Anda di halaman 1dari 13

Dosen Pengampu: - Dr. Muh Daud, M.

Si

- Wilda Ansar, S.Psi., M.A

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA

OLEH :

KELIMPOK 4

IVONE FORTUNA ACHMAR RAMSIDAR (1971041005)

IZZUL HAQ (1971041006)

MAIMANATUL MUFLIHAT (1971042045)

WIRDAYANTI MARSUKI (1971042044)

Kelas: D

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020/2021
BAB I
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INTELIGENSI

Istilah intelegensi atau dalam bahasa inggris “intellegence” berasal dari kata
inteliligere yang memiliki arti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.
Menurut Thorndike Intelegensi adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan
respon yang baik berdasarkan beberapa fakta atau kebenaran. Intelegensi juga dapat
diartikan sebagai:

a) Kemampuan dalam mengarahkan pikiran atau tindakan seseorang,


b) Kemampuan untuk mengubah arah jika suatu tindakan telah diambil,
c) Kemampuan untuk melakukan kritik diri (Binet-Simon).

Gardner mengemukakan bahwa manusia memiliki berbagai jenis intelegensi


atau kecerdasan yaitu linguistik, numerik, spasial, musikal, kinestetik tubuh,
interpersonal dan intrapersonal. Menurut Sternberg (1982) intelegensi terdiri dari tiga
kemampuan utama yaitu kemampuan memecahkan masalah praktis dengan cara
berpikir logis, kemampuan verbal yang ditandai dengan kefasihan, dan kompetensi
sosial yang meliputi kemampuan menerima orang lain apa adanya. Intelegensi adalah
kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional, dan meghadapi
lingkungannya secara efektif. Spearman (1904, 1923) mengungkapkan bahwa
intelegensi adalah kemampuan umum yang melibatkan sebagian besar pengembangan
relasi dan hubungan timbal balik.

Secara umum intelegensi adalah kemampuan atau kapasitas seseorang untuk


belajar, mengorganisasikan, mengelola, menginterpretasikan, memecahkan masalah
serta menyatukan berbagai masalah kemudian menyimpulkannya. Kemampuan
inteligensi berkembang dari Kerjasama antara program genetik otak dan keadaan
lingkungan, yang terus berpengaruh selama masa pendewasaan.
B. PERKEMBANGAN INTELIGENSI REMAJA

Menurut Piaget (dalam Ibda, F 2015) perkembangan intelektual seorang


individu memiliki 4 tahapan yaitu:

1. Tahap sensori-motor : 0-1,5 tahun


2. Tahap pra-operasional : 1,5-6 tahun
3. Tahap operasional konkrit: 6-12 tahun
4. Tahap operasional formal : 12 tahun keatas

Tahap perkembangan intelektual atau inteligensi remaja telah memasuki


tahapan operasional formal. Dimana pada tahap ini seorang remaja dapat
menggunakann pemikiran yang konkrit untuk membentuk suatu pemikiran yang lebih
kompleks, yang dimaksud dalam hal ini adalah seorang individu sudah tidak perlu
sesuatu yang konkrit untuk berfikir. Mereka akan menggunakan kemampuan mereka
untuk berpikir dengan abstrak, idealis, fleksibel, dan logis dibandingkan dengan
pemikiran anak-anak. (operasional konkret). Seorang remaja akan mengaitkan satu
gagasan dengan gagasan lain, pegalaman dengan pengalaman lain, dan juga akan
menyesuaikan cara berfikir untuk memberikan gagasan baru dengan informasi
tambahan yang mereka miliki. Dimasa ini remaja juga telah mampu berpikir
bagaimana akan masa depan mereka, apa yang mereka inginkan dimasa depan, dan
mulai berspekulasi mengenai hal-hal tertentu.

Menurut Elkind (dalam Jahja, Y., 2011) seorang remaja memiliko bentuk
berpikir yang egoentrisme yaitu pemikiran akan percyaa atau kesadaran diri yang
tinggi. Pemikiran egosentrisme memiliki 2 komponen, yaitu:

- Imaginary Audience: memiliki keyakinan bahwa semua orang memiliki


ketertarikan pada dirinya sebagimana mereka tertarik pada dirinya sendiri.
Misalnya seorang remaja perempuan memiliki jerawat dihidung. Dia
merasa bahwa semua orang disekitarnya akan memperhatikan hal itu.
- Personal Fable: berisi mengenai pemikiran bahwa ia tidak pernah
terkalahkan dan unik. Misalnya seorang remaja merasa tidak ada yang
dapat memahami pikirannya karena dia merasa dirinya unik dan tidak ada
yang dapat memahaminya.

