
proses pembentukan self-concept pada anggota mereka. Perbedaan self-concept ini
mengubah dan mempengaruhi aspek perilaku individual mereka. Tuntutan budaya yang
bebeda dalam menempatkan anggotanya berarti individu mengintergrasikan, mensintesis,
dan mengkoordinasikan dunia mereka.

3. Markus dan Kitayama (1991b) menggunakan hal ini untuk menjelaskan dua perbedaan
fundamental terhadap perbedaan rasa diri. Budaya barat memiliki konsep diri yang kuat
terhadap individualistis sebagai sesuatu yang bebas, berbeda dengan orang Non-Barat yang
menganut budaya kolektivis yang secara umum lebih terikat satu sama lain yang tidak dapat
dipisahkan dari konsep sosial. Mereka mengilustrasikan bagaimana pembentukan yang
berbeda terhadap diri lebih terikat dalam diri orang-orang dan pemikiran mengenai apa yang
mereka rasakan dan apa yang memotivasi mereka.

B. Perbedaan budaya dalam Konsep Diri

114
1. Pemahaman diri independen
Pemahaman ini terdapat dalam budaya individualistis seperti negara Amerika, dimana dalam
budaya ini ada keyakinan yang kuat terhadap keterpisahan individu.
a. Tugas normatif di budaya ini adalah untuk menjaga independensi individu sebagai entitas
yang terpisah dan mandiri.

b. Tugas kultural dari masyarakat individualis telah disosialisasikan untuk menjadi unik, untuk
mengekspresikan diri mereka sendiri, untuk mewujudkan dan mengaktualisasikan diri, dan
untuk mempromosikan tujuan pribadi.

c. Pada pemahaman diri independen, individu fokus pada personal, kemampuan atribut
internal, kecerdasan, kepribadian, tujuan, atau preferensi - mengekspresikan diri mereka di
depan umum dan memverifikasi dan mengkonfirmasi diri mereka secara pribadi melalui
perbandingan sosial.

2. Pemahaman diri interdependen


Pemahaman ini terdapat pada banyak kebudayaan non-Barat. Budaya ini menekankan pada
“kesalingterkaitan yang mendasar pada manusia”.
a. Tugas normatif dalam budaya ini adalah melakukan penyesuaian diri dan mempertahankan
interdependensi diantara individu.

b. Tugas kultural dalam budaya ini yaitu individu dibesarkan untuk menyesuaikan diri dengan
orang dalam suatu hubungan atau kelompok, membaca maksud orang lain, menjadi orang
yang simpatik, menempati dan menjalani peran yang diberikan pada diri mereka, bertindak
secara pantas, dan sebagainya.

c. Individu cenderung terfokus pada status interdependen mereka dengan orang lain dan
berusaha memenuhi atau bahkan menciptakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab sosial.
Aspek paling penting yaitu pengalaman ini bersifat intersubjektif yaitu berakar dalam
hubungan interpersonal yang tertata rapi.

3. Konsekuensi terhadap Kognisi, Motivasi, dan Emosi


a. Self-Perception

115
Pada pemahaman diri independen, atribut-atribut internal menjadi informasi yang paling
penting dan relevan dengan diri. Atribut-atribut internal ini relatif kurang penting bagi
mereka yang memiliki pemahaman diri interdependent, yang memikirkan diri lebih dalam
konteks hubungan tertentu atau dalam konteks yang spesifik. Diri interdependen merasa
sulit menggambarkan diri mereka dengan atribut internal yang abstrak. Cousins (1989)
meminta responden Amerika dan Jepang untuk menuliskan siapa diri mereka dalam situasi
sosial yang spesifik. Hasilnya, responden Jepang menghasilkan lebih banyak atribut internal
abstrak daripada responden Amerika. Responden Amerika cenderung membatasi deskripsi
mereka misalnya “saya kurang lebih adalah orang yang mudah bergaul ditempat kerja”.
Untuk menjawab sesuatu yang berkonteks, orang Amerika mungkin merasa kikuk karena
definisi diri mereka biasanya tidak terbatas oleh situasi spesifik.

b. Penjelasan Sosial
Pemahaman diri independen akan berasumsi bahwa orang lain juga memiliki serangkaian
atribut internal yang relatif stabil seperti sifat-sifat kepribadian, sikap, dan kemampuan.
Akibatnya ketika mengamati perilaku orang lain, mereka mungkin akan menarik kesimpulan
tentang kondisi internal orang tersebut, atau disposisinya, yang menyebabkan perilaku
tersebut muncul.
Pemahaman diri interdependen memegang asumsi yang mencakup pengertian bahwa apa
yang dilakukan seseorang itu tergantung pada, dan diarahkan oleh, faktor-faktor situasional.
Dengan demikian, individu-individu ini lebih cenderung menjelaskan perilaku orang lain
berdasarkan kekuatan-kekuatan situasional yang mempengaruhi orang tersebut, dan bukan
predisposisi internal.

c. Konotasi sosial emosi


Emosi seperti rasa bangga atau superioritas muncul terutama saat seseorang berhasil
mencapai tujuan atau keinginannya, atau setelah membuktikan atribut internal yang baik
seperti kecerdasan dan kemakmuran. Begitu pula dengan emosi negatif seperti marah dan
frustasi yang terjadi terutama karena terhambatnya atribut internal seseorang seperti tujuan
atau keinginan. Emosi ini cenderung memisahkan atau melepaskan diri dari hubungan sosial.
Emosi ini sekaligus juga meningkatkan independensi diri dalam hubungan. Sehingga
Kitayama dan Markus (1994a) menyebut jenis emosi ini sebagai emosi yang terpecah secara
sosial (socially disengaged emotions).

116
Emosi positif seperti perasaan bersahabat dan penghargaan sebagai hasil dari pengalaman
menjadi bagian dari sebuah hubungan dekat yang kurang lebih bersifat komunal dimana
emosi ini menguatkan ikatan tersebut. Emosi negatif seperti merasa berhutang atau rasa
bersalah biasanya muncul akibat kegagalan seseorang untuk berpartisipasi dalam hubungan
interdependen. Emosi ini disebut sebagai emosi yang terkait dengan konteks sosial (socially
engaged emotions).

d. Konotasi sosial dan emosi – emosi asli (indigeneous)


Emosi indigeneous adalah emosi yang relatif unik atau khas pada kebudayaan tertentu. Bagi
orang dengan pemahaman diri interdependen, aspek-aspek diri yang lebih publik dan
intersubjektif lebih terelaborasi pada pengalaman sadar. Sedangkan bagi mereka yang
pemahaman diri independen, yang mendapat penekanan justru adalah aspek yang lebih
pribadi dan subjektif.
Apakah “senang” sama secara llintas budaya? Dalam Kitayama, Markus, Kurokawa, dan
Negishi (1993) ada tiga macam emosi yang dilaporkan dalam penelitian ini. Ada emosi yang
bersifat umum seperti merasa tidak tegang (relaxed), girang (elated), dan tenang (calm). Ada
emosi-emosi yang memiliki konotasi sosial yang lebih spesifik, apakah konotasi itu bersifat
terikat secara sosial (emosi yang socially engaged seperti perasaan bersahabat, hormat)
maupun yang tidak (emosi yang socially disengaged seperti rasa bangga, superior).
Bagi orang Amerika, emosi positif yang generik terkait dengan pengalaman emosi yang tidak
terikat secara sosial. Mereka yang mengalami emosi yang menandakan keberhasilan
memenuhi tugas kultural independen (socially disengaged) seperti rasa bangga,
kemungkinan besar akan merasa secara umum senang. Pada orang Jepang, mereka yang
mengalami emosi-emosi yang menandakan keberhasilan memenuhi tugas kultural
interdependen (socially engaged) seperti perasaan bersahabat kemungkinan akan merasa
secara umum senang.

e. Motivasi berprestasi
Motivasi berprestasi mengacu pada pengertian bahwa hasrat akan pencapaian yang unggul.
Namun dalam literatur baru, hasrat akan keunggulan ini dikonseptualisasikan secara lebih
spesifik yakni sebagai hasrat yang berakar pada individu atau pribadi, bukan berakar secara
sosial atau interpersonal.
Yang (1982) membedakan anatara dua jenis motivasi berprestasi yaitu yang berorientasi
individu dan yang berorientasi sosial.

117
- Motivasi berorientasi Individu dipandang sebagai sesuatu yang umum di budaya Barat.
Orang lebih mengejar suatu prestasi semata-mata demi “diri” pribadi.
- Motivasi berorientasi sosial dimana orang berjuang untuk menggapai prestasi demi orang
lain terkait seperti keluarga. Sasaran utama dalam melakukan hal tersebu bukan untuk karir
pribadi, melainkan sesautu yang lebih bersifat kolekif atau interdependent seperti
untukmenaikkan status sosial keluarga, memenuhi harapan keluarga, atau menuntaskan
kewajiban pada orang tua.

f. Self-enhancement versus self-effacement


Pada orang-orang dengan pemahaman diri interdependen, pengakuan positif atas atribut-
atribut internal diri belum tentu erat terkait dengan harga diri atau kepuasan diri secara
umum. Harga diri dan kepuasan terkait dengan tindakan memenuhi interdependensi dengan
orang lain. Penghargaan diri atau kepuasan diri berasal dari pengakuan bahwa seseorang
telah berhasil dalam melakukan tugas kultural yang terkait dengan keanggotaan,
penyesuaian diri, bertindak secara pantas, mendukung tujuan orang lain, mempertahankan
harmoni dan sebagainya. Harga diri juga dapat berasal dari kemampuan seseorang untuk
mengatur dan mengkoordinasikan pikiran-pikiran dan perasaan internalnya agar bisa cocok
dengan upayanya untuk memenuhi interdependensi dengan orang lain.

C. Budaya dan Identitas


Identitas adalah kelompok sosial dari individu yang melihat dirinya dalam suatu bagian.
Setiap individu memiliki berbagai identitas karena berbagai peran sosial yang ia perankan seperti
murid, guru, kakak, adik, anak, dan lain-lain.
1. Tipe-tipe ini yang disebut dengan Cultural Identity (identitas budaya). Manusia memiliki
kebutuhan untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok karena individu yang berada pada
suatu keanggotaan akan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Penelitian
membuktikan bahwa individu yang diterima dalam kelompok sosial akan memiliki kondisi
fisik dan psikososial yang lebih baik, sedangkan individu yang ditolak oleh kelompok sosial
akan memiliki kondisi fisik dan psikososial yang buruk.

2. Sebuah teori mengungkapkan bahwa seorang individu dapat memiliki penyangkalan


identitas (identity denial). Hal ini terjadi ketika individu tidak diterima dalam suatu kelompok
karena identitasnya yang tidak sesuai dengan kelompok. Kelompok yang paling banyak
menerima penyangkalan ini adalah kelompok Asia-Amerika. Oleh karena itu, kelompok

118
tersebut menjadi lebih berusaha dalam melakukan apapun untuk dapat teridentifikasi dalam
kelompoknya.

3. Multicultural Identities
Individu tidak hanya memiliki satu identitas budaya tetapi dalam satu situasi individu
memiliki dua atau lebih identitas. Saat ini, istilah “identitas multikultural” meningkat di
dunia, karena budaya asli semakin menurun, meningkatnya komunikasi serta interaksi
antara orang-orang yang berbeda budaya, dan semakin banyak pernikahan beda budaya.
Jika budaya didefinisikan sebagai konstruk psikologi, eksistensi multicultural identity
menunjukan munculnya sistem multiple psychocultural dari representasi pikiran individual
multicultural.
Oyserman (1993), melakukan empat studi yang menguji siswa Israel-Arab dan siswa Yahudi
di Israel. Dalam studinya, peserta menyelesaikan serangkaian tes yaitu penilaian
individualisme, kolektivisme, fokus diri, dan konflik antarkelompok. Hasil dari penelitian
Oyserman menunjukkan bahwa anggota kelompok ini menggunakan kedua cara pandang
individualistik dan kolektif dalam mengatur persepsi diri dan orang lain.

4. Cultural Frame Switching adalah individu yang memiliki pikiran tentang berbagai sistem
budaya. Cultural Reaffirmation Effect adalah individu yang memiliki berbagai macam
budaya, tinggal di lingkungan yang memiliki berbagai macam budaya pula. Terdapat
penelitian lain terkait dengan efek penegasan kembali budaya (cultural reaffirmation) antara
individu multikultural yang hidup dalam lingkungan masyarakat multikultural.

5. Kosmitzki (1996) meneliti monokultural dan bikultural Jerman dan Amerika. Penelitian
dilakukan dengan membuat peringkat sifat-atribut dari diri mereka sendiri pada kelompok
budaya asli mereka, dan kelompok budaya angkat mereka. Hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Kosmitzi adalah individu bicultural diidentifikasi lebih dekat dengan budaya
asli mereka. Individu bicultural mendukung nilai-nilai yang lebih tradisional yang terkait
dengan budaya asli mereka dibandingkan orang monokultural asli di budaya-budaya asli.

D. Self-Esteem dan Self-Enchancement


1. Apa itu Self-Esteem dan Self-Enchancement ?

119
a. Self-esteem atau harga diri mengarah pada evaluasi kognitif dan afektif yang kita buat
tentang diri kita sendiri. Self-esteem adalah konstruk berdasarkan budaya yang melihat diri
sendiri sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai budaya pada umumnya yang kemudian
diintegrasikan menjadi pandangan dunia individual yang unik oleh setiap orang.

b. Self-enhancement atau peningkatan diri adalah proses-proses psikologis yang terjadi ketika
kita meningkatkan harga diri (self-esteem) kita. Self-enhancement merupakan proses
psikologis universal, sehingga individu-individu secara universal akan bekerja atau berusaha
untuk meningkatkan harga diri mereka.

2. Dari mana datangnya self-esteem dan self-enhancement?


Setiap individu digambarkan sebagai sosok yang unik, self-esteem dan self enchancement muncul
dari kebutuhan terhadap keunikan. Juga melalui ekspresi terhadap ideologi budaya yang bisa
meningkatkan atau mendorong self-esteem. Contoh : Pada beberapa budaya, laki-laki yang telah
melakukan sunat dianggap lebih jantan, maka bagi pria yang telah melakukan hal tersebut harga
diri (self-esteem)nya pun meningkat.

3. Perbedaan budaya dalam self-esteem dan self-enhancement


a. Amerika
Penelitian awal lintas budaya pada self-esteem dan self-enhancement menunjukan bahwa
masyarakat budaya individualistis seperti orang-orang Amerika dan Kanada memiliki tingkat
self-enhancement yang tinggi (meninggikan dirinya), sedangkan masyarakat budaya
kolektivistis seperti orang-orang Asia tidak.
Beberapa studi di Amerika Utara menemukan bahwa orang Asia-Amerika menunjukan self-
esteem yang lebih rendah daripada orang Eropa-Amerika. (Crocker & Lawrence, 1999; Mintz
& Kashubeck, 1999; Porter & Washington, 1993).
Hal ini disebabkan karena orang-orang Amerika mempunyai metode untuk meningkatkan
self-esteem mereka yaitu dengan false uniqueness effect, yaitu menganggap diri mereka
lebih inteligen dan atraktif dari orang lain pada umumnya. Wylie (1979) juga menemukan
bahwa orang dewasa Amerika menganggap diri mereka lebih pintar dan menarik. Hal ini
terlihat lebih kuat berada pada pria daripada wanita di Amerika (Joseph, Markus, & Tafarodi,
1992). Sedangkan false uniqueness effect tidak ada atau tidak terjadi di luar Amerika

b. Asia

120
Studi lintas budaya menunjukkan bahwa orang Asia tidak hanya tidak meninggikan dirinya,
tetapi mereka juga lebih terlibat dalam self-efface atau penghapusan diri, yaitu
kecenderungan memandang rendah bantuan yang telah ia berikan pada orang lain/rendah
diri dan memandang diri mereka lebih negatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
orang Cina, terutama orang Jepang, bukan hanya lebih “menghapus diri”; mereka juga lebih
negative tentang diri mereka sendiri baik dalam setting privat atau publik. (Kitayama,
Matsumoto, Markus, & Norasakkunit, 1997; Leung, 1996).

c. Penelitian terbaru
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya ternyata
meningkatkan dirinya, tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Orang dengan budaya
individualis meningkatkan self-esteem dengan cara tertentu – yang bisa diukur dengan
penelitian psikologis – sedangkan orang dengan budaya kolektivis melakukannya dengan
cara lainnya.

E. Budaya dan Atribusi


1. Apakah atribusi dan darimana mereka datang ?
Atribusi merupakan sebuah dugaan yang mebuat seseorang melakukan penyebab
dari sebuah acara dan perilaku lain mereka. Atribusi merupakan wujud bagaimana kita
memahami dunia sekitar dan perilaku orang lain. Orang-orang memiliki kebutuhan, motivasi,
keinginan, tujuan, dan terkadang perilaku mereka sebenarnya merupakan hasil dari atribusi
itu.
Konsep terpenting dalam penelitian terhadap atribusi adalah perbedaan antara
atribusi internal dan eksternal. Atribusi internal lebih spesifik disebabkan oleh perilaku
dalam diri seseorang yang mana sering disebut sebagai Atribusi Disposisional karena mereka
mengatribusikan disposisi seseorang. Atribusi eksternal ditempatkan karena perilaku dari
luar diri seseorang, seperti orang lain, alam, dan kehendak Tuhan, hal ini biasa disebut
dengan Situasi Disposisional.

2. Perbedaan dalam gaya atribusi


Atribusi merupakan subjek dari banyak kemungkinan bias dalam cara berpikir, salah
satunya disebut dengan self-serving bias. Hal ini menjadi sebuah kecenderungan seseorang
mendapatkan kesuksesan bahkan kegagalan dalam faktor situasional (Bradley, 1978).
Salah satu dari penelitian awal dalam membuktikan fakta tersebut adalah milik

121
Jones dan Harris (1967) studi mengenai atribusi sebuah dukungan essai Fidel Castro di Cuba.
Selanjutnya, seperti perbedaan disposisional terjadi bahkan munculnya kendala yang jelas
pada situasi tertentu. Bias ini menunjukkan perbedaan mengenai kehadiran yang jelas dari
disposisi actor pada situasi paksaan yang disebut sebagai kegagalan atribusi fundamental
(Ross, 1977).
Kashima dan Triandis (1986) membuktikan bahwa masyarakat Jepang menggunakan
lebih banyak orientasi kelompok, pendekatan kolektif untuk menyampaikan atribusi hormat
terhadap perhatian dan kesuksesan dalam melaksanakan tugas memori. Namun banyak juga
penelitian lintas budaya dalam area non akademis mengenai atribusi yang diketahui dengan
baik dalam membuktikan banyaknya perbedaan dalam budaya.

3.Universal and culture specific of attribution style


a. Mezulis, Abramson, Hyde, and Hankin (2004) mengadakan sebuah meta-analisis dari 266
pelajar yang menciptakan 503 efek. Melewati seluruh peserta, mereka menjelaskan bahwa
terdapat efek yang luas untuk sebuah bias self-serving.

b. Bias self –serving dalam hal atribusi, membantu dalam menciptakan efek seperti
kegagalan atribusi fundamental yang universal. Semua orang dari seluruh budaya muncul
dengan kebutuhan yang sama dalam mempertahankan self-imej dan mejaga intergritas diri
mereka, atribusi adalah salah satu yang dapat mereka capai. Mempertahankan kebudayaan
mungkin dapat dilakukan sejak awal; Bornstein, Haynes, Azuma, Galperin, Maital, dan Ogino
dan asosiasi (1998 sebagai contoh atribusi mengenai ujian seorang ibu dari anak berusia 20
bulan di Argentina, Belgia, Perancis, Israel, Italy, Jepang, dan Amerika dengan memandang
kegagalan dan kesuksesan dalam tugas mengurus anak. Mereka menemukan, hanya
terdapat beberapa kesamaan dari lintas budaya, namun memiliki banyak perbedaan.
Terutama terhadap pandangan mengenai tingkat kompetensi dan kepuasan dalam
mengurus anak.

F. Kesimpulan
Perbedaan budaya menghantarkan proses pembentukan self-concept pada anggota mereka.
Perbedaan self-concept ini mengubah dan mempengaruhi aspek perilaku individual mereka.
Tuntutan budaya yang berbeda dalam menempatkan anggotanya berarti individu
mengintergrasikan, mensintesis, dan mengkoordinasikan dunia mereka. Perbedaan budaya dalam
konsep diri meliputi pemahaman diri independen dan interdependen. Pemahaman diri independen

122
terdapat dalam budaya individualistis seperti negara Amerika, dimana dalam budaya ini ada
keyakinan yang kuat terhadap keterpisahan individu. Sedangkan pemahaman diri interdependen
pada banyak kebudayaan non-Barat. Budaya ini menekankan pada “kesalingterkaitan yang
mendasar pada manusia”.
Manusia memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok karena individu
yang berada pada suatu keanggotaan akan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Individu
yang diterima dalam kelompok sosial akan memiliki kondisi fisik dan psikososial yang lebih baik.
Identity denial terjadi ketika individu tidak diterima dalam suatu kelompok karena identitasnya yang
tidak sesuai dengan kelompok.
Individu tidak hanya memiliki satu identitas budaya tetapi dalam satu situasi individu
memiliki dua atau lebih identitas. Hasil dari penelitian Oyserman menunjukkan bahwa anggota
kelompok siswa Israel-Arab dan siswa Yahudi di Israel ini menggunakan cara pandang individualistik
dan kolektif dalam mengatur persepsi diri dan orang lain. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
Kosmitzi adalah individu bicultural diidentifikasi lebih dekat dengan budaya asli mereka. Individu
bicultural mendukung nilai-nilai yang lebih tradisional yang terkait dengan budaya asli mereka
dibandingkan orang monokultural asli di budaya-budaya asli.
Self-esteem atau harga diri mengarah pada evaluasi kognitif dan afektif yang kita buat
tentang diri kita sendiri. Self-enhancement atau peningkatan diri adalah proses-proses psikologis
yang terjadi ketika kita meningkatkan harga diri (self-esteem) kita. Walaupun peningkatan diri
mungkin tidak terjadi pada budaya lain ketika orang diminta untuk fokus pada sifat-sifat individu
mereka sendiri, tetapi ketika orang ditanya tentang sifat-sifat relasional dan masyarakat,
peningkatan diri terjadi. (Kurman, 2011). Diri adalah bagian universal dari cultural worldviews, dan
bahwa semua manusia memiliki kecenderungan untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka
karena kemampuan kognitif mereka yang unik, termasuk kebutuhan untuk mencari makna, dan
pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Perbedaan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan
dalam respon sosial yang sesuai dengan budaya masing-masing.
Konsep terpenting dalam penelitian terhadap atribusi adalah perbedaan antara atribusi internal
dan eksternal. Atribusi internal lebih spesifik disebabkan oleh perilaku dalam diri seseorang yang
mana sering disebut sebagai Atribusi Disposisional karena mereka mengatribusikan disposisi
seseorang. Atribusi eksternal ditempatkan karena perilaku dari luar diri seseorang, seperti orang
lain, alam, dan kehendak Tuhan, hal ini biasa disebut dengan Situasi Disposisional.

G. Latihan Soal
1. Orang-orang Amerika cenderung memiliki Self-Effacement yang tinggi (Benar/Salah)

123
2. Self-Effacement adalah kecenderungan untuk merendahkan sifat baik seseorang (Benar/Salah)
3. Atribusi eksternal lebih spesifik disebabkan oleh perilaku dalam diri seseorang yang mana sering
disebut sebagai Atribusi Disposisional (Benar/Salah)
4. Saat ini, istilah “identitas multikultural” meningkat di dunia, karena budaya asli semakin
menurun, meningkatnya komunikasi serta interaksi antara orang-orang yang berbeda budaya,
dan semakin banyak pernikahan beda budaya. (Benar/Salah)
5. Tugas normatif individu dengan pemahaman diri independen adalah menjadi unik,
mengekspresikan diri mereka sendiri, mewujudkan dan mengaktualisasikan diri, dan
mempromosikan tujuan pribadi. (Benar/ Salah)

124
MATERI 13:
13: INTERPERSONAL AND INTERGROUP RELATIONS

A. Culture and Impression Formation


Orang-orang dari semua budaya memiliki kebutuhan universal untuk membentuk ikatan
berarti dengan orang lain, memiliki hubungan akrab, dan termasuk dalam kelompok sosial
1. Culture and Face Recognition
Proses psikologis yang penting untuk menciptakan ikatan sosial adalah kemampuan untuk
mengenali wajah orang lain.
Penelitian menunjukkan adanya bias yang sama dalam kemampuan mengenali wajah.
Malpass dan Kravitz (1996), menunjukkan foto orang Afrika Amerika atau Eropa Amerika
pada pengamat dalam universitas yang dominan Afrika Amerika atau Eropa Amerika.
Pengamat mengenali orang dengan rasnya sendiri dengan lebih baik. studi lain juga
menunjukkan bias ras yang sama dalam mendiskriminasi wajah laki-laki dan perempuan.
2. Impression Formation
Persepsi seseorang mengacu pada proses pembentukan kesan pada penampilan orang lain
khususnya daya tarik fisik, mempengaruhi penilaian kepribadian. Orang yang menarik dinilai
lebih kompeten dan pandai. Penilaian daya tarik berkorelasi dengan kompetensi sosial,
penyesuaian diri, potensi dan kompetensi intelektual, keterampilan sosial, kesehatan
mental, dominansi,intelegensi, dan kehangatan seksual.
Contoh : orang yang lebih tinggi dianggap atraktif, diasosiasikan dengan kemampuan
memimpin. Orang dewasa dengan baby face hangat, baik, naïf. Orang dewasa dengan wajah
lebih dewasa cenderung dinilai sebagai orang yang kuat dan dominan.
3. Culture and Attractiveness
Walaupun efek dari daya tarik dan penampilan fisik dari pembentukan kesan positif sudah
didokumentasikan dengan baik dalam literatur psikologi, namun kebudayaan-kebudayaan
berbeda dalam mengartikan dan mendefinisikan daya tarik.
Daibo, Murasawa dan Chou (1994), misalnya membandingkan penilaian daya tarik fisik
yang dibuat orang Jepang dan Korea. Di Jepang penilaian daya tarik berkorelasi positif
dengan mata besar, mulut dan dagu kecil. Orang Korea cenderung memberikan penilaian
afektif dan psikologi. Orang Jepang tidak.
Ada bukti bahwa penilaian daya tarik konsisten lintas budaya. Tentu saja, mungkin ada
perbedaan individual dalam penilaian dan kriteria untuk daya tarik, namun rata-rata apa
yang terlihat menarik pada suatu kelompok, juga menarik bagi kelompok lain.

125
B. Love, Sex, and Marriage Across Cultures
1. Culture and Mate Selection (Budaya dan Seleksi Pasangan)
Menurut Buss (1989), preferensi dalam menyeleksi pasangan bersifat universal (karena
adanya perbedaan tekanan seleksi evolusioner pada laki-laki dan perempuan).
Preferensi pada perempuan : prospek keuangan, kerajinan, ambisi dan usia yang lebih tua.
Jika pada perempuan di 36 dari 37 budaya menilai prospek finansial itu lebih penting
dibandingkan laki-laki. Perempuan pada 29 dari 36 budaya menilai bahwa ambisi dan
kemampuan industri yang dimiliki laki-laki lebih penting daripada laki-laki.
Preferensi pada laki-laki : kaum muda, penampilan yang baik, kesucian. Laki-laki pada 37
budaya lebih condong pada perempuan yang lebih muda, sebaliknya pada perempuan.
Sedangkan laki-laki pada 34 budaya lebih menilai wajah yang menarik itu lebih penting
dibandingkan perempuan.
Penelitian Buss (1989), negara-negara non-Barat seperti China, India, Indonesia, Iran, Taiwan
dan Palestina menempatkan kesucian sebagai hal yang utama bagi calon pasangan. Namun,
di negara-negara Eropa Barat seperti Swedia, Norwegia, Finlandia, Belanda, Jerman Barat
dan Perancis tidak mementingkan kesucian atau pengalaman seks sebelum menikah.
Mate poaching (perburuan pasangan) : mencuri pasangan orang lain. Paling umum terjadi
di Eropa Selatan/Barat/Timur dan Afrika Selatan. Di semua negara, perburuan pasangan
lebih terbuka, tidak menyenangkan, tidak berhati-hati, tidak setia dan erotophilic. Budaya
dengan sumber ekonomi lebih memiliki upaya tarif perburuan pasangan yang lebih tinggi;
perbedaan seks di dalam perburuan pasangan lebih kecil di dalam budaya yang lebih banyak
gender egaliter.
2. Culture and Love (Budaya dan Cinta)
Cinta adalah universal, dan emosi manusia yang unik. Hal ini dinilai berbeda di dalam
budaya yang berbeda. Tidak semua budaya menghargai nilai romantis ke tingkat yang sama.
Ada perbedaan budaya dalam sikap terhadap cinta dan hubungan romantis. Penelitian Ting-
Toomey (1991), orang Perancis dan Amerika sama-sama menekankan komitmen cinta dan
disclosure maintenance dibandingkan orang Jepang. Orang Jepang dan Amerika sama-sama
menekankan conflict expression dibandingkan orang Perancis. Perspektif social construction
merupakan faktor individual dan kultural berperan penting dalam pemilihan pasangan.
Contoh: laki-laki atau perempuan menarik bila status sosialnya tinggi, agama atau sukunya
sama
3. Culture and Sex (Budaya dan Sex)

126
Universalitas di dalam norma-norma mengenai incest dan perzinahan. Perbedaan budaya
di dalam pentingnya kesucian pada calon pasangan dan homoseksualitas. Budaya
mempengaruhi seks di dalam pernikahan. Budaya dengan sumber yang lebih sedikit dan
stress, memiliki banyak cinta romantis yang lebih aman dan tingkat kesuburan yang lebih
tinggi. Kecemburuan adalah respon universal pada ketidaksetiaan.
4. Culture and Marriage (Budaya dan Pernikahan)
Kebutuhan dan keinginan pada bentuk cinta romantis adalah universal. Penelitian dari 62
kebudayaan ditemukan bahwa 79% memiliki cinta romantis yang aman. Budaya
membedakan bagaimana cara seseorang dalam bentuk cinta romantis dan melihat peran
dari cinta di dalam pernikahan. Di dalam beberapa budaya, ada norma tentang usia wanita
untuk menikah.
5. Intercultural Marriage (Pernikahan Interkultural)
Area yang berpotensial untuk konflik karena budaya : ekspresi cinta dan keintiman, sifat
komitmen dan sikap terhadap pernikahan, membesarkan anak, sikap terhadap peran seks,
pengelolaan uang, sikap terhadap hubungan dengan keluarga besar, perbedaan dalam
definisi pernikahan
Bagaimana pasangan interkultural bisa mengatasi rintangan : komunikasi, kapitulasi,
kompromi, hidup berdampingan, cara bergantian, cara campuran, dan penyesuaian kreatif,
konteks cara konstruksi, fleksibel, berkompromi, dan berkomitmen pada hubungan.

