Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat umumnya mengenal intelegensi sebagai istilah untuk mengetahui
atau menggambarkan kecerdasan, kepintaran, maupun kemampuan dari diri
seseorang untuk memecakan masalah yang sedang dihadapi. Gambaran anak yang
memiliki intelegensi tinggi merupakan gambaran tentang siswa yang pandai,
cerdas, selalu mendapatkan nilai yang paling tinggi, selalu naik kelas, bahkan
gambaran ini meluas pada fisik, yaitu pada anak yang berwajah cantik maupun
tampan, yang berpakaian rapi, matanya bersinar atau berkacamata. Sedangkan
gambaran dari anak yang berintelegensi rendah merupakan seseorang yang
lamban berfikir, sulit mengerti, prestasi rendah, pengertian orang awam sudah
sedikit menggambarkan apa itu intelegensidan umumnya tidak jauh dari
pengertian intelegensi.
Pada dasarnya intelegensi merupakan faktor psikologis yang terkait dengan
status social manusia, faktor lingkungan, dan pendidikan tentuna memiliki
pengaruh ang signifikan terhadap perkembangan intelegensi, oleh sebab itu
menganalisis intelegensi dari berbagai sudut ilmu pengetahuan merupakan dasar
untuk mengetahui apa sebenarnya hakikat dari intelegensibagi manusia dan
pendidikan.
Intelegensi merupakan kemampuan dalam memperoleh suatu kecakapan yang
mengandung berbagai komponen. Kemampuan tiap individu pasti berbeda, dalam
tes intelegensi sebagai suatu instrument tes psikologi dapat memberikan data
untuk membatu peserta didik dalam meningkatkan pemagaman diri, penilaian diri,
dan penerimaan diri. Hasil dari tes intelegensi dapat membantu peserta didik
dalam meningkatkan presepsi dirinya secara maksimal dan mengembangkan
eksplorasi dalam beberapa bidang tertentu.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian intelegensi?
2. Apa faktor yang mempengaruhi intelegensi?
3. Bagaimana cara pengukuran tes intelegensi dan tingkatan intelegensi?\
4. Apa pengertian dari down syndrome?
5. Bagaimana karakteristik dari down syndrome?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian intelegensi
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi intelegensi
3. Mengetahui cara dalam pengukuran tes intelegensi dan tingkatan
intelegensi
4. Mengetahui pengertian down syndrome
5. Mengetahui karakteristik down syndrome

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Intelegensi


Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga berasal dari
bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia atau Intellegere”. Teori tentang
intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada
tahun 1951. Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai
suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal
pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan
“Nous”, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut “Noeseis”. Intelegensi
berasal dari kata Latin,yang berarti memahami. Jadi intelegensi adalah aktivitas
atau perilaku yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi untuk
memahami sesuatu. Intelegensi menurut para ahli (Sarwono, 2013) adalah
a. Alfred Binet (1857-1911) & Theodore Simon
Inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu kemampuan untuk
mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan untuk mengubah arah
tindakan bila tindakan itu telah dilaksanakan, dan kemampuan untuk
mengritik diri sendiri (autocriticism).
b. Lewis Madison Terman (1916)
Mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan seseorang untuk
berpikir secara abstrak.
c. H. H. Goddard (1946)
Mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman
seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
d. V.A.C. Henmon
Inteligensi terdiri atas dua faktor, yaitu kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh.
e. Baldwin (1901)
Inteligensi sebagai daya atau kemampuan untuk memahami.

3
f. Edward Lee Thorndike (1913)
Mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan dalam memberikan
respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.
g. Walters dan Gardber (1986)
Inteligensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-
kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah, atau
produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu

2.2. Faktor yang mempengarui intelegensi


Faktor yang mempengaruhi intelegensi menurut (Bahri, 2013)
1. Faktor pembawaan
Faktor pembawaan merupakan faktor pertama yang berperan di dalam
intelegensi. Faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas
kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah,
antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu
kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali,
meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
2. Faktor minat dan pembawaan yang khas
Faktor minat ini mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan
merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat
dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan
dunia luas, sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan
dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
3. Faktor pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara
pembentukan sengaja, seperti yang dilakukan di sekolah dan
pembentukan yang tidak disengaja, misalnya pengaruh alam disekitarnya.
4. Faktor kematangan
Faktor dimana organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan
dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat
dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga

4
mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bila anak-anak belum mampu
mengerjakan atau memecahkan soal-soal matematika di kelas empat SD,
karena soal-soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya
dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal
tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan umur.
5. Faktor kebebasan
Faktor kebebasan artinya manusia dapat memilih metode tertentu
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan
kebutuhannya.