Dengan pemikiran-pemikiran itu, biasanya membuat seorang remaja


memiliki perasaan invulnerability (keyakinan bahwa dirinya tidak mungkin
mengalami kejadian yang membahayakan diri mereka) yang membuat mereka
biasanya berperilaku beresiko dan berbahaya (self-destructive). Kecenderungan ini
membuat remaja biasanya melakukan hal-hal menyimpang yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai dimasyarakat. Seperti pemikiran “saya tidak mungkin meninggal di jalan
raya karena sedikit ugal-ugalan dala berkendara” atau remaja putri berpikir “saya
tidak akan hamil” dengan perilaku seksual yang dilakukannya. Namun, berdasarkan
penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa tak jarang orang dewasa juga memiliki
pemirkiran atau perasaan invulnerability.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Volkova (2013) menunjukkan bahwa


remaja yang lebih tua dinilai lebih kompeten dibandingkan dengan remaja yang lebih
muda. Kemudian, remaja cenderung menghasilkan pendapat yang berbeda-beda dan
berusaha untuk menelaah suatu situasi dari perspektif mereka dan berusaha untuk
mengantisipasi konsekuensi dari keputusan mereka. Menurut Paus dan Steinberg
(dalam Santrock, J.W., 1997) dalam keadaan tenang remaja mampu mengambil
keputusan yang bijaksana, sebaliknya jika remaja berada dalam kondisi emosional
tinggi keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang bijaksana. Dalam
mengambil keputusan, remaja menggunakan dual-process model menurut
Klacyznski, Reyna & Farley (dalam Santrock, J.W., 1997). Dual-process model atau
model proses-ganda dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh 2 sistem kognitif
yaitu analitis dan pengalaman. Kedua hal tesebut akan saling berkompetisi untuk
menentukan sebuah keputussan. Namun hal ini lebih menekankan pada system
pengalaman untuk mengelola hal-hal yang actual kemydian bermandaat dalam
pengambilan sebuah keputusan.

Perubahan kognitif remaja untuk berpikir kritis mencakup beberapa hal:

1. Informasi yang diterima akan diproses secara otomatis dan cepat yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk hal-hal lainnya
2. Memiliki pengetahuan dan pemahaman lebih luas dalam berbagai bidang
3. Meningkatnya kemampuan untuk menggabungkan atau
mengkolaborasikan seatu hal baru yang didapatkan
4. Menggunakan strategi perencanaan atau cara-cara yang lebih luas dan
spontan dalam memperoleh atau untuk mendapatkan sesuatu

Remaja dapat dikatakan matang secara kognitif jika memiliki keempat ciri berikut
(Jahja, Y., 2011):

Dari arah Ke arah


Menyenagi prinsip-prinsip umum dan Membutuhkan penjelasan tentang
jawaban yang final fakta dan teori
Menerima kebenaran dari sumber Memerlukan bukti sebelum menerima
otoritas
Memiliki banyak minat dan perhatian Memiliki sedikit minat atau perhatian
terhadap jenis kelamin yang berbeda
dan bergaul dengannya
Bersikap subjektif dalam menafsirkan Bersikap objektif dalam menafsirkan
sesuatu sesuatu

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTELIGENSI

Menurut Raymond Bernard Cattel (dalam Azwar, 2004:33) ada dua macam
kecerdasan yaitu: 1) Intelegensi Fluid, yang merupakan faktor bawaan biologis.
(Intelegensi Fluid adalah intelegensi yang mengacu pada kemampuan untuk bernalar
dan untuk memecahkan masalah baru secara independen dari pengetahuan yang
diperoleh sebelumnya). 2) Intelegensi Crystallized, yang merefleksikan adanya
pengaruh pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan dalam diri seseorang.

Jadi, secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi intelegensi manusia,
yaitu:

1. Faktor bawaan

Penelitian tahun 1920-an menyatakan bahwa seorang anak yang berinteligensi


tinggi merupakan turunan dari orang tuanya yang berinteligensi tinggi, juga
sebaliknya anak yang lambat belajarnya karena memiliki orang tua yang
berinteligensi di bawah rata-rata. Francis Galton (1822-1911) berpendapat
inteligensi yang dimiliki seorang anak tidak sama dengan inteligensi yang
dimiliki orang tuanya namun cukup menentukan tingkat intelegensi anak.
Inteligensi anak-anak cenderung mengarah ke arah rata-rata, jika orang tuanya
memiliki IQ 135 mereka cenderung memiliki IQ lebih rendah sekitar 100-135.
Jika IQ orang tuanya 64, IQ mereka cenderung lebih tinggi sekitar 64-100.

Karena intelegensi dipengaruhi faktor bawaan, maka anak harus diberi asupan
yang baik sejak awal agar meminimalkan hambatan yang kemungkinan akan
terjadi di saat dirinya masuk di usia remaja hingga dewasa.

2. Lingkungan

Keluarga merupakan tahap awal setiap anak mengenal dunia. Anak yang
diberikan stimulus yang baik dari keluarga akan membentuknya sebagai pribadi
yang sehat. Gerber dan Ware menyimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas
lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi inteligensi yang dimiliki anak. Tiga
hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi anak dari lingkungan keluarga;
(1) Frekuensi jam membaca, (2) Reward dari orang tua, (3) Hope dan Spirit orang
tua akan prestasi anaknya.

Pola asuh orang tua juga mempengaruhi perkembangan seseorang salah


satunya intelegensi. Baumrind (dalam Yusuf, 2012: 51) mendefinisikan pola asuh
sebagai pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap remaja yang masing-masing
mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perilaku remaja antara lain terhadap
kompetensi emosional, sosial, dan intelektual. Pola asuh orang tua merupakan
interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta
melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang
ada dalam masyarakat (Edwards, 2006). Pola asuh orang tua yang tepat bagi
adalah otoritatif. Pola asuh otoritatif memiliki sikap kontrol yang tinggi dan
batasan terhadap anak, menjelaskan dampak dari perbuatan baik dan buruk.
Namun memberi kesempatan kepada mereka untuk mandiri dan bertanggung
jawab. Menghargai minat dan pendapat anak serta anak dapat mengekspresikan
cinta dan kasih sayang karena pola asuh otoritatif memiliki sikap responsif dan
penerimaan yang baik.

Slameto (2003:64) menyatakan bahwa “faktor sekolah yang mempengaruhi


belajar mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi
siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar
pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah”. Komponen-
komponen yang disebutkan Slameto merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
intelegensi anak.

Lingkungan dapat mempengaruhi pribadi seseorang termasuk kecerdasan


mereka. Ini disebabkan karena adanya proses meniru atau mengadopsi yang
disebut enkulturasi. Enkulturasi adalah Proses orang-orang muda belajar dan
mengadopsi hal-hal yang hidup dan berkembang dalam budaya mereka (Park,
2007).
Maka lingkungan seperti keluarga, sekolah, masyarakat dapat mempengaruhi
tindakan dan pola pikir seseorang. Apa yang diterimanya dari lingkungan akan
membentuk dirinya seperti lingkungan yang diterimanya sehingga setiap anak
harus diarahkan sejak awal agar mereka mengenali dan mengetahui lingkungan
yang baik dan lingkungan yang buruk serta dampak yang dihasilkan masing-
masing lingkungan

D. PENGUKURAN INTELIGENSI
Pengukuran inteligensi merupakan sebuah prosedur pengukuran dimana
peserta diminta untuk menunjukkan penampilan maksimum, sehingga pengukuran
inteligensi ini dilakukan menggunakan sebuah tes yang dikenal atau biasa disebut
dengan tes inteligensi. Tes intelegensi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tes
individual dan kelompok. Adapun tes yang termasuk kedalam tes individual adalah
skala Stanford-Binet dan skala Wechler. Dan untuk tes kelompok dilakukan pada
banyak orang sekaligus pada satu waktu atau waktu yang sama dengan jawaban
tertulis.

 Tes Binet
Pada tahun 1904 Alfred Binet - Simon pertama kali membuat tes untuk
mengidentifikasi anak-anak berkebutuhan khusus. Binet menyatakan bahwa
kemampuan intelektual anak dapat meningkat seiring bertambahnya usia. Pada tahun
1912, tes Binet ini kemudian dimodifikasi oleh Lewis Terman. Ia menerapkan sebuah
konsep yang diciptakan oleh William Stern yang dikenal dengan istilah Intelligent
quotient (IQ), yaitu skor yang ditetapkan untuk mengukur intelegensi.

Pengukuran IQ adalah rasio antar usia mental seseorang atau mental age
(MA) dibagi dengan usia kronologis atau chronological age (CA) dikalikan dengan
100.
MA
IQ= × 100
CA

Apabila usia mental (MA) seseorang diatas usia kronologisnya (CA) maka
dapat dikatakan skor IQ individu tersebut diatas 100, sedangkan jika usia mental
(MA) seseorang dibawah usia kronologis (CA) maka skor IQ individu tersebut
kurang dari 100. Untuk Sistem skoring tersebut sudah tidak lagi digunakan saat ini,
akan tetapi istilah IQ masih tetap digunakan untuk merujuk pada skor intelegensi
yang standar.

Pada tahun 1986 versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan setelah


mengalami beberapa kali revisi. Dalam revisi terakhir ini konsep intelegensi
dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh
beberapa tes, yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak
dan penalaran jangka pendek.

Tes-tes dalam skala Stanford-Binet ini digolongkan kedalam tingkat usia


mulai tahun II tahun sampai dengan kelompok usia dewasa. Dalam masing-masing
tes untuk setiap tingkat usia berisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh
berbeda.

 Skala Wechsler
Wechler menyusun tes intelegensi karena adanya pandangan dan keraguan
melalui tes Binet. Tes Binet tersebut memiliki keterbatasan dalam penggunaanya,
khususnya dalam pengukuran intelegensi untuk orang dewasa dalam hal ini perlu
adanya perluasan dalam pengukuran intelegensi dan juga perlu disediakan item yang
dapat diberikan tidak hanya pada kelompok anak namun juga pada orang dewasa.
Wechler menyusun tes intelegensi yaitu:
1. WPPSI (Wechler Preschool and Primary Scale of Intelligence)
Wechler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised (WPPSI-R)
merupakan test yang digunakan untuk usia 3 - 7 tahun dan berfungsi untuk mengukur
intelegensi. WPPSI-R ini mengandung 12 sub tes, 6 skala non-verbal dan juga 6 skala
verbal.

2. WISC (Wechler Intelligence Scale for Children)

WISC (Wechler Intelligence Scale for Children) diterbitkan pada tahun 1949
merupakan tes intelegensi yang digunakan untuk usia 8 – 15 tahun. Tes ini terdiri atas
12 sub test tetapi karena atas dasar pertimbangan waktu maka hanya menggunakan 10
subtest saja. Test ini dapat dikelompokkan menjadi kelompok subtest Verbal:
Information, Comprehension, Similareties, Arithmetical, Vocabulary dan
Performance: Picture Arrangement, Picture Completion, Block Design, Object
Assembly, Coding atau Mazes.

3. WAIS (Wechler Adult Intelligence Scale)

WAIS (Wechler Adult Intelligence Scale) merupakan test intelegensi yang


digunakan untuk usia 16 tahun – dewasa, setelah mengalami revisi pada tahun 1981
tes Wechler Adult Intelligence Scale (WAIS) mencakup rentang usia 16 – 74 tahun.
Subtest WAIS sama dengan kelompok subtest pada tes WISC yaitu kelompok subtest
Verbal: Information, Comprehension, Similareties, Arithmetical, Vocabulary dan
Performance: Picture Arrangement, Picture Completion, Block Design, Object
Assembly, Letter-Number Sequencing.
BAB II

