Anda di halaman 1dari 42

PSYCHOLINGUISTICS

LECTURER:
Prof. Dr. Mansur Akil. M.Pd.

NAME : IKRAR

CLASS :C

SEMESTER : 2

ID NUMBER : 161050102069

GRADUATE PROGRAM

STATE UNIVERSITY OF MAKASSAR

2017

0
1
What is Psycholinguistics?

Istilah Psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni Psikologi dan Linguistik.
Seperti kita ketahui kedua kata tersebut masing-masing merujuk pada nama
sebuah disiplin ilmu. Secara umum, Psikologi sering didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus,
hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum stimulus atau respon
itu terjadi. Pakar psikologi sekarang ini cenderung menganggap psikologi sebagai
ilmu yang mengkaji proses berpikir manusia dan segala manifestasinya yang
mengatur perilaku manusia itu. Tujuan mengkaji proses berpikir itu ialah untuk
memahami, menjelaskan, dan meramalkan perilaku manusia.

Linguistik secara umum dan luas merupakan satu ilmu yang mengkaji
bahasa (Bloomfield, 1928:1). Bahasa dalam konteks linguistik dipandang sebagai
sebuah sistem bunyi yang arbriter, konvensional, dan dipergunakan oleh manusia
sebagai sarana komunikasi. Hal ini berarti bahwa linguistik secara umum tidak
mengaitkan bahasa dengan fenomena lain. Bahasa dipandang sebagai bahasa yang
memiliki struktur yang khas dan unik. Munculnya ilmu yang bernama
psikolinguistik tidak luput dari perkembangan kajian linguistik

Pada mulanya istilah yang digunakan untuk psikolinguistik adalah linguistic


psychology (psikologi linguistik) dan ada pula yang menyebutnya sebagai
psychology of language (psikologi bahasa). Kemudian sebagai hasil kerja sama
yang lebih terarah dan sistematis, lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut
sebagai psikolinguistik (psycholinguistic).

Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis


yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang
didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu
diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984), membatasi

1
psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik
merupakan bidang studi yang menghubungkan psikologi dengan linguistik.
Tujuan utama seorang psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses yang
melandasi kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa.
Psikolinguis tidak tertarik pada interaksi bahasa di antara para penutur bahasa.
Yang mereka kerjakan terutama ialah menggali apa yang terjadi ketika individu
yang berbahasa.

Pakar psikologi maupun pakar linguistik sama-sama terlibat mempelajari


psikolinguistik. Kedua pakar itu termasuk pakar ilmu sosial. Oleh sebab itu,
pendekatan yang mereka gunakan dalam bidang ilmu ini hampir sama atau mirip.
Semua ilmuwan ilmu sosial bekerja dengan menyusun dan menguji hipotesis.
Misalnya, seorang psikolinguis berhipotesis bahwa tuturan seseorang yang
mengalami gangguan sistem sarafnya akan berdisintegrasi dalam urutan tertentu,
yaitu konstruksi terakhir yang dipelajarinya merupakan unsur yang lenyap paling
awal. Kemudian ia akan menguji hipotesisnya itu dengan mengumpulkan data
dari orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Dalam hal ini seorang ahli
psikologi dan linguis agak berbeda. Ahli psikologi menguji hipotesisnya terutama
dengan cara eksperimen yang terkontrol secara cermat. Seorang linguis, dalam sisi
yang lain, menguji hipotesisnya terutama dengan mengeceknya melalui tuturan
spontan. Linguis menganggap bahwa keketatan situasi eksperimen kadang-kadang
membuahkan hasil yang palsu.

A. Ruang Lingkup Psikolinguistik

Pada umumnya, tujuan Psikolingustik adalah untuk mengetahui struktur


serta proses kemampuan manusia dalam berbicara dan memahami bahasa.
Atas dasar itu Slamet Soewandi dalam Modul Psikolinguistik (2005)
mengembangkan beberapa batasan psikolinguistik, dan batasan tersebut
mengimplikasikan bahwa secara garis besar psikolinguistik mencakup topik
tentang:

2
1. Proses menangkap pesan ujaran orang lain, atau proses bagaimana otak
bekerja pada wkatu seseorang memahami bahasa orang lain.
2. Proses menghasilkan ujaran yang ditujukan kepada orang lain, atau
proses bagaimana otak bekerja pada waktu seseorang mengungkapkan
gagasannya dengan bahasa.
3. Proses memperoleh bahasa secara bertahap pada diri sendiri.

Psikolinguistik jika diilustrasikan bagaikan seekor bydra, yakni monster


dengan jumlah kepala yang tak terhingga. Tampaknya tidak ada batas yang akan
dikaji oleh psikolinguistik. Benarkah begitu? Simanjuntak (1987) menyatakan
bahwa masalah-masalah yang dikaji oleh psikolinguistik berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan berikut ini, yakni:
1. Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah bahasa itu bawaan ataukah hasil
belajar? Apakah ciri-ciri bahasa manusia itu? Unsur-unsur apa sajakah
yang tercakup dalam bahasa itu?
2. Bagaimanakah bahasa itu ada dan mengapa ia harus ada? Di manakah
bahasa itu berada dan disimpan?
3. Bagaimanakah bahasa pertama (bahasa ibu) itu diperoleh oleh seorang
anak? Bagaimana bahasa itu berkembang? Bagaimana bahasa kedua itu
dipelajari? Bagaimana seseorang menguasai dua, tiga bahasa, atau lebih?
4. Bagaimana kalimat dihasilkan dan dipahami? Proses apa yang berlangsung
di dalam otak ketika manusia berbahasa?
5. Bagaimana bahasa itu tumbuh, berubah, dan mati? Bagaimana suatu dialek
muncul dan berubah menjadi bahasa yang baru?
6. Bagaimana hubungan bahasa dengan pikiran manusia? Bagaimana
pengaruh kedwibahasaan terhadap pikiran dan kecerdasan seseorang?
7. Mengapa seseorang menderita afasia? Bagaimana mengobatinya?
8. Bagaimana bahasa itu sebaiknya diajarkan agar benar-benar dapat dikuasai
dengan baik oleh pembelajar bahasa?

Jika memperhatikan betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh


psikolinguistik itu, maka pernyataan bahwa psikolinguistik bagaikan seekor bydra
mungkin benar. Tetapi, sebenarnya pernyataan bahwa psikolinguistik itu sebagai
seekor bydra tidak memuaskan. Oleh sebab itu, menurut Aicthison (1984)

3
perlulah kiranya objek kajian psikolinguistik itu dibatasi secara jujur.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Simanjuntak di atas disederhanakan
lagi oleh Aitchison menjadi tiga pertanyaan saja. Menurut Aitchison (1984) ada
tiga hal sebenarnya yang menarik perhatian psikolinguistik.

1. Masalah pemerolehan
Apakah manusia memperoleh bahasa karena dia dilahirkan dengan
dilengkapi pengetahuan khusus tentang kebahasaan? Atau mereka dapat
belajar bahasa karena mereka adalah binatang yang sangat pintar sehingga
mampu memecahkan berbagai macam masalah?

2. Hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa


Linguis sering menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang memerikan
representasi bahasa internal seseorang (pengetahuan bahasanya). Ia kurang
tertarik untuk memerikan bagaimana penutur menggunakan bahasanya.
Kemudian bagaimanakah hubungan antara penggunaan dengan pengetahuan
bahasa tersebut? Seseorang yang belajar bahasa melakukan tiga hal:

a. Memahami kalimat (dekode) > penggunaan bahasa


b. Menghasilkan kalimat (enkode) > penggunaan bahasa
c. Menyimpan pengetahuan bahasa > pengetahuan bahasa

Linguis lebih tertarik pada butir c daripada butir (a) dan (b). Apa yang
perlu diketahui seseorang psikolinguis ialah sebagai berikut: benarkah
mengasumsikan bahwa tipe tata bahasa yang disampaikan oleh linguis
sesungguhnya mencerminkan pengetahuan individual yang terinternalisasikan
tentang bahasanya? Bagaimanakah pengetahuan itu digunakan ketika
seseorang menghasilkan tuturan (enkode) atau memahami tuturan (dekode)?

3. Menghasilkan dan memahami tuturan

4
Dengan mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa tidak berbeda dengan
pengetahuan bahasa, apakah sesungguhnya yang terjadi ketika seseorang itu
menghasilkan tuturan (berenkode) atau memahami tuturan (berdekode)?

Tiga pertanyaan itulah yang dikaji dalam psikolinguistik dengan


mempertimbangkan empat tipe bukti, yakni:

a. Komunikasi binatang
b. Bahasa anak- anak
c. Bahasa orang dewasa yang normal
d. Tuturan disfasik (orang yang terganggu tuturannya).

Perhatikan diagram berikut ini. Kotak-kotak dalam diagram itu tidak


merupakan kotak yang tersekat dan terpisah ketat satu dengan yang lainnya.
Tetapi, antara kotak-kotak itu ada unsur-unsur yang menghubungkannya.
Komunikasi binatang dihubungkan dengan bahasa anak oleh kera yang berbicara.
Hubungan antara bahasa anak dan bahasa orang dewasa yang normal
dihubungkan oleh tuturan anak usia 8-14 tahun. Bahasa orang dewasa yang
normal dengan bahasa orang disfasik dihubungkan oleh keseleo lidah (slip of
tounge).

Sebelum kita berbicara tentang masalah lain dalam psikolinguistik, kita


sebaiknya memahami dulu penggunaan istilah tata bahasa. Kita berasumsi bahwa
agar dapat berbicara, setiap orang yang tahu bahasanya memiliki tata bahasa yang
telah diinternalisasikan dalam benaknya. Linguis yang menulis tata bahasa
membuat hipotesis tentang sistem yang terinternalisasikan itu.

Istilah tata bahasa digunakan secara bergantian untuk maksud representasi


internal bahasa dalam benak seseorang dan model linguis atau dugaan atas
representasi itu.

Lebih jauh lagi, ketika kita berbicara tentang tata bahasa seseorang yang
terinternalisasikan itu, istilah tata bahasa digunakan dalam pengertian yang lebih
luas daripada makna tata bahasa yang kita temukan dalam berbagai buku ajar. Tata
bahasa itu mengacu pada keseluruhan pengetahuan bahasa seseorang. Tata bahasa
tidak hanya menyangkut masalah tata kalimat, tetapi juga fonologi dan semantic.

5
Karena sintaksis itu merupakan dasar yang paling penting, maka kajian utama
psikolinguistik ini akan banyak bertumpu pada kaidah sintaktik. Secara teoretis,
tujuan utama psikolinguistik ialah mencari satu teori bahasa yang tepat dan
unggul dari segi linguistik dan psikologi yang mampu menerangkan hakikat
bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba
menerangkan hakikat struktur bahasa dan bagaimana struktur ini diperoleh dan
digunakan pada waktu bertutur dan memahami kalimat-kalimat (ujaran-ujaran).
Secara praktis, psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan
psikologi pada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa,
pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan, penyakit
bertutur seperti afasia, gagap dan sebagainya, komunikasi, pikiran manusia,
dialek-dialek, pijinisasi, dan kreolisasi, dan masalah-masalah sosial lain yang
menyangkut bahasa seperti bahasa dan pendidikan, bahasa, dan pembangunan
bangsa.

Dari paparan sebelumnya, jelaslah bahwa psikolinguistik adalah ilmu


antardisiplin yang dilahirkan sebagai akibat adanya kesadaran bahwa kajian
bahasa merupakan sesuatu yang sangat rumit, meliputi mekanisme pemrosesan
bahasa, bagaimana bahasa disampaikan dan dimengerti hingga mencakup
hubungan antara bahasa dan pikiran manusia..

6
2
What are the main topics (coverage) of
Psycholinguistics?

A. Pemerolehan Bahasa

Pada hakikatnya pemerolehan bahasa berakar pada proses dan cara manusia
mempelajari bahasa. Kajian Psikolinguistik lebih banyak pada tataran bagaimana
seorang anak memperoleh bahasa, baik bahasa pertama (B1) maupun bahasa
kedua (B2).

1. Pemerolehan Bahasa Pertama


Pernah terjadi pada abad ke-19, seorang anak ditemukan di hutan Averyron
yang dipelihara oleh serigala selama bertahun-tahun. Ketika ia diketemukan ia
merangkak dan melolong bak serigala. Seorang dokter yang bernama Itard
mengajarkannya bahasa manusia pada umur 12 tahun tapi tidak berhasil dan ia
hanya bisa mengucapkan beberapa kata saja. Anak itu diberi nama Victor,
anak liar dari Averyron (Rakhmat, 1986: 282). Penemuan Victor ini
membuktikan bahwa, jika seorang manusia terpisah dari kelompok sosial ia
tidak sanggup untuk berbicara. Padahal seorang anak yang berumur 4 tahun
saja sudah mampu berdialog dengan kawan-kawannya dalam bahasa ibunya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seorang anak
mampu memperoleh bahasa, padahal ia belum pernah belajar tentang tata
bahasa? Bagaimana ia dapat menangkap arti kata-kata tanpa menggunakan
kamus? Tentang teori pemerolehan bahasa pertama ini atau sering disebut
bahasa Ibu; dalam psikologi terdapat dua teori: teori belajar dari behaviorisme
dan teori nativisme dari Noam Chomsky.
Dalam pandangan behaviorisme, sistem respon yang diperoleh manusia
ialah melalui sistem membiasakan ( conditioning), atau pengulangan-
pengulangan bentuk-bentuk bahasa sehingga anak tidak lagi membuat
kesalahan dalam perlakuan bahasa pertamanya (Utari Subyakto, 1988 : 89).
Dan menurut Skinner, salah seorang ahli psikologi (1957), dari sekian banyak
ocehan anak (babbling), hanya bunyi-bunyian tertentu yang digunakan anak

7
yang diperkuat oleh orang-orang dewasa sekelilingnya, karena bunyi-bunyi itu
yang dipakai berkomunikasi, sedang bunyi-bunyi yang tidak berguna karena
tidak dipakai oleh orang-orang dewasa akan dilupakan atau dibuang dari
ingatan anak itu.
Namun menurut Chomsky, bila anak harus belajar hanya dengan sekedar
membiasakan saja, paling tidak diperlukan waktu tiga puluh tahun untuk
mampu menguasai 1000 kata saja. Kata Chomsky teori behaviorisme tidak
dapat menjelaskan fenomena belajar bahasa; teori ini tidak dapat menjelaskan
mengapa anak berhasil membuat kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka
dengar, atau melahirkan kata-kata baru atau susunan kalimat baru yang tidak
pernah diucapkan oleh orang tuanya. Menurut Chomsky, setiap anak mampu
menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan (preexistent
knowledge) yang telah diprogram secara genetik dalam otak kita. Pengetahuan
ini disebut L.A.D. atau Language Acquisition Device (Rakhmat, 1986 : 283).
Memang bahasa di dunia ini berbeda-beda tetapi mempunyai kesamaan
dalam struktur pokok yang mendasarinya, istilah yang dipakai oleh Chomsky
untuk ini adalah linguistik universal. Karena kemampuan inilah anak-anak
bisa mengenal hubungan diantara bentuk-bentuk bahasa ibunya dengan
bentuk-bentuk yang terdapat dalam tata bahasa struktur dalam yang sudah
terdapat pada kepalanya yang menyebabkan anak secara alamiah
mengucapkan kalimat-kalimat yang sesuai dengan peraturan bahasa mereka.
Begitu pula yang dikatakan Soblin, bahwa seorang anak lahir dengan
seperangkat prosedur dan aturan bahasa; namun ia tidak menganggap bahwa
yang dibawa lahir itu pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang
semesta atau yang biasa disebut linguistik universal ; prosedur-prosedur dan
aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang
anak untuk mengolah data linguistik, dan yang menjadi faktor penentu
perolehan bahasa ialah perkembangan umum kognitif dan mental anak (Utari
Subyakto, 1988 : 90).
Dengan bertambahnya kemampuan kognitif anak, ia mulai mampu
melepaskan diri dari situasi sekarang dan tempat ini dan mampu memikirkan

8
dirinya berada dalam waktu dan di tempat lain, kemajuan ini memungkinkan
anak untuk mengungkapkan makna-makna baru secara bertahap.
Yang menjadi bukti adanya kemampuan dasar berbahasa ialah dengan
ditemukannya daerah Broca dan Wernicke pada otak manusia. Rakhmat (1986
: 284) menjelaskan bahwa daerah Broca mengatur sintaksis, sehingga
gangguan atau kerusakan pada daerah ini menyebabkan orang berbicara
terpatah-patah dengan susunan kata yang tidak teratur, sedangkan kerusakan di
daerah Wernicke menyebabkan orang berbicara lancar tetapi tidak mempunyai
arti.
Dengan keterangan ini menjelaskan bahwa otak manusia itu tidaklah polos
seperti kertas yang kosong, tetapi lebih tepatnya merupakan organ yang telah
dilengkapi dengan program-program baca kemampuan-kemampuan bawaan
untuk kemudian bagaimana kemampuan ini akan ditambah atau
dikembangkan melalui proses belajar.
Di Philadelphia pernah diadakan penelitian tentang anak-anak bisu yang
tidak diajari bahasa isyarat, dan ditemukan ketika anak-anak itu berusia 3 atau
4 tahun mereka telah membuat bahasa isyarat tersendiri. Mereka dapat
membedakan subyek, predikat dan objek; dengan penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa dalam otak anak sudah tersedia prinsip-prinsip berbahasa
yang bukan merupakan hasil belajar.
2. Pemerolehan Bahasa Kedua
Pada masa kanak-kanak bisa dikatakan memperoleh bahasa, sebab anak-
anak mendapatkan kemampuan berbahasa itu tanpa sadar bahwa mereka
sedang menghimpun kaidah pemakaian bahasa sambil berkomunikasi dengan
lingkungannya (Soenardjie, 1989 : 131). Kebanyakkan orang di dunia ini tidak
hanya menggunakan satu bahasa saja dalam hidupnya, tidak mustahil ketika
kanak-kanak pun sudah terbiasa dengan lebih dari satu bahasa; misalkan
ketika di rumah dan di luar rumah, orang tuanya menggunakan bahasa yang
berbeda. Meskipun ketika kanak-kanak sudah mendapatkan dua bahasa,
misalnya; bahasa Indonesia dan bahasa daerah, tapi tetap saja keduanya
dianggap sebagai bahasa pertamanya (Subyakto, 1988 : 65). Orang yang
seperti ini bisa dikatakan sebagai dwibahasawan yang alamiah.

9
Mengenai istilah yang digunakan untuk pemeroleh bahasa pertama, jika
mendapat satu bahasa disebut ekabahasawan (monolingual), kalau yang
diperolehnya dua bahasa baik secara bersamaan ataupun berurutan anak itu
disebut dwibahasawan (bilingual). Kalau yang diperolehnya labih dari dua
bahasa secara berurutan anak itu disebut gandabahasawan (multilingual).
Jika pemerolehan bahasa pertama itu dilakukan tanpa kesadaran, maka
pemerolehan bahasa kedua itu dilakukan dengan kesadaran untuk
mempelajarinya (Soenardjie, 1989 : 131). Karena dengan kesadaran inilah,
maka secara teknik pemerolehan bahasa kedua itu bisa disebut kebelajaran
bahasa ke dua.
Menurut hipotesis kognitivisme, seorang dewasa yang memperoleh bahasa
ke dua juga mengalami proses yang sama seperti seorang anak, kecuali bahwa
orang dewasa itu tidak mengalami tahap mengoceh, tahap dua tiga kata, dan
sebagainya; tetapi mulai dengan menghubungkan bentuk dan fungsi bahasa;
dan bahwa ia belajar mengungkapkan konsep-konsep baru dengan
menggunakan bentuk-bentuk yang lama (Subyakto, 1988 : 92). Pemerolehan
bahasa kedua ditinjau dari cara mendapatkannya, dapat dibagi menjadi dua
bagian; pertama, yang disebut dengan perolehan bahasa kedua terpimpin,
yaitu, bahasa didapatkan melalui pengajaran secara formal. Kedua, perolehan
bahasa kedua secara alamiah, yaitu bahasa kedua didapat karena komunikasi
sehari-hari; secara bebas dari pengajaran atau pimpinan guru. Perolehan
seperti ini tidak ada keseragaman dalam caranya.

