Sosialisasi adalah proses dimana kita belajar dan menginternalisasi aturan dan pola perilaku yang dipengaruhi oleh budaya. Proses ini kadang memerlukan waktu yang panjang, melibatkan proses belajar dan menguasai norma-norma sosial dan budaya, sikap, nilai-nilai, dan sistem kepercayaan. Beberapa orang percaya bahwa temperamen biologis dan kecenderungan yang kita bawa sejak lahir sebenarnya bagian dari proses sosialisasi. Sedangkan enkulturasi adalah proses di mana anak-anak belajar dan mengadopsi cara-cara dan perilaku dalam budaya mereka. Matsumoto & Juang. 2008. Culture & Psychology. CA: Thomson Wadsworth Perbedaan sosialisasi dan enkulturasi umumnya lebih mengacu pada proses yang sebenarnya dan mekanisme dimana orang mempelajari aturan masyarakat dan budaya. Enkulturasi umumnya mengacu pada produk dari proses sosialisasi - yang subjektif, yang mendasari, aspek psikologis dari budaya yang menjadi diinternalisasikan melalui pengembangan. Agen dari Sosialisasi dan Enkulturasi adalah orang-orang, lembaga, dan organisasi yang ada untuk membantu memastikan bahwa sosialisasi (atau enkulturasi) terjadi. Yang paling pertama dan paling penting dari agen tersebut adalah orang tua, dimana mereka membantu menanamkan adat istiadat dan nilainilai budaya pada anak-anak mereka dan memperkuat adat serta nilai-nilai tersebut. Selain orang tua, saudara kandung, keluarga besar dan teman sebaya juga penting dalam sosialisasi dan enkulturasi. Matsumoto & Juang. 2008. Culture & Psychology. CA: Thomson Wadsworth Bronfenbrenner (1979) berpendapat bahwa perkembangan manusia adalah proses interaktif yang dinamis antara individu dan lingkungan mereka pada beberapa tingkatan. Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. a. Microsystem : yang berinteraksi langsung dengan orang-orang disekitarnya seperti keluarga, sekolah, dan kelompok sebaya. b. Mesosystem : keterkaitan antara Microsystems, seperti antara sekolah dan keluarga c. Exosystem : konteks yang secara tidak langsung mempengaruhi anak-anak , seperti tempat kerja orang tua d. Macrosystem : budaya, agama, masyarakat. B. Praktek Pengasuhan Anak Penelitian oleh Whiting and Whiting (1975) tentang Children of Six Culture yang mengumpulkan data dari Mexico, India, Kenya, Amerika Serikat, Okinawa dan Fillipina. Mereka berfokus pada sebuah project yaitu untuk mengerti bagaimana anak dibesarkan dan perilaku anak di kultur yang memiliki konteks berbeda. Dari observasi mereka mendapatkan hasil bahwa perilaku social anak dapat dideskripsikan dalam beberapa dimensi mulai dari Nurturant Responsible (peduli dan berbagi) ke Dependent - Dominant (mencari pertolongan dan menegaskan dominansi) dan Sociable-Intimate (bersikap ramah) serta AuthoritarianAggressive (bersikap agresif). Contohnya, pada keluarga dimana kedua orang tua bekerja sama untuk membesarkan anak akan lebih mudah bersosialisasi sedangkan jika kedua orang tunya terpisah dalam pengasuhan, maka anak akan lebih agresif nantinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi dalam lingkungan budaya (ekonomi atau pekerjaan wanita) berhubungan dengan adanya variasi dalam pola pengasuhan anak dan tumbuh kembang anak. Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. Tujuan pengasuhan yang dimiliki orang tua Parenting memiliki banyak dimensi yaitu tujuan dan keyakinan bahwa orang tua memegang anak-anak mereka, gaya umum dari pengasuhan orang tua yang dipilih, dan perilaku tertentu yang mereka gunakan untuk mewujudkan tujuan mereka. Tujuan yang dimiliki orang tua untuk perkembangan anak mereka didasarkan pada konteks pengasuhan dan perilaku dari masing-masing nilai-nilai budaya tertentu b. Keyakinan orang tua mengenai peran mereka sebagai pengasuh Rentang keyakinan orangtua akan tercermin dalam jenis dan tingkat keterlibatan dalam pengasuhan anak-anak, seperti apakah atau tidak ibu akan mengirimkan pengetahuan budaya oleh verbalisasi atau pengharapkan anaknya untuk belajar terutama oleh observasi dan imitasi. Gaya Pengasuhan Baumrind (1971) telah mengidentifikasi tiga pola utama orangtua. Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. a. Authoritarian 26 dimana orang tua bersikap otoriter. Perintah atau perkataan dari orang tua tidak boleh dibantah dan berpikir bahwa anak perlu dikontrol. Anak-anak dari orang tua yang otoriter yang ditemukan lebih cemas dan menarik diri, kurang spontanitas dan rasa ingin tahu intelektual. b. Permissive dimana orang tua lebih hangat dan mengasuh anak mereka dengan manja, selain itu anak diperbolehkan untuk mengatur hidup mereka sendiri. Anak- anak dari orang tua permisif cenderung tidak dewasa; mereka memiliki kesulitan mengendalikan dorongan mereka dan bertindak secara independen. c. Authoritative yaitu dimana orang tua sensitif dengan kedewasaan anak mereka serta bersikap tegas, adil dan wajar. Mereka juga memberikan kehangatan dan afeksi yang tinggi terhadap anak mereka. Gaya ini paling sering digunakan. Remaja dengan orang tua autoritatif cenderung memiliki harga diri lebih tinggi, menunjukkan prestasi yang lebih tinggi di sekolah, dan lebih sosial dan moral dewasa Peneliti lain (Maccoby & Martin, 1983) telah mengidentifikasi jenis keempat gaya pengasuhan yaitu Uninvolved dimana orang tua hanya berfokus pada kehidupan mereka sendiri dan tidak langsung merespon pada kebutuhan anak dan terkesan acuh tak acuh atau bisa dikatakan mengabaikan. Anak-anak dari orang tua yang “uninvolved” bisa menjadi yang terburuk, menjadi tidak patuh dan menuntut. Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H., & Dasen, Pierre R. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Perbedaan perilaku pengasuhan lintas budaya dan sejauh mana perbedaan pengasuhan berkontribusi dengan perbedaan budaya pada berbagai konstruksi psikologis Penelitian lintas budaya tidak hanya menunjukkan perbedaan budaya dalam perilaku orangtua, tetapi juga mendokumentasikan banyak kesamaan budaya. Semua penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan cenderung kongruen dengan tujuan-tujuan pembangunan yang ditentukan oleh budaya dimana perbedaan budaya dalam nilai-nilai tertentu, keyakinan, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk kelangsungan hidup berhubungan dengan tujuan-tujuan pembangunan yang berbeda sehingga anggota masyarakat dapat dapat berkembang dan melaksanakan pekerjaan budaya yang relevan terkait dengan kelangsungan hidup. Tampaknya bahwa semua orang adalah sama dalam proses perkembangan dimana mereka dirancang untuk memenuhi tujuan budaya, namun dalam sifat spesifik tujuan tersebut perbedaan budaya dalam pengasuhan mencerminkan faktor-faktor sosial lain juga, seperti situasi ekonomi keluarga. Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H., & Dasen, Pierre R. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Keragaman dalam pengasuhan sebagai fungsi ekonomi Pengasuhan dan cara membesarkan anak terjadi dalam kondisi ekonomi yang sangat berbeda di berbagai negara dan budaya. Kondisi budaya dan ekonomi yang berbeda dimediasi keputusan perempuan untuk bekerja. Jika masyarakat memiliki tingkat tinggi kematian bayi, upaya orangtua dapat berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dasar. LeVine (1977) mengatakan bahwa lingkungan pengasuhan mencerminkan seperangkat tujuan yang telah disusun sesuai kepentingan. Pertama adalah kesehatan fisik dan kelangsungan hidup. Berikutnya adalah promosi perilaku yang akan menyebabkan kepercayaan terhadap diri sendiri. Terakhir adalah perilaku yang mempromosikan nilai-nilai budaya lainnya, seperti moralitas dan prestise. Matsumoto & Juang. 