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Remaja merupakan proses dimana seseorang melalui masa transisi dari kanak-
kanak ke masa dewasa. Perkembangan di masa remaja tentu juga sangat
mempengaruhi seperti apa seorang individu kelak, terutama dalam perkembangan
inteligensi. Perkembangan inteligensi adalah kemampuan atau kapasitas seseorang
untuk belajar, mengorganisasikan, mengelola, menginterpretasikan, memecahkan
masalah serta menyatukan berbagai masalah kemudian menyimpulkannya.
Kemampuan inteligensi berkembang dari Kerjasama antara program genetik otak dan
keadaan lingkungan, yang terus berpengaruh selama masa pendewasaan. Tahapan
perkembangan inteligensi remaja akan berubabah dari Menyenagi prinsip-prinsip
umum dan jawaban yang final menjadi Membutuhkan penjelasan tentang fakta dan
teori, Menerima kebenaran dari sumber otoritas menjadi Memerlukan bukti sebelum
menerima, Memiliki banyak minat dan perhatian menjadi Memiliki sedikit minat atau
perhatian terhadap jenis kelamin yang berbeda dan bergaul dengannya, serta dari
Bersikap subjektif dalam menafsirkan sesuatu menjadi Bersikap objektif dalam
menafsirkan sesuatu. Terdapat 2 faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan
inteigensi, yaitu faktor lingkungan dan faktor keturunan. Selain itu, inteligensi
seseorang dapat diukur dengan melakukan beberapa tes inteligensi seperti Tes Binet,
WPPSI, WISC, dan WAIS.
Daftar Pustaka
Andriani, F., Hadi, C., & Paramita, P.P. (2016). Development and Validity of
Fluid Intelligence Test Based on Cattle-Horn-Carrol Theory: A Pilot Project. Jurnal
Psikologi dan Kesehatan Mental. Vol.1, 76-84.
Dewi, E., M., P., & Permatasari, N. (2019). Pengantar Psikodiagnostik.
Makasssar: UPT Unhas Press.
Lely, O., Soetjiningsih. (2000). Aspek Kognitif dan Psikososial pada Anak
Dengan Palsi Serebra;. Sari Pediatri. Vol.2(2). 109-112.
https://dx.doi.org/10.14238/sp2.2.2000.109-12
Ibda, F. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Peaget. Intelektualita.
Vol.3(1). 27-38
Jahja, Y. (2011). Psikologi Perkembangan (Edisi Pertama). Jakarta:
Prenadamedia Group
Volkova, E.V. (2014). Age Dynamics of Inteligence in Adolescence and Early
Adulhood. Elsevier. Vol.140. 440-446. doi:10.1016/j.sbspro.2014.04.450
Santrock, J.W. (1997). Life-Spand Development:Perkembangan Masa-Hidup
(Edisi Ketigabelas, Jilid 1). Penerjemah: Widyasinta, B. 2011. Jakarta: Erlangga
Santrock, J. W. (2007). Remaja. Edisi 11. Jakarta: Erlangga.
Purwanto. (2010). Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, 16(4). Doi: 10.24832/jpnk.v16i4.479
Dewi, E.M.P., & Permatasari, N. (2019). Pengantar Psikodiagnostik. Makassar:
UPT Unhas Pres.
Fellasari, F., & Lestari, Y. I. (2017). Hubungan antara pola asuh orangtua
dengan kematangan emosi remaja. Jurnal Psikologi, 12(2), 84-90.
Gea, A. A. (2011). Enculturation Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap
Pembentukan Perilaku Budaya Individu. Humaniora, 2(1), 139-150.
Jaeggi, S. M., Buschkuehl, M., Jonides, J., & Perrig, W. J. (2008). Improving
fluid intelligence with training on working memory. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 105(19), 6829-6833.
Maftuh, M. (2017). Intelegensi Sebagai Faktor Belajar. MIYAH: Jurnal Studi
Islam, 11(2), 168-179.
Muslih, M. (2016). Pengaruh Lingkungan Keluarga Dan Lingkungan Sekolah
Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas 6 SDN Limbangan. Syntax Literate; Jurnal
Ilmiah Indonesia, 1(4), 41-50.
Tikollah, M. R., Triyuwono, I., & Ludigdo, U. (2006). Pengaruh kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap sikap etis
mahasiswa akuntansi (Studi pada Perguruan Tinggi Negeri di Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan). Simposium Nasional Akuntansi, 9, 23-26.

Anda mungkin juga menyukai