3. Urutan Perkembangan Pemerolehan Bahasa


Dalam pemerolehan bahasa pertama tentu saja tidak sekaligus langsung
bisa atau lancar berbahasa; akan tetapi ada tahap-tahap yang akan dilalui oleh
seorang anak. Seperti halnya perkembangan fisik dan kognitif seorang anak,
turut berkembang pula kemampuannya dalam berbahasa. Dalam urutan
perkembangan ini Tarigan (1988) membaginya atas tiga bagian: (a)
perkembangan pra sekolah, (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c)
perkembangan masa sekolah. Dengan rinciannya sebagai berikut.
a. Perkembangan Prasekolah

10
Perkembangan prasekolah ini dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian,
yaitu : (1) perkembangan pralinguistik; (2) tahap satu kata dan (3) ujaran
kombinasi permulaan.

b. Perkembangan Pralinguistik
Kecenderungan yang terjadi dalam pandangan orang bahwa
perkembangan bahasa itu dimulai ketika seorang anak mengucapkan kata
pertamanya. Padahal fakta membuktikan bahwa perkembangan bahasa
atau komunikasi seorang anak dimulai dari sejak lahir. Kenyataan ini
setidaknya didukung oleh dua fakta yang menunjang teori pembawaan
lahir, yaitu: (1) kehadiran pada waktu lahir, struktur-struktur yang
diadaptasi dengan baik bagi bahasa (walaupun pada mulanya tidak
digunakan untuk berbahasa); dan (2) kehadiran perilaku-perilaku sosial
umum dan juga kemampuan-kemampuan khusus bahasa pada beberapa
bulan pertama kehidupan (Tarigan, 1988 : 14) Mengutip dari Trevanthen
(1977) bahwa pada usia dua bulan sang anak memberikan responsi yang
berbeda-beda terhadap orang dan objek. Ini menunjukkan bahwa sejak
lahir bayi sudah diperlengkapi kemampuan untuk berinteraksi sosial.
Sering terjadi perilaku ibu dan anak memperlihatkan pola alternasi atau
perselang-selingan, sejenis sinkroni yang melibatkan kedua belah pihak.
Pada pasangan ibu dan anak cenderung terjadi pertukaran giliran dalam
vokalisasi. Jika ibu lebih banyak diam maka anak yang lebih banyak
bersuara. Demikian pula sebaliknya. Namun tumpang tindih bisa terjadi,
dalam artian anak dan ibu sama-sama bersuara; ketika keduanya tertawa,
sang ibu menegur anaknya yang sedang bersuara, atau ketika anak
terganggu dan pembicaraan ibu yang menenangkan, demikan penjelasan
yang disampaikan Schaffer. Menurut Tarigan (1988), selama tahun
pertama anak mengembangkan sejumlah konsep dan kemampuan yang
merupakan prasyarat penting bagi ekspresi linguistik.

c. Tahap Satu Kata

11
Pada tahap satu kata ini bukan berarti si anak hanya mampu
mengatakan satu kali atau satu bentuk kata saja tidak dengan bentuk kata
yang lain. Namun ia bisa saja mengucapkan kata yang berbeda dalam
kesempatan yang lain. Dan satu kata yang dimaksudkan disini ialah jika si
anak hanya mampu mengucapkan satu kata-satu kata saja dalam sebuah
kesempatan.
Pada tahap ini dikenal pula sebagai tahap satu kata satu frase, kira-kira
pada usia satu tahun seorang anak telah mengucapkan satu kata yang sama
dengan satu frase atau kalimat, contoh : Mam (Saya minta makan); Pa
(Saya mau papa di sini), Ma (Saya mau mama di sini). Dalam tahap ini
diperkirakan bahwa kata-kata yang diucapkan mempunyai tiga fungsi,
yaitu : (a) kata itu dihubungkan dengan perilakunya sendiri, atau suatu
keinginan untuk suatu perilaku; (b) untuk mengungkapkan perasaan dan
(c)untuk memberi nama kepada sesuatu benda (Subyakto,1988: 71). Yang
paling menarik dan mengesankan bahwa dalam tahap ini seorang anak
mampu mengekspresikan begitu banyak dengan kata yang begitu sedikit
(Tarigan, 1988 : 16).

d. Ujaran Kombinatori Permulaan


Setelah melewati tahap satu kata, anak akan mulai mengucapkan
ujaran ujaran kombinasi atau kata-kata yang digabungkan; dalam artian
anak sudah mulai mengucapkan lebih dari satu kata. Ujaran kombinasi ini
akan terus berkembang dari yang asalnya tidak berinfleksi, lambat laun
ujaran anak akan menuju perkembangan yang lebih baik, layaknya orang-
orang dewasa yang ada di sekelilingnya. Sebagai contoh dalam bahasa
Indonesia :
Pa mam Papa mamam Bapa makan
Ma mim Mam mimi Mama minum
Bahasa anak pada tahap ini sering disebut dengan bahasa telegrafik.
Seperti halnya telegram yang harus dibayar setiap katanya, maka dalam
hal ini anak akan memilih kata yang mengandung isi padat atau yang

12
mengandung isi penting (Tarigan,1988 : 18). Contoh : Nani rumah [Nani
di rumah], mama Bandung [mama ke bandung], dia pergi [dia sudah
pergi]. Untuk memahami bahasa anak pada masa ini perlu memahami
konteks dalam menginterpretasikan makna ucapan anak-anak. Tanpa
memperhatikan situasi, kita akan mudah salah mengartikan maksud
ucapan anak-anak.

e. Perkembangan Ujaran Kombinatori


Bahasa anak akan semakin berkembang, dengan bertambahnya
kemampuan anak untuk mengungkap Ujaran kombinasi. Pada tahap
perkembangan kali ini dapat dibagi kepada beberapa bagian, antara lain:
(1) perkembangan negatif, dalam artian anak telah mampu
mengungkapkan kalimat negatif berupa penolakan ataupun penyangkalan.
(2) perkembangan interogatif, atau perkembangan kalimat tanya. Ada tiga
tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan pertanyaan,
yaitu : (a) pertanyaan yang menuntut jawaban YA atau Tidak. (b)
pertanyaan yang menuntut informasi. (c) pertanyaan yang menuntut
jawaban salah satu dari yang berlawanan. (3) perkembangan
penggabungan kalimat, anak mampu merangkaikan kata-kata dengan lebih
banyak lagi. (4) Perkembangan sistem bunyi, pada mulanya anak kurang
jelas berujar; lambat laun bunyi ujarannya akan semakin jelas atau fasih.

f. Perkembangan Masa Sekolah


Perkembangan bahasa seorang anak akan lebih baik ketika ia telah
mengarungi bahtera sekolah. Karena dengan sekolah ia sudah mulai
bergaul baca berinteraksi sosial- dengan kawan-kawan sebayanya.
Semakin sering ia berinteraksi sosial dengan berbahasa maka anak akan
semakin mahir dalam berbahasa. Apalagi ketika sekolah dasar, karena
pengetahuan tentang ketatabahasaan sudah mulai dikenalkan.
Perkembangan bahasa pada masa-masa sekolah dapat dibedakan
dengan jelas dalam tiga bidang (Tarigan, 1988: 29), yaitu : (1) Struktur
bahasa, perluasan dan penghalusan terus-menerus mengenai semantik dan

13
sintaksis juga ke taraf yang lebih kecil, fonologi. (2) Pemakaian bahasa,
peningkatan kemampuan menggunakan bahasa secara lebih efektif
melayani aneka fungsi dalam situasi-situasi komunikasi yang beraneka
ragam; dan (3) Kesadaran metalinguistik, pertumbuhan kemampuan untuk
memikirkan, mempertimbangkan, dan berbicara mengenai bahasa sebagai
sandi atau kode formal.

B. Produksi Bahasa

Secara etimologis kata language production terdiri dari dua kata yaitu
language yang secara leksikal (Kamus Bahasa Inggris) berarti bahasa(Echols
dan Shadily, 1988: 348) sedangkan bahasa dalam Kamus Bahasa Indonesia
mengandung arti,

Sarana komunikasi untuk berbicara agar kita dapat saling mengerti apa yang
kita maksudkan; sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat
ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan konvensional yang
dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran;
perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara,
daerah, dsb.); percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun; tingkah laku
yang baik (Santoso dan Priyanto, 1995: 35).

Adapun production sudah menjadi bahasa kita dengan beda penulisan yaitu
produksi yang dalam Kamus Ilmiah berarti hal yang menghasilkan barang-
barang pembuatan; penghasilan; apa yang dihasilkan (diperbuat) (Partanto dan Al
Barry, 1994: 626). Namun mengenai pengertian produksi bahasa secara
terminologi ada beberapa varian definisi seperti:

(a) Sebagaimana Suherman (2005: 14) dalam bukunya bahwa produksi bahasa
ialah bagaimanakah kita merencanakan pengungkapan bahasa secara lisan
maupun tulisan (masalah produksi / the production of vocal sounds).
(b) Sedangkan yang dikemukakan oleh Sri Utari Subyakto adalah kemampuan
seseorang untuk mengungkapkan pikiran sendiri melalui alat vokal
maupun melalui tulisan (1988: 52).
(c) Kemudian Samsunuwiyati Marat dalam bukunya mengungkapkannya
dengan bagaimana manusia dapat menyampaikan pikiran dengan kata-
kata (produksi bahasa) (2005: 35).

14
(d) Levelt (1989) mengatakan events from intention to articulation (2007:
79) yang artinya adalah (proses) berlangsungnya maksud menjadi
artikulasi dengan menggambarkannya sebagai berikut:
Concept Formulation Articulation Monitoring

1. Proses Produksi Bahasa dalam Otak


Dalam proses produksi bahasa ini ada tiga bagian otak yang berperan penting
yaitu daerah Wernick yang bertanggung jawab pada lexical meaning atau
makna arti, daerah Broca bertanggung jawab pada grammatical planning atau
perencanaan tata bahasanya (2007: 82), dan daerah Motor Suplementer
(supplementary motor area) yang bertanggung jawab monitoring atau
mengawasi dan mengendalikan hasil ucapan (Cahyono, 1995: 259). Tahapan
prosesnya bisa kita lihat pada gambar di atas, namun singkatnya proses itu seperti
yang diungkapkan Cahyono yaitu, Berdasarkan tugas ketiga daerah itu, alur
penerimaan dan penghasilan balasan ujaran (ucapan) dapat disederhanakan sebagai
berikut: ujaran didengar dan dipahami melalui daerah Wernick, isyarat ujaran itu
dipindahkan ke daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan ujaran
itu. Kemudian sebuah isyarat tanggapan ujaran itu dikirim ke daerah motor untuk
menghasilkan ujaran secara fisik. Tentunya penyederhanaan itu mengabaikan
penyebutan hubungan rumit system saraf dalam memasok darah ke otak dan sifat
keterkaitan fungsi-fungsi otak (1995: 259).
2. Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal
Berbicara proses produksi bahasa maka kita akan berbicara pula hasil dari
produksi itu, hasil dari itu sendiri adalah bahasa dan bahasa sendiri secara umum
bisa kita klasifikasikan menjadi dua macam yaitu bahasa verbal dan non verbal.
Makna sederhana dari verbal adalah lisan sehingga bahasa verbal adalah bahasa
lisan dan sebaliknya bahasa yang tidak menggunakan lisan adalah bahasa non
verbal. Pada pembahasan selanjutnya kita akan menjelaskan beberapa macam
bahasa ditinjau dari konteks verbal dan non verbal.
3. Bahasa Lisan
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa bahasa lisan adalah bahasa verbal,
karena melihat pengertian bahasa di atas bahwa pada dasarnya bahasa ialah sistem
lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap), sehingga bahasa itu

15
ialah apa yang dilisankan, disebutkan juga bahwa linguistik melihat bahasa itu
adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang dituliskan, bagi linguistik
bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis sekunder. Bahasa lisan lebih
dahulu dari bahasa tulis (Chaer, 2003: 82).
4. Bahasa Tulisan
Ada yang mengatakan bahwa bahasa itu bukan tulisan, tulisan hanyalah
gambaran dari ujaran (ucapan). Tulisan adalah kurang lebih satu usaha yang
kurang mantap untuk secara grafis (tulisan) melukiskan ujaran dengan simbul-
simbul yang dipilih dan tersusun secara mana suka saja atau arbitrer (Alwasilah,
1983: 18). Jika kita mengacu pada pendapat Jurgen Ruesch dia mengklasifikasikan
isyarat non verbal menjadi tiga bagian yaitu, Pertama, bahasa tanda (sign
language) seperti acungan jempol untuk numpang mobil secara gratis dan bahasa
isyarat tuna rungu; kedua, bahasa tindakan (action language), semua gerakan
tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya,
berjalan; dan ketiga, bahasa objek (object language), pertunjukan benda, pakaian,
dan lambang nonverbal bersifat publik lainnya seperti ukuran ruangan, bendera,
gambar (lukisan), musik (misalnya marching band), dan sebagainya, baik
disengaja ataupun tidak (Mulyana, 2005: 317). Maka kita bisa berkesimpulan
bahwa bahasa tulisan adalah bahasa nonverbal karena pada hakekatnya tulisan itu
merupakan gambar yang disengaja.
5. Bahasa Tubuh ( Body Language )
Salah satu bahasa non verbal adalah bahasa tubuh atau body language,
sebagaimana yang dikutip Mulyana (2005: 317) bahwa Samovar dan Porter
menjelaskan, Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics),
suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa non verbal, Ray L. Bird
whistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan
mata), tangan, kepala, kaki dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan
sebagai isyarat simbolik. Karena kita hidup, semua anggota badan kita senantiasa
bergerak. Lebih dari dua abad yang lalu Blaise Pascal menulis bahwa tabiat kita
adalah bergerak; istirahat sempurna adalah kematian. Yang termasuk bahasa tubuh
ini seperti isyarat tangan, gerakan kepala, postur tubuh dan posisi kaki, juga
ekspresi wajah dan tatapan mata. Bahasa tubuh bisa kita simpulkan juga sebagai

16
bahasa isyarat (tuna rungu) karena menggunakan gerak anggota tubuh juga namun
secara alamiah dan tidak hanya digunakan oleh penderita tuna rungu. Untuk lebih
jelasnya kita akan menjelaskan bahasa isyarat pada pembahasan selanjutnya.
6. Bahasa Isyarat
Komunikasi tanpa kata-kata ialah bahasa non verbal seperti halnya bahasa
isyarat. Bahasa isyarat ini pun disebut kinesika (kinesics) juga karena
menggunakan gerak tubuh. Bahasa isyarat itu memiliki variasi, salah satu variasi
bahasa isyarat adalah emblem. Emblem merupakan tindakan sengaja untuk
membuat bahasa isyarat yang memiliki padanan pesan dalam bahasa verbal.
Makna emblem biasanya sudah diketahui secara konvensional dalam budaya
tertentu. Emblem sering digunakan untuk menggantikan bahasa verbal apabila
bahasa verbal tidak bisa disampaikan karena factor-faktor tertentu (Cahyono,
1995: 332). Kesimpulannya bahwa perbedaan antara bahasa tubuh dan bahasa
isyarat adalah bahasa isyarat mempunyai variasi emblem (tindakan sengaja) tidak
alamiah.
C. Language Comprehension

Dalam kebanyakan hal makna suatu ujaran dapat dipahami dari urutan kata
yang terdapat pada ujaran tersebut, atau dari ciri-ciri tertentu masing-masing kata
yang dipakai. Kalimat seperti; Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis, dapat
dipahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar atau terlihat oleh kita. Siapa
pun yang mendengar kalimat ini akan memberikan interpretasi makna yang sama,
yakni, adanya seorang lelaki, lelaki itu tua, dia dari dulu sampai sekarang bermain
sesuatu, dan sesuatu itu adalah tenis.

Pada kasus yang lain, tidak mustahil bahwa suatu kalimat yang tampaknya
sederhana ternyata memiliki makna yang rumit. Dalam kalimat (2), misalnya,
Lelaki dan wanita tua itu masih dapat bermain tenis, Kita tidak yakin apakah
lelaki itu juga tua seperti si wanita atau hanya wanitanya sajalah yang tua
sedangkan lelakinya tidak. Interpretasi ini muncul karena adjektiva tua dapat
berfungsi sebagai pewatas hanya pada nomina wanita saja atau pada frasa lelaki
dan wanita.

17
Dari contoh-contoh diatas tampak bahwa makna suatu kalimat ternyata tidak
hanya ditentukan oleh wujud permukaan yang kita dengar atau lihat saja tetapi
bahkan terutama oleh representasi yang mendasarinya. Dengan kata lain, suatu
kalimat tidak hanya memiliki struktur lahir tetapi juga memiliki struktur batin.
Perbedaan antara struktur lahir dengan struktur batin ini sangat penting
untuk pemahaman kalimat karena proses mental yang dilalui oleh manusia dalam
menaggapi kalimat-kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat-kalimat yang tidak
ambigu. Meskipun konsep struktur batin vs struktur lahir kini sudah tidak diikuti
lagi oleh penggagasnya. (Chomsky 1996), dalam kaitannya dengan komprehensi
ujaran kedua konsep ini rasanya masih sangat bermanfaat. Seseorang dapat
memahami suatu kalimat hanya bila dia memahami apa yang terkandung dalam
kalimat itu, bukan hanya terlihat atau terdengar dari kalimat tersebut.
1. Strategi memahami ujaran
Dalam memahami suatu ujaran, ada tiga faktor yang ikut membantu kita,
Pertama, faktor yang berkaitan dengan pengetahuan dunia. Sebagai anggota
masyarakat, manusia telah hidup bersama dengan alam sekitar. Alam sekitar
ini memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang kehidupan didunia.
Sebagian dari pengetahuan ini bersifat universal sedangkan sebagian yang lain
khusus mengenai masyarakat dimana kita tinggal. Pengetahuan umum bahwa
gajah berbadan besar membuat adanya anggapan bahwa gajah yang berukuran
seperti kambing adalah gajah kecil. Sebaliknya, anggapan bahwa semut
berbadan kecil menjudge bahwa semut yang panjangnya 2cm adalah semut
yang berbadan besar, dan sebagainya. Dengan demikian, ungkapan gajah kecil
dan semut besar harus dipahami dalam konteks tentang pengetahuan dunia.
Tidak jarang pula pengetahuan dunia ini merupakan satu-satunya faktor
yang membantu kita memahami isi suatu ujaran. Contoh;
a. He bought a pair of horse shoes
b. He bought a pair of alligator shoes
Dapat dipahami bahwa horse shoes pastilah sepatu yang dipakai oleh kuda
sedangkan alligator shoes adalah sepatu yang dibuat dari kulit buaya.
Pemahaman yang seperti ini semata-mata berdasarkan pengetahuan tentang

18
dunia dimana kita hidup, yakni bahwa didunia kita ini kuda memang banyak
yang memakai sepatu dan tidak ada buaya yang memakai sepatu. Kulit buaya
memang banyak yang dipakai untuk membuat sepatu dan tidak ada sepatu yang
dibuat dari kulit kuda.
Disamping pengetahuan tentang dunia, faktor-faktor sintaktik.juga berperan
dalam memahami ujaran. Seperti kalimat yang terdiri dari konstituen.
Konstituen ini juga memiliki struktur tertentu. Struktur tertentu ini yang
membantu kita dalam memahami ujaran. Dengan kata lain kita memakai
strategi-strategi sintatik untuk memahami suatu ujaran.
2. Ambiguitas
Untuk beberapa kasus, terkadang terdapat beberapa kalimat yang bermakna
lebih dari satu yang umumnya disebut sebagai kalimat yang ambigu atau taksa.
Dari segi pemrosesan untuk pemahaman, kalimat yang ambigu memerlukan
waktu yang lebih lama untuk diproses. Hal ini terjadi karena pendengaran
menerka makna tertentu tetapi terkaan dia salah, sehingga dia harus mundur
lagi untuk memproses ulang seluruh interpretasi dia. Contohnya, dalam
kalimat:
Muhammad alis punch was so powerful.
Dapat diterka bahwa yang dimaksud punch adalah pukulan muhammad ali
karena dari pengetahuan dunia kita tahu bahwa muhammad ali adalah seorang
mantan petinju tingkat dunia. Akan tetapi, begitu pembicara menambahkan
kata-kata baru sehingga seluruh kalimatnya berbunyi
Muhammad alis punch was so powerful
That every one at the party got drunk
Dengan ini menegaskan bahwa dugaan awal sebelumnya adalah keliru.
Ternyata kata punch bukan merujuk pada pukulan tetapi pada macam minuman
yang disuguhkan pada waktu pesta.
a. Macam-macam ambiguitas
Dilihat dari segi unsur leksikal dan struktur kalimatnya, ambiguitas
dapat dibagi menjadi dua macam:
1) Ambiguitas leksikal
2) Ambiguitas dramatikal

19
Sesuai dengan namanya ambiguitas leksikal adalah macam ambiguitas
yang penyebabnya adalah bentuk leksikal yang dipakai dalam kalimat.
Contoh: ini bisa (makna kalimat tersebut : Kita tidak tahu makna kata bisa
disini berarti racun atau sinonim dari kata dapat).
Ambiguitas gramatikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya
adalah bentuk struktur kalimat yang dipakai.
Contoh : Pengusaha wanita itu kaya (adalah ambigu karena pengusaha
wanita bisa berarti penguasaha yang berjenis kelamin wanita atau pengusaha
yang mendagangkan wanita)
b. Teori pemrosesan kalimat ambigu
Pada dasarnya ada dua macam teori mengenai pemrosesan kalimat yang
bermakna ganda. Teori pertama di namakan garden path theory (GPT).
Menurut teori frazier tahun 1987 ini,orang membangun makna berdasarkan
pengetahuan sintatik ada dua prinsipel dalam teori ini : 1) minimal
attachment principle (MAP) dan 2) late closure principle (LCP) . Pada MAP
orang menempelkan ( attach) tiap kata yang didengar pada struktur kalimat
yang ada pada bahasa tersebut jadi,seandainya kita baru saja mendengar we
dan kemudian mendengar kata knew maka kita menempelkan knew ini pada
we sehingga terbentuklah FN-V we knew karena kita ketahui bahwa suatu
FN umumnya diikuti oleh FV. Kemudian kita mendengar kata tommy yang
tentunya kita tempelkan pada we knew karna suatu verba diikuti oleh suatu
FN yang terjadi pada proses ini adalah bahwa kita menempelkan kata demi
kata secara minimal,artinya menempelkan pada kata yang terdekat
sebelumnya.
Pada LCP kita menempelkan kata-kata yng masuk bila memang
strukturnya memungkinkan . karena kata well memang dimungkinkan untuk
tidak menekan pada we knew tommy, kita dapat menempelkan kata itudan
tidak ada makna yang berubah kecuali tambahan mengenai seberapa jauh
kita mengenal tommy. Dengan demikian maka kita pahami kalimat tersebut
sebagai We knew tommy well. Akan tetapi,kata terakhir yang masuk bisa
juga bukan well tetapi escaped sehingga terbentuklah kalimat We knew
tommy escaped.

20
Dengan masuknya kata escape maka seluruh interpretasi sebelumnya
ternyata menjadi keliru. Tommy tidak lagi menjadi komplomen dari verba
knew tetapi merupakan subjek dari anak kalimat tommy escaped.
Teori yang lain adalah constrainsatis faction theory. Menurut teori ini,
orang sejak semula memiliki pengetahuan tentang kegandaan makna suatu
kata karena pada tiap kata yang didengar akan diberikan fitur-fiturnya.

D. Hubungan antara bahasa, pikiran, perasaan, dan aksi

Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa,


pola pikir, emosi hingga aksi akan diuraikan dibawah ini. Teori Whorf dan
Sapir akan menjadi pemicu atas variabel-variabel lainnya dimana menurut
hipotesis mereka bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi
dari bahasa tertentu yang digunakan. Dengan kata lain dunia mental suatu
negara berbeda dengan dunia mental negara lain karena mereka menggunakan
bahasa yang berbeda.

1. Language and Cognition

When I think in language, there arent meanings going through my mind


in addition to the verbal expression: the language is itself the vehicle of
thought
Beberapa ahli mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran
atau lebih disempitkan lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli
tersebut antara lain seperti Von Humboldt, Edward Saphir, Benyamin Whorf
dan Ernst Cassier.

Sapir dan Whorf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang emiliki
kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Mereka
menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.

c. Linguistic Relativity, yang menyatakan bahwa perbedaan struktur baasa


secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa
(nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan
pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut

21
d. Linguistic Determinism, yang menyatakan bahwa struktur bahasa
mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual.
Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan
struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi


dan melalui aspek formal bahasa, misalnya tata bahasa dan leksikon.
Whorf mengatakan

Gramamtical and lexical resources of individual languages heavily


constrain the conceptual representations available to their
speakers.
Tata bahasa dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu
representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain
habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam
konsep Whorf dan Sapir masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi
dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berfikir.

Bahasa bagi Whorf merupakan pemandu realitas sosial, walaupun


bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan sosial, bahasa secara kuat
mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses
sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam
dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahami, tetapi sangat
ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi
masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa tertentu yang cukup sama untuk
mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat
dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan
karakteristik yang berbeda. Singkat kata dapat disimpulkan bahwa
pandangan manuia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena
bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara
selektif idividu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan
oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang

22
menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula
(Rakhmat, 1999).

Disisi lain terdapat pula asumsi bahwa pikiran mempengaruhi


bahasa, hal ini didukung oleh tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi
kita yaitu, Jean Piaget. Melalui observasi terhadapt perkembangan aspek
kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitig anak akan
mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut
maka akan semakin tinggi bahasa yang digunakannya.

2. Language, Emotion, and Action

Berkaitan dengan hipotesis Whorf dan Sapir sebelumnya, hal ini


berimplikasi pada keterbatasan kosa kata yang menyebabkan gangguan
psikologis. Sedikitnya kata emosi yang dimiliki oleh banyak orang
membuat mereka lemah dalam menggambarkan emosi mereka dengan
kata-kata mereka. Padahal kemampuan untuk verbalisasi emosi ini sangat
berguna untuk kesehatan mental mereka. Mampu memberi nama emosi
berarti dapat memilikinya untuk digunakan sesuai dengan fungsinya dan
tidak terganggu dengan kehadirannya. Danel Goleman (1995) sudah
mendeteski pentingnya masalah ini sejak awal. Kemampuan memberi
nama pada emosi adalah salah satu bagian integral kecerdasan Empsi
dalam aspek Self Awareness. Di sini individu mampu mengamati diri
menghimpun kosa kata untuk melabeli perasaanya, serta mengetahio
hubungan antara pikiran, perasaan dan reaksi. Mengetahui aneka ragam
perasaan yang muncul memungkinkan individu untuk mengenal diri
mereka sendiri.

Dengan membahasakannya dalam kata-kata, mereka menjadi tahu


bahwa emosi itu benar-benar nyata ada dalam diri mereka. Seorang ahli
Psikolinguistik, Alfred Korzybsky mengatakan beberapa gangguan jiwa
disebabkan oleh keterbatasan penggunaan kata oleh individu yang tidak
sanggup mengungkapkan realitas dengan cermat. Yang diketahuinya hanya

23
dua pilihan yang ekstrem. Gembira-sedih, tersanjung-marah, atau sehat-
sakit. Padahal realitas tidaklah demikian. Hidup tidak terpisah menjadi
kutub ekstrim negatif dan ekstrim positif. Realitas sangat kaya sekali
dengan warna-warna emosi.

Disi lain terkadang tidak semua emosi dapat digambarkan melalui


generalisasi bahasa, Levi (1973, dalam Wirzbicka, 1995) melalui studinya
di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada kesamaan antara perasaan buruk
(sad feeling) dalam pemahaman orang tahiti dengan kata sedih (sad) dalam
kosa kata bahasa inggris. Orang Tahiti lebih menonjolkan perasaan
moeme (sebuah perasaan kesepian dan kesendirian) daripada rasa sedih
yang oleh kosa kata Inggris dinamakan dengan sad. Levi menambahkan
bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat
merasakan moemoe dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa
merasakan sad, tetapi menandakan bahwa kedua perasaan itu mempunyai
satus yang berbeda sehingga tidak diparalelkan. Jika perasaan buruk (bad
feeling) bagi orang Inggris adalah sad, maka bagi orang Tahiti adalah
moemoe.

Perasaan emosi sedih muncul tanpa pemaknaan yang jelas. Mereka


belum mengetahui apa yang menyebabkan emosi tersebut muncul dan
bagaimana hubungannya dengan reaksi yang mereka lakukan. Dengan
mengenal emosi yang sedang berlangsung, maka emosi tersebut dapat
dikendalikan.

3
Who are considered Psycholinguists and what are their concerns?

Bahasa sebagai objek studi ternyata menarik minat berbagai pakar dari
berbagai disiplin ilmu. Banyak pakar psikologi yang tertarik untuk mempelajari
bahasa secara mendalam. Namun, sebaliknya banyak pakar linguistik yang juga
harus belajar psikologi agar pemahamannya tentang bahasa sebagai objek

24
kajiannya semakin menjadi baik. Hal itu tidak mengherankan karena bahasa
memang dapat menjadi kajian psikologi dan jelas dapat menjadi kajian linguistik.
Oleh sebab itu, pakar dari kedua disiplin itu kemudian bersama-sama menjadikan
bahasa sebagai objek studinya.

Sejak zaman Panini dan Socrates (Simanjuntak, 1987) kajian bahasa dan
berbahasa banyak dilakukan oleh sarjana yang berminat dalam bidang ini. Pada
masa lampau ada dua aliran yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
psikologi dan linguistik. Aliran yang pertama adalah aliran empirisme (filsafat
postivistik) yang erat berhubungan dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme
cenderung mengkaji bagian-bagian yang membentuk suatu benda sampai ke
bagian-bagiannya yang paling kecil dan mendasarkan kajiannya pada
faktor-faktor luar yang langsung dapat diamati. Aliran ini sering disebut sebagai
kajian yang bersifat atomistik dan sering dikaitkan dengan asosianisme dan
positivisme.

Aliran yang kedua adalah rasionalisme (filsafat kognitivisme) yang


cenderung mengkaji prinsip-prinsip akal yang bersifat batin dan faktor bakat atau
pembawaan yang bertanggung jawab mengatur perilaku manusia. Aliran ini
mengkaji akal sebagai satu kesatuan yang utuh dan menganggap batin atau akal
ini sebagai faktor yang penting untuk diteliti guna memahami perilaku manusia.
Oleh sebab itu, aliran ini dianggap bersifat holistik dan dikaitkan dengan
nativisme, idealisme, dan mentalisme.

Jauh sebelum psikolinguistik berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu


sebenarnya telah banyak dirintis kerja sama dalam bidang linguistik yang
memerlukan psikologi dan sebaliknya kerja sama dalam bidang psikologi yang
membutuhkan linguistik. Hal itu tampak, misaInya sejak zaman Wilhelm von
Humboldt, seorang ahli linguistik berkebangsaan Jerman yang pada awal abad 19
telah mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Von Humboldt
memperbandingkan tata bahasa dari bahasa yang berbeda dan memperbandingkan
perilaku bangsa penutur bahasa itu. Hasilnya menunjukkan bahwa bahasa

25
menentukan pandangan masyarakat penuturnya. Pandangan Von Humboldt itu
sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme yang menganggap bahasa bukan
sebagai satu bahan yang siap untuk dipotong-potong dan diklasifikasikan seperti
anggapan aliran empirisme. Tetapi, bahasa itu merupakan satu kegiatan yang
mempunyai prinsip sendiri dan bahasa manusia merupakan variasi dari satu tema
tertentu.

Pada awal abad 20, Ferdinand de Saussure (1964) seorang ahli linguistik
bangsa Swis telah berusaha menjelaskan apa sebenarnya bahasa itu dan
bagaimana keadaan bahasa itu di dalam otak (psikologi). Dia memperkenalkan
konsep penting yang disebutnya sebagai langue (bahasa), parole (bertutur) dan
langage (ucapan). De Saussure menegaskan bahwa objek kajian linguistik adalah
langue, sedangkan parole adalah objek kajian psikologi. Hal itu berarti bahwa
apabila kita ingin mengkaji bahasa secara tuntas dan cermat, selayaknya kita
menggabungkan kedua disiplin ilmu itu karena pada dasarnya segala sesuatu yang
ada pada bahasa itu bersifat psikologis.

Edward Sapir seorang sarjana Linguistik dan Antropologi Amerika awal


abad ke-20 telah mengikutsertakan psikologi dalam kajian bahasa. Menurut Sapir,
psikologi dapat memberikan dasar yang kuat bagi kajian bahasa. Sapir juga telah
mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Simpulannya ialah bahasa
itu mempengaruhi pikiran manusia. Linguistik menurut Sapir dapat memberikan
sumbangan penting bagi psikologi gestalt dan sebaliknya, psikologi gestalt dapat
memberikan sumbangan bagi linguistik.

Pada awal abad ke-20, Bloomfield, seorang linguis dari Amerika Serikat
dipengaruhi oleh dua buah aliran psikologi yang bertentangan dalam menganalisis
bahasa. Pada mulanya, ia sangat dipengaruhi oleh psikologi mentalisme dan
kemudian beralih pada psikologi behaviorisme. Karena pengaruh mentalisme,
Bloomfield berpendapat bahwa bahasa itu merupakan ekspresi pengalaman yang
lahir karena tekanan emosi yang yang sangat kuat. Karena tekanan emosi yang
kuat itu, misaInya, munculnya kalimat seruan.

26
Misalnya:

Aduh, sakit, Bu!

Kebakaran, kebakaran, tolong, tolong!

Copet, copet!

Awas, minggir!

Karena seseorang ingin berkomunikasi, muncullah kalimat-kalimat


deklaratif. Misalnya: Ibu sedang sakit hari ini. Ayah sekarang membantu ibu di
dapur. Banyak karyawan bank yang terkena PHK. Para buruh sekarang sedang
berunjuk rasa. Karena keinginan berkomunikasi itu bertukar menjadi pemakaian
komunikasi yang sebenarnya, maka mucullah kalimat yang berbentuk pertanyaan.

Misalnya:

Apakah Ibu sakit?

Siapakah presiden keempat Republik Indonesia?

Mengapa rakyat Indonesia telah berubah menjadi rakyat yang mudah marah?

Apa arti likuidasi?

Tahukah Anda makna lengser keprabon?

Sejak tahun 1925, Bloomfield meninggalkan mentalisme dan mulai


menggunakan behaviorisme dan menerapkannya ke dalam teori bahasanya yang
sekarang terkenal dengan nama linguistik struktural atau linguistik taksonomi.

Jespersen, seorang ahli linguistik Denmark terkenal telah menganalisis


bahasa dari suclut panclang mentalisme dan yang seclikit berbau behaviorisme.
Menurut jespersen, bahasa bukanlah sebuah entitas dalam pengertian satu benda
seperti seekor anjing atau seekor kuda. Bahasa merupakan satu fungsi manusia
sebagai simbol di dalam otak manusia yang melambangkan pikiran atau
membangkitkan pikiran. Menurut Jespersen, berkomunikasi harus dilihat dari
sudut perilaku (jadi, bersifat behavioris). Bahkan, satu kata pun dapat

27
dibandingkan dengan satu kebiasaan tingkah laku, seperti halnya bila kita
mengangkat topi.

Di samping ada tokoh-tokoh linguistik yang mencoba menggunakan


psikologi dalam bekerja, sebaliknya ada ahli psikologi yang memanfaatkan atau
mencoba menggunakan linguistik dalam bidang garapannya, yakni psikologi.
John Dewey, misalnya, seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang dikenal
sebagai pelopor empirisme murni, telah mengkaji bahasa dan perkembangannya
dengan cara menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak-kanak berdasarkan
prinsip-prinsip psikologi. Dewey menyarankan, misaInya, agar penggolongan
psikologi kata-kata yang diucapkan anak-anak dilakukan berdasaran arti kata-kata
itu bagi anak-anak dan bukan berdasarkan arti kata-kata itu menurut orang dewasa
dengan bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini berdasarkan
prinsip-prinsip psikologi, akan dapat ditentukan perbandingan antara kata kerja
bantu dan kata depan di satu pihak dan kata benda di pihak lain. Jadi, dengan
demikian kita dapat menentukan kecenderungan pikiran (mental) anak yang
dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan linguistik itu. Kajian seperti itu
menurut Dewey akan memberikan bantuan yang besar bagi psikologi pada
umumnya.

Wundt, seorang ahli psikologi Jerman yang terkenal sebagai pendukung


teori apersepsi dalam psikologi menganggap bahwa bahasa itu sebagai alat untuk
mengungkapkan pikiran. Wundt merupakan ahli psikologi pertama yang
mengembangkan teori mentalistik secara sistematis dan sekarang dianggap
sebagai bapak psikolinguistik klasik. Menurut Wundt, bahasa pada mulanya lahir
dalam bentuk gerak-gerik yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan-perasaan
yang sangat kuat secara tidak sadar. Kemudian terjadilah pertukaran antara
unsur-unsur perasaan itu dengan unsur-unsur mentalitas atau akal. Komponen akal
itu kemudian diatur oleh kesadaran menjadi alat pertukaran pikiran yang
kemudian terwujud menjadi bahasa. Jadi, menurut Wundt, setiap bahasa terdiri
atas ucapan-ucapan bunyi atau isyarat-isyarat lain yang dapat dipahami
menembus pancaindera yang diwujudkan oleh gerakan otot untuk menyampaikan

28
keadaan batin, konsep-konsep, perasaan-perasaan kepada orang lain. Menurut
Wundt satu kalimat merupakan satu kejadian pikiran yang mengejawantah secara
serentak. Jika kita perhatikan maka terdapat keselarasan antara teori evolusi
Darwin dengan teori mentalisme bahasa Wundt itu.

Teori performansi bahasa yang dikembangkan Wundt itu didasarkan pada


analisis psikologis yang dilakukannya yang terdiri atas dua aspek, yakni (1)
fenomena fisis yang terdiri atas produksi dan persepsi bunyi, dan (2) fenomena
batin yang terdiri atas rentetan pikiran. Jelaslah bahwa analisis Wundt terhadap
hubungan fenomena batin dan fisis itu bagi psikologi pada umumnya bergantung
pada fenomena linguistik. Itulah sebabnya Wundt berpendapat bahwa interaksi di
antara fenomena batin dan fenomena fisis itu akan dapat dipahami dengan lebih
baik melalui kajian struktur bahasa.

Titchener, seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris yang menjadi


rakyat Amerika menggambarkan dan menyebarluaskan ide Wundt itu di Amerika
Serikat yang kemudian terkenal dengan psikologi kesadaran atau psikologi
introspeksi. Pengenalan dan penyebaran teori introspeksi itu kemudian telah
mencetuskan satu revolusi psikologi di Amerika Serikat dengan berkembangnya
teori behaviorisme di mana kesadaran telah disingkirkan dari psikologi dan dari
kajian bahasa.

Pillsbury dan Meader, ahli psikologi mentalisme Amerika Serikat telah


mencoba menganalisis bahasa dari sudut psikologi. Analisis kedua sarjana
psikologi itu sangat baik ditinjau dari segi perkembangan neuropsikolinguistik
dewasa ini. Menurut Pillsbury dan Meader bahasa adalah satu alat untuk
menyampaikan pikiran, termasuk gagasan, dan perasaan. Mengenai
perkembangan bahasa, Meader mengatakan bahwa manusia mula-mula berpikir
kemudian mengungkapkan pikirannya itu dengan kata-kata dan terjemahan.
Untuk memahaminya, diperlukan pengetahuan tentang bagaimana kata-kata
mewujudkan dirinya pada kesadaran seseorang, bagaimana kata-kata itu
dihubungkan dengan ide-ide jenis lain yang bukan verbal, juga bagaimana ide-ide

29
itu muncul dan terwujud dalam bentuk imaji-imaji, bagaimana gerakan ucapan itu
dipicu oleh ide itu dan akhirnya bagaimana pendengar atau pembaca
menerjemahkan kata-kata yang didengarnya atau kata-kata yang dilihatnya ke
dalam pikirannya sendiri. Tampaklah dalam pola pikir Meader itu terdapat
keselarasan antara tujuan psikologi mental dengan tujuan linguistik seperti yang
dikembangkan oleh Chomsky.

Watson, seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika Serikat telah


menempatkan perilaku bahasa pada tingkatan yang sama dengan perilaku manusia
yang lain. Dalam pandangan Watson, perilaku bahasa itu sama saja dengan sistem
otot saraf yang berada dalam kepala, leher, dan bagian dada manusia. Tujuan
utama Watson pada mulanya adalah menghubungkan perilaku bahasa yang
implisit, yaitu pikiran dengan ucapan yang tersurat, yaitu bertutur. Akhirnya
Watson menyelaraskan perilaku bahasa itu dengan kerangka respon yang
dibiasakan menurut teori Pavlov. Menurut penyelarasan itu kata-kata telah
diperlakukan sebagai pengganti benda-benda yang telah tersusun di dalam satu
sisi respon yang dibiasakan.

Buhler seorang ahli psikologi dari Jerman mengatakan bahwa bahasa


manusia mempunyai tiga fungsi, yaitu ekspresi, evokasi, dan representasi. la
menganggap definisi bahasa yang diberikan Wundt agak berat sebelah. Menurut
Buhler, ada lagi fungsi bahasa yang sangat berlainan yang tidak dapat dimasukkan
ke dalam gerakan ekspresi, yaitu koordinasi atau penyelarasan. Jadi, satu nama
dikoordinasikan (diselaraskan) dengan isi atau kandungan makna. Dengan
demiikian Buhler mendefiniskan bahasa menurut fungsinya.

Weiss, seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika yang terkenal dan


sealiran dengan Watson, telah menggambarkan kerja sama yang erat antara
psikologi dan linguistik. Hal tersebut dibuktikan dengan kontak media artikel
antara Weiss dan Bloomfield serta Sapir. Weiss mengakui adanya aspek mental
bahasa, tetapi karena aspek mental itu bersifat abstrak (tak wujud) sukarlah untuk
dikaji atau didemontrasikan. Oleh sebab itu, Weiss menganggap bahwa bahasa itu

30
sebagai wujud perilaku apabila seseorang itu menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sosialnya. Sebagai suatu bentuk perilaku, bahasa itu memiliki ciri-ciri
biologis, fisiologis, dan sosial. Sebagai alat ekspresi, bahasa itu memiliki tenaga
mentalitas. Weiss merupakan seorang tokoh yang merintis jalan ke arah lahirnya
disiplin Psikolinguistik. Dialah yang telah berjasa mengubah pikiran Bloomfield
dari penganut mentalisme menjadi penganut behaviorisme dan menjadikan
Linguistik Amerika pada tahun 50-an berbau behaviorisme. Menurut Weiss, tugas
seorang psikolinguis sebagai peneliti yang terlatih dalam dua disiplin ilmu, yakni
psikologi dan linguistik, adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu alam pengganti


untuk alam nyata yang secara praktis tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
2. Menunjukkan bagaimana perilaku bahasa itu mewujudkan sejenis organisasi
sosial yang dapat ditandai sebagai sekumpulan organisasi kecil yang banyak.
3. Menerangkan bagaimana menghasilkan satu bentuk organisasi dan di dalam
organisasi itu pancaindera dan otot-otot seseorang dapat ditempatkan agar
dapat dipakai dan dimanfaatkan oleh orang lain.
4. Menjelaskan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu bentuk perilaku
yang menjadi fungsi setiap peristiwa di alam ini yang telah terjadi, sedang
terjadi, atau akan terjadi, di masa depan.

Kantor, seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika mencoba meyakinkan


ahli-ahli linguistik di Amerika bahwa kajian bahasa tidaklah menjadi monopoli
ahli Linguistik. la mencela keras beberapa ahli filologi yang selalu berteriak agar
ahli psikologi keluar dari kajian bahasa yang menurut ahli filologi tersebut bukan
bidang garapan ahli psikologi. Menurut Kantor, bahasa merupakan bidang
garapan bersama yang dapat dikaji baik oleh ahli psikologi maupun oleh ahli
bahasa. Kantor mengkritik psikologi mentalisme yang menurut dia psikologi
semacam itu tidak mampu menyumbangkan apa-apa kepada linguistik dalarn
mengkaji bahasa. Bahasa tidak boleh dianggap sebagai alat untuk menyampaikan
ide, keinginan, atau perasaan, dan bahasa bukanlah alat fisis untuk proses mental,
melainkan perilaku seperti halnya perilaku manusia yang lain.

31
Caroll, seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang sekarang merupakan
salah satu tokoh psikolinguistik modern telah mencoba mengintegrasikan
fakta-fakta yang ditemukan oleh linguistik murni seperti unit ucapan, keteraturan,
kadar kejadian dengan teori psikologi pada tahun 40-an. Kemudian ia
mengembangkan teori simbolik, yakni teori yang mengatakan bahwa respon
kebahasaan harus lebih dulu memainkan peranan dalam keadaan isyarat sehingga
sesuatu menjelaskan sesuatu yang lain dengan perantaraan. Keadaan isyarat itu
haruslah sedemikian rupa sehingga organisme dengan sengaja bermaksud agar
organisme lain memberikan respon kepada isyarat itu sebagai satu isyarat. Dengan
demikian, respon itu haruslah sesuatu yang dapat dilahirkan baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh mekanisme-mekanisme.

Para ahli linguistik dan psikologi yang dibicarakan di atas telah mencoba
merintis hubungan atau kerja sama antara psikologi dan linguistik. Sebenarnya
kerja sama yang benar-benar terjadi antara ahli psikologi dan linguistik itu telah
terjadi sejak tahun 1860, yaitu ketika Heyman Steinhal, seorang ahli psikologi
bertukar menjadi ahli linguistik dan Moritz Lazarus seorang ahli linguistik
bertukar menjadi ahli psikologi. Mereka berdua menerbitkan jurnal yang khusus
memperbincangkan psikologi bahasa dari sudut psikologi dan linguistik. Steinhal
mengatakan bahwa ilmu psikologi tidaklah mungkin hidup tanpa ilmu bahasa.

Pada tahun 1901, di Eropa, Albert Thumb seorang ahli linguisstik telah
bekerja sama dengan seorang ahli psikologi Karl Marbe untuk menerbitkan buku
yang kemudian dianggap sebagai buku psikolinguistik pertama yang diterbitkan,
tentang penyelidikan eksperimental mengenai dasar-dasar psikologi pembentukan
analogi pertuturan. Kedua sarjana itu menggunakan kaidah-kaidah psikologi
eksperimental untuk meneliti hipotesis-hipotesis linguistik. Hal itu menunjukkan
kukuhnya disiplin psikolinguistik. Salah satu hipotesis yang mereka teliti
kebenarannya adalah keadaan satu rangsangan kata yang cenderung berhubungan
dengan satu kata lain apabila kedua-duanya termasuk ke dalam kategori yang
sama; kata benda berhubungan dengan kata benda yang lain; kata sifat
berhubungan dengan kata sifat yang lain. Di Amerika Serikat usaha ke arah kerja

32
sama secara langsung antara, ahli linguistik dan ahli psikologi dirintis oleh Social
Science Researcb Council yang menganjurkan diadakannya seminar antara ahli
psikologi dan linguistik secara bersama-sama. Osgood (ahli psikologi), Sebeok
(ahli linguistik) dan Caroll (ahli psikologi) mengadakan seminar bersama-sama.
Hasil dari seminar tersebut adalah terbitnya buku Psikolinguistik yang berjudul
Psycholinguistic, a survey of theory and research problems pada tahun 1954 yang
disunting olch Osgood dan Sebeok. Meskipun demikian, nama disiplin baru
Psikolinguistik itu muncul bukan karena seminar itu, karena sebenarnya Pronko
pada tahun 1946 telah memberikan ulasan tentang Psikolinguistik dengan
teknik-teknik penyelidikannya.

Psikolinguistik benar-benar dianggap sebagai disiplin baru, sebagai ilmu


tersendiri pada tahun 1963, yaitu ketika Osgood menulis satu artikel dalam jurnal
American Psychology yang berjudul On understanding and creating sentences.
Dalam tulisan itu, Osgood menjelaskan teori baru dalam behaviorisme yang
dikenal dengan neobehaviorisme yang dikembangkan oleh Mowrer, yakni seorang
ahli psikologi yang sangat berminat untuk mengkaji bahasa. Pandangan Osgood
itu kemudian terkenal dengan teori mediasi, yaitu suatu usaha mengkaji peristiwa
batin yang menengahi stimulus dan respon yang dianggap oleh Skinner sebagai
usaha untuk memperkukuh peranan akal ke dalam psikologi yang oleh kaurn
behaviorisme dianggap tidak ilmiah karena peristiwa itu tidak dapat diamati
secara langsung.

Teori Osgood yang disebut sebagai teori mediasi itu telah dikritik
habis-habisan oleh Skinner yang menuduhnya sebagai pakar yang mencoba
mempertahankan mentalisme yang sebelumnya telah disingkirkan oleh
behaviorisme. Osgood merasakan kekuatan teorinya itu dengan dukungan
Lenneberg, yang merupakan produk pertama mahasiswa yang digodok dalam
kajian Psikolinguistik. Lenneberg berpenclapat bahwa manusia memiliki
kecenderungan biologis yang khusus untuk memperoleh bahasa yang tidak
dimiliki oleh hewan. Alasan Lenneberg untuk membuktikan hal tersebut adalah
sebagai berikut:

33
1. terdapatnya pusat-pusat yang khas dalam otak manusia;
2. perkembangan bahasa yang sama bagi semua bayi;
3. kesukaran yang dialami untuk menghambat pertumbuhan bahasa pada
manusia;
4. bahasa tidak mungkin diajarkan kepada makhluk lain;
5. bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (language universal).

Miller pada tahun 1965 memastikan bahwa kelahiran disiplin baru


Psikolinguistik ticlak dapat dielakkan lagi. Menurut Miller, tugas Psikolinguistik
adalah menguraikan proses psikologis yang terjadi apabila seseorang itu
menggunakan kalimat. Pendapat Miller itu sangat berorientasi pada mentalisme
Chomsky dan teori Lenneberg, sedangkan Osgood dan Sebeok masih berbau
neobehaviorisme. Miller dengan tegas menolak pendapat Osgood clan Sebeok
yang banyak mendasarkan pada prinsip mekanis pembelajaran menurut
behaviorisme. Miller memperkenalkan teori linguistiknya Chomsky kepada pakar
psikologi. Miller juga mengkritik pakar Psikologi yang terlalu mengandalkan
kajian makna. Namun, perkembangan Psikolinguistik pada awal abad ke-20 itu
memang masih didominasi oleh Psikologi Behaviorisme maupun
Neobehaviorisme.

Teori psikolinguistik secara radikal setidak-tidaknya mengalami lima


perubahan arah setelah berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu tersendiri pada tahun
50-an (Titone, 1981). Perubahan itu dapat disarikan sebagai berikut.

Periode 1

Selama tahun 50-an teori Psikolinguistik dipengaruhi oleh pandangan teori


behavioristik seperti yang dikembangkan Skinner dan teori taksonomi struktural
seperti yang dikembangkan Bloomfield.

Periode 2

Selama tahun 60-an dan awal tahun 70-an pandangan mentalistik kognitivis dari
transformasionalis seperti Chomsky mendominasi semua aspek Psikolinguistik.

34
Periode 3

Perubahan tekanan pada periode ini menuju ke arah pragmatik komunikatif.


Aspek bahasa dalam lingkaran teori transformasional secara mendalam masih
mempengaruhi teori Psikolinguistik dan juga pengajaran bahasa kedua pada tahun
70-an.

Periode 4

Pada akhir dekade terakhir pandangan Pragmatik atau Sosiolinguistik menjadi


arus utama pada periode ini.

Periode 5

Pada tahun-tahun terakhir diusulkan model integratif yang terdiri atas komponen
behavioral dan kognitif serta ciri kepribadian.

35
4
What are the contributions of psycholinguistics to LT
and LL?

Studi Psikolinguistik telah memberikan kontribusi yang signifikan terdapat


proses belajar mengajar bahasa. Kontribusi yang cukup nyata dapat dilihat dari
para ahli tidak hentinya melahirkan beberapa metode yang hakikatnya merupakan
pengembangan dari pendahulu mereka seperti teori belajar bahasa yang
berorientasi pada proses, dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa belajar bahasa
pada hakikatnya adalah proses. Proses itu meliputi pembentukan kebiasaan,
induksi, inferensi, dan generalisasi. Pada bagian lain, teori belajar bahasa yang
berorientasi pada kondisi menjelaskan bahwa pada hakikatnya belajar bahasa
terjadi dalam sebuah konteks. Konteks itu dapat berwujud konteks hubungan
manusiawi maupun konteks fisik. Metode belajar bahasa yang didasarkan pada
teori belajar bahasa, umumnya dikembangkan dari salah satu matra tersebut atau
dapat juga dari kedua-duanya. Sebagai contoh metode pembelajaran bahasa yang
didasarkan pada teori belajar bahasa adalah metode Alamiah dan Respon Fisik
Total.

Seiring dengan perkembangan metode, hal yang demikian berefek pada


kualitas guru pada konteks yang nyata, baik dalam sosial maupun untuk tujuan
profesional. Guru dapat menerapkan pendekatan dalam pengajaran bahasa dengan
melihat dari sisi peserta didik. Misalnya pendekatan yang bersifat dengan teori
tertentu, seperti behavioral atau mentalis. Semua upaya dalam menerapkan
pendekatan dapat mencapai tujuan yang optimal yaitu siswa dapat berbahasa
dengan baik dan benar. Psikolinguistik yang didalamnya merangkum beberapa
pendekatan dapat membantu guru dalam membuat perencanaan pengajaran yang
apik untuk setiap pertemuan. Sehingga bertujuan akhir guru dapat memprogram
pengajaran bahasa sedemikian rupa.

36
Bahkan kurikulum (pembelajaran bahasa) sendiri tidak lepas dari ranah
Psikolinguistik. Menurut Dubin dan Olshtain yang dikutip oleh Djunaidi (1987 :
54) , kurikulum berisi deskripsi secara luas mengenai tujuan tujuan umum
dengan menunjukan filsafat pendidikan dan budaya secara keseluruhan yang
diterapkan untuk berbagai bidang studi, dalam hubungan ini, disertai landasan
teori tentang bahasa dan belajar bahas.

Psikolinguistik diimplementasikan pada mata pelajaran yang tercermin


dalam butir butir kurikulum tersebut. Contohnya mata pelajaran pada aspek
menyimak dan berbicara, manakah yang harus didahulukan. Tentunya pada aspek
menyimak harus didahulukan baru kemudian pada aspek berbicara jika dilihat dari
kacamata psikolinguistik. Sebab ketika bayi lahir, kemampuan keterampilan
berbahasa pada aspek menyimak, yang dalam kegiatannya memerlukan waktu
yang lebih banyak. Maka dikatan menyimak sebagai manifestasi pertama dalam
keterampilan berbahasa.
Keberhasilan sebuah pembelajaran bahasa akan sangat bergantung pada
komponen yang terlibat dalam pembelajaran. Komponen tersebut di antaranya
adalah siswa sebagai subjek didik dan materi pembelajaran bahasa yang dipelajari
oleh siswa. Karena itulah, dalam pembelajaran bahasa pemahaman tentang
psikolinguistik dipandang penting. Melalui psikologi dipelajari mengenai siswa
dan melalui linguistik dipelajari mengenai materi bahasa. Melalui interdisiplin ini
dapat dipahami proses yang terjadi dalam diri siswa ketika memahami materi
bahasa.
Pembelajaran merupakan suatu sistem. Artinya, pembelajaran merupakan
satu kesatuan yang terdiri atas berbagai komponen yang saling menunjang.
Karena itu, keberhasilan pembelajaran akan ditentukan oleh komponen-komponen
yang terlibat dalam pembelajaran tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah
guru, siswa, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode dan teknik
pembelajaran, evaluasi, serta sarana yang dibutuhkan.
Demikian pula dalam pembelajaran Bahasa, agar pembelajaran bahasa
berhasil, komponen-komponen tadi harus diperhatikan. Pernyataan di atas
mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa,

37
bukan hanya faktor guru dan materi pembelajaran bahasa yang harus diperhatikan,
siswa pun sebagai subjek didik harus diperhatikan demi keberhasilan
pembelajaran. Materi bahasa bisa dipahami melalui Linguistik sebagaimana
dikemukakan oleh Yudibrata, Andoyo Sastromiharjo, dan Kholid A. Harras
(1997/1998: 2) bahwa linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, biasanya
menghasilkan teori-teori bahasa; tidak demikian halnya dengan siswa sebagai
pembelajar bahasa. Siswa sebagai organisme dengan segala prilakunya termasuk
proses yang terjadi dalam diri siswa ketika belajar bahasa tidak bisa dipahami oleh
linguistik, tetapi hanya bisa dipahami melalui ilmu lain yang berkaitan dengannya,
yaitu Psikologi. Atas dasar hal tersebut muncullah disiplin ilmu yang baru yang
disebut Psikolinguistik atau disebut juga dengan istilah Psikologi Bahasa.
Siswa adalah subjek dalam pembelajaran. Karena itu, dalam hal ini siswa
dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah
psikologi, baik kognitif, afektif,maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan
bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif
(berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi. Dalam sebuah penelitian
yang dilakukan Garnham(Nababan, 1992: 60-61) terhadap aktivitas berbicara
ditemukan berbagai berbicara yang menyimpang (kurang benar)dengan
pengklaifikasian kesalahan sebagai berikut. Menurut Garnham penyebab
kesalahan yang dilakukan oleh pembicara di antaranya adalah kesaratan beban
(overloading), yaitu perasaan waswas (menghadapi ujian atau pertemuan dengan
orang yang ditakuti) atau karena penutur kurang menguasai materi, terpengaruh
oleh perasaan afektif, kesukaran melafal kata-kata, dan kurang menguasai topik.
Dari penyebab kesalahan-kesalahan tadi, dapat kita klasifikasikan
berdasarkan ranah Psikologi. Penyebab kesalahan berupa perasaan waswas
berkaitan dengan ranah afektif. Penyebab kesalahan berupa kurang menguasai
materi atau topik berkaitan dengan ranah kognitif, dan penyebab kesalahan berupa
kesukaran melafalkan kata berkaitan dengan ranah psikomotor. Contoh-contoh
kesalahan dan penyebab kesalahan yang telah dijelaskan tadi menunjukkan bahwa
peran psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa sangat penting. Tujuan umum
pembelajaran bahasa, yaitu siswa mampu menggunakan bahasa dengan baik dan

38
benar, baik dalam berbahasa lisan ataupun berbahasa tulis. Agar siswa dapat
berbahasa dengan baik dan benar diperlukan pengetahuan akan kaidah-kaidah
bahasa. Kaidah-kaidah bahasa dipelajari dalam linguistik. Untuk dapat
menggunakan bahasa secara lancar dan komunikastif siswa tidak hanya cukup
memahami kaidah bahasa, tetapi diperlukan kesiapan kognitif (penguasaan kaidah
bahasa dan materi yang akan disampaikan), afektif (tenang, yakin, percaya diri,
mampu mengeliminasi rasa cemas, ragu-ragu, waswas, dan sebagainya), serta
psikomotor (lafal yang fasih, keterampilan memilih kata, frasa, klausa, dan
kalimat). Dengan demikian, jelaslah bahwa betapa penting peranan
Psikolinguistik dalam pembelajaran bahasa.

39
5
What psycholinguistic issues can be researched in relation to LT
and LL?

Bahasa merupakan ciri khas manusia dan hal itu merupakan hal yang
kompleks dan merupakan obyek studi bagi kegiatan ilmu yang bermacam-macam
sesuai dengan pandangan ilmuwan yang mempelajarinya. Bagi ahli filsafat,
bahasa mungkin merupakan alat untuk berfikir, bagi ahli logika mungkin suatu
kalkulus, bagi ahli ilmu jiwa mungkin jendela yang kabur untuk dapat ditembus
guna melihat proses berfikir dan ahli untuk bahasa suatu sistem lambang yang
arbitrer. Namun bagi ahli yang mendalami studi terapan tentu memiliki fokus
kajian yang menghasilkan faedah bagi pengajaran dan pembelajaran bahasa.

Di dalam mempertimbangkan Psikolinguistik sebagai bahan kajian


penelitian dalam konteks pengajaran dan pembelajaran bahasa, terdapat beberapa
isu yang selama ini menarik para ilmuwan, baik yang paling sering menjadi pokok
bahasan maupun jarang karena faktor waktu dan ilmu atau bahkan mungkin
masih belum tersentuh (oleh penelitian) sama sekali.

1. Pemahaman materi oleh siswa


Dalam kerangka ini, tiap individu memiliki tingkat pemahaman yang berbeda,
olehnya itu tidak dapat dipungkiri bahwa kajian yang menekankan pengembangan
skill bahasa menjadi isu favorit bagi para peneliti baru seperti mahasiswa,
sebenarnya jika dilakukan dengan maksimal tanpa adanya manipulasi semua
pendekatan baik itu Kuantiatif ataupun Kualitiatif akan menghasilkan output yang
baik pula.
2. Pola tingkah laku berbahasa
Memahami tingkah laku siswa ketika berbahasa mungkin menjadi kajian yang
sangat menantang walaupun akan sulit untuk mendapatkan hasil yang reliabel jika
tidak ditopangi dengan penelitian longitudinal yang memerlukan waktu lebih
banyak. Dalam hal ini aspek-aspek psikologis seperti orang yang sedang marah
akan lain perwujudan bahasa yang ia gunakan dengan orang yang sedang

40
bergembira. Namun perlu diketahui bahwa titik berat psikolinguistik adalah
bahasa, dan bukan gejala jiwa. Itulah sebabnya dalam batasan-batasan
psikolinguistik yang telah dikemukakan selalu ditonjolkan proses bahasa yang
terjadi pada otak (mind), baik proses yang terjadi di otak pembicara maupun
proses yang terjadi pada otak pendengar.

3. Proses bahasa pada siswa yang berkebutuhan khusus

Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab terhambatnya


tumbuh-kembang anak yang sering ditemui. Adapun gangguan yang sering
dikeluhkan orangtua yaitu keterlambatan bicara. Beberapa laporan menyebutkan
angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar 5-10 % pada anak sekolah.
Isu menarik lainnya adalah kemampuan berbicara dan bernalar yang sangat
berbeda antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Sangat banyak faktor yang
mempegaruhi mereka dalam perkembangannya. Penyebab kefasihan dan
ketepatan berbahasa sangat luas dan bervariasi. Proses penanganannya pun mulai
yang mudah hingga yang sulit dan bahkan memerlukan penanganan yang serius.

4. Linguistic Rules Vs Linguistic Habit

Tidak ada korespondensi antara kebiasaan linguistik dan aturan linguistik.


Hal ini karena tiap individu memiliki kebiasaan menggunakan kata dengan cara
yang unik. Pada saat yang sama, banyak aturan linguistik yang dirumuskan namun
tidak sesuai dengan kebiasaan yang ada. Misalnya, aturan pengucapan
sane_sanity, dan vital_vitality, kemudian jika diminta untuk mengucapkan
derivasi in_ity dari bentuk fane, banyak siswa akan tetap mengatakan /feinitiy/
meskipun mereka mengucapkan profanity dengan benar, mereka sama sekali tidak
memiliki kebiasaan yang mampu merefleksikan aturan tersebut.

41

Anda mungkin juga menyukai