2008. Culture & Psychology. CA: Thomson Wadsworth Zukow-Goldring (1995) menyatakan bahwa banyak perilaku dan keyakinan dari kelompok sosial disalurkan melalui saudara. Saudara dapat memenuhi beberapa peran seperti, tutor, teman, teman bermain maupun pengasuh. Di berbagai budaya, saudara yang lebih tua biasanya akan mengasuh saudaranya yang lebih muda. Tanggung jawab yang terlibat dalam pengasuhan dipandang sebagai tempat pelatihan bagi saudara untuk menjadi saling tergantung satu sama lain di masa dewasa. Apa yang didapatkan melalui interaksi dengan saudara dapat mempengaruhi hubungan anak dengan teman lainnya. Matsumoto & Juang. 2008. Culture & Psychology. CA: Thomson Wadsworth Macam keluarga ada dua yaitu, nuclues family dan extended family. Nuclues family adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak. Sedangkan extended family berperan penting untuk menurunkan dan menanamkan nilai budaya dari generasi ke generasi, berbagi sumber daya, dukungan emosional, dan pengasuhan. Dalam keluarga besar, meskipun ibu masih dipandang sebagai pengasuh utama, anak-anak sering mengalami interaksi dengan ayah, kakek-nenek, wali, saudara, dan sepupu. Berbagi rumah tangga dengan kerabat, karakteristik keluarga besar, dipandang sebagai cara yang baik untuk memaksimalkan sumber daya keluarga untuk anak sukses membesarkan. Misalkan Keluarga Hispanik dan Filipina melihat wali sebagai model penting bagi anak-anak, dan sebagai sumber dukungan untuk orangtua. Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. C. Budaya dan Teman Sebaya Margaret Mead (1978) mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya dengan level pengaruh teman sebaya yang berbeda. Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. a. Postifigurative dimana budaya berubah dengan lambat, sosialisasi dilakukan oleh para orang tua yang menurunkan pengetahuan mereka kepada anak mereka. b. Configurative dimana budaya berubah lebih cepat. Orang tua masih menurunkan pengetahuan mereka, tetapi teman sebaya memiliki peran yang lebih besar. c. Prefigurative dimana budaya berubah sangat cepat. Pengetahuan orang tua dianggap tidak cukup dan orang tua akan meminta anak yang lebih muda untuk memberikan pengetahuan atau mencari solusi. Paparan dari Kelompok Sebaya Para peneliti mempelajari bagaimana keterbukaan anak kepada teman sebaya mereka. Di Negara industri, anak-anak banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya mereka. Anak-anak yang tumbuh di pemukiman pertanian memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dengan teman bermain yang potensial. Sedangkan anak-anak yang tumbuh dalam masyarakat berburu akan bersosialisasi oleh teman-teman dari berbagai usia. Anak belajar cara budaya negosiasi, timbal balik, kerjasama, dan sensitivitas interpersonal. Davis dan Davis (1989) mempelajari persahabatan remaja di Zawiya, Maroko, dan menemukan bahwa salah satu tujuan utama dari persahabatan di budaya ini adalah untuk belajar tentang membangun "kepercayaan". Sedangkan, remaja Maroko menekankan bahwa berbagi, menahan diri dari gosip, mengurus reputasi mereka, dan tidak menjadi pengaruh buruk pada teman-teman mereka merupakan hal penting dalam persahabatan mereka. Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset D. Budaya dan Penitipan Anak Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda mengenai day care. Di Amerika Serikat, ada kontroversi mengenai apakah penitipan anak harus menjadi tanggung jawab publik atau pribadi. Banyak pengasuh tidak menerima pelatihan khusus untuk mengajar dan mayoritas rumah penitipan yang tanpa izin. Oleh karena itu, tidak ada pemantauan untuk memastikan bahwa anak-anak menