DISUSUN OLEH:
Dini Ramadhani (201804005)
Ishak Ali Muda (201804002)
Maijatul Akmal (201804016)
Rizka Mianti (201804006)
Sri Wahyuni Harahap (201804054)
Surya Darma (201804060)
Kelompok 1 Kelas A
1
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW.Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Lintas Budaya.
Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun,
berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Terima
kasih penulis ucapkan kepada berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik
yang materinya penulis ambil sebagai bahan referensi dan kepada berbagai pihak yang telah
memberi dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan
tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis
memohon maaf atas segala bentuk kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam tugas
ini dan meminta saran agar tugas ini bisa menjadi makalah yang lebih baik lagi. Semoga
bermanfaat.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................4
C. Tujuan ..........................................................................................................4
BAB II (KAJIAN TEORI DAN FENOMENA)
A. Pola Asuh ....................................................................................................5
B. Pola Asuh Anak Dalam Suku Batak............................................................8
BAB III (PENUTUP)
A. Kesimpulan..................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola asuh yang diberikan oleh keluarga, erat kaitannya dengan sikap dan tingkah
laku yang dilakukan oleh seseorang. Pola asuh menjadi bagian penting dalam proses
perkembangan manusia, sebab dari pola asuh tersebut seseorang dapat mengetahui
karakter dari masing-masing manusia. Latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan
memberikan pola pengasuhan yang berbeda pula. Setiap suku yang ada di Indonesia
mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda, sehingga memunculkan beragam tata asuh
yang berbeda. Pola asuh yang berbeda tersebut, membuat Indonesia menjadi negara yang
kaya akan keberagaman tanpa ada deskriminasi terhadap salah satu suku maupun budaya
tertentu, justru hal tersebut menjadikan Indonesia negara yang beragam dan berwarna.
Salah satu suku yang ada di Indonesia, yakni Suku Batak menjadi salah satu suku
yang cukup familiar pada masyarakat Indonesia. Batak menjadi salah satu suku terbesar
di Indonesia yang sebagian bermigrasi ke pulau Jawa dalam rangka pemenuhan
kebutuhan ekonomi maupun pendidikan. Karakteristik orang Batak, cenderung dinilai
sebagai pribadi yang kasar dan keras. Namun, dibalik penilaian tersebut, terdapat banyak
warisan turun temurun yang masil dilaksanakan oleh orang batak sampai saat ini,
terutama dalam pola pengasuhan anak.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas hal tersebut secara lebih detail dan
mendalam
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2. Untuk mengetahui pola asuh yang dilaksanakan oleh masyarakat bersuku batak
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pola Asuh
5
2. Jenis-Jenis Pola Asuh
a) Pola Asuh Permisif
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuh permissif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orang tua cenderung
memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan dan aturan dari orang
tua, tidak adanya hadiah ataupun pujian meski anak berperilaku sosial baik, tidak
adanya hukuman meski anak melanggar peraturan.
Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuhü permissif memberikan kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut
kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya
berperan sebagai pemberi fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak.
Dalam pola asuh ini, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah, dan
mudah mengalami kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada di
lingkungannya.
Prasetya dalam Anisa (2005) menjelaskan bahwa pola asuh permissif atau
biasa disebut pola asuh penelantar yaitu di mana orang tua lebih memprioritaskan
kepentingannya sendiri, perkembangan kepribadian anak terabaikan, dan orang
tua tidak mengetahui apa dan bagaimana kegiatan anak sehari-harinya.
Dariyo dalam Anisa (2005) juga menambahkan bahwa pola asuh permissif
yang diterapkan orang tua, dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-
aturan sosial yang berlaku. Namun bila anak mampu menggunakan kebebasan
secara bertanggung jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri, kreatif, dan
mampu mewujudkan aktualitasnya.
b) Pola Asuh Demokratis
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuh demokratis memperlihatkan ciri-ciri adanya kesempatan anak untuk
berpendapat mengapa ia melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan,
hukuman diberikan kepada perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah
kepada perilaku yang benar.
Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa dalam menanamkan disiplin kepada
anak, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan dan
menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh
pengertian antara anak dan orang tua, memberi penjelasan secara rasional dan
6
objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak sesuai. Dalam pola asuh ini, anak
tumbuh rasa tanggung jawab, mampu bertindak sesuai dengan norma yang ada.
Dariyo dalam Anisa (2005) mengatakan bahwa pola asuh demokratis ini, di
samping memiliki sisi positif dari anak, terdapat juga sisi negatifnya, di mana
anak cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, karena segala sesuatu
itu harus dipertimbangkan oleh anak kepada orang tua.
Diakui dalam prakteknya di masyarakat, tidak digunakan pola asuh yang
tunggal, dalam kenyataan ketiga pola asuh tersebut digunakan secara bersamaan
di dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan anaknya, adakalanya orang
tua menerapkan pola asuh otoriter, demokratis dan permissif. Dengan demikian,
secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni diterapkan dalam
keluarga, tetapi orang tua cenderung menggunakan ketiga pola asuh tersebut.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dariyo dalam Anisa
(2005), bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua cenderung mengarah pada
pola asuh situasional, di mana orang tua tidak menerapkan salah satu jenis pola
asuh tertentu, tetapi memungkinkan orang tua menerapkan pola asuh secara
fleksibel, luwes, dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu.
c) Pola Asuh Otoriter
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang mendidik anak
denganü menggunakan pola asuh otoriter memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
orang tua menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya kesempatan untuk
mengemukakan pendapat, anak harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh
orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal), dan orang tua jarang
memberikan hadiah ataupun pujian.
Menurut Gunarsa (2000), pola asuh otoriter yaitu pola asuh dimana orang
tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam
dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya
kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak
menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya. Senada dengan Hurlock, Dariyo
dalam Anisa (2005), menyebutkan bahwaü anak yang dididik dalam pola asuh
otoriter, cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.
7
d) Pola Asuh Tipe Pelantar
Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat
minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan
pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat
untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara
fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak
mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.
Masyarakat yang paling banyak menganut suku Batak terdapat di Sumatera Utara.
Falsafah yang dijunjung tinggi oleh suku Batak ialah hagabeon (diberkati atas keturunan),
hamoraon (kekayaan), dan hasangapan (kehormatan) (Harahap & Siahaan, 1987). Suku
Batak lebih suka untuk berkelompok dan bersama-sama, baik dalam satu marga atau
berhubungan darah ataupun satu relasi kerabat hubungan pernikahan (Chandra, 2004).
8
6. Marpatik, mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat smeua
masyarakat Batak untuk tidak berbuat anarkis.
7. Maruhum, yakni mempunyai hukum undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja
kampung berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh semua
pihak.
Dalam praktek budaya Suku Batak sehari-hari, terdapat beberapa hal yang menjadi
ciri khas dalam sistem pola asuh yang terdapat pada Suku Batak. Diantaranya adalah:
1. Authoritarian (Tinambunan, 2010)
Menurut Altemeyer (1996), kepribadian Authoritarian didefinisikan sebagai
kepribadian yang bukan hanya ditunjukkan dengan wujud perilaku kaku, keras atau
kasar, namun juga berupa suatu bentuk perilaku yang rigid akan kepatuhan terhadap:
(a) aturan, (b) figur, (c) agresi. Perilaku kepatuhan yang kaku dan rigid ini
memungkinkan pribadi authoritarian untuk merasa tidak yaman dan memiliki
dorongan yang kuat untuk memunculkan dan menampakkan rasa ketidaknyamanan
tersebut bila ada orang lain atau lingkungannya yang bersikap, berbuat, atau tampil
tidak seperti apa yang menurut pribadi authoritarian adalah yang terbenar.
Menurut Yusuf (2004), adapun ciri-ciri atau karakteristik pendidik dengan gaya
authoritarian adalah sebagai berikut: (a) sikap penerimaan rendah, namun kontrolnya
tinggi, (b) suka menghukum secara fisik, (c) bersikap mengomando/mengharuskan
dan memerintah anak didik untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, (d) bersikap
kaku/keras, dan (e) cenderung emosional dan bersikap menolak.
Baumrind (dalam Lerner & Hellsch, 2005) mencoba untuk melengkapi pendapat
Yusuf diatas dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan operasionalisasi dari
pola didik authoritarian (dalam hal ini adalah pola didik yang dilakukan orangtua
terhadap anaknya). Orangtua yang menerapkan pola didik authoritarian berusaha
untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai
dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang
absolut mengenai perilaku. Orangtua seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang
tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa
dengan kuat untuk mengekang kehendak diri anak bila berperilaku dan berkeyakinan
yang bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan diri orangtua
tersebut.
9
2. Perbedaan Anak laki-laki dan Anak Perempuan
Suku Batak memiliki sistem kekerabatan Patrilineal, yakni prinsip keturunan
yang menghitung hubungan kekerabatan berdasarkan garis ayah atau laki-laki, jadi
jika keluarga Batak tidak memiliki anak laki-laki, maka marganya akan punah. Oleh
sebab itu, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak,
sedangkan posisi anak perempuan Batak adalah sebagai pencipta hubungan besan
karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang
lain (Vergouwen, 2004).
Kedudukan anak laki-laki yang dianggap lebih tinggi ini menyebabkan anak
laki-laki seringkali diperlakukan berbeda dengan saudara perempuannya. Perbedaan
perlakuan yang diberikan pada anak dianggap sebagai hal yang memang harus
dilakukan dengan alasan adat dan kebiasaan. Perbedaan perlakuan ini dapat berupa
perbedaan pemberian tanggung jawab, perbedaan perhatian hingga perbedaan rasa
sayang yang secara ekstrim dapat juga ditemukan dalam keluarga yang hanya
memiliki satu anak laki-laki. Perlakuan yang dianggap istimewa itu seringkali
diberikan pada anak laki-laki karena orangtua ingin anak laki-lakinya dihargai oleh
saudara perempuannya maupun orang lain.
