Anda di halaman 1dari 34

RANCANGAN PENELITIAN PSIKOLOGI BUDAYA

PERBEDAAN POLA ASUH ORANG TUA BERSUKU MINANG DENGAN


ORANG TUA BERSUKU BATAK

Dibuat untuk memenugi tugas mata kuliah Psikologi Budaya


Dosen Pengampu:
Free Dirga Dwatra, S. Psi , M. A
Agitia Kurniati Asrila, S.Psi. M.A.

Disusun Oleh Kelompok 6:

Annisa Aristia 20011082


Fadhila Fitri 20011101
Afra Fairuz Alfisri 20011180
Aisyah Putri 20011183
Haniifah Humairoo 20011220

DEPARTEMEN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia kaya akan budaya, bahasa, adat istiadat, suku bangsa dan berbagai hal
lainnya. Jumlah penduduk Indonesia mencapai 267,7 juta jiwa (BPS, 2020), menambah
keragaman Indonesia. Ada begitu banyak jenis budaya dan banyak yang bisa dipelajari dari
Indonesia, salah satunya adalah artefak yang menawarkan multitafsir. Inilah salah satu
potensi yang dimiliki Indonesia (Situngkir, 2008).
Budaya setiap daerah memiliki sikap dan nilai yang berbeda-beda. Di suku Minang,
anak harus mengikuti darah ibu atau matrilineal. Di suku Batak, anak harus mengikuti
darah ayah atau patrilineal. Orang-orang menerapkan apa yang mereka pelajari dari nenek
moyang mereka ke dalam kebiasaan mereka. Budaya diwariskan dari generasi ke generasi,
memungkinkan nilai-nilai dan kebiasaan dilestarikan, sehingga meningkatkan kesadaran
individu akan nilai-nilai kelompok (Sung, 2010).
Pengasuhan adalah serangkaian kegiatan kompleks yang terdiri dari perilaku
khusus yang, secara mandiri atau berinteraksi, dipraktikkan oleh orang tua melalui kegiatan
sehari-hari mereka dengan anak-anak mereka. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
memiliki dampak penting pada hampir semua aspek perkembangan anak, terutama
kognitif, emosional, dan sosial (Brooks, 2005; Morrison, 2009; Riany, Meredith, &
Cuskelly, 2017). Pengaruh ini bisa positif (Alegre, 2012; Burchinal, Peisner-Feinberg,
Pianta, & Howes, 2002) maupun negatif (Smokowski, Bacallao, Cotter & Evans, 2014;
Vafaeenejad, Elyasi, Moosazadeh & Shahhosseini, 2019).
Ada 3 faktor yang diketahui berperan dalam pengasuhan anak. Faktor psikologis
pada anak dan orang tua (Huver, Otten, de Vries & Engels, 2010; Prinzie et al., 2004;
Vafaeenejad et al., 2019), dan faktor sosial ekonomi (Belsky, 1984; Bradley & Corwyn,
2002); Weinber, 2001). ; Yunus & Dahlan, 2013) memiliki dampak langsung dan spesifik
terhadap praktik pengasuhan harian orang tua. Pada saat yang sama, perbedaan budaya
memiliki efek yang lebih luas, kompleks dan timbal balik pada pengasuhan (Bornstein,
2012; Dwairy et al., 2006; Keshavarz & Baharudin, 2009; Kuntoro, Peterson, & Slaughter,
2017; Riany, Meredith, & Cuskelly, 2017; Zevalkink dan Riksen-Walraven, 2001).
Perpaduan nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan nilai-nilai
yang ada di masyarakat tempat mereka tinggal akan mengembangkan apresiasi budaya
yang berbeda di antara orang tua dan mempengaruhi praktik pengasuhan sehari-hari. Di
sisi lain, orang tua juga dapat memperkenalkan norma dan nilai-nilai budaya kepada
anaknya lewat pengasuhan.
Penting untuk mengkaji lebih lanjut pola asuh dalam konteks budaya yang berbeda,
terutama di Indonesia, negara kepulauan dengan 1.340 suku bangsa dan budaya yang
sangat beragam dan unik (Na'im & Syaputra, 2010). Penelitian tentang budaya dan pola
asuh Indonesia saat ini masih terbatas pada bahasa Jawa (Mulder, 1992; Mulder, 2000),
Sunda, (French, Rianasari, Pidada, Nelwan & Buhrmester, 2001; Kuntoro, Peterson, &
Slaughter, 2017; Zevalkink & Riksen-Walvaren, 2001), Batak Karo (Kushnick, 2006) dan
Minangkabau (Röttger-Rössler, Scheidecker, Jung & Holodynski, 2013). Studi-studi ini
fokus pada perbandingan pola asuh masyarakat di Indonesia.
Pola asuh orang tua berbeda-beda dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut, seperti budaya yang dianut oleh keluarga,
faktor sosial ekonomi, pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh dan mendidik anak,
pendidikan sebelumnya, dan lain-lain. (Merliana, 2010; Santrock, 2013; Soekanto, 2002;
Soetjiningsih, 2004; Sulistino, 2016; Tridhonanto, 2014; Winarti, 2019).
Orang tua mengadopsi gaya pengasuhan yang berbeda dari orang tua lainnya. Pola
asuh dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Salah satunya adalah pola asuh otoriter, dalam
model ini otoritas tertinggi ada pada orang tua, jika anak tidak menyukai perintah orang
tua, maka orang tua akan memaksa dan harus melaksanakan perintah tersebut. Sedemikian
rupa sehingga di bawah model pengasuhan otoriter, anak-anak merasa terkekang dan
kurang kebebasan. Kedua, pola asuh demokratis, model ini terlihat pada kehangatan dan
perhatian antara orang tua dan anak, menjadikan anak lebih ramah dalam model
pengasuhan demokratis, dapat diajak bekerja sama, dan faktor positif lainnya dalam model
pengasuhan demokratis. Ketiga, pola asuh laissez-faire, model pengasuhan yang
memberikan kebebasan kepada anak tanpa bantuan dan kontrol orang tua yang tepat.
Model pengasuhan laissez-faire di mana orang tua tidak menerapkan aturan yang ketat dan
konsisten dan membiarkan anak melakukan apa pun yang mereka inginkan. (Baumrind,
1966; Baumrind, 1971; Kholifah, 2018; Susanto, 2011).
Perbedaan budaya perlu ditelaah untuk melihat sisi pengasuhan orang tua dalam
perbedaan budaya yang tentunya dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap anak dan
tindakan yang ingin dicapai anak dalam hal memegang nilai dan norma
(Februhartanty.,dkk 2007). Penulis mencantumkan landasan teori pola asuh yang
digunakan orang tua untuk mendidik anaknya sesuai dengan budaya yang dianutnya
ditinjau dari kepribadiannya. Penulis melakukan ini untuk mempersempit ruang penelitian
yang disajikan. Penulis ingin mengulas tentang pola asuh orang tua dari 2 suku bangsa di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam rancangan penelitian ini adalah apakah ada perbedaan
antara pola asuh orang tua bersuku Minang dan orang tua bersuku Batak?
C. Tujuan
Tujuan peneliti dalam merancang penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
perbedaan pola asuh orang tua bersuka Minang dan orang tua bersuku Batak.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Definisi Gaya Pengasuhan Orang Tua
Pengasuhan (parenting) adalah sebuah aktivitas kompleks yang di dalamnya

terdapat beberapa perilaku spesifik yang dilakukan secara individu maupun bersama-

sama yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku anak. Dalam menerapkan praktek

pengasuhan, setiap orang tua memiliki variasi pola pengasuhan yang berbeda dengan

lainnya sebagai upaya untuk mengontrol dan bersosialisasi dengan anak mereka

(Darling, 1999).

Gaya pengasuhan menurut pandangan Darling dan Steinberg (1993) adalah sikap

yang dapat dipahami oleh orang tua terhadap anak (Brand, 2009). Sedangkan menurut

Krohne (1988; dalam Brand, 2009) mendefinisikan bahwa gaya pengasuhan sebagai

seperangkat perilaku yang relatif stabil di mana orang tua berinteraksi dengan anak

mereka dalam situasi yang relatif spesifik, sehingga menekankan bahwa orang tua

dapat menunjukkan serangkaian perilaku yang relatif seragam dalam konteks tertentu.

Misalnya, orang tua dengan tingkat dukungan yang rendah tidak akan mendorong

anaknya untuk membantu pekerjaan rumah, atau untuk mencapai nilai akademik.

Sebaliknya, orang tua dengan tingkat dukungan yang tinggi akan memberikan umpan

balik yang positif dan mendorong kepada anaknya terlepas dari apakah anak telah

menyelesaikan pekerjaan rumah atau terlibat dalam kegiatan lain seperti kegiatan

olahraga yang menantang atau membuat musik (Brand, 2009).

Gaya pengasuhan orang tua merupakan salah satu faktor kunci dalam proses

sosialisasi anak, mereka berusaha untuk mempersiapkan anak untuk kehidupan nyata

di dunia dan memberinya sejumlah keterampilan sosial yang memungkinkannya untuk


mengatasi situasi sulit (Loudováa, 2015). Baumrind (1991) menjelaskan bahwa

parenting style (gaya pengasuhan) biasanya digunakan untuk menggambarkan variasi

normal dalam percobaan orang tua untuk mengintrol kehidupan sosial anak mereka.

Selain itu, Baumrind (1967) mengemukakan bahwa gaya pengasuhan adalah strategi

yang digunakan orang tua dalam membesarkan anak-anak mereka (Kiessling, 2021).

2. Faktor yang Mepengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Menurut Hurlock, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua,

yaitu:

a) Tingkat sosial ekonomi

Orangtua dengan status ekonomi menengah keatas akan menunjukkan sikap yang

lebih hangat dibandingkan dengan orangtua yang berasal dari sosial ekonomi

rendah.

b) Tingkat Pendidikan

Pendidikan juga sangat berpengaruh dalam pola asuh anak. Orangtua dengan latar

belakang pendidikan yang baik akan lebih sering memperbaharui

perkembangannya tentang pola asuh anak. Menjadikannya lebih siap karena

memiliki pemahaman yang luas dan lebih open minded. Sedangkan orang tua

dengan latar belakang pendidikan yang rendah akan mengasuh anaknya sesuai apa

yang dilakukan orangtuanya dulu terhadapnya. Juga pengertian dan pemahaman

yang terbatas pula mengenai perkembangan anak akan cenderung memperlakukan

anaknya dengan ketat dan otoriter.

c) Kepribadian.
Tentunya kepribadian orangtua akan sangat berpengaruh dalam proses pola asuh

anak. Ayah atau ibu yang berasal dari pola asuh otoriter kemungkinan besar akan

mengasuh anaknya dengan pola asuh yang sama.

d) Jumlah anak

Semakin banyak anak semakin terbuka pula pemikirannya tentang mengasuh anak.

Karena lebih mengutamakan kerjasama dalam keluarga, orangtua lebih bisa

mengatur egonya. Kontrol akan tingkah laku anak menjadi terbagi jika mempunyai

anak lebih dari satu orang. Jika orangtua hanya memiliki satu anak atau anak

tunggal maka anak akan dijadikan fokus utama perhatian.

3. Dimensi gaya pengasuhan orang tua

Gaya pengasuhan dari model Baumrind (1967,1991) menggunakan responsiveness

(atau acceptance/warm) dan demandingness (atau control) sebagai dimensi gaya

pengasuhan.

a) Dimensi Responsiveness (atau Acceptance/Warm)

Baumrind (1991) mengatakan bahwa “responsiveness refers to the extent to

which parents intentionally foster individuality, self-regulation, and self-assertion

by being attuned, supportive, and acquiescent to children's special needs and

demands”. Responsiveness merupakan sejauh mana orang tua dengan sengaja

mendorong kepribadian, pengaturan diri, dan penegasan diri yang diselaraskan,

mendukung, dan menyetujui kebutuhan dan permintaan khusus anak-anak.

Menurut Nurfadhilah (2015) dimensi ini menggambarkan situasi atau

keadaan dimana orang tua membantu perkembangan anak dan self-assertion

dengan menyesuaikan dan mempertimbangkan permintaan anak. Meliputi


kehangatan, memberikan dukungan, dan komunikasi yang beralasan. Orangtua

yang dominan dalam aspek ini menunjukkan sikap ramah, memberikan pujian, dan

memberikan semangat ketika anak mengalami masalah. Hal ini membuat anak

lebih mudah menerima dan menginternalisasikan standar nilai yang diberikan oleh

orangtua. Sebaliknya, orangtua yang tidak dominan dalam aspek ini akan

menunjukkan perilaku seolah-olah mereka tidak mencintai atau bahkan menolak

kehadiran anak. Hal ini membuat anak merasa tidak perlu mencintai orangtuanya

dan mudah mengalami stress (Nurfadhilah, 2015).

b) Dimensi Demandingness (atau Control)

“Demandingness refers to the claims parents make on children to become

integrated into the family whole, by their maturity demands, supervision,

disciplinary efforts and willingness to confront the child who disobeys” (Baumrind,

1991). Demandingness merupakan tuntutan yang dibuat orang tua pada anak-anak

untuk menjadi terintegrasi ke dalam keseluruhan keluarga, dengan tuntutan

kedewasaan mereka, pengawasan, upaya disiplin dan kesediaan untuk menghadapi

anak yang tidak patuh.

Nurfadhilah (2015) mengemukakan bahwa dimensi ini mengacu pada

derajat dimana orangtua membuat tuntutan dan mengawasi kegiatan anak.

Sehingga membuat anak menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dengan

peratutan perilaku, konfrontasi langsung, dan tuntutan kedewasaan (perilaku

kontrol). Hal ini diwujudkan oleh orangtua melalui bagaimana mereka memberikan

batasan-batasan, menetapkan tuntutan dan harapan serta menunjukkan

kekuasaannya pada anak. Kontrol orangtua ini berfungsi sebagai pelindung atau
pencegah bagi anak dari perilaku-perilaku yang negatif. Orangtua yang

menerapkan kontrol dalam tingkat relatif rendah akan kurang menuntut tanggung

jawab anak, hanya sedikit memberikan pengawasan, dan memberikan kebebasan

kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungannya secara tak terbatas. Sebaliknya,

orangtua yang menerapkan kontrol dalam tingkatan tinggi akan membatasi

kebebasan anak dengan menentukan banyak tuntutan yang disertai dengan

pengawasan (Nurfadhilah, 2015).

4. Jenis-jenis Gaya Pengasuhan Orang Tua

Menurut Baumrind (1991), gaya pengasuhan orang tua dibagi menjadi tiga macam,

yaitu :

a) Gaya Pengasuhan Otoriter (Authoritarian Parenting)

Orang tua authoritarian cenderung untuk membentuk, mengontrol dan

mengevaluasi perilaku dan tingkah laku anak sesuai dengan standar yang berlaku.

Disamping itu pula, orang tua dengan parenting style authoritarian tidak mampu

menghargai timbal balik antara orangtua dengan anak dan menyukai hukuman

untuk mengontrol perilaku mereka. Pola asuh ini mengakibatkan kurangnya

hubungan yang hangat dan komunikatif dalam keluarga. Anak dari pola asuh ini

cenderung moody, murung, ketakutan, sedih, menggambarkan kecemasan dan rasa

tidak aman dalam berhubungan dengan lingkungannya, menunjukkan

kecenderungan bertindak keras saat tertekan dan memiliki harga diri yang rendah

(Nurfadhilah, 2015).

b) Gaya Pengasuhan Otoritatif (Authoritative Parenting)


Gaya pengasuhan otoritatif ini merupakan perpaduan antara gaya otoriter

dan gaya permisif (Dwairy, 2006). Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan

otoritatif cenderung mengarahkan aktivitas anak tetapi dengan alas an yang

rasional, dan bertindak sesuai dengan masalah yang dihadapi (Nurfadhilah, 2015).

Sedangkan menurut Santrock (2012), orang tua yang menerapkan pengasuhan

otoritatif cenderung membuka jalur komunikasi dua arah dengan anak. Gaya

pengasuhan ini berdampak pada kemandirian anak, rasa percaya diri, kontrol diri

dan relasi sosial yang baik, sehingga gaya pengasuhan otoritatif dipandang paling

ideal untuk diterapkan pada remaja (Sumargi, 2017).

Orang tua memiliki batasan dan harapan yang jelas terhadap tingkah laku

anak, mereka berusaha untuk menyediakan panduan dengan menggunakan alasan

dan aturan dengan reward dan punishment yang berhubungan dengan tingkah laku

anak secara jelas tetapi juga tetap menjalankan kedisiplinan yang tinggi dengan

cara yang hangat, masuk akal, fleksibel, dan terbuka. Orang tua sangat menyadari

tanggung jawab mereka sebagai figur yang otoritas, mereka juga tanggap terhadap

kebutuhan dan kemampuan anak. Pola asuh ini dapat menjadikan sebuah keluarga

hangat, penuh penerimaan, mau saling mendengar, peka terhadap kebutuhan anak,

mendorong anak untuk berperan serta dalam mengambil keputusan didalam

keluarga. Anak dengan pola asuh ini berkompeten secara sosial, enerjik,

bersahabat, ceria, memiliki keingintahuan yang besar, dapat mengontrol diri,

memiliki harga diri yang tinggi, serta memiliki prestasi yang tinggi (Nurfadhilah,

2015).

c) Gaya Pengasuhan Permisif (Permissive Parenting)


Pola asuh permisif adalah orang tua menghargai ekspresi diri dan regulasi

diri, mereka berkonsultasi dengan anak mengenai keputusan dan jarang

menghukum. Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua

yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang

anaknya, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Anak

cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua, anak bebas

melakukan apa saja yang diinginkan, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan

sosial yang berlaku, ini yang akan cenderung membuat perilaku agresif (Lili, 2005;

dalam Nasution, 2018).

Orang tua permissive berusaha berperilaku tidak menghukum, menerima

dan afirmatif terhadap impuls, keinginan dan tindakan anak. Orang tua

membicarakan dan mengajak anak untuk menentukan aturan didalam rumah. Orang

tua menunjukkan diri mereka kepada anak sebagai orang tua yang memenuhi

keinginan anak. Orang tua memperbolehkan anak untuk mengatur sendiri aktivitas

yang diinginkan anak, menghindari kontrol dan tidak mendorong anak untuk

mengikuti standar atau aturan. Orang tua cenderung menggunakan alasan ataupun

manipulasi tapi tidak dengan jelas menyampaikan maksud ataupun tujuannya.

Anak dengan pola asuh ini cenderung tidak dapat mengontrol diri, tidak mau patuh,

tidak terlibat dengan aktivitas di lingkungan sekitarnya (Nurfadhilah, 2015).

5. Pola asuh orang tua pada suku Minang


Suku Minangkabau mendiami daerah Sumatera Barat. Dalam tradisinya, suku
Minangkabau dikenal dengan suko marantau (suka bermigrasi) untuk mencari
kehidupan dan kesempatan hidup yang lebih baik. Merantau merupakan cara ideal
dalam mencapai kesuksesan dan kematang bagi laki-laki Minangkabau (Trisa,
Suprijono, & Jacky, 2018). Suku Minangkabau juga dikenal sebagai suku terbesar yang
menganut garis keturunan ibu, yang disebut juga dengan matrilineal (Sukamto & Suci,
2018). Sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau, rumah gadang diisi oleh
keluarga besar, bukan hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, tetapi semua garis satu
keturunan dari garis matrilineal (Koentjoroningrat, 1993; Mulia, 2016). Suku
Minangkabau juga dikenal kental dalam budaya dan norma keislamannya (Chandra,
2004). Falsafah yang dianut suku Minangkabau adalah adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, artinya adat bersendi oleh agama, agama bersendi oleh Al-Qur’an.
Dari sejumlah kajian pustaka yang ditelusuri, dalam pengasuhan, baik mengasuh
anak laki-laki ataupun perempuan, tidak ada perbedaan yang kentara (Rahayu &
Amanah, 2016), dalam arti pengasuhan tidak dibedakan dalam gender. Semua
diberikan sama rata. Lebih lanjut, Rahayu dan Amanah (2016) memaparkan orang tua
dengan suku Minang hanya membedakan pakaian dan mainan anak lakilaki dan
perempuan. Namun dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa anak perempuan di
Minangkabau sangat diperhatikan sekali. Anak perempuan di Minangkabau diatur dari
bagaimana ia berjalan, duduk, berpakaian, bergaul, berdiri, diam, berkomunikasi,
melihat, bekerja, bertanya, dan berperilaku (Astuti, 2016; Iskandar, Mardianto & Putra,
2014).
Orang tua di suku Minang dalam memberikan pengawasan tergantung pada usia
anak (Rahayu & Amanah, 2016). Maksudnya adalah orang tua memberikan tanggung
jawab kepada anak yang dirasa sudah mampu melakukannya sehingga hanya diawasi.
Berbeda dengan usia anak yang masih kecil, orang tua suku Minang akan memberikan
perhatian dan pengawasan yang penuh.
Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, pada sistem kekerabatan
ini anak mengikuti garis keturunan ibu. Pada suku Minangkabau, pengasuhan dibantu
oleh seluruh elemen keluarga ibu. Jadi, pengasuhan tidak hanya tugas orang tua (ibu
dan ayah), tetapi dibantu oleh keluarga dari ibu, seperti mamak (saudara laki-laki ibu)
bertanggung jawab dalam pengasuhan kamanakan (keponakan). Mamak adalah
sebutan untuk saudara laki-laki kandung ibu, baik kakak atau adik dari ibu (Nafkhatul,
2017). Seperti ungkapan Minangkabau, “anak dipangku, kamanakan dibimbiang”
(Sjarifoedin, 2014; Trisa, Suprijono, & Jacky, 2018), maksudnya adalah selain
memperhatikan dan mempedulikan anak sendiri, mamak juga membimbing anak dari
saudara-saudara perempuannya. Pola pengasuhan di Minangkabau, peran ayah dapat
digantikan oleh mamak. Namun, bukan berarti peran ayah tidak penting dalam
pengasuhan, tetapi ayah memiliki tugas utama, yakni: mencari nafkah dan mengolah
tanah pustaka istrinya (Natin, 2008). Sebagaimana ungkapan Minang mengatakan
bahwa “Mamak karena adat, bapak karena darah.” Jadi, unsur pertama dan penting
adalah ayah, kedua mamak.
Dalam pembentukan karakter anak, temuan Eliza (2017) menunjukkan bahwa
keluarga Minangkabau mendidik melalui dongeng-dongeng tradisional, cerita legenda
yang mengandung nilai dan kearifan lokal Minangkabau. Membentuk karakter melalui
cerita legenda atau mitos merupakan salah satu bentuk pendidikan, dan hal itu
merupakan fungsi pedagogi. Cerita dan nilai yang terdapat dalam cerita tersebut
merupakan cara mendidik anak (Campbell, Cousineau, & Brown, 1990), misalnya
dalam kisah Malin Kundang, nilai dan cerita tersebut terefleksikan dalam sistem
pengasuhan. Cerita mitos dan legenda adalah klasik pada setiap budaya, karena mitos
adalah salah satu kebutuhan pada masyarakat dalam menjawab persoalan yang belum
mereka ketahui jawabannya (Yunarti & Rahmadani, 2017). Selain itu, orang tua di
Minangkabau sering memberikan pembelajaran kepada anaknya secara lisan, baik
secara menasehati ataupun menunjukkan dengan perilaku dan tindakan (Trisa,
Suprijono, & Jacky, 2018).
Orang tua Minangkabau juga memberikan pendidikan agama kepada anaknya
untuk membentuk budi dan tata krama yang baik. Selain sekolah formal, orang tua juga
mengarahkan anaknya ka surau (ke mesjid). Surau selain menjadi tempat untuk belajar
agama, fungsi lain surau bisa untuk tempat latihan silek (silat), menjadi pusat budaya,
pelengkap dari rumah gadang, tradisional institusi yang memiliki peran dan fungsi
agama dan budaya sosial dalam kehidupan Minangkabau dan pusat informasi (Haviz,
2017, Mawangir, 2016).
Dalam berbahasa, baik yang mendiami daerah Sumatera Barat maupun diluar
Sumatera Barat, keluarga Minangkabau tetap menjunjung tinggi dan melestarikan
bahasa ibu (Trisa, Suprijono, & Jacky, 2018). Walau keluarga Minangkabau yang
tinggal diluar Sumatera Barat, tetap fasih berbahasa Minangkabau. Komunikasi yang
digunakan anak diatur dalam budaya, pertama kato mandaki, digunakan berbahasa
dengan orang yang lebih dewasa dari anak. Kedua, kato manurun, digunakan kepada
orang yang lebih kecil dari anak. Ketiga, kato malereang, digunakan pada lawan bicara
yang sangat disegani. Keempat, kato mandata, ini digunakan pada lawan bicara yang
sama besar (Nauri, dkk., 2018).
Pola pengasuhan yang diaplikasikan oleh orang tua suku Minang ialah
mengkolaborasikan dan menyeimbangkan antara adat dan agama. Ketek taraja – raja,
gadang tabao – bao, sampai gaek barubah tido (kecil terbiasa, besar terbawa – bawa,
hingga tua tidak berubah (Kosim, Samad, & Nasution, 2018).
6. Pola asuh Orang Tua pada Suku Batak

Masyarakat yang paling banyak menganut suku Batak terdapat di Sumatera Utara.
Sistem kekerabatan yang dianut pada suku ini adalah patrilineal, artinya suku Batak
menganut garis keturunan ayah. Dalam sistem ini anak laki – laki dan perempuan
menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap marga mereka (Firmando,
2020; Rahayu & Amanah, 2016). Penemuan lebih lanjut menjelaskan lebih lanjut
bahwa anak laki – laki Batak, sepanjang hidupnya hanya mengenal marga ayahnya,
sedangkan anak perempuan nantinya akan mengenal dua marga. Pertama, marga
ayahnya; dan kedua, marga suaminya. Posisi perempuan Batak dalam posisi ambigu,
walaupun berhubungan dengan marga tersebut, namun tidak pernah menjadi anggota
yang utuh. (Firmando, 2020; Siregar, 2013).

Falsafah yang dijunjung tinggi oleh suku Batak ialah hagabeon (diberkati atas
keturunan), hamoraon (kekayaan), dan hasangapan (kehormatan) (Harahap & Siahaan,
1987). Suku Batak lebih suka untuk berkelompok dan bersama-sama, baik dalam satu
marga atau berhubungan darah ataupun satu relasi kerabat hubungan pernikahan
(Chandra, 2004). Karena suku Batak suka berkelompok dalam keluarga besar, hal itu
dapat memberikan dukungan emosional, dukungan dalam bentuk asisten atau
bergantian dalam mendidik anak, dukungan dalam memberikan nasihat, saran untuk
lebih baik, dan memberikan rasa kasih sayang, karena menghabiskan waktu bersama –
sama (Fauzia, Nauly, & Purba, 2016)

Dalam suku Batak, laki – laki adalah penting, karena selain penerus marga atau
nama keluarga, laki – laki di suku Batak juga memiliki tanggung jawab untuk
meneruskan keturunan, bertanggung jawab dan hidup mandiri (Rahayu & Amanah,
2016). Tapi tidak membuat peranan anak perempuan menjadi hilang pada suku Batak.
Suku Batak juga menjunjung dan mengangkat anak perempuan. Anak perempuan juga
sangat penting peranannya di suku Batak, yakni sebagai pengurus dan pemerhati orang
tua yang telah lanjut usia (Firmando, 2020).

Orang tua suku Batak sangat memperhatikan pendidikan putra – putrinya. Mereka
selalu menekankan pendidikan yang baik untuk keturunannya. Sehingga orang tua suku
Batak, dalam kegiatan bekerja bukan hanya untuk mempertahankan hidup, juga untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan keturunannya, sehingga
mereka rela untuk menyimpan pundi-pundi rupiah untuk pendidikan yang mapan bagi
anak – anaknya (Chandra, 2004). Sehingga budaya pergi ke daerah orang, memang
menjadi tradisi bagi suku Batak, ia menginginkan agar anak-anaknya memiliki
kehidupan yang lebih baik dibanding dirinya. Dengan hal tersebut, dapat membuat
keluarga Batak dihormati (Sutantoputri, Murniati, & Purwanti, 2015).

Dalam pembentukan watak anak, suku Batak harus tegar dan kuat, mereka tidak
boleh menunjukkan kelemahan ataupun afektif mereka. Ini di kenal dengan creedo atau
menangis di dalam hati). Jika anak suku Batak menunjukkan kelemahannya ataupun
gagal di salah satu aspek kehidupan, itu dapat dicemoohkan oleh masyarakat dan
bahkan keluarga sendiri. Sehingga suku Batak memiliki internalisasi dalam dirinya
adalah menjadi “nomor satu”. Suku Batak memiliki jiwa kompetitif yang kuat,
sehingga memiliki keinginan menjadi yang pertama pada semua aspek. Jika gagal,
mereka akan berusaha lebih keras lagi, dan tidak menunjukkan kegagalan mereka,
karena menjadi lemah dan menangis itu bukan suatu jiwa dari suku Batak (Fauzia,
Nauly, & Purba, 2016).

Orang tua suku Batak juga melakukan pemberian cerita, dongeng dan mitos kepada
anak – anaknya, seperti cerita Si Beru Rengga Kuning, di dalam cerita ini nilai moral
yang terkandung dan dapat membentuk sikap dan moral anak (Karo, 2018). Walaupun
kejadiannya tidak sebenar – benarnya, namun mitos tersebut dapat diandalkan dalam
masyarakat (Karo, 2018).
B. Dinamika Psikologis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Dinamika Psikologis yang
dikemukakan oleh Alfred Adler. Beliau menyampaikan individu memulai hidup dengan
kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior, perasaan yang menggerakkan orang
untuk berjuang menjadi superiorita atau untuk menjadi sukses.
Beliau melihat bahwa seorang individu merupakan pribadi yang unik. Dalam
membentuk kepribadiannya masing-masing, terdapat 3 aspek yang saling berkaitan dan
bersinambung untuk menjelaskan suatu fenomena. Dinamika psikologis dalam penelitian
ini didefinisi sebagai sebuah sistem psikologi yang menekankan penelitian terhadap
hubungan sebab akibat hingga muncul perilaku tertentu. Dalam proses menjadi sukses ini
terdapat tiga aspek yang saling berkaitan yaitu perasaan, kognitif dan behaviour yang
menjadi tenaga kekuatan yang mendorong manusia untuk berkembang dan berubah dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk tingkah laku yang nampak.
1. Aspek Dinamika Psikologis
Walgito mengatakan ada 3 aspek psikologis yang akan mempengaruhi tingkah laku
manusia dalam kesehariannya, yaitu:
a. Aspek afeksi (aspek emosional)
Merupakan aspek yang berkaitan dengan emosi dan perasaan seseorang tentang
apa yang dialami.
b. Aspek kognitif (aspek perseptual)
adalah aspek yang berhubungan dengan pengetahuan dan persepsi individu
tentang kejadian atau objek yang sedang dihadapi.
c. Aspek behavior (aspek perilaku atau action component)
Aspek ini merupakan aspek tentang sikap dan perilaku seseorang untuk
merespon stimulus yang dijadikan objek dalam lingkungannya.
Saat ketiga aspek afeksi, kognitif, dan behavior berjalan beriringan secara harmoni
dan selaras maka kehidupan psikis manusia akan berjalan baik. Namun ternyata ada banyak
pula konflik lain yang menyertainya diantaranya konflik dengan pikiran, perasaan,
kemauan yang terkadang saling bertentangan.
2. Indikator Dinamika Psikologis
Bloom menguraikan lagi 3 aspek dinamika psikologis seseorang dalam tiap-tiap indikator
penjelas, berikut penjelasaanya :
a. Afeksi ( aspek emosional )
• Penerimaan dan Pemberian respon
Bloom mengatakan penerimaan adalah tahap awal kemampuan
memperhatikan dan memberikan respon terhadap stimulus yang tepat.
Selanjutnya, diikuti oleh ketertarikan terhadap sebuah stimulus. Dengan
kata lain, dinamika psikologis berawal dari penerimaan dan pemberian
respon sebagai wujud interaksi antara individu dengan lingkungan.
• Penilaian atau penentuan sikap dan Organisasi atau perencanaan
Bloom menjelaskan penilaian akan mengikatkan kita pada sebuah stimulus,
diharapkan ada reaksi seperti menerima, menolak, atau tidak
memperhatikan stimulus. Sedangkan, kombinasi antara nilai dan sikap
yang berbeda dan lebih konsisten atau tetap yang menimbulkan konflik
internal dalam diri manusia juga membentuk suatu sistem nilai dan
tergambar dalam tingkah laku yang nampak.
• Karakterisasi atau pembentukan pola hidup
Bloom mengungkapkan karakter yang ingin ditampilkan seseorang
bertujuan dalam pengkategorian antara hubungan pribadi, sosial dan emosi
jiwa.
b. Kognitif ( aspek perseptual )
• Pengetahuan dan Pemahaman
Bloom menjelaskan pengetahuan mengacu pada kemampuan persepsi dan
memori seseorang. Sedangkan pemahaman adalah mengarah kepada
kemampuan memahami makna materi.
• Penerapan dan Analisis
Bloom menjelaskan kemampuan menggunakan atau menerapkan materi
yang sudah dipelajari pada suatu kondisi yang baru dan menggunakan
aturan dan prinsip. Sedangkan analisis adalah kemampuan menjabarkan
materi ke dalam bagian-bagian kecil atau faktor penyebab dan bisa
memahami hubungan antara bagian satu dengan yang lain.
• Sintesa masalah dan Evaluasi
Bloom menjelaskan sintesa masalah adalah berfikir kreatif, tentang
memadukan konsep baru pada sebuah masalah dan menciptakan pola
struktur baru terhadap masalah yang dihadapi. Kemampuan memberikan
penilaian terhadap masalah yang sudah dikerjakan tentang kurang lebihnya
untuk digunakan tujuan tertentu.
c. Behavior atau perilaku
• Peniruan dan manipulasi
Bloom menjelaskan peniruan adalah pengamatan perilaku terhadap suatu
masalah dan diaplikasikan terhadap masalah individu bentuknya belum
spesifik dan tidak sempurna.
• Respon terpimpin
Bloom menjelaskan respon terpimpin adalah perkembangan kemampuan
mengikuti pengarahan, penampilan, dan gerakan yang dipilih untuk
ditampilkan. Tahap awal dalam proses pembelajaran gerakan yang
kompleks. Hal yang mau dan akan diperlihatkan yang sudah melalui
banyak pertimbangan sebelumnya.
• Adaptasi
Bloom menjelaskan adaptasi adalah tahap modifikasi dan penyesuaian
ketrampilan sampai dapat berkembang dalam situasi yang berbeda.
Adaptasi yang dimaksudkan adalah bertahan dari segala tekanan dan
mengambil celah juga mengendalikan kegiatan yang dilakukan dari anak
tunggal yang terlalu ditekan akan harapan-harapan orangtua, menjadi
pribadi yang punya mimpi dan cara mewujudkan mimpi itu.
• Penciptaan
Bloom menjelaskan penciptaan adalah menciptakan berbagai modifikasi
dan pola gerakan baru untuk menyesuaikan dengan tuntutan suatu situasi.
3. Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Psikologis
Menurut Yusuf dan Nurihsan, ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan
dinamika psikologis yang membentuk sebuah kepribadian yaitu:
a. Faktor genetik ( pembawaan)
Masa dalam kandungan dinilai sebagai saat yang kritis dalam perkembangan
kepribadian. Bukan hanya tentang pola-pola kepribadian tetapi juga masa
pembentukan kemampuan yang menentukan cara individu beradaptasi setelah
proses kelahiran.
b. Faktor lingkungan
Dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu :
• Keluarga
Dipandang sebagai penentu utama pembentukan aspek-aspek dinamika
psikologis. Juga keluarga dilihat dapat memenuhi kebutuhan manusiawi,
terutama perkembangan kepribadian dan pengembangan ras manusia.
• Faktor budaya
Budaya secara tidak lansung akan memberikan pengaruh terhadap aspek
kepribadian seseorang seperti cara berfikir, bertindak dan berperilaku. Dan
semua itu akan nampak dalam gaya hidup individu.
• Lingkungan belajar
Terkait penerimaan individu dalam sebuah lingkungan sosial. Dimana dia
dengan teman-temannya mengembangkan sebuah kepribadian yang baru
dan berkembang.
Dari ketiga aspek tersebut saling berkaitan. Menurut Adler, aspek konasi, aspek
kognitif dan aspek behaviour akan berlangsung dan saling berkaitan satu sama lain. Cara
kerja teori tersebut dalam kajian ini yaitu untuk melihat bagaimana ketiga proses tersebut
berlangsung dalam dinamika psikologis anak tunggal dengan orangtua otoriter. Meskipun
banyak faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis individu, pada akhirnya akan tetap
kembali kepada tiap individu yang terkait. Karena memperjuangkan apa yang diinginkan
dan menjadi sejahtera adalah hak setiap orang.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sesuai dengan
masalah yang akan diteliti, dengan teknik wawancara dengan subjek terkait. Adapun
penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran
orang secara individu maupun kelompok. Beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan
prinsip-prinsip dan penjelasan untuk mendapatkan kesimpulan. Penelitian kualitatif
bersifat induktif: peneliti membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau
dibiarkan terbuka untuk interprestasi. Analisis data kualitatif tidak menggunakan rumus
statistik. Analisis menggunakan otak dan kemampuan berfikir peneliti, karena peneliti
sebagai alat analisis. Kemampuan peneliti untuk menghubungkan secara sistematis antara
data satu dengan data lainya sangat menentukan proses analisis dan kualitatif.

B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah terdiri dari 6 orang dengan rincian 3 orang yang di asuh
oleh orang tua bersuku Minang, dan 3 orang lagi yang di asuh oleh orang tua bersuku
Batak. Subjek ada yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dengan kisaran usia
20-21 tahun. Pemilihan subjek ini dilakukan secara random yang sesuai dan memenuhi
kriteria subjek yang dibutuhkan.
Karakteristik subjek sebagai berikut:
− Laki-laki atau perempuan
− Memiliki Kedua Orang Tua bersuku Minang atau Kedua Orang Tua bersuku
Batak
− Sehat jasmani dan rohani
− Bersedia menjadi subjek penelitian

C. Prosedur Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan prosedur pengumpulan data sebagai
berikut:
1) Wawancara
Dengan metode penulis menggunakan wawancara langsung dengan subjek
yang terkait yang dapat membantu proses pengumpulan data yang sebenarnya
sesuai dengan kondisi yang terjadi secara nyata. Wawancara adalah dialog
langsung untuk memperoleh data dengan interview kepada setiap individu tanpa
dibatasi oleh faktor usia maupun kemampuan membaca. Merupakan teknik
pengumpulan data yang bersifat komunikasi langsung. Melalui teknik ini, peneliti
(pewawancara) berkomunikasi langsung secara verbal dengan responden (yang
diwawancarai) untuk memperoleh data yang diperlukan. Data dalam penelitian ini
di ambil dari hasil wawancara antara peneliti dengan subjek yaitu tentang
bagaimana pola asuh orang tua yang bersuku Minang dan bersuku Batak.
Dalam proses pengumpulan data ini, pewawancara menggunakan jenis
wawancara bebas terpimpin yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan
wawancara terpimpin. Dalam melaksanakan interview pewawancara membawa
pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.
Hal ini bertujuan untuk menggali informasi yang dibutuhkan serta meningkatkan
fleksibelitas dan rapport yang tinggi terhadap narasumber. Pertanyaan akan
disesuaikan dengan pedoman wawancara yang telah dibuat dan menambahkan
pertanyaan saat wawancara berlangsung sesuai keadaan dan ciri yang unik dari
responden. Pelaksanaannya tanya jawabnya pun mengalir seperti dalam percakapan
sehari-hari. Adapun tema besar dari pertanyaan yang diajukan adalah meliputi
bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua masing-masing subjek serta
bagaimana pandangan subjek mengenai pola asuh yang diterapkan orangtuanya.

D. Teknis Analisis Data / Pendekatan (Fenomenologis, Etnografi, case study, dll)


Analisis data dalam penelitian merupakan bagian yang sangat penting karena
dengan analisis data yang ada akan nampak manfaat terutama dalam memecahkan masalah
penelitian dan mencapai tujuan akhir dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif ada 2
jenis analisis yaitu deskriptif dan interpretatif. Deskriptif adalah penjelasan apa adanya
yang sesuai dengan temuan peneliti sedangkan interpretatif sendiri lebih mencari sesuatu
dibalik yang tampak atau berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi dari sederetan fakta
yang ditemukan. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis secara deskriptif untuk
memaparkan temuan yang sudah didapatkan sesuai dengan data yang ada, bahwa aktifitas
dalam analisis data yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas. Tiga langkah dalam analisis data yaitu:
1) Data reduction (reduksi data)
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal yang penting, membuang yang tidak perlu. Reduksi data
dimaksudkan untuk menentukan data ulang sesuai dengan permasalahan yang
akan penulis teliti, dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah penelitian untuk
melakukan pengumpulan data.
2) Data display (penyajian data)
Data hasil reduksi disajikan kedalam bentuk yang mudah dipahami. Dalam
penelitian kualitatif penyaji data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
bagaimana hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Sajian data dimaksud
untuk memilih data yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.
3) Conclusion drowing atau verfikasi (menarik kesimpulan)
Kesimpulan akan diikuti dengan bukti-bukti yang diperoleh ketika peneliti
di lapangan. Verifikasi data dimaksud untuk penentukan data akhir dan
keseluruhan proses tahapan analisis, sehingga keseluruhan permasalahan sesuai
dengan kategori data.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Fenomenologi.
fenomenologi bisa diartikan sebagai studi tentang pengalaman hidup seseorang atau
metode untuk mempelajari bagaimana individu secara subjektif merasakan pengalaman
dan memberikan makna dari fenomena tersebut. Fenomenologi dipilih karena dianggap
paling sesuai dengan topik yang kami pilih untuk penelitian ini.
E. Tahapan penelitian
1. Tahap Perencanaan
a) Pemilihan masalah, dengan kriteria:
• Merupakan tajuk penting, menarik, diminati peneliti, bisa diteliti, mampu
ditangani
• Belum diteliti
• Bisa diteliti
• Data dapat diperoleh
• Bermanfaat
b) Latar Belakang masalah, untuk:
• Menempatkan masalah dalam perspektif tertentu
• Menegaskan fokus perhatian dalam penelitian
• Menjelaskan cakupan dimensi permasalahan
c) Perumusan masalah, berisi penjelasan mengenai
• Faktor yang dilingkupi
• Pertanyaan penelitian
d) Tujuan dan manfaat penelitian, menyatakan:
• hal yang ingin dicapai melalui penelitian
• bersifat jelas, spesifik, tepat
• jika lebih dari satu, disusun menurut tingkat kepentingannya
• memperhatikan lingkup: lebih sempit lebih baik
• manfaat menjelaskan kontribusi/implikasi terhadap teori atau implementasi
e) Telaah pustaka
• informasi/data dasar yang relevan
• berisi temuan yang telah dicapai
• singkat, runtut, nalar
f) Kerangka teoritis/konseptual
• formulasi hubungan logis antar variabel yang diteliti
• sebagai landasan hipotesis
• mengandung struktur logika tertentu
g) Metode penelitian mencakup prosedur dan alat yang digunakan:
• Populasi, sampel, variabel, instrumen, statistic

2. Tahap Pelaksanaan
a) Pengumpulan data
• Prosedur pengumpulan
• Sikap dan motivasi
• Memperhatikan kesahihan (validitas) dan kehandalan
b) Pengolahan data: menyunting, mengkodekan, mentabulasi
c) Analisis data
• menyederhanakan hasil olahan agar mudah dibaca & diinterpretasi
d) Penafsiran hasil analisis
e) Kesimpulan, berisi
• Sintesis semua aspek yang dibahas
• relevan
• Pengkajian implikasi penelitian
• Rekomendasi/saran

3. Tahap Penulisan Laporan


BAB 4 HASIL PENELITIAN

A. Temuan Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah remaja berusia 20-21 tahun yang berjumlah
6 orang, yang terbagi atas 3 orang yang diasuh orang tua minang, dan 3 orang yang diasuh
orang tua batak. Rata-rata subjek sedang menjalani dunia pendidikan di bangku perguruan
tinggi. Subjek ada yang berjenis kelamin laki-laki dan juga perempuan.
Subjek pertama yang berinisial MP yang diasuh oleh orang tua bersuku batak
bercerita jika pola asuh yang diterapkan orangtua keras dan disiplin namun tetap hangat.
perhatian dari orang tua MP sangat besar sekali, orang tua MP selalu mengusahakan anak-
anaknya mendapatkan seperti yang anak orang lain dapat, berusaha supaya anaknya tidak
merasa tertinggal diantara teman-teman. Bapak bekerja mengambil lembur demi
membiayai sekolah dan kuliah anak-anaknya, mama juga pandai dan lihai dalam mengatur
keuangan keluarga supaya anak-anaknya tetap mendapat sandang, pangan dan papan yang
sesuai. intinya orangtua mengusahakan yang terbaiklah buat anak-anaknya.
Menurut MP, orang tuanya merupakan orang tua yang terbuka. Orang tua MP juga
memberi kebebasan salah satunya seperti menentukan jurusan dan universitas yang MP
pilih sendiri. komunikasi MP dengan orang tua berjalan baik, walau MP sedang tidak
tinggal bersama orang tuanya dikarenakan kos diluar kota, minimal dalam seminggu dari
orang tua ataupun MP selalu menelpon sekedar bertanya kabar atau mengucapkan selamat
hari minggu pada hari minggu. setiap perkataan dari orang tua diusahakan untuk MP turuti.
Orang tua MP juga mengajarkan dan menerapkan pola asuh yang sesuai dengan
adat batak. Salah satu contohnya adalah dengan orang tua selalu mengingatkan MP bahwa
ia tidak bisa memiliki hubungan dengan orang dengan marga yang sama. Dari penuturan
MP, pola asuh rata-rata orang tua bersuku batak mempunyai prinsip anaknya harus lebih
tinggi dari orang tuanya. peran orang tua MP itu mendidik anak-anak nya agar jadi orang
sukses dan pendidikannya bisa lebih tinggi dari orang tua. orang tua MP juga memberi
pengetahuan tentang agama dan adat yang ada di suku batak supaya anaknya tidak buta
dengan adat batak.
Subjek kedua yang berinisial KN yang diasuh oleh orang tua bersuku batak
mengatakan bahwa dalam adat batak harus sopan jika ngomong sama anak laki-laki.
Karena dalam adat batak laki-laki adalah pengganti sosok ayah nanti ya dan tempat
penggaduan anak perempuan. Jadi kalau di rumah harus taat apa kata abang dan tidak boleh
melawan.
Menurut KN orang tua dalam mendidiknya sangat displin dan teratur dan diajarkan
saling menghormati satu sama lain dalam bersaudara. KN juga bercerita orang tuanya
mendidik anak dengan keras. keras bukan berarti memukul tapi keras dalam ajaran
bagaimana cara menghormati orang lain dan keluarga karena orang batak keras di luar tapi
hatinya lembut. Misalnnya KN berkelahi dengan abangnya hingga adu mulut maka si
abang akan kena marah dan si adek juga kena marah karena melawan abangnya. melawan
abang itu paling pantang dalam adat batak. Orang tua mendidik keras bukan berarti
membenci anak ya tapi karena sayang. Dan sampai sekarang ajaran itu berlaku dalam
keluarga KN setiap melawan dengan abang atau si kakak, akan kena marah dan akan di
nasehati.
Subjek ketiga yang berinisial JHS yang diasuh oleh orang tua bersuku batak
bercerita orang tuanya mendidik dengan keras dan displin juga. contoh kecil nya seperti
jangan bangun kesiangan, setiap hari selalu bekerja juga jika sudah selesai sekolah
membantu orangtua.
Nasehat yang selalu diberikan oleh orang tua JHS dalah agar selalu membanggakan
nama keluarga. Orang tua JHS juga merupakan orang tua yang cukup terbuka kepada anak-
anaknya. Orang tua JHS juga tidak sungkan untuk memberikan pujian kepada JHS atas
keberhasilannya dalam suatu bidang.
Subjek keempat yang berinisial MA yang diasuh oleh orang tua bersuku minang
bercerita bahwa ia tidak diawasi lagi oleh orang tua nya, namun tetap diberikan nasehat-
nasehat oleh orang tuanya jika diperlukan. MA merupakan anak tunggal. MA merasa
kurang diperhatikan oleh orang tua nya karena kedua orang tuanya bekerja. MA cukup
bingung terhadap pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya karena MA dari bayi hingga
kelas 1 SLTP di titipkan pada orang lain. Namun ketika MA sudah SMP pola asuh yang
saya dapatkan yaitu disiplin dan harus selalu tepat waktu.
Pola asuh yang diterapkan orang tua MA cenderung keras. Misalnya, MA
melakukan kesalahan pasti orangtua MA menghukum dengan keras. Menurut MA peran
orang tua sangat besar dalam hidupnya, tanpa peran orangtua anak bisa kehilangan arah.
Nasehat yang sering diberikan oleh orang tua MA tentang bagaimana menghormati orang
yang lebih tua, harus disiplin, bersih.
orangtua MA termasuk orang yang sangat terbuka dengan MA. Tidak ada yang
disembunyikan. MA merasa sedikit tertekan dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang
tuanya karena menurutnya, banyak aturang orangtuanya yang sangat kaku dan tidak bisa
di bantah. Contohnya MA di paksa untuk kuliah dengan jurusan apa yang di inginkan
orangtuanya tetapi MA sendiri sangat lah tidak suka. MA selalu menuruti apa yang
diinginkan oleh orangtuanya.
Subjek kelima yang berinisial D yang diasuh oleh orang tua bersuku minang
mengatakan bahwa D masih dalam pengawasan orangtuanya walaupun sudah diberi sedikit
kebebasan. D bercerita di rumah pola asuh yang diterapkan keras, papa dan mama D
orangnya keras jadi pola asuh yang diterapkan juga keras ke anak-anaknya. Orangtua D
mengajarkan bagaimana si anak seharusnya, misalnya D yang merupakan anak perempuan
jadi D di rumah itu harus bisa masak, bersih-bersih, dan harus bersih.
Menurut D Peran orangtua sangat penting untuk tumbuh kembang anak, bagaimana
anak akan terbentuk di masa depan nanti tergantung peran orangtuanya. Orang tua D
merupakan orang tua yang tertutup jarang membicarakan hal-hal serius dan juga keluh
kesah. D mengatakan sedikit tertekan dengan pola asuh yang diterapkan orang tuanya. D
tidak pernah mengabaikan apa yang orang tuanya katakan.
Subjek keenam yang berinisial SRL yang diasuh oleh orang tua bersuku minang
mengatakan bahwa SRL dibebaskan tetapi SRL tidak dalam pengawasan orang tua lagi,
karena SRL merantau dan jauh dari orang tua. Jadi orang tua sudah menaruh kepercayaan
ke SRL. Namun, untuk nasihat masih diberikan oleh orangtua SRL sampai saat ini.
Pola asuh yang SRL dapatkan dari orang tua seperti dibiasakan untuk hidup jujur,
bertanggung jawab dan disiplin. Pola asuh yang diterapkan mungkin bisa dikatakan
cenderung keras. Contohnya, jika SRL melakukan kesalahan, SRL di ajarkan untuk
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut dan jika SRL membuat kesalahan orang tua
SRL menghukum SRL sebanding dengan kesalahan yang diperbuat.
Nasehat yang sering diberikan orang tua SRL tentang bagaimana menghormati
orang yang lebih tua, bagaimana untuk mengahargai orang sekitar dan hidup disiplin.
orangtua SRL termasuk orang yang sangat terbuka, tidak ada yang disembunyikan.
Komunikasi dengan keluarga SRL berjalan baik dan setiap omongan dari orang tua SRL
pun dituruti SRL.

B. Dinamika Psikologis

Pola asuh ditinjau dari


2 suku
Dinilai dari

Nilai yang dianut oleh

Pembentukan karakter

Pengasuhan yang diaplikasikan

C. Pembahasan
Etnis Batak menganut system kekerabatan yang bersifat patrilineal (mengikuti garis
keturunan ayah). Pada keluarga etnis Batak, anak laki-laki adalah penting karena
merupakan penerus marga. Seorang anak laki-laki dalam keluarga Batak memiliki
tanggung jawab untuk bisa meneruskan keturunan sehingga dituntut untuk hidup mandiri
dan bertanggungjawab. ajaran orangtua masing-masing responden yang menitikberatkan
pada penanaman nilai moral. Pola komunikasi dalam keluarga juga memiliki hubungan
positif dengan fungsi prokreasi keluarga etnis Batak. Pola komunikasi yang terbentuk
dalam responden keluarga etnis Batak cenderung bersifat komunikasi dua arah sehingga
melalui pola komunikasi yang demikian orangtua dapat menanamkan nilai moral dan
budaya kepada anak tanpa membuat anak merasa digurui.
Etnis Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal dimana garis keturunan
mengikuti garis keturunan ibu. Orang tua di suku Minang dalam memberikan pengawasan
tergantung pada usia anak (Rahayu & Amanah, 2016). Maksudnya adalah orang tua
memberikan tanggung jawab kepada anak yang dirasa sudah mampu melakukannya
sehingga hanya diawasi. Berbeda dengan usia anak yang masih kecil, orang tua suku
Minang akan memberikan perhatian dan pengawasan yang penuh.
Pola pengasuhan dari suku minang
Nilai yang di anut Suku minang berpegang teguh dengan
falsafah yang diikuti, yakni adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah
Pembentukan karakter Orang tua suku Minang suka memberikan
cerita berupa legenda, dongeng, mitos,
lainnya. Selain itu, ketauladanan dan
tindakan dari orang tua itu sendiri juga
diperlukan.
Pengasuhan yang di aplikasikan Orang tua suku Minang menyeimbangkan
antara pengetahuan agama dan adat. Serta
anak di suku Minang tidak hanya diasuh
oleh keluarga inti, namun ada peran
mamak dalam mengayomi anak.

Pola pengasuhan dari suku batak


Nilai yang di anut Suku Batak dalam falsafah hidupnya
memiliki tujuan hagabeon, hamoraon, dan
hasangapan.
Pembentukan karakter Suku Batak memiliki jiwa kompetetitif,
sehingga mengasah jiwa tegar sedari dini
pada anaknya. Selain itu, orang tua suku
Batak juga memberikan cerita-cerita mitos,
legenda dan dongeng dalam membentuk
kepribadian anak.
Pengasuhan yang di aplikasikan Orang tua suku Batak, selain mengikuti
adat yang kental, mereka juga
mensinergikan dengan agama yang dianut.
BAB 5 PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai tinjauan referensi dan hasil penelitian, ditemukan berbagai hal yang
membedakan pola pengasuhan suku satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
mencakup dari nilai dan budaya yang dianut, pembentukan karakter anak, dan pola
pengasuhan yang dilakukan terhadap anak ini ditinjau dari aturan dan nilai budaya
setempat, pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua, serta tujuan, visi, dan misi dari
budaya yang mempengaruhi cara orang tua mendidik anak. Walaupun demikian, hal
tersebut memberikan variasi dalam pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua di
Indonesia. Hal ini memungkinkan untuk orang tua merefleksikan Kembali dan mengambil
hal– hal positif dalam pengasuhan yang diterapkan pada anak dalam perspektif suku dan
budaya. Dalam keanekaragaman suku dan budaya, sepatutnya wajib kita lestarikan.
Namun, jika ada hal yang melenceng dari prinsip ideal, sebaiknya dijadikan evaluasi
kedepan dan mengambil sisi positif.
B. Saran
Studi selanjutnya dapat meneliti faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi
perbedaan sikap pengasuhan orang tua suku minang dan batak, seperti: faktor psikologis
dan faktor sosial-ekonomi atau faktor lainnya.
Daftar Pustaka

Alegre, A. (2012). The relation between the time mothers and children spent together and the
children’s traint emotional intelligence. Child & Youth Care Forum, 41(5), 493-508.
https://doi.org/10.1007/s10566-012-9180-z

Badan Pusat Statistik. (2020). Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 Hasil SUPAS 2015.
Retrieved from https://www.bps.go.id.

Baumrind, D. (1966). Effect of authoritative parental controlon child behavior. Child


Development, 37 (4), 887-907. DOI: 10.2307/1126611.

Baumrind, D. (1971). Current pattern of parental authority. Developmental Psychology


Monograph, 4 (1), 1-103. DOI: 10.1037/ h0030372.

Belsky, J. (1984). The determinants of parenting: A process model. Child Development, 55(1), 83–
96. https://doi.org/10.2307/1129836

Bornstein, M. H. (2012). Cultural approaches to parenting. Parenting, 12(2-3), 212–221.


https://doi.org/10.1080/15295192.2012.683359

Bradley, R. H. & Corwyn, R. F. (2002). Socioeconomic status and child development. Annual
Review of Psychology, 53(1), 371-399.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.53.100901.135233

Brooks, R. (2005). The power of parenting. In S. Goldstein & R. Brooks (Eds.), Handbook of
resilience in children (pp. 297–314). New York, NY: Springer.

Burchinal, M. R., Peisner-Feinberg, E., Pianta, R., & Howes, C. (2002). Development of academic
skills from preschool through second grade: Family and classroom predictors of
developmental trajectories. Journal of School Psychology, 40(6), 415–436.
https://doi.org/10.1016/s0022- 4405(02)00107-3

Dwairy, M., Achoui, M, Abouserie, R., Farah, A., Sakhleh, A. A., Fayad, M., & Khan, H. K.
(2006). Parenting styles in Arab societies: A first cross-regional research study. Journal of
Cross-Cultural Psychology, 37(3), 230 – 247. https://doi.org/10.1177/0022022106286922
French, D. C., Rianasari, M., Pidada, S., Nelwan, P. & Buhrmester, D. (2001). Social support of
Indonesian and U.S. children and adolescents by family members and friends. Merrill-
Palmer Quarterly, 47(3), 377-394. https://doi.org/10.1353/mpq.2001.0015

Huver, R. M. E., Otten, R., de Vries, H., & Engels, C. M. E. (2010). Personality and parenting
style in parents of adolescents. Journal of Adolescence, 33(3), 395-402. https://doi.org/
10.1016/j.adolescence.2009.07.012

Keshavarz, S. & Baharudin, R. (2009). Parenting Style in a Collectivist Culture of Malaysia.


European Journal of Social Sciences, 10(1)1, 66-73. Retrieved from
http://psasir.upm.edu.my/id/eprint/16042/

Kholifah. (2018). Pengaruh pola asuh orang tua terhadap kecerdasan emosional AUD di TK
Muslimat NU 1 Tuban. Jurnal Pendidikan Anak, 7(1), 61-75. DOI:
10.21831/jpa.v7i1.24446

Kuntoro, I. A., Peterson, C. C., & Slaughter, V. (2017). Culture, Parenting, and Children’s Theory
of Mind Development in Indonesia. Journal of Cross-Cultural Psychology, 48:9, 1389-
1409. https://doi.org/10.1177/00220022117725404.

Kushnick, G. C. (2006). Parent-offspring conflict among the Karo of North Sumatra. Doctoral
Dissertation. Seattle, WA: University of Washington. Retrieved from
http://search.proquest. com/docview/304967379?accountid=14723

Merliana, N. (2010). Pola pengasuhan pada komunitas adat Giri Jaya. Jurnal Patanjala, 2 (2), 241-
257.

Morrison, F. J. (2009). Parenting and academic development. Merrill-Palmer Quarterly, 55, 361–
372. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/23096262?seq=1

Mulder, N. (1992). Individual and society in Java: A cultural analysis (2nd ed.). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Mulder, N. (2000). Inside Southeast Asia: Religion, Everyday Life, Cultural Change. Chiang Mai,
Thailand: Silkworm Books.
Na’im, A. & Syaputra, H. (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-
hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Prinzie P., Onghena, P., Hellinckx, W., Grietens, H., Ghesquière, P., Colpin, H. (2004). Parent and
child personality characteristics as predictors of externalizing problem behaviour in
children. European Journal of Personality, 18(2), 73 – 102. https://doi.org/
10.1002/per.501

Riany, Y.E., Meredith, P. & Cuskelly, M. (2017). Understanding the Influence of Traditional
Cultural Values on Indonesian Parenting. Marriage & Family Review, 53(3), 207-226.
https://doi.org/10.1080/01494929.2016.1157561.

Röttger-Rössler, B., Scheidecker, G., Jung, S., & Holodynski, M. (2013). Socializing emotions in
childhood: A cross-cultural comparison between the Bara in Madagascar and the
Minangkabau in Indonesia. Mind, Culture, and Activity, 20(3), 260-287.
https://doi.org/10.1080/10749039.2013.806551

Santrock, J. W. (2013). Life-span development fourteenth. McGraw-Hill. New York, USA:


Companies Edition Americas.

Situngkir, H. (2008). Constructing the phylomemetic tree, case of study: Indonesian


traditioninspired building. SSRN Electronic Journal,1 – 9. DOI: 10.2139/ssrn.1104060.

Smokowski, R. P., Bacallao, M. L., Cotter, K. L., & Evans, C. (2014). The effects of positive and
negative parenting practices on adolescent mental health outcomes in a multicultural
sample of rural youth. Child Psychiatry and Human Development, 46 (3), 333-345.
https://doi.org/10.1007/s10578-014-0474-2

Soekanto, S. (2002). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC.

Sulistino, E. (2016). Pengasuhan anak pada single parent. Disertasi Tidak Diterbitkan. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Sung, H. Y. (2010). The influence of culture on parenting practices of East Asian families and
emotional intelligences of older adolescents. Journal of School Psychology International,
31 (2), 199-214. DOI: 10.1177/0143034309352268

Susanto, A. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Prenada Media Group.

Tridhonanto, A. (2014). Mengembangkan pola asuh demokratis. Jakarta: Gramedia.

Vafaeenejad, Z., Elyasi, F., Moosazadeh, M., & Shahhosseini, Z. (2019). Psychological factors
contributing to parenting styles: A systematic review. F1000 Research, 7, 906.
https://doi.org/10.12688/f1000research.14978.2

Weinberg, B.A. (2001). An incentive model of the effect of parental income on children. Journal
of Political Economy, 109(2), 266–280. https://doi.org/10.1086/319556

Winarti, W. (2019). Hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan orientasi pola asuh
anak usia dini (Studi di RA Al Karimy Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto). The Annual
International Conference on Islamic Education, Proceeding 4 (1), 261-270. Retrieved from
http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/ proceedings/article/view/393

Yunus, K. R. M. & Dahlan, N. A. (2013). Child-rearing practices and socio-economic status:


Possible implications for children’s educational outcome. Social and Behavioral Sciences,
90, 251-259. . https://doi.org/ 10.1016/j.sbspro.2013.07.089

Zevalkink, J., & Riksen-Walraven, J. M. (2001). Parenting in Indonesia: Inter- and intracultural
differences in mothers’ interactions with their young children. International Journal of
Behavioral Development, 25 (2), 167–175. https://doi.org/10.1080/01650250042000113

Anda mungkin juga menyukai