C. Culture and Conformity, Compliance, and Obedience


Conformity berarti menurut pada tekanan sosial yang nyata atau khayalan. Compliance
secara umum diartikan sebagai menurut pada tekanan sosial pada perilaku publik seseorang,
walaupun kepercayaan pribadi tidak berubah. Obedience adalah bentuk compliance yang
terjadi ketika orang-orang mengikuti perintah langsung, biasanya dari otoritas.
Eksperimen Asch. Subjek diperlihatkan objek (garis, bola) dan diminta memberikan
penilaian terhadap ukurannya. Penemuan dasar dari eksperimen ini adalah lebih sering
subjek memberikan jawaban yang salah walaupun jawaban tersebut jelas-jelas salah jika
orang sebelumnya menjawab jawaban salah yang sama. Pada studi Milgram subjek
diinstruksikan untuk memberikan kejut listrik pada subjek lain (yang sesungguhnya rekan
peneliti) ketika member jawaban salah atau tidak menjawab. 65 % subjek mematuhi
perintah eksperimenter. Eksperimen Asch lebih tidak berbahaya dari kadar compliance
sesungguhnya. Studi Milgram menyoroti potensi negatif dan efek merugikan compliance.
Banyak penelitian selanjutnya membuktikan bahwa di berbagai budaya, conformity,

127
compliance, obedience, dilihat secara berbeda dengan di Amerika namun ada penekanan
yang kuat terhadap konformitas.
D. Culture and Cooperation
Kooperasi merujuk pada kemampuan seseorang untuk bekerja bersama menuju tujuan
bersama. Domino (1992) membandingkan anak-anak RRC dengan anak-anak AS dalam tugas
nilai-nilai sosial. Terdapat 6 tipe berbeda dari hasil preferensi : individualisme, kompetisi,
persamaan, kooperasi, kompetisi dan persamaan, dan persamaan dan individualisme.
Kecenderungan anak AS : individualism dan kompetetisi. Kecenderungan anak RRC :
persamaan dan peningkatan kelompok. Eksperimen Wong dan Hong menunjukkan
perbedaan dalam perilaku kerja sama dikaitkan dengan kebudayaan. Perbedaan cultural
dalam perilaku kerja sama mungkin ada, namun ini lebih berhubungan dengan pembatas
situasional spesifik dimana individu berada pada waktu perilaku terjadi.
E. Culture and Intergroup Relations
1. Ingroups and Outgroups
Setiap individu dalam lingkungan sosial nya mempunyai perbedaan saat mereka saling
berinteraksi. Ada banyak tipe perbedaan seperti perbedaan sosial dapat di buat dimana satu
tipe diartikan sebagai hubungan sosial antara manusia dan lingkungan sosialnya yang dikenal
dengan kelompok dalam (ingroup) dan kelompok luar (outgroup).
Hubungan antara kelompok dalam (ingroup relationship) dikarakteristikan oleh sejarah dari
pengalaman yang di publikasikan, dan suatu antisipasi untuk masa depan, kedua hal ini
dapat menghasilkan rasa kedekatan (sense of intimacy), keakraban atau kebiasaan, dan
kepercayaan. Hubungan antara kelompok luar (outgroup relationship) dapat dihubungkan
lebih besar dengan ambiguitas dan ketidaktentuan, hal itu dikarenakan pada kelompok luar
tidak ada intimacy/kedekatan, kesamaan, saling bertukar pengalaman atau cerita, dan
rencana masa depan.
Perbedaan yang terbentuk antara kelompok luar dan dalam yang penting ada pada
lingkungan sosial dan kebudayaanDalam artian seseorang cenderung menerima kesamaan
yang dimiliki dengan orang lain yang membuat mereka termasuk ke (ingroup) kelompok
dalam dan cenderung menjadi kelompok luar jika tidak adanya kesamaan.
e. Structure and Format of Ingroup/Outgroup Relationships
Dalam observasi yang dilakukan pada orang yang memiliki perbedaan budaya mungkin
tidak mempertimbangkan persamaan tipe dari orang dan hubungan saat mendefinisikan
atau mengkategorikan kelompok dalam dan kelompok luar.

128
Perbedaan budaya dalam formasi dan struktur dari hubungan self-ingroup dan self-
outgroup dalam berbagai cara adalah baik. Pada sebuah studi, remaja di Zimbabwe dan
US menyelesaikan 33 item test yang mengukur enam aspek hubungan sosial : 1. Reliable
aliance, 2 . peningkatan dan penilaian, 3. Afeksi, 4. Bantuan instrumental dan bimbingan,
5. Persahabatan/persaudaraan dan intregasi sosial, 6. Intimasi. Peneliti juga
menambahkan dimensi lainnya yaitu : 7. Konflik, 8. Kepuasan, 9. Disiplin. Hasil dalam
penelitian ini adanya perbedaan nilai budaya antara keduanya yaitu budaya
Zimbabuwean nilai tertinggi dalam budaya mereka adalah relationship atau hubungan
antar individu. Dan budaya America menempatkan individualitas dan keunikan individu
sebagai nilai tertinggi dalam budayanya.
f. The Meaning of Ingroup/Outgroup Relationship
Hubungan self-ingroup dalam budaya kolektivistik dicontohkan seperti, kita akan
menerima orang lain untuk membuat individu memberi andil untuk kelompok dalam
pencarian tujuan kelompok. Kita akan cenderung menerima orang yang berusaha
mencari jalan untuk saling menerima satu sama lain, meminimalisir perbedaan
interpersonal untuk membuat keselarasan dalam kelompok.
Hubungan self-ingroup dalam budaya individualistik mempunyai perbedaan konsekuensi
untuk perilaku. Dalam kebudayaan ini, kita dapat menerima orang lain untuk
mengorbankan tujuan yang mereka miliki, kebutuhan, dan keinginan untuk menjadi
yang lebih baik.
Budaya Individualistik : karakteristiknya adalah : Seseorang mempunyai lebih dari satu
kelompok dalam (ingroup), Kelangsungan dari individu-induvidu dan lingkungan sosial
sangat tergantung pada suksesnya dan efektifnya fungsi dari individu dari pada
kelompok, Seseorang cenderung sedikit membuat jarak antara kelompok luar dan
dalam.
Budaya kolektifvistik: karakteristiknya adalah : Seseorang lebih sedikit mempunyai
kelompok dalam (ingroups), Seseorang sangat menerima/memasukkan anggota
kelompok dalam yang diketahui asal mereka dari mana, Kelangsungan dari individu-
individu dan lingkungan sosial sangat tergantung pada sukses dan efektifnya fungsi dari
kelompok daripada individu itu sendiri, Seseorang akan cenderung lebih besar membuat
jarak antara kelompok dalam dan kelompok luar lainnya.
2. Ethnocentrism and Prejudice
Etnosentris didefinisikan sebagai tendensi yang memunculkan bahwa budaya yang
dimiliki individu atau kelompok lebih baik dari yang lainnya. Etnosentris sangat dekat