Selain itu. Karena suku Batak suka berkelompok dalam keluarga besar, hal itu dapat
memberikan dukungan emosional, dukungan dalam bentuk asisten atau bergantian dalam
mendidik anak, dukungan dalam memberikan nasihat, saran untuk lebih baik, dan
memberikan rasa kasih sayang, karena menghabiskan waktu bersama – sama (Fauzia,
Nauly, & Purba, 2016)
Orang tua suku Batak sangat memperhatikan pendidikan putra – putrinya. Mereka
selalu menekankan pendidikan yang baik untuk keturunannya. Sehingga orang tua suku
Batak, dalam kegiatan bekerja bukan hanya untuk mempertahankan hidup, juga untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keturunannya, sehingga mereka
rela untuk menyimpan pundi-pundi rupiah untuk pendidikan yang mapan bagi anak –
anaknya (Chandra, 2004). Sehingga budaya pergi ke daerah orang, memang menjadi
tradisi bagi suku Batak, orangtua menginginkan agar anak-anaknya memiliki kehidupan
yang lebih baik dibanding dirinya. Dengan hal tersebut, dapat membuat keluarga Batak
dihormati (Sutantoputri, Murniati, & Purwanti, 2015).
Dalam pembentukan watak anak, suku Batak harus tegar dan kuat, mereka tidak
boleh menunjukkan kelemahan ataupun afektif mereka. Ini di kenal dengan creedo atau
menangis di dalam hati). Jika anak suku Batak menunjukkan kelemahannya ataupun
gagal di salah satu aspek kehidupan, itu dapat dicemoohkan oleh masyarakat dan bahkan
keluarga sendiri. Sehingga suku Batak memiliki internalisasi dalam dirinya adalah
menjadi “nomor satu”. Suku Batak memiliki jiwa kompetitif yang kuat, sehingga
memiliki keinginan menjadi yang pertama pada semua aspek. Jika gagal, mereka akan
berusaha lebih keras lagi, dan tidak menunjukkan kegagalan mereka, karena menjadi
lemah dan menangis itu bukan suatu jiwa dari suku Batak (Fauzia, Nauly, & Purba,
2016).
11
Orang tua suku Batak juga melakukan pemberian cerita, dongeng dan mitos kepada
anak – anaknya, seperti cerita Si Beru Rengga Kuning, di dalam cerita ini nilai moral
yang terkandung dan dapat membentuk sikap dan moral anak (Karo, 2018). Walaupun
kejadiannya tidak sebenar – benarnya, namun mitos tersebut dapat diandalkan dalam
masyarakat (Karo, 2018).
Dari analisis pola pengasuhan ditinjau dari suku batak di Indonesia, penulis
merangkumnya seperti pada tabel berikut ini
Nilai yang dianut Suku Batak dalam falsafah hidupnya memiliki tujuan hagabeon,
hamoraon, dan hasangapan.
Pembentukan Suku Batak memiliki jiwa kompetetitif, sehingga mengasah jiwa
karakter tegar sedari dini pada anaknya.
Selain itu, orang tua suku Batak juga memberikan cerita-cerita
mitos, legenda dan dongeng dalam membentuk kepribadian anak.
Pengasuhan yang Orang tua suku Batak, selain mengikuti adat yang kental, mereka
diaplikasikan juga mensinergikan dengan agama yang dianut.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pola asuh adalah model, sistem, cara orang tua dalam menjaga, merawat, mendidik
anak agar dapat berdiri sendiri, dewasa, dan mampu bertanggung jawab dalam menjalani
kehidupannya. Pola asuh dibagi menjadi 4 jenis, yakni pola asuh permissif yang orang
tuanya cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan dan aturan
dari orang tua; Pola asuh demokratis dengan memberikan kesempatan anak untuk
berpendapat; Pola asuh otoriter dimana orang tua menerapkan peraturan yang ketat, tidak
adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat; dan yang terakhir adalah pola asuh
tipe pelantar dimana orang tua memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada
anak-anaknya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Hendar, Dkk. 2009. Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan. Jakarta: Pt
Indeks.
Satrianingrum, A. P., & Setyawati, F. A. (2021). Perbedaan Pola Pengasuhan Orang Tua
Pada Anak Usia Dini Ditinjau Dari Berbagai Suku Di Indonesia: Kajian Literatur.
Jurnal Ilmiah Visi, 16(1), 25 - 34. Https://Doi.Org/10.21009/Jiv.1601.3 .
Vergouwen, J. 2004. Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: Lkis.
14