Anda di halaman 1dari 14

POLA ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF SUKU BATAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Lintas Budaya

Dosen Pengampu: Dr. Suaidah Lubis, MA, Psikolog

DISUSUN OLEH:
Dini Ramadhani (201804005)
Ishak Ali Muda (201804002)
Maijatul Akmal (201804016)
Rizka Mianti (201804006)
Sri Wahyuni Harahap (201804054)
Surya Darma (201804060)

Kelompok 1 Kelas A

PROGRAM STUDI PASCASARJANA PSIKOLOGI


UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN
2021

1
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW.Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Lintas Budaya.

Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun,
berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Terima
kasih penulis ucapkan kepada berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik
yang materinya penulis ambil sebagai bahan referensi dan kepada berbagai pihak yang telah
memberi dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan
tugas ini.

Penulis menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis
memohon maaf atas segala bentuk kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam tugas
ini dan meminta saran agar tugas ini bisa menjadi makalah yang lebih baik lagi. Semoga
bermanfaat.

Medan, Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................4
C. Tujuan ..........................................................................................................4
BAB II (KAJIAN TEORI DAN FENOMENA)
A. Pola Asuh ....................................................................................................5
B. Pola Asuh Anak Dalam Suku Batak............................................................8
BAB III (PENUTUP)
A. Kesimpulan..................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pola asuh yang diberikan oleh keluarga, erat kaitannya dengan sikap dan tingkah
laku yang dilakukan oleh seseorang. Pola asuh menjadi bagian penting dalam proses
perkembangan manusia, sebab dari pola asuh tersebut seseorang dapat mengetahui
karakter dari masing-masing manusia. Latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan
memberikan pola pengasuhan yang berbeda pula. Setiap suku yang ada di Indonesia
mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda, sehingga memunculkan beragam tata asuh
yang berbeda. Pola asuh yang berbeda tersebut, membuat Indonesia menjadi negara yang
kaya akan keberagaman tanpa ada deskriminasi terhadap salah satu suku maupun budaya
tertentu, justru hal tersebut menjadikan Indonesia negara yang beragam dan berwarna.
Salah satu suku yang ada di Indonesia, yakni Suku Batak menjadi salah satu suku
yang cukup familiar pada masyarakat Indonesia. Batak menjadi salah satu suku terbesar
di Indonesia yang sebagian bermigrasi ke pulau Jawa dalam rangka pemenuhan
kebutuhan ekonomi maupun pendidikan. Karakteristik orang Batak, cenderung dinilai
sebagai pribadi yang kasar dan keras. Namun, dibalik penilaian tersebut, terdapat banyak
warisan turun temurun yang masil dilaksanakan oleh orang batak sampai saat ini,
terutama dalam pola pengasuhan anak.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas hal tersebut secara lebih detail dan
mendalam
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pola asuh ?

2. Bagaimana pola asuh yang dilaksanakan oleh masyarakat bersuku batak?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian pola asuh

2. Untuk mengetahui pola asuh yang dilaksanakan oleh masyarakat bersuku batak

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh


Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata pola berarti model, sistem, cara kerja, bentuk
(struktur yang tetap), sedangkan kata asuh mengandung arti menjaga, merawat,
mendidik anak agar dapat berdiri sendiri. Orang tua adalah pendidik utama dan
pertama sebelum anak memperoleh pendidikan di sekolah, karena dari keluargalah
anak pertama kalinya belajar. Jadi keluarga tidak hanya berfungsi terbatas sebagai
penerus keturunan saja, tetapi lebih dari itu adalah pembentuk kepribadian anak.
Menurut Bjorklund dan Bjorklund, dkk. (1992) dalam Daeng Ayub Natuna
(2007: 144) bahwa pola asuh orang tua adalah cara-cara orang tua berinteraksi secara
umum dengan anaknya. Dalam hal ini banyak macam klasifikasi yang dapat
dilakukan, salah satunya adalah kalasifikasi berikut: otoriter, permisif, dan otoritatif.
M. Shochib (1998: 14) mengatakan bahwa pola pertemuan antara orang tua
sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud bahwa orang tua
mengarahkan anaknya sesuai dengan tujuannya, yaitu membantu anak memiliki dan
mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orang tua dengan anaknya sebagai pribadi
dan sebagai pendidik, dapat menyingkap pola asuh orang tua dalam mengembangkan
disiplin diri anak yang tersirat dalam situasi dan kondisi yang bersangkutan.
Sementara itu, Alex Sobur (1991: 23) mengatakan bahwa sebenarnya anak-anak
yang diasuh secara langsung oleh ibu dan ayah adalah anak-anak yang beruntung,
karena mereka tidak hanya mengalami satu tetapi beberapa pendekatan yang
membuatnya dewasa.  Proses pendewasaan ini akan banyak menentukan
pembentukan kepribadian anak kelak. Ia akan memiliki cara berpikir dan kehidupan
perasaan yang kaya dan seimbang karena terbiasa menghadapi dua macam individu
yang berbeda secara dekat dan terus menerus.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah
model, sistem, cara orang tua dalam menjaga, merawat, mendidik anak agar dapat
berdiri sendiri, dewasa, dan mampu bertanggung jawab dalam menjalani
kehidupannya.

5
2. Jenis-Jenis Pola Asuh
a) Pola Asuh Permisif
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuh permissif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orang tua cenderung
memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan dan aturan dari orang
tua, tidak adanya hadiah ataupun pujian meski anak berperilaku sosial baik, tidak
adanya hukuman meski anak melanggar peraturan.
Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuhü permissif memberikan kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut
kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya
berperan sebagai pemberi fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak.
Dalam pola asuh ini, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah, dan
mudah mengalami kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada di
lingkungannya.
Prasetya dalam Anisa (2005) menjelaskan bahwa pola asuh permissif atau
biasa disebut pola asuh penelantar yaitu di mana orang tua lebih memprioritaskan
kepentingannya sendiri, perkembangan kepribadian anak terabaikan, dan orang
tua tidak mengetahui apa dan bagaimana kegiatan anak sehari-harinya.
Dariyo dalam Anisa (2005) juga menambahkan bahwa pola asuh permissif
yang diterapkan orang tua, dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-
aturan sosial yang berlaku. Namun bila anak mampu menggunakan kebebasan
secara bertanggung jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri, kreatif, dan
mampu mewujudkan aktualitasnya.
b) Pola Asuh Demokratis
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuh demokratis memperlihatkan ciri-ciri adanya kesempatan anak untuk
berpendapat mengapa ia melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan,
hukuman diberikan kepada perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah
kepada perilaku yang benar.
Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa dalam menanamkan disiplin kepada
anak, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan dan
menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh
pengertian antara anak dan orang tua, memberi penjelasan secara rasional dan
6
objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak sesuai. Dalam pola asuh ini, anak
tumbuh rasa tanggung jawab, mampu bertindak sesuai dengan norma yang ada.
Dariyo dalam Anisa (2005) mengatakan bahwa pola asuh demokratis ini, di
samping memiliki sisi positif dari anak, terdapat juga sisi negatifnya, di mana
anak cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, karena segala sesuatu
itu harus dipertimbangkan oleh anak kepada orang tua.
Diakui dalam prakteknya di masyarakat, tidak digunakan pola asuh yang
tunggal, dalam kenyataan ketiga pola asuh tersebut digunakan secara bersamaan
di dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan anaknya, adakalanya orang
tua menerapkan pola asuh otoriter, demokratis dan permissif. Dengan demikian,
secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni diterapkan dalam
keluarga, tetapi orang tua cenderung menggunakan ketiga pola asuh tersebut.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dariyo dalam Anisa
(2005), bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua cenderung mengarah pada
pola asuh situasional, di mana orang tua tidak menerapkan salah satu jenis pola
asuh tertentu, tetapi memungkinkan orang tua menerapkan pola asuh secara
fleksibel, luwes, dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu.
c) Pola Asuh Otoriter
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang mendidik anak
denganü menggunakan pola asuh otoriter memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
orang tua menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya kesempatan untuk
mengemukakan pendapat, anak harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh
orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal), dan orang tua jarang
memberikan hadiah ataupun pujian.
Menurut Gunarsa (2000), pola asuh otoriter yaitu pola asuh dimana orang
tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam
dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya
kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak
menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya. Senada dengan Hurlock, Dariyo
dalam Anisa (2005), menyebutkan bahwaü anak yang dididik dalam pola asuh
otoriter, cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.

7
d) Pola Asuh Tipe Pelantar
Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat
minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan
pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat
untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara
fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak
mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

B. Pola Asuh Orang Tua Suku Batak

Masyarakat yang paling banyak menganut suku Batak terdapat di Sumatera Utara.
Falsafah yang dijunjung tinggi oleh suku Batak ialah hagabeon (diberkati atas keturunan),
hamoraon (kekayaan), dan hasangapan (kehormatan) (Harahap & Siahaan, 1987). Suku
Batak lebih suka untuk berkelompok dan bersama-sama, baik dalam satu marga atau
berhubungan darah ataupun satu relasi kerabat hubungan pernikahan (Chandra, 2004).

Keanekaragaman budaya selalu membawa nilai-nilai bersama yang menjadi titik


temu dalam membangun relasi sosial (Hendar dkk, 2009:35). Perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi, membawa manusia ke abad dimana kehidupan masyarakat berubah
menjadi semakin kompleks dan semakin maju. Namun, arah budaya yang sudah
berkembang pada suku-suku tertentu akan terus dilestarikan dan diwariskan kepada anak-
anak secara turun-temurun. Hal tersebut sama halnya dengan sistem pola asuh yang sudah
berkembang dan mendarah daging pada Suku Batak. Tinambunan, 2010 menyebutkan
terdapat 7 falsafah hidup orang Batak, yaitu:

1. Mardebata, yakni mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan.


2. Marpinompar, yakni mempunyai keturunan. Setiap marga Batak menghendaki adanya
keturunan sebagai generasi penerus, khususnya anak laki-laki.
3. Martutur, yakni mempunyai kekerabatan hierarki dalam keluarga, yang dikuatkan
dengan Dalihan Natolu yaitu hubungan semarga.
4. Maradat, yakni mempunyai adat-istiadat dengan pelaksanaan dalihan natolu (tiga
tungku) yang implementasinya somba (hormat) kepada keluarga pihak istri, manat
(hati-hati) kepada dongan tubu (semarga), dan elek atau mengasihi boru (anak
perempuan kita beserta keluarganya).
5. Marpangkirimon, mempunyai pengharapan atau cita-cita.

8
6. Marpatik, mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat smeua
masyarakat Batak untuk tidak berbuat anarkis.
7. Maruhum, yakni mempunyai hukum undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja
kampung berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh semua
pihak.

Dalam praktek budaya Suku Batak sehari-hari, terdapat beberapa hal yang menjadi
ciri khas dalam sistem pola asuh yang terdapat pada Suku Batak. Diantaranya adalah:
1. Authoritarian (Tinambunan, 2010)
Menurut Altemeyer (1996), kepribadian Authoritarian didefinisikan sebagai
kepribadian yang bukan hanya ditunjukkan dengan wujud perilaku kaku, keras atau
kasar, namun juga berupa suatu bentuk perilaku yang rigid akan kepatuhan terhadap:
(a) aturan, (b) figur, (c) agresi. Perilaku kepatuhan yang kaku dan rigid ini
memungkinkan pribadi authoritarian untuk merasa tidak yaman dan memiliki
dorongan yang kuat untuk memunculkan dan menampakkan rasa ketidaknyamanan
tersebut bila ada orang lain atau lingkungannya yang bersikap, berbuat, atau tampil
tidak seperti apa yang menurut pribadi authoritarian adalah yang terbenar.
Menurut Yusuf (2004), adapun ciri-ciri atau karakteristik pendidik dengan gaya
authoritarian adalah sebagai berikut: (a) sikap penerimaan rendah, namun kontrolnya
tinggi, (b) suka menghukum secara fisik, (c) bersikap mengomando/mengharuskan
dan memerintah anak didik untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, (d) bersikap
kaku/keras, dan (e) cenderung emosional dan bersikap menolak.
Baumrind (dalam Lerner & Hellsch, 2005) mencoba untuk melengkapi pendapat
Yusuf diatas dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan operasionalisasi dari
pola didik authoritarian (dalam hal ini adalah pola didik yang dilakukan orangtua
terhadap anaknya). Orangtua yang menerapkan pola didik authoritarian berusaha
untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai
dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang
absolut mengenai perilaku. Orangtua seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang
tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa
dengan kuat untuk mengekang kehendak diri anak bila berperilaku dan berkeyakinan
yang bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan diri orangtua
tersebut.

9
2. Perbedaan Anak laki-laki dan Anak Perempuan
Suku Batak memiliki sistem kekerabatan Patrilineal, yakni prinsip keturunan
yang menghitung hubungan kekerabatan berdasarkan garis ayah atau laki-laki, jadi
jika keluarga Batak tidak memiliki anak laki-laki, maka marganya akan punah. Oleh
sebab itu, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak,
sedangkan posisi anak perempuan Batak adalah sebagai pencipta hubungan besan
karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang
lain (Vergouwen, 2004).
Kedudukan anak laki-laki yang dianggap lebih tinggi ini menyebabkan anak
laki-laki seringkali diperlakukan berbeda dengan saudara perempuannya. Perbedaan
perlakuan yang diberikan pada anak dianggap sebagai hal yang memang harus
dilakukan dengan alasan adat dan kebiasaan. Perbedaan perlakuan ini dapat berupa
perbedaan pemberian tanggung jawab, perbedaan perhatian hingga perbedaan rasa
sayang yang secara ekstrim dapat juga ditemukan dalam keluarga yang hanya
memiliki satu anak laki-laki. Perlakuan yang dianggap istimewa itu seringkali
diberikan pada anak laki-laki karena orangtua ingin anak laki-lakinya dihargai oleh
saudara perempuannya maupun orang lain.

3. Nilai Anak (Hagabeon) dalam Suku Batak


Di antara beberapa nilai yang dipercaya suku Batak, Hagabeon merupakan yang
paling utama. Pola asuh yang sering digunakan adalah pola asuh authoritative. Pola
pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian
pendidikan anak di bidang pendidikan atau akademik berupa dukungan, kontrol, dan
kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada
pencapaian prestasi tertentu.
Pengasuhan anak menjadi faktor penting dalam keluarga, orangtua Batak harus
mampu mengasuh anak-anaknya dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka
akan mampu membawa nama baik keluarga Batak. Penekanan prestasi anak menjadi
hal yang sangat penting dalam pengasuhan.

4. Posisi Ibu dan Perempuan dalam Suku Batak


Ibu dalam keyakinan suku Batak wanita sangat dijunjung tinggi kehormatannya,
ibu merupakan tonggak penting dalam sebuah keluarga, di mana ibu adalah kekuatan
10
dalam keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam keluarga Batak, ibu yang bekerja keras
demi keluarganya. Di satu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah dan di
sisi lain juga mengatur segala keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-
anaknya (Tinambunan, 2010).
Tugas wanita Batak dalam keluarga sudah diasosiasikan semenjak masih anak-
anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang mengagungkan anak laki-laki, ibu
dituntut oleh keluarga harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil
sesuai dengan tuntutan keluarga.

Selain itu. Karena suku Batak suka berkelompok dalam keluarga besar, hal itu dapat
memberikan dukungan emosional, dukungan dalam bentuk asisten atau bergantian dalam
mendidik anak, dukungan dalam memberikan nasihat, saran untuk lebih baik, dan
memberikan rasa kasih sayang, karena menghabiskan waktu bersama – sama (Fauzia,
Nauly, & Purba, 2016)
Orang tua suku Batak sangat memperhatikan pendidikan putra – putrinya. Mereka
selalu menekankan pendidikan yang baik untuk keturunannya. Sehingga orang tua suku
Batak, dalam kegiatan bekerja bukan hanya untuk mempertahankan hidup, juga untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keturunannya, sehingga mereka
rela untuk menyimpan pundi-pundi rupiah untuk pendidikan yang mapan bagi anak –
anaknya (Chandra, 2004). Sehingga budaya pergi ke daerah orang, memang menjadi
tradisi bagi suku Batak, orangtua menginginkan agar anak-anaknya memiliki kehidupan
yang lebih baik dibanding dirinya. Dengan hal tersebut, dapat membuat keluarga Batak
dihormati (Sutantoputri, Murniati, & Purwanti, 2015).
Dalam pembentukan watak anak, suku Batak harus tegar dan kuat, mereka tidak
boleh menunjukkan kelemahan ataupun afektif mereka. Ini di kenal dengan creedo atau
menangis di dalam hati). Jika anak suku Batak menunjukkan kelemahannya ataupun
gagal di salah satu aspek kehidupan, itu dapat dicemoohkan oleh masyarakat dan bahkan
keluarga sendiri. Sehingga suku Batak memiliki internalisasi dalam dirinya adalah
menjadi “nomor satu”. Suku Batak memiliki jiwa kompetitif yang kuat, sehingga
memiliki keinginan menjadi yang pertama pada semua aspek. Jika gagal, mereka akan
berusaha lebih keras lagi, dan tidak menunjukkan kegagalan mereka, karena menjadi
lemah dan menangis itu bukan suatu jiwa dari suku Batak (Fauzia, Nauly, & Purba,
2016).

11
Orang tua suku Batak juga melakukan pemberian cerita, dongeng dan mitos kepada
anak – anaknya, seperti cerita Si Beru Rengga Kuning, di dalam cerita ini nilai moral
yang terkandung dan dapat membentuk sikap dan moral anak (Karo, 2018). Walaupun
kejadiannya tidak sebenar – benarnya, namun mitos tersebut dapat diandalkan dalam
masyarakat (Karo, 2018).
Dari analisis pola pengasuhan ditinjau dari suku batak di Indonesia, penulis
merangkumnya seperti pada tabel berikut ini
Nilai yang dianut Suku Batak dalam falsafah hidupnya memiliki tujuan hagabeon,
hamoraon, dan hasangapan.
Pembentukan Suku Batak memiliki jiwa kompetetitif, sehingga mengasah jiwa
karakter tegar sedari dini pada anaknya.
Selain itu, orang tua suku Batak juga memberikan cerita-cerita
mitos, legenda dan dongeng dalam membentuk kepribadian anak.
Pengasuhan yang Orang tua suku Batak, selain mengikuti adat yang kental, mereka
diaplikasikan juga mensinergikan dengan agama yang dianut.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pola asuh adalah model, sistem, cara orang tua dalam menjaga, merawat, mendidik
anak agar dapat berdiri sendiri, dewasa, dan mampu bertanggung jawab dalam menjalani
kehidupannya. Pola asuh dibagi menjadi 4 jenis, yakni pola asuh permissif yang orang
tuanya cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan dan aturan
dari orang tua; Pola asuh demokratis dengan memberikan kesempatan anak untuk
berpendapat; Pola asuh otoriter dimana orang tua menerapkan peraturan yang ketat, tidak
adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat; dan yang terakhir adalah pola asuh
tipe pelantar dimana orang tua memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada
anak-anaknya.

Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia juga memberikan banyak pengaruh


terhadap tipe dan pola pengasuhan anak. Setiap suku bangsa memiliki cara dan budaya
sendiri dalam mengasuh anak, salah satunya suku batak. Beberapa hal yang dapat dilihat
dari pola asuh suku batak ialah: Suku Batak dalam falsafah hidupnya memiliki tujuan
hagabeon, hamoraon, dan hasangapan; Suku Batak memiliki jiwa kompetetitif, sehingga
mengasah jiwa tegar sedari dini pada anaknya. Selain itu, orang tua suku Batak juga
memberikan cerita-cerita mitos, legenda dan dongeng dalam membentuk kepribadian
anak; Orang tua suku Batak, selain mengikuti adat yang kental, mereka juga
mensinergikan dengan agama yang dianut.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hendar, Dkk. 2009. Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan. Jakarta: Pt
Indeks.

Hurlock, Elisabeth. 2006. Psikologi Perkembangan Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga

Satrianingrum, A. P., & Setyawati, F. A. (2021). Perbedaan Pola Pengasuhan Orang Tua
Pada Anak Usia Dini Ditinjau Dari Berbagai Suku Di Indonesia: Kajian Literatur.
Jurnal Ilmiah Visi, 16(1), 25 - 34. Https://Doi.Org/10.21009/Jiv.1601.3 .

Tinambunan, D. 2010. Orang Batak Kasar?. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Vergouwen, J. 2004. Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: Lkis.

Wikipedia. Suku Batak, (Online), (Https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Suku_Batak)  Diakses 8


Desember 2021

14

Anda mungkin juga menyukai