129
dengat konstruk yang dinamakan prasangka, yang merujuk pada tendensi dari penilaian
orang lain dalam konteks anggota kelompok mereka.
Prasangka terdiri dari dua komponen yaitu : komponen kognitif (fikiran) dan komponen
afektif (perasaan). Komponen kognitif terdiri dari stereotype yang mencangkup
kepercayaan, opini, dan attitude. Komponen afektif terdiri dari perasaan terhadap
kelompok lainnya. Perasaan ini terdiri dari marah, menghina/rasa jijik, kebencian,
merendahkan, simpati, dan perasaan tertutup.
Etnosentris dan prasangka bisa menjadi jelas (explicit) dan menyeluruh/patut dipatuhi
(implicit). Explicit prejudice/prasangka yang jelas mengarah kepada prasangka yang
bersifat verbal dan dibuat untuk publik. Implicit prejudice / prasangka yang menyeluruh
seperti perilaku, nilai, atau kepercayaan.
a. Origins of and Factors Contributing to Prejudice
Pertama, sosial biologi dan evolusi. Penjelasannya yaitu mengarah kepada etnik dan ras
yang masih dalam kerabatnya. Kedua teori konflik antar kelompok dan kekuatan yang
dapat menjelaskan etnosentris dan prasangka. Ketiga yaitu faktor sosial dan budaya.
Lingkungan sosial dapat menghasilkan ideologi prasangka dan diskriminasi terhadap
kelompok lainnya yang memaksa orang yang memiliki status sosial rendah dalam suatu
kelompok. Keempat teori lainnya yang memfokuskan pada aspek kepribadian yang
dapat menimbulkan prasangka. Berbagai variasi kepribadian yang dimiliki individu akan
menghasilkan penilaian atau persepsi tterhadap sesuatu hal namun tidak terhadap suatu
kelompok besar. Kelima, faktor psikologis (campbell dan Levine, 1965). Faktor psikologis
berkontribusi dalam etnosentris. Dalam level individual, mereka menyebutkan bahwa
variabel seperti loyality ingroup, kebencian etnosentris, kepribadian authoritarian,
kekakuan/kekerasan, self-esteem, dan tingkat atau frekuensi kontak antara anggota
kelompok luar. Keenam, dalam beberapa studi faktor yang mempengaruhi prasangka
yaitu perilaku negatif dan emosi.
3. Stereotypes
Perbedaan budaya/kultural menimbulkan asumsi dan kesalahan penilaian dan akhirnya
menyebabkan stereotype. Definisi Stereotipe : keyakinan – keyakinan yang dipegang secara
luas bahwa orang memiliki ciri – ciri tertentu yang disebabkann oleh keanggotaan mereka
dalam suatu kelompok tertentu. Stereotip tentang kelompok sendiri disebut autostereotip.
Stereotip tentang kelompok lain disebut heterostereotip
a. The Content of Stereotypes

130
Beberapa studi membahas tentang kadar dari stereotip. Orang-orang dalam semua
budaya memiliki stereotip pada orang lain, dan dalam banyak kasus terdapat kesamaan
pada stereotip ini, bahkan lintas budaya. Memiliki stereotip, mungkin adalah sebuah
fenomena universal dan kadar dari banyak stereotip mungkin juga memiliki cirri-ciri
universal.
b. The Origins of Stereotypes
Stereotip mungkin terbentuk melalui paparan terbatas pada anggota dari kelompok
target atau paparan berdasarkan sampel yang bias. Stereotip dapat dibentuk dan
diperkuat pada seseorang pada dasar paparan terbatas, atau tanpa paparan sama sekali,
pada kelompok target. Stereotip diri sendiri dan orang lain sulit untuk diubah karena
menjadi bagian dari system diri kita.
c. The Impact of Stereotypes
Positif : Membantu mengumpulkan informasi dan mempelajari tentang suatu budaya.
Merupakan dugaan atau gambaran yg bersifat positif terhadap kondisi suatu kelompok
tertentu. Stereotipe ini dapat membantu terjadinya komunikasi (nilai-nilai toleransi)
lintas budaya sehingga dapat memudahkan terjadinya interaksi antar orang yang
berbeda latar belakang pada sebuah lingkungan secara bersama-sama. Sehingga
menciptakan suatu hubungan yang harmonis antar kelompok budaya.
Negatif : Merupakan dugaan atau gambaran yg bersifat negatif yg dibebankan kepada
suatu kelompok tertentu yang memiliki perbedaan yang tidak bisa diterima oleh
kelompoklain.
Generalisasi dan collective threat
Generalisasi terjadi ketika seorang individu berperilaku tertentu dan seluruh anggota
kelompok individu tersebut dianggap memiliki perilaku yang sama. Collective threat
terjadi ketika seorang individu merasa khawatir perilaku seorang anggota kelompoknya
akan menyebabkan kelompok tersebut dikenakan stereotype negatif.

4. Discrimination
Definisi Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dari orang lain berdasarkan
keanggotaan kelompok mereka. Perbedaan prasangka dengan diskriminasi :
Prasangka : terkait dengan pikiran / perasaan
Diskriminasi : terkait dengan perlakuan atau perbuatan
Prasangka dan diskriminasi adalah proses – proses yang terjadi pada level individu.

131
Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang
berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi
selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka
menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya
prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk
mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Institusional Diskriminasi : adalah diskriminasi yang terjadi pada level dari grup yang
besar, sosial, organisasi atau institusi.
Contoh Diskriminasi : Contoh paling terkenal dan ekstrim dalam kasus diskriminasi etnik
dan ras terjadi di Afrika Selatan pada tahun 80-an. Politik aphartheid yang dijalankan
pemerintah Afrika Selatan membatasi akses kulit hitam dalam bidang politik, ekonomi, dan
sosial budaya. Diskriminisi ras itu dikukuhkan secara legal melalui berbagai peraturan yang
sangat diskriminatif terhadap kulit hitam. Misalnya anak-anak kulit hitam tidak boleh
bersekolah di sekolah untuk kulit putih, kulit hitam tidak boleh berada di tempat-tempat
tertentu seperti hotel, restoran dan tempat publik lainnya.

F. Culture and Aggression


Definisi Agresi adalah tindakan menyakiti orang lain, baik secara fisik ataupun psikologis.
Agresi terjadi ketika profokasi mengarahkan pada emosi yang negatif, dimana respon yang
dipilih oleh individu tergantung dari genetik dan biologis, berdasarkan proses belajar
sebelumnya, dan karakter spesifik dari konteks dan situasi. Terjadi ketika Pelanggaran
norma-norma budaya oleh individu dianggap sebagai perilaku agresif kemudian
menimbulkan serangan balik dan memunculkan kekerasan.
Culture of Honor ( Kehormatan terhadap Budaya )
Kehormatan ( Honor ) berarti hormat, harga diri, atau kekaguman, dan beberapa budaya
dapat dicirikan sebagai budaya kehormatan, dan menitikberatkan pada status dan reputasi.
Pada budaya – budaya ini, penghinaan, ancaman, dan perselingkungan dapat mengancam
kehormatan seseorang, sering menyebabkan kemarahan, yang mengarah kepada kekerasan
dan agresi. Kehormatan Budaya juga terjadi pada banyak kasus kekerasan rumah tangga,
terutama oleh laki – laki terhadap wanita dikarenakan perselingkuhan yang actual atau yang
dirasakan atau memiliki pasangan seksual yang berbeda – beda. Pada kehormatan budaya,
perselingkuhan pada wanita dipertimbangkan dapat membawa ketidakhormatan bagi suami
dan keluarganya. Kerugian terhadap reputasi dapat dipulihkan melalui kekerasan, dan

132
wanita didalam hubungan tersebut diharapkan tetapi setia terhadap laki – laki dan keluarga
walaupun mengalami kekerasan.

G. Acculturation
Memahami proses akulturasi penting bagi individu. Proses akulturasi memiliki seridaknya 2
komponen yang berhubungan namun berbeda yaitu : Intercultural adaptation yang mengacu pada
bagaimana orang mengubah perilaku atau cara berpikir mereka dalam lingkungan kebudayaan baru.
Intercultural adjustment yang merujuk pada pengalaman subjektif yang seseorang miliki ketika
mereka mengadaptasi perilaku dan pikiran mereka.

Faktor lain yang penting bagi intercultural adjustment adalah regulasi emosi yang didefinisikan
sebagai kemampuan untuk mengawasi dan mengatur reaksi emosional dalam rangka mencapai hasil
yang konstruktif.

H. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk sosial dan pada dasarnya kita semua berhubungan satu dengan lainnya.
Bab ini membahas bagaimana kebudayaan berdampak atau mempengaruhi perilaku sosial. Bab 13
berhubungan dengan perilaku sosial dari sudut pandang individual, bagaimana sesungguhnya orang-
orang berinteraksi satu dengan yang lain, dan bagaimana kebudayaan menerangkan proses ini.
Pertama-tama dimulai dengan pembahasan mengenai bagaimana kita membentuk kesan terhadap
yang lainnya. Orang-orang dari semua budaya memiliki kebutuhan universal untuk membentuk
ikatan berarti dengan orang lain, memiliki hubungan akrab, dan termasuk dalam kelompok sosial.
Dalam pembentukan kesan ini, terdapat hubungan kebudayaan dan pengenalan wajah,
pembentukan kesan serta kebudayaan dan daya tarik. Hal kedua yang dibahas mengenai cinta, sex,
dan pernikahan lintas budaya, dimana hal ini mencakup hubungan kebudayaan dengan seleksi
pasangan, kebudayaan dan cinta, kebudayaan dan sex, kebudayaan dan pernikahan, serta
pernikahan intercultural. Hal ketiga yang disoroti adalah kebudayaan dan konformitas, compliance,
dan obedience. Mencakup eksperimen Asch dan Milgram tentang compliance, dan obedience.
Selanjutnya hal keempat mengenai kebudayaan dan kerja sama atau kooperasi. Kelima membahas
kebudayaan dan hubungan intergroup yang terdiri dari ingroup dan outgroup, etnosentrisme dan
prasangka, stereotip, serta diskriminasi. Kemudian terdapat bagian tentang kebudayaan dan agresi.
Terjadi ketika Pelanggaran norma-norma budaya oleh individu dianggap sebagai perilaku agresif
kemudian menimbulkan serangan balik dan memunculkan kekerasan. Terakhir, akulturasi.
Akulturasi mencakup intercultural adaptation dan intercultural adjustment.

133
H. Latihan Soal
1. Persepsi seseorang mengacu pada proses pembentukan kesan pada penampilan orang lain
khususnya daya tarik fisik, mempengaruhi penilaian kepribadian (B/S)
2. Di dalam penelitian Buss (1989), ditemukan bahwa negara-negara non-Barat seperti China, India,
Indonesia, Iran, Taiwan dan Palestina menempatkan kesucian sebagai hal yang utama bagi calon
pasangan. (B/S)
3. Institusional Diskriminasi merupaka diskriminasi yang terjadi pada level dari grup yang besar,
sosial, organisasi atau institusi. (B/S)
4. Penelitian Domino (1992) membandingkan anak-anak China dan Amerika Serikat dalam tugas
nilai sosial. Kecenderungan yang didapat anak-anak China adalah individualisme dan kompetisi
(B/S)
5. Prasangka terdiri dari dua komponen yaitu : komponen kognitif (fikiran) dan komponen afektif
(perasaan) (B/S)

134
DAFTAR PUSTAKA

Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Matsumoto & Juang. 2008. Culture & Psychology. CA: Thomson Wadsworth

135

Anda mungkin juga menyukai