Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebahagiaan dalam islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan
tumbuh dari nilai-nilai hakiki islam dan mewujud dalam diri seorang hamba yang
mampu menunjukkan sikap taubat (melakukan introspeksi dan koreksi diri) untuk
selalu berpegang pada nilai-nilai kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah
berupa nikmat iman, islam, dan kehidupan, serta menjunjung tinggi kejujuran,
kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial dan
profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika tidak
mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.
Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia di dunia bahkan di akhirat.
Semua orang tentunya ingin bahagia di dunia dan selamat hingga ke akhirat.
Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Hidup bahagia di dunia dan selamat di akhirat merupakan idaman setiap orang,
bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia
yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita
menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih
kebahagiaan hidup. Dan ini menjadi cita-cita setiap orang baik yang mukmin atau
yang kafir terhadap Allah.
Apabila kebahagiaan itu terletak pada harta benda yang tertumpuk-tumpuk,
mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Nyatanya, itu tak
pernah diraih dan membuat pengorbanannya sia-sia. Apabila kebahagiaan itu
terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, mereka juga telah siap
mengorbankan apa saja demi memperoleh apa saja yang diinginkannya. Tapi tetap
saja kebahagiaan itu tidak akan pernah didapatkannya. Apabila kebahagiaan itu
terletak pada ketenaran nama, mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan
apapun juga dan mereka tidak mendapati apa yang disebut kebahagiaan.
B. Rumusan masalah
a. Apa makna kebahagiaan menurut pandangan islam?
b. Bagaimana konsep dan karakteristik agama sebagai jalan menuju Tuhan dan
kebahagiaan?
c. Mengapa manusia harus beragama dan bagaimana agama dapat
membahagiakan umat manusia?
d. Menggali sumber historis, filosofis, psikologis, dan sosiologis tentang
pemikiran agama sebagai jalan menuju kebahagiaan
e. Bagaimana cara membangun argumen tentang tauhidullah sebagai satu-
satunya model beragama yang benar?
f. Bagaimana cara mendeskripsikan esensi dan urgensi komitmen terhadap
nilai-nilai tauhid untuk mencapai kebahagiaan?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui makna kebahagiaan menurut pandangan islam.
b. Memahami konsep dan karakteristik agama sebagai jalan menuju Tuhan dan
kebahagiaan.
c. Untuk mengetahui alasan manusia harus beragama dan peran agama dalam
membahagiakan umat manusia.
d. Untuk mengetahui sumber historis, filosofis, psikologis, dan sosiologis
tentang pemikiran agama sebagai jalan menuju kebahagiaan
e. Untuk mengetahui cara membangun argumen tentang tauhidullah sebagai
satu-satunya model beragama yang benar.
f. Untuk mengetahui cara mendeskripsikan esensi dan urgensi komitmen
terhadap nilai-nilai tauhid untuk mencapai kebahagiaan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Kebahagiaan Menurut Pandangan Islam


Berbicara tentang arti kebahagiaan sejati atau kebahagiaan hakiki, islam
mempunyai pandangan mengenai pengertian atau arti dari kebahagiaan sejati
berdasarkan dalil dari firman Allah swt. dalam Kitabullah Al-Qur’an dan juga
dalil Hadits Nabi Muhammad saw. Kebahagiaan sejati seseorang tidak bisa diukur
dengan banyaknya harta atau kekayaan, status atau pangkat sosial dalam
kemasyarakatan dan atau semua kemewahan yang dimiliki oleh seseorang.
Kebahagiaan yang sesungguhnya atau sejati terletak pada ketenangan hati
seseorang. Sudah banyak orang yang kaya raya dengan harta kekayaan mereka,
namun kekayaan yang mereka miliki tidak bisa menjadikan hati mereka menjadi
tenang, akan tetapi sebaliknya justru harta kekayaan yang mereka kumpulkan
membuat mereka lalai, lupa dan sibuk untuk senantiasa mengejar kekurangan. Hal
ini karena beberapa harta benda dan kekayaan yang mereka miliki masih saja
mereka anggap kurang.
Hal ini sudah dijelaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya yang berbunyi:

Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk


kedalam kubur” (QS. At-Takatsur: 1-2)
Sumber kebahagiaan sejati adalah ketenangan hati atau ketenagan jiwa
yang merupakan anugerah dari Allah swt. yang sangat berharga. Setiap orang
pasti mengingikannya, namun hanya sedikit sekali orang yang mendapatkannya.
Hal ini karena banyak manusia yang melupakan penciptanya, melupakan Dzat
pemberi kebahagiaan, dan melupakan tentang Dzat sang pencipta ketenangan
didalam jiwa atau hati yang sebenarnya. Allah telah menjelaskan dalam firman-
Nya,

Artinya: “Dialah yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang


mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang
telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan Allah Maha
Mengeahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4)
Yang dimaksud dengan tentara langit dan bumi adalah penolong yang
dijadikan Allah bagi orang-orang mukmin seperti malaikat-malaikat, binatang-
binatang, angin, dan lain sebagainya. Dari penjelasan firman Allah swt. tersebut,
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang menginginkan kebahagiaan, ingin
mempunayi hati dan jiwa yang tenang, tetapi lupa kepada sang penciptanya, maka
semua keinginannya tersebut hanyalah sia-sia belaka.
Oleh sebab itu, untuk mencari dan kemudian mendapatkan kebahagiaan
sejati adalah dengan cara :
a. Selalu mengingat Allah swt. sebagaimana dalam penjelasan firman Allah
swt tersebut bahwa Allah-lah Dzat yang memberi, menciptakan dan
menentukan kebahagiaan pada hamba-Nya.
b. Berusahalah selalu untuk memperoleh ketenangan dalam jiwa dan hati
dengan bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa.
Allah swt. adalah pemberi ketenangan kepada siapapun yang di kehendaki-Nya,
sebagaiman firman Allah swt.
Artinya: “Orang-orang kafir berkata; “Mengapa tidak diturunkan kepadanya
(Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?” Katakanlah, “Sesungguhnya
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang
bertaubat kepada-Nya” (QS. Ar-Ra’d :27)
Dan juga Allah berfirman:

Artiya: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama dengan orang-orang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah,
dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisa : 69-70).
Itulah janji-janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih, maka mereka
akan mendapatkan anugerah dan kebahagiaan sejati. Bagi orang-orang yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, janji-janji tersebut bukanlah diperuntukkan bagi
orang-orang yang durhaka kepada Allah swt. Perlu diingatkan kembali
bahwasanya kemewahan, kedudukan, jabatan, dan segala kemegahan yang ada di
dunia ini hanyalah semu belaka dan tidak akan ada yang abadi dan pasti akan
musnah dan rusak. Hidup di dunia ini hanyalah tempat lintasan belaka yang
merupakan sarana dalam mencari bekal untuk menempuh perjalanan menuju
akhirat. Dan sebaik-baik bekal itu adalah bekal taqwa.
B. Menelusuri Konsep dan Karakteristik Agama sebagai Jalan Menuju
Tuhan dan Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan
tumbuh dari nilai-nilai hakiki islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba
yang mampu menunjukan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi diri)
untuk selalu berpegang pada nilai-nilai dan kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia
Allah berupa nikmat iman, islam, dan kehidupan. Berikut pendapat dari beberapa
ahli mengenai makna kebahagiaan:
a. Pendapat Al-Alusi
Menurut Al-Hulusi bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa
mencapai keinginan atau cita-cita yang dituju dan diimpikan. Pendapat lain
menyatakan bahwa kebahagia adalah tetap dalam kebaikan atau masuk
kedalam kesenangan dan kesuksesan.
b. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah
perasaan senang dan tenteram karena hati sehat dan berfungsi dengan baik.
Sebab, hati yang sehat dan berfungsi dengan baik bisa berhubungan dengan
Tuhan sebagai pemilik kebahagiaan. Yaitu pemilik kebahagiaan, kekayaan,
kesuksesan, kemuliaan, ilmu dan hikmah.
c. Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa bahagia terbagi dua yaitu:
 Kebahagiaan hakiki.
Bahagia hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi, kebahagaiaan ukhrawi akan
diperoleh dengan modal iman, ilmu dan amal. Kebahagiaan ukhrawi
adalah kebahagiaan rohani dan abadi.
 Kebahagiaan majasi.
Kebahagiaan majasi adalah kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan duniawi
bisa didapat oleh orang yang beriman dan bisa didapat oleh orang yang
tidak beriman. Ibnu Athaillah mengatakan “Allah memberikan harta
kepada orang yang dicintai Allah dan kepada orang yang tidak dicintai
Allah, tetapi Allah tidak akan memberikan iman kecuali kepada orang
yang dicintainya”. Kebahagiaan duniawi adalah kebahagiaan yang fana
tidak abadi. Kebahagiaan duniawi ada yang melekat pada dirinya dan ada
yang melekat pada manfaatnya. Diantara kebahagiaan duniawi adalah
memiliki harta, kedudukan terhormat, dan keluarga yang mulia.
Orang yang ingin menggapai kesempurnaan hidup, tetapi tidak memiliki harta
bagaikan orang yang mau pergi berperang tanpa membawa senjata, atau seperti
orang mau menangkap ikan tanpa pancing atau jaring. Itulah sebabnya, Nabi
Muhammad saw. bersabda, “Harta yang terbaik adalah harta yang ada pada
seorang laki-laki yang baik pula (shaleh)”. (HR. Ibnu Hibban). “Sebaik-baik
pertolongan adalah pertolongan yang dapat membantu kita semakin bertaqwa
kepada Allah.” (HR. Ad-Daruqutni).
Diantara kebahagiaan duniawi adalah memiliki keluarga, anak-anak yang
shaleh, dan istri yang shalehah pula. Istri yang shalehah bagaikan kebun yang
dapat mengikat pemiliknya, yaitu suami untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang
diharamkan Allah azza wajalla. Nabi Muhammad menyatakan, “sebaik-baik
pertolongan untuk keutuhan beragama adalah istri yang shalehah” menyangkut
keutamaan anak. Nabi Muhammad saw. bersabda, “jika anak Adam meninggal
dunia, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR.
Thabarani). Jika kita membuka kembali pendapat Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah
bahwa untuk menggapai kebahagiaan itu mengharuskan adanya kondisi hati yang
sehat (qalbun sailim), maka yang perlu kita lakukan adalah mengetahui
karakteristik hati yang sehat dan cara mengobati hati yang sakit agar hati dapat
kembali sehat.
Karakteristik hati yang sehat adalah sebagai berikut:
a. Hati menerima makanan yang berfungsi sebagai nutrisi dan obat. Adapun
makanan yang paling bermanfaat untuk hati adalah makanan “iman”,
sedangkan obat yang paling bermanfaat untuk hati adalah Al-Qur’an.
b. Selau berorientasi ke masa depan dan akhirat. Untuk sukses pada masa depan,
kita harus berjuang pada waktu sekarang. Orang yang mau berjuang pada
waktu sekarang adalah pemilik masa depan, sedangkan yang tidak mau
berjuang pada waktu sekarang menjadi pemilik masa lalu.
c. Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah. Tidak ada
kehidupan, kebahagiaan, dan kenikmatan kecuali dengan ridha-Nya dan dekat
dengan-Nya. Berzikir kepada Allah adalah makanan pokoknya, rindu kepada
Allah adalah kehidupana dan kenikmatannya.
d. Tidak pernah lupa dari mengingat Allah (berdzikir kepada Allah), tidak
berhenti berkhidmat kepada Allah, dan tidak merasa senang dengan selain
Allah swt.
e. Jika sesaat saja lupa kepada Allah segera segera ia sadar dan kembali
mendekat dan berdzikir kepada-Nya.
f. Jika sudah masuk dalam shalat, maka hilanglah semua kebingungan dan
kesibukan duniawinya dan segera ia keluar dari dunia sehingga ia
mendapatkan ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan dan berlinanglah air
matanya serta bersukalah hatinya.
g. Perhatian terhadap waktu agar tidak hilang sia-sia melebihi perhatian kepada
manusia lain dan hartanya.
h. Hati yang sehat selalu berorientasi kepada kualitas amal bukan kepada amal
semata.
Beberapa sebab yang dapat merusak hati manusia sehingga fungsi hati
terganggu dan menjadi tidak normal atau sakit:
1. Banyak bergaul dengan orang-orang yang tidak baik.
2. At-Taman (berangan-angan)
3. Menggantungkan diri kepada selain Allah
4. Asy-Syab’u (terlalu kenyang)
5. Terlalu banyak tidur
6. Berlebihan melihat hal-hal yang tidak berguna
7. Berlebihan dalam berbicara
Usman bin Hasan Al-Khaubawi mengutarakan bahwa indikator manusia yang
bahagia itu adalah sumber rezekinya ada di negaranya; mempunyai keluarga yang
shaleh, yakni istri dan anak-anak yang membanggakan dan membahagiakan, serta
berada dibawah penguasa adil yang tidak zhalim.
Indikator berikutnya adalah rezekinya dapat membantu seseorang untuk
mendekatkan diri kepada Allah; meskipun kaya, ia tidak berorientasi kepada dunia
tetapi berorientasi terhadap kehidupan masa depan dan akhirat; semangat dalam
beribadah; tidak banyak berbicara dalam hal-hal yang tidak berguna; menjaga
kewajiban shalat; bersikap warak yakni hati-hati dalam memanfaatkan sumber
kehidupan agar tidak terjerumus kepada yang syubhat apalagi yang haram;
bergaul dengan orang-orang shaleh; bersikap tawadu dan tidak sombong; bersikap
dermawan dan tidak sebaliknya yaitu pelit; bermanfaat untuk umat manusia yang
lain; dan tidak pernah lupa terhadap kematian.

C. Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat


Membahagiakan Umat Manusia
Kunci beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang melekat
dalam diri manusia dan telah menjadi karakter (tabiat) manusia. Kata “fitrah”
secara kebahasaan memang asal maknanya adalah “suci” yang dimaksud dengan
suci adalah suci dari dosa dan suci secara genetis. Meminjam term Prof. Udin
Winataputra, fitrah adalah lahir dengan membawa iman. Berbeda dengan konsep
teologi islam, teologi tertentu berpendapat sebaliknya yaitu bahwa setiap manusia
lahir telah membawa dosa yakni dosa warisan. Di dunia, menurut teologi ini,
manusia dibebani tugas yaitu harus membebaskan diri dari dosa itu. Adapun
dalam teologi islam, seperti telah dijelaskan bahwa setiap manusia lahir dalam
kesucian yakni suci dari dosa dan telah beragama yakni agama islam. Tugas
manusia adalah berupaya agar kesucian dan keimanan terus terjaga dalam hatinya
hingga kembali kepada Allah.
D. Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis tentang
Pemikiran Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
a. Sumber historis
Pada sepanjang sejarah hidup manusia, beragama itu merupakan kebutuhan
dasar manusia yang paling hakiki. Banyak buku membicarakan atau mengulas
kisah manusia mencari Tuhan. Umpamanya buku yang ditulis oleh Ibnu Thufail.
Buku ini menguraikan bahwa kebenaran bisa ditemukan manakala ada keserasian
antara akal manusia dan wahyu. Dengan akalnya, manusia mencari Tuhan dan
bisa sampai kepada Tuhan. Namun, penemuannya itu perlu konfirmasi dari Tuhan
melalui wahyu, agar ia dapat menemukan yang hakiki dan akhirnya ia bisa
berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang diperolehnya terutama
nikmat bisa menemukan Tuhan dengan akalnya itu.

b. Sumber Psikologis Kebutuhan Manusia terhadap Agama


Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelum ini, bahwa manusia
menurut Al-Quran adalah makhluk rohani, makhluk jasmani, dan makhluk sosial.
Sebagai makhluk rohani, manusia membutuhkan ketenangan jiwa, ketenteraman
hati dan kebahagiaan rohani. Kebahagiaan rohani hanya akan didapat jika manusia
dekat dengan pemilik kebahagiaan yang hakiki. Menurut teori mistisime Islam,
bahwa Tuhan Mahasuci, Mahaindah, dan mahasegalanya. Tuhan yang Mahasuci
itu tidak dapat didekati kecuali oleh jiwa yang suci. Oleh karena itu,agar jiwa bisa
dekat dengan Tuhan, maka sucikanlah hati dari segala kotoran dan sifat-sifat yang
jelek.

c. Sumber Sosiologis Kebutuhan Manusia terhadap Agama


Di antara karakter manusia, menurut Al-Quran, manusia adalah makhluk
sosial. Makhluk sosial artinya manusia tidak bisa hidup sendirian, dan tidak bisa
mencapai tujuan hidupnya tanpa keterlibatan orang lain. Manusia harus
membutuhkan bantuan orang lain, sebagaimana orang lain pun membutuhkan
bantuan sesamanya. Saling bantu menjadi ciri perilaku makhluk sosial. Manusia
bisa hidup jika berada di tengah masyarakat. Manusia tidak mungkin hidup jika
terlepas dari kehidupan masyarakatnya.

d. Sumber filosofi
Pada kenyataannya manusia tidak bisa hidup tanpa agama karna secara filosofi
asal-usul manusia akan dipertanyakan darimana asalnya ketika kita telah memiliki
agama maka tentunya pertanyaan seperni ini akan terjawab sehingga manusia
tidak akan sesat karenanya,agama akan menjamin keselamatan manusia karna
filkosofinya agama ada untuk mengatur kehidupan manusia agar damai dan
sejahtera yang di ikat oleh norma-norma agama dan aturan,perintah sekaligus
larangan yang ada dalam agama tersebut.
Seandainya agama tidak pernah ada maka pastilah manusia tidak akan ada
bedanya dengan hewan dimana mereka hidup hanya untuk makan dan bebas mau
melakukan apapun sesukanya tanpa ada aturan perintah dan larangan yang
mengikat dan membatasinya dalam hidupnya,tapi manusia tidak seperti itu
manusia diberkahi akal untuk berpikir membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk sehingga manusia tentulah labih mulia dari hewan.
E. Membangun Argumen tentang Tauhidullah sebagai Satu-satunya Model
Beragama yang Benar.
Tauhidullah membebaskan manusia dari takhayul, khurafat, mitos, dan bidah.
Tauhidullah menempatkan manusia pada tempat yg bermartabat, tidak
menghambakan diri kepada mahluk yang lebih rendah derajatnya daripada
manusia. Manusia adalah mahluk yang paling mulia dan paling sempurnah
disbanding dengan mahluk-mahluk Allah yang lain. Itulah sebabbnya Allah
memberikan amanah dan khilafah pada manusia. Manusia adalah roh alam, Allah
menciptakan alam karena Allah menciptkan manusia sempurnah (insan kamil).
Sekiranya tidak ada insan kamil, maka Allah todak perlu mincaptakan ala mini
demikian menurut hadits qudsi yang menyatakan, “Dan manusia yang
bertauhidullah dengan benarlah yang berpotensi untuk mendekati posisi insane
kamil.” Rasulullah bersabda, “La ilaha illallah adalah bentengku barang siapa
yang masuk kedalam bentengku, maka ia aman dari azab.” (Al-hadits).
Setiap orang harus bersikap hati hati bahwa tauhtdullah yang merupakan
satu-satunya jalan menuju kebahagiaan menurut Said Hawa dapat rusak dengan
hal-hal sebagai berikut.
1) Sifat Al-Kibr (sombong)
2) Sifat Azh-Zhulm (kezaliman) dan sifat Al-Kizb (kebohongan)
3) Sikap Al-Ifsad (melakukan perusakan
4) Sikap Al-Ghafiah (lupa)
5) Al-Ijram (berbuat dosa)
6) Sikap ragu menerima kebenaran.

F. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Komitmen terhadap Nilai-nilai


Tauhid untuk Mencapai Kebahagiaan
Nilai-nilai hidup yang dibangun diatas jiwa tauhid merupakan nilai positif,
nilai kebenaran dan nilai ilahi yang abadi yang mengandung kebenaran mutlak
dan universal. Nilai mutlak dan universal yang terdapat didalamnya dapat
menjadikan misi agama ini sebagai rahmatan lil ‘alamin agama yang membawa
kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan umat manusia lahir dan
batin. Komitmen terhadap nilai-nilai universal Al-Quraan menjadi syarat mutlak
untuk memperoleh kebahagiaan. Roh kebahagiaan adalah jiwa tauhid yang diatas
jiwa tauhid itu nilai-nilai universal dibangun. Komitmen terhadap nilai-nilai itu
merupakan metodi dan strategi untuk mendapat kebahagiaan.
Nilai-nilai universal yang perlu ditanamkan agar menjadi roh kehidupan itu
adalah:
 Al-Amanah
Al-amanah artinya terpercaya. Mengapa seseorang terpercaya dan
dipercayai? Karena ia jujur. Kejujuran menyebabkan sesorang dipercaya
(al-amin)
 Al-Adalah
Al-Adalah secara etimologis artinya keadilan. Keadilan dalam perspektif
etika islam adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewaiban.
Sesuatu yang menjadi hak kita , maka menjadi kewajiban bagi orang lain.
Sebaliknya sesuatu yang menjadi hak orang lain maka menjadi kewajiban
kita.
 Al-Huriyah
Kebebasan manusia dalam berkehendak dan mewujudkan kehendak
dengan perbuatan adalah hak asasi manusia. Manusia mempunyai
kebebasan untuk berfikir dan mengembangkan pemikirannya lewat ilmu,
filsafat, atau pembharuan pemahaman terhadap agama.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tujuan hidup manusia adalah sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
Dengan kata lain, dapat disebutkan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Kebahagiaan yang diimpikan adalah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Untuk
menggapai kebahagiaan termasuk mustahil tanpa landasan agama. Agama yang
dimaksud adalah agama tauhidullah. Kebahagiaan hakiki itu adalah milik Allah,
kita tidak dapat meraihnya kalau tidak diberikan Allah. Untuk meraih
kebahagiaan itu, maka ikutilah cara-cara yang telah ditetapkan Allah dan agama-
Nya. Jalan mencapai kebahagiaan selain yang telah digariskan Allah adalah
kesesatan dan penyimpangan. Jalan sesat itu tidak dapat mengantar kita ke tujuan
akhir yaitu kebahagiaan. Karena didalamnya ada unsur syirik. Dan syirik adalah
landasan teologis yang sangat keliru dan tidak diampuni. Jika landasannya salah,
maka bangunan yang ada diatasnya juga salah dan tidak mempunyai kekuatan
alias rapuh. Oleh Karena itu, hindarilah kemusyrikan supaya pondasi kehidupan
kita kokoh dan kuat. Landasan itu akan kokoh dan kuat kalau berdiri diatas
tauhidullah.

B. Saran
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya akan lebih fokus dan lebih details lagi dalam menjelaskan tentang
makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak tentunya. Sehingga
kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Syahidin, Hardiyanto, A., Rahmat, M., & Alba, C. 2020. Pendidikan Agama
Islam Untuk Perguruan Tinggi:Makassar.
Tholehah, H. & Muhammad. 2000. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta:
Listafariska Putra

Anda mungkin juga menyukai