2.3. Cara pengukuran tes intelegensi


Salah satu uji kecerdasan yang diterima luas ialah berdasarkan pada
uji psikometrik atau IQ. Pengukuran kecerdasan dilakukan dengan menggunakan
tes tertulis atau tes tampilan (performance test) atau saat ini berkembang
pengukuran dengan alat bantu komputer. Alat uji kecerdasan yang biasa
dipergunakan adalah :
1. Stanford-Binnet intelligence scale
2. Wechsler scales yang terbagi menjadi beberapa turunan alat uji seperti :
a. WB (untuk dewasa)
b. WAIS (untuk dewasa versi lebih baru)
c. WISC (untuk anak usia sekolah)
d. WPPSI (untuk anak pra sekolah)
3. IST
4. TIKI (alat uji kecerdasan Khas Indonesia)
5. FRT

5
Tes intelegensi yang digunakan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
1. General Ability Test
Tes ini disajikan soal-soal berpikir dengan menggunakan bahasa,
bilangan-bilangan dan pengamatan ruang, berdasarkan hasilnya ditarik
kesimpulan tentang kemampuan intelektual anak pada umumnya (secara
menyeluruh).
2. Specific Ability/Apitude Test
Tes ini menyajikan soal-soal yang khusus terarah untuk menyelidiki
apakah anak mempunyai kemampuan dalam bidang tertentu (bakat
khusus), misalnya ; penggunaan-penggunaan bilangan, ketelitian dalam
pekerjaan administrasi dan lain-lain.
Woodworth dan Marquis (1995) mengklasifikasikan taraf intelegensi
sebagai berikut :
Tabel Penggolongan tingkat intelegensi seseorang
No. Nilai IQ Keterangan
1 ‘>140 Genius
2 120 – 139 Very Superior
3 110 – 119 Superior
4 90 – 109 Normal
5 80 – 89 Dull
6 70 – 79 Border line
7 50 – 69 Morrons
8 30 – 49 Embicile
9 <30 Idiot
Sumber: Yayasan Tunas Harapan.

6
2.4 Pengertian Down Syndrome

Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik


dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling
memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Down syndrome merupakan
kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang
cukup khas.
Perubahan jumlah dan struktur kromosom dikaitkan dangan serius pada
manusia. Ketika nondisjungsi terjadi dalam meiosis, akibatnya adalah aneuploid,
terdapatnya kromosom abnormal di dalam gamet yang diproduksi, dan kemudian
di dalam zigot.  Meskipun frekuensi zigot aneuploid bisa cukup tinggi pada
manusia, sebagian besar membahayakan  bagi perkembangan embrio. Salah satu
keadaan aneuploid adalah Sindrom Down, mengenai kira-kira 700 anak yang lahir
di Amerika Serikat.   
Menurut Dr. John Longdon Down, kelainan yang berdampak pada
keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada
tahun 1866. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative
pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka
sering  juga dikenal dengan Mongoloid. Pada tahun 1970an para ahli
dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak
tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan
istilah  “Down Syndrome” dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah itu.

7
2.5 Karakteristik Down Syndrome
Menurut kamus psikologi, Down Syndrom merupakan satu kerusakan atau
cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal dan retak-
retak atau terbelah, wajahnya datar ceper, dan matanya miring.
Sedangkan menurut penelitian, down syndrome menimpa satu di antara 700
kelahiran hidup atau 1 diantara 800-1000 kelahiran bayi. Diperkirakan saat ini
terdapat empat juta penderita down syndrome di seluruh dunia, dan 300 ribu
kasusnya terjadi di Indonesia.
Down Syndrom terjadi hampir merata pada laki-laki dan wanita. Penderita
Down Syndrom memiliki ciri yang khas, diantaranya yaitu:

1. Abnormalitas pada tengkorak

2. Abnormalitas pada muka


3. Tubuh pendek
4. Dagu atau mulut kecil
5. Leher pendek
6. Kaki dan tangan terkadang bengkok
7. Mulut selalu terbuka
8. Ujung lidah besar
9. Hidung lebar dan rata
10. Kedua lubang hidung terpisah lebar 
11. Jarak antara kedua mata lebar
12. Kelopak mata mempunyai lipatan epikantus

8
BAB III

KASUS

3.1. Kasus
Stephani Handojo (24) merupakan seorang perempuan yang terlahir sebagai
penyandang down syndrome itu adalah pemilik setumpuk prestasi. Prestasi
perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, ini, bahkan bukan sekadar raihan di
tingkat nasional, melainkan Stephanie sudah mencatatkan namanya di kancah
internasional. Pada 2011, Stephanie menjadi peraih medali emas cabang olahraga
renang di ajang Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani,
untuk nomor 50 meter gaya dada. Ajang ini adalah sebuah pesta olahraga bagi
anak-anak berkebutuhan khusus dari seluruh dunia. Capaian Fani, panggilan akrab
Stephanie, di Yunani menjadi istimewa karena saat itu menjadi kali pertama atlet
Indonesia meraih emas di ajang internasional itu. Dan bersaing dengan atlet-atlet
dari Perancis, AS, dan Taiwan. Prestasi internasional Stephanie tak terhenti di
Yunani. Dia juga menyabet emas cabang renang di ajang Special Olympics Asia-
Pacific 2013 di Newcastle, Australia. Di Australia, dia juga menyabet perak untuk
nomor 100 meter gaya dada, sementara di ajang berikutnya di Los Angeles, AS
pada 2014, Stephanie menyabet perak untuk kategori gaya dada 50 meter dan
gaya bebas 100 meter.
Prestasi internasional Stephanie semakin lengkap ketika dia menjadi wakil
Indonesia sebagai pembawa obor Olimpiade London 2012. Stephani terpilih lewat
program British Council dan Unicef yang sebelumnya menyaring belasan ribu
anak dari seluruh dunia. Hal yang lebih istimewa adalah Stephanie menjadi satu-
satunya anak berkebutuhan khusus yang dipercaya menjadi pembawa obor
Olimpiade. Dia juga menjadi anak penyandang tunagrahita pertama yang menjadi
pembawa obor pesta olahraga terbesar di dunia itu. Tak hanya di bidang olahraga
saja Stephanie meraih prestasi. Pada 2009, dia mencatat rekor MURI sebagai
penyandang down syndrome pertama yang bisa memainkan 22 lagu tanpa henti
dengan menggunakan piano. Deretan prestasi ini membuat Stephanie
mendapatkan berbagai penghargaan dan bertemu dengan berbagai tokoh penting
negeri.

9
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Dari uraian kasus diatas, membuktikan bahwa keterbatasan tidak menjadi
penghambat untuk tetap berprestasi. Kemampuan Stephani dipengaruhi oleh
beberapa faktor
1. Faktor Pembentukan
Mengetahui Stephani lahir dengan keadaan down syndrome, ibu
Stephani berkomitmen untuk tidak bekerja pada orang lain, ia memilih
untuk fokus pada Stephanie. Yustin ibu Stepahani berjanji untuk membuat
Stephani menjadi sosok yang mandiri meski tidak mudah memberi
pengarahan dan penanganan pada anak down syndrome, semangat
kembali muncul ketika keinginannya untuk membuat anaknya mandiri. Ia
melatih motoriknya, salah satu hal yang dibutuhkan oleh anak-anak down
syndrome adalah stimulasi agar ia bisa melayani dirinya seperti anak
normal lainnya.
Hingga akhirnya ia memasukan Stepahanie ke sekolah umum. Bahkan
sejak SD hingga Sekolah Kejuruan Industri Pariwisata Perhotelan ia di
sekolah umum. Tidak hanya persiapkan akademiknya tapi juga
mentalnya. Keinginan untuk sekolah ini pun diungkapkan sendiri oleh
Stephanie tanpa pernah ada sedikit paksaan dari ayah maupun ibunya.
Yustin mengaku tidak mudah memasukkan anak ke sekolah umum. Ia
harus banyak masuk keluar sekolah dan menerangkan kondisi Stephani.
Ditolak dan diejek itu dialaminya beberapa kali. Tapi harus dilakukan
sebagai bentuk dukungan kepada anak. Dukungan dari kedua adik
Stephanie pun diberikan. Mereka selalu akur dalam berbagai suasana.
Orang tua Stephani membesarkan anak-anak mereka tanpa membedakan
kondisi.

10
2. Faktor Minat
Prestasi yang diperoleh Stephani berawal karena belajar berenang yang
merupakan olahraga yang bagus untuk melatih motoriknya. Ternyata
Stephanie menunjukkan kemampuannya dengan mendapatkan medali
emas diberbagai ajang perlombaan.
3. Faktor Kebebasan
Stephani mendapatkan kebebasan dari orang tua untuk mengikuti sekolah
secara normal seperti lainnya, hal ini menumbuhkan semangat dan
percaya diri pada Stephani. Sang ibu mengajarkan untuk mendidik dan
mengajari anak dengan baik dan benar agar bisa mandiri.
4. Faktor dukungan
Dukungan-dukungan informatif yang diberikan kepada orang tua anak
down syndrome tentunya dapat menciptakan sutu edukasi yang mana
dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang tua anak
down syndrome bagaimna cara merawat anak down syndrome dengan
baik, terapi-terapi apa saja yang harus dilalui demi meningkatkan
perkembangan anak down syndrome serta tempat kursus apa saja yang
dapat menjadi sumber informasi bagi orang tua anak down syndrome
yang ingin mengembangkan bakat anak spesialnya
5. Tingkat kecerdasan

Putri dari pasangan Santoso Handojo dan Maria Yustina Tjandrasari ini,
telah mengalami down syndrome (yang memilikit tingkat IQ di bawah
70) atau lebih dikenal juga dengan Tunagrahita, namun di bawah asuhan
ibunda tercinta Stephanie telah berhasil mengharumkan nama bangsa dan
Negara Indonesia di dunia internasional lewat olahraga khusus
Tunagrahita atau Special Olympic.

11
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Seorang anak penyandang down syndrome dengan tunagrahita yang telah


meraih banyak prestasi dan telah mengharumkan nama bangsa sampai kancah
internasional. Dari kasus diatas membuktikan bahwa anak down syndrome yang
memiliki keterbatasan tidak menjadi penghambat anak tersebut utuk meraih
prestasi dan mengmbangkan bakat dan minatnya .Peranan orang tua sangat
berperan dalam mendidik dan membina anak-anak berkebutuhan khususu
(Tunagrahita). Terdapat banyak faktor yang mendukung anak down syndrome
dapat mengembangkan bakat dan minatnya. Yang pertama adalah faktor
pembentukan, jadi ibu Yustin dalam hal ini membuat stephani menjadi sosok yang
mandiri serta ia tidak membeda-bedakan dengan anaknya yang lain.

Yang kedua adalah faktor minat, sebagai orang tua harus menggali skillnya
agar mengetahui dimana keahlian anak down syndrome dan setelahnya orang tua
dapat mengasah kemampuan anak down syndrome dengan bimbingan belajar
khusus. Dan masih ada faktor-faktor yang lain.

5.2 Saran
Semoga para pembaca lebih memahami down syndrome dan tidak
memandang rendah anak down syndrome. Kritik dan saran sangat membantu
kami dalam pembuatan makalah.

12
DAFTAR RUJUKAN

Abu Ahmadi, Drs. Psiliologi Umum. Surabaya: Bina Ilmu,1983


Abu Ahmadi, Widodo Suriyono. Psiliologi Belajar. Jakarta: Rinka Cipta, 2004.
Bjorklund, D. F. (2000). Children's Thinking: Developmental function and
Individual differences. 3rd ed. Belmont, Caifornia: Wadsworth
Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka cipta. 2011
Encarta Reference Librari premium (2005). Redmond, Washington: Microsoft
Encarta.
John, W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Kencana, 2011
Sarlito, W. Sarwono. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers. 2010
W. S. Winkel, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, PT. Gramedia, Jakarta,
1984, hlm. 25-26.
Cambell, Richee, Mitchel. 2002. Biologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Hery Susanto, Agus. 2011. Genetika. Jakarta: Graha Ilmu

13

Anda mungkin juga menyukai