Anda di halaman 1dari 10

PSIKOLINGUISTIK DAN FAKTOR PSIKOLOGIS DALAM PENGENALAN

BAHASA
Olivia Angelina Safira
22010664296
Psikologi 2022 E

PENDAHULUAN
Bahasa adalah salah satu sendi terpenting dalam kehidupan setiap orang. Setiap mereka
tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Pertama kali seorang manusia memperoleh bahasa
yang didengarkan langsung dari bapak atau ibu sewaktu anak terlahir ke dunia ini.
Kemudian seiring berjalannya waktu dan seiring pertumbuhan si anak maka mereka akan
memperoleh bahasa selain bahasa yang diajarkan ibu bapaknya itu baik berupa bahasa
kedua, ketiga, bahasa asing ataupun seterusnya yang disebut dengan akuisisi bahasa
(language acquisition) dimana hal tersebut tergantung dengan lingkungan sosial dan
tingkat kognitif yang dimiliki oleh anak tersebut melalui proses pembelajaran
dilingkungannya.

Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, kegiatan berbahasa
itu bukan hanya berlangsung secara mekanistik, tetapi juga berlangsung secara
mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan
mental (otak), Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi
linguistik perlu dilengkapi dengan studi antar disiplin antara linguistik dan psikologi,
yang lazim disebut psikolinguistik. Bahasan mengenai pemerolehan bahasa berkaitan erat
dengan bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang
lain.

Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos.
Kata psyche berarti “jiwa, roh atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi
psikologi secara harfiah berarti “ ilmu jiwa” atau ilmu yang kajian obyeknya adalah
jiwa. Dulu seketika psikologi masih berada atau merupakan bagian dari ilmu
filsafat, definisi bahwa psikologi adalah ilmu yang mengkaji jiwa yang masih
dipertahankan. Dalam perpustakaan kita pada tahun lima puluhan pun nama ilmu
jiwa lazim digunakan sebagai padanan kata psikologi.

Secara etimologi sudah disinggung bahwa kata psikolinguistik terbentuk dari kata
psikologi dan kata linguistik yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing
berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-
sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya. Hanya obyek materialnya yang
berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa sedangkan psikologi mengkaji perilaku
berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda
Meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak juga bagian-bagian obyeknya
yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori
yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak
sedikit yang berlainan. Oleh karena itulah telah lama dirasakan perlu adanya kerja
sama diantara kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan
kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik
dan lebih bermanfaat. Pada awalnya kerja sama antara kedua disiplin itu disebut
Linguistic Psychology dan ada juga yang menyebutkan psychology of language.
Kemudian sebagai hasil kerjasama yang lebih baik, lebih terarah dan lebih sistematis
diantara kedua ilmu itu, lahirlah suatu disiplin ilmu baru yang disebut Psikolinguistik,
sebagai ilmu antar disiplin antara psychology dan linguistik. Istilah. Psikolinguistik
itu sendiri baru lahir tahun 1954 yakni tahun terbitnya buku psycholinguistic: A
Survey of Theory and Reseach Problems yang disunting oleh Charles E Osgood
dan Thomas A Sebeok di Bloomington, Amerika Serikat. Psikolinguistik mencoba
menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana
kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia.(Slobin1974;Meller,1964;Slama
Cazahu,1973). Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari suatu
teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat
menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik
mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu diperoleh,
digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam
pertuturan itu. Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan
linguistik dan psikologi pada masalah seperti pengajaran dan pembelajaran
bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan
dan kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap dan sebagainya, serta
masalah sosial lainnya yang menyangkut bahasa seperti bahasa dan pendidikan,
bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa. Kerja sama antara psikologi dan linguistik
setelah beberapa lama berlangsung tampaknya belum cukup untuk dapat
menerangkan hakikat bahasa. Bantuan dari ilmu lain sangat diperlukan seperti
neurofisiologi, neuropsikologis, neurolinguistik dan sebagainya. Maka meskipun
digunakan istilah psikolinguistik bukan berarti hanya kedua bidang ilmu hanya saja
yang diterapkan, tetapi juga hasil penelitian dari ilmu lain pun dimanfaatkan.

Masalah pemerolehan bahasa telah lama diperbincangkan. Pada tahun 1960-an di


Amerika Serikat berlangsung perdebatan sengit mengenai dua hal: Apakah penguasaan
bahasa pada anak itu alamiah (nature) atau suapan (nurture)? Apakah perkembangan
bahasa pada anak itu dikendalikan sendiri oleh si anak (yaitu kendali dari dalam diri si
anak) atau dibentuk dari luar (yaitu oleh lingkungan si anak) Pandangan pertama dianut
oleh kaum nativisme, sedangkan pandangan kedua dianut oleh kaum behaviorisme.
Selain itu, di Eropa pun muncul kelompok lain yang disebut kaum kognitivisme.

Kemampuan bahasa juga dipengaruhi oleh faktor psikologis. Menurut Mukalel ada empat
faktor psikologis yang memengaruhi proses mempelajari bahasa (2003:60), yaitu
intelligence, resourcefulness, creativity, dan motivation.

1. Intelligence (Kecerdasan)

Ada banyak sekali definisi tentang inteligensi. Sebagian besar definisi yang ada merujuk
kepada kemampuan berpikir, termasuk kemampuan berpikir abstrak dan simbolik,
kemampuan menggunakan pikiran untuk beradaptasi dan mengontrol lingkungan,
termasuk lingkungan sosial, serta kematangan kepribadian. Bahasa merupakan proses
mental yang kompleks, bersifat abstrak dan simbolik, serta digunakan untuk beradaptasi
dan mengontrol lingkungan dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, perkembangan
bahasa sangat dipengaruhi oleh inteligensi. Secara umum, kemampuan berbahasa
seseorang dapat mengungkapkan tingkat inteligensinya. Meskipun demikian, bukan
berarti seorang anak yang lebih cepat belajar berbicara memiliki inteligensi yang lebih
tinggi daripada anak yang lebih lambat belajar bicara, karena inteligensi hanyalah salah
satu faktor yang menentukan kemampuan pemerolehan bahasa. Meskipun manusia
memiliki kemampuan internal untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan bahasa,
inteligensi dan bahasa hanya dapat berkembang setelah adanya interaksi antara anak
dengan lingkungan di sekitarnya.

Inteligensi mengontrol kecepatan, intensitas, dan kedalaman pemerolehan bahasa. Anak


dengan inteligensi tinggi lebih cepat dalam memahami dan menginternalisasi bahasa
orang dewasa. Mereka dapat menggunakan kesempatan dan stimulasi dari lingkungan
untuk menyerap dan memahami bahasa. Inteligensi juga memengaruhi kemampuan anak
untuk menghubungkan pengalamannya dengan bahasa yang tepat. Inteligensi juga
berhubungan dengan memori. Oleh karena itu, bahasa yang merupakan manipulasi
simbol-simbol sangat dipengaruhi oleh kekuatan memori untuk menyimpan dan
memanggil kembali simbol-simbol tersebut. Semakin tinggi inteligensi, semakin
terorganisir kemampuan anak dalam menyimpan informasi dan semakin cepat memori
dapat melakukan proses pengenalan dan pemanggilan kembali.

2. Resourcefulness (Ketajaman)

Individu yang memiliki kepanjangan akal yang baik adalah individu yang dapat
menggunakan akalnya untuk beradaptasi dengan berbagai keadaan dalam lingkungan.
Individu ini dapat menggunakan kemampuan berbahasanya untuk dapat diterima dalam
lingkungannya. Kepanjangan akal juga berkaitan dengan inteligensi. Perpaduan
kepanjangan akal dan inteligensi yang tinggi membuat seseorang dapat menggunakan
kemampuan berbahasa untuk mengatasi berbagai situasi dalam berinteraksi sosial. Ia
dapat mengidentifikasi bahasa yang harus digunakan, waktu menggunakannya, dan cara
menggunakannya secara tepat dalam berinteraksi. Dengan demikian, ia dapat dengan
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau bahkan dapat menggunakan
kemampuan berbahasanya untuk mengontrol atau mengubah lingkungannya menjadi
lebih baik. Anak yang memiliki resourcefulness tinggi biasanya dapat mempelajari
banyak bahasa tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
3. Creativity (Kreativitas)

Esensi dari kreativitas adalah kemampuan berpikir dengan cara yang berbeda dari cara
berpikir tradisional, atau melakukan sesuatu hal yang memiliki aspek baru atau sesuatu
yang tidak biasa. Otak anak yang kreatif senantiasa aktif dan seringkali memunculkan
hal-hal baru yang menakjubkan. Mereka dapat mengorganisasi sesuatu dengan cara yang
baru, menemukan hal-hal baru dari suatu objek, atau menemukan cara berpikir yang baru.
Salah satu bentuk perilaku kreatif adalah produksi bahasa. Manusia memiliki kemampuan
untuk menuangkan kreativitas dalam berbahasa. Dengan kreativitas manusia dapat
mengutarakan suatu hal dengan berbagai cara yang berbeda. Kreativitas tinggi dalam
berbahasa dapat menciptakan pencapaian yang hebat, seperti menjadi penulis terkenal,
novelis, atau pembuat script film.

4. Motivation (Motivasi)

Setiap usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh manusia memerlukan faktor pendorong
yang disebut motivasi. Mukalel mendefinisikan motivasi sebagai “the powerful pull
towards a goal, which an individual experiences” (2003:69). Semakin tinggi motivasi,
semakin tinggi kekuatan, antusiasme, dan semangat untuk mencapai tujuan. Semakin
berkembang anak, kebutuhan mengekspresikan diri juga semakin meningkat. Kebutuhan
ekspresi diri menjadi motivasi intrinsik untuk mempelajari dan mengembangkan bahasa.
Dengan penguasaan bahasa yang semakin berkembang, anak dapat mengekspresikan
keberadaan dirinya, potensi, ide, dan pendapatnya. Hal penting yang perlu disadari orang
tua adalah motivasi intrinsik dapat muncul bila ada rangsangan dari orang di sekitarnya.
Bila usaha anak untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri tidak mendapatkan
tanggapan atau penghargaan dari orang di sekitarnya, maka anak tidak akan melanjutkan
usahanya tersebut dan selanjutnya tidak termotivasi untuk mengembangkan kemampuan
berbahasanya.

Perbedaan dalam pengertian belajar antara Ilmu Jiwa Bahasa (Psikolinguistik)


dan Ilmu Jiwa kognitif itu terutama terletak pada peranan pikiran dalam proses belajar.
Pada Ilmu Jiwa Bahasa (Psikolinguistik) pikiran bersifat pasif, karena perolehan
pengetahuan dan keterampilan itu ditentukan oleh faktor eksternal seakan pikiran itu
seperti halnya kertas kosong yang menunggu gambar apapun yang akan dicapkan oleh
alam sekitarnya. Sedang prosesnya merupakan pembentukan kebiasaan secara
mekanis. Sebaliknya pada Ilmu Jiwa Kognitif pikiran bersifat aktif karena ia memilih
semua informasi yang datang dari luar, memproses melalui pemahaman, penyusunan
dan penyimpanan dalam gudang pengetahuan untuk dalam sewaktu-waktu
dipergunakan bila diperlukan. Proses belajar bahasa disini lebih ditekankan pada
proses kognitif karena terutama ditujukan kepada pemahaman kaidah yang mendasari
penggunaan bahasa. Perbuatan bahasa bukanlah dianggap sebagai suatu perbuatan
kebiasaan belaka seperti pada ilmu jiwa bahasa (psikolinguistik), melainkan sebagai
perbuatan yang bersendikan kaidah (rule governed behavior). Jadi aspek pemahaman
kaidah mendapat tekanan sebelum melangkah pada aspek psikomotor yakni
perbuatan memanipulasikan alat bicara untuk menghasilkan ujaran.

Penguasaan bahasa itu mencakup dua hal yakni pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill) yang perlu dikembangkan secara bersama. Pengetahuan tentang
kaidah harus diikuti dengan latihan kebahasaan agar dapat diperoleh keterampilan
penggunaan bahasa sehingga penggunaan bahasa itu merupakan suatu kebiasaan yang
berlangsung secara otomatis. Namun belajar bahasa bukanlah merupakan hasil dari
latihan mengerjakan soal tata bahasa, melainkan hasil dari pembentukan kebiasaan.
(Brooks 1964: 49). Yang dalam hal ini tentunya adalah pembentukan kebiasaan dalam
menggunakan bahasa sebagai alat penyampai maksud. Adalah suatu kenyataan bahwa
orang yang berbicara itu tidak pernah berpikir tentang adanya kaidah yang mendasari
penggunaan bahasa karena hal itu sudah merupakan kebiasaan. Dan tingkat ini hanyalah
dapat dicapai apabila murid diberi latihan kebahasaan secara terus menerus agar dapat
menggunakan bahasa dalam situasi yang sesuai.

KESIMPULAN

Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang
tampak maupun perilaku yang tidak tampak: resepsi, persepsi, pemerolehan bahasa, dan
pemroduksian bahasa serta proses yang terjadi di dalamnya. Contoh perilaku yang tampak
dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia
memproduksi bahasa, sedangkan contoh perilaku yang tidak tampak adalah perilaku
manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang
dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya atau ketika dia
memahami bahasa. Ada 4 faktor-faktor psikologis diketahui sangat berpengaruh seperti
kecerdasan, ketajaman, kreativitas, dan kekuatan motivasi dalam belajar.

Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan
dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa.
Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung mekanistik, tetapi
juga berlangsung secara mentalistik, artinya kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dalam
proses atau kegiatan mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan
pembelajaran bahasa, study linguistik perlu dilengkapi dengan study antar disiplin
antara linguistik dan psikologi. Inilah yang lazim disebut dengan psikolinguistik.

Peran Psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa sangat penting karena dengan


memahami psikolinguistik seorang guru memahami proses yang terjadi dalam diri siswa
ketika siswa menyimak, berbicara, membaca, ataupun menulis sehingga manakala
kemampuan dalam keterampilan berbahasa bermasalah, garu dapat melihat dari sudut
pandang psikologi sebagai alternatif solusinya. Selain itu, pendekatan psikolinguistik di
dalam pengajaran bahasa ternyata sangat penting, karena secara psikologi guru harus
tetap memperhatikan suasana batin atau suasana hati para peserta didik pada saat belajar
bahasa dan berbahasa.
DAFTAR PUSTAKA

Natsir, N. (2017). Hubungan psikolinguistik dalam pemerolehan dan pembelajaran


bahasa. Jurnal Retorika, 10(1), 20-29.

Sarjani, A. I., Saputro, E., Ningsih, D. N., Sunarti, H., & Harun, Y. (2021). Pendekatan
Psikolinguistik dan Faktor Psikologis Terhadap Pola Interaksi dalam Pembelajaran
Bahasa. Jurnal Taiyou, 2(1), 15-38.

Kuntarto, E. (2017). Memahami Konsepsi Psikolinguistik.

Wahyudi, W., & DS, M. R. (2017). Urgensi Mempelajari Psikolinguistik Terhadap


Pembelajaran Bahasa. Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 17(1), 113-140.

Sabarua, J. O. (2017). Psikolinguistik dalam pendidikan.

Muradi, A. (2018). Pemerolehan Bahasa Dalam Perspektif Psikolinguistik Dan


Alquran. Tarbiyah: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 7(2).

Gusriani, A., & Yanti, Z. P. (2022). PSIKOLINGUISTIK (Teori dan Analisis). CV.
AZKA PUSTAKA.

Sudarwati, E., Perdhani, W. C., & Budiana, N. (2017). Pengantar psikolinguistik.


Universitas Brawijaya Press.
Kadir, H. (2017). Peran Pendekatan Psikolinguistik dalam Membangun Pola Interaksi
Pembelajaran Bahasa di Kelas. Wahana Didaktika: Jurnal Ilmu Kependidikan, 15(2), 1-
11.

Suharti, S., Hum, S., Khusnah, W. D., Sri Ningsih, S. S., Shiddiq, J., Saputra, N., ... &
Purba, J. H. (2021). Kajian Psikolinguistik. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
HASIL UJI PLAGIASI

Anda mungkin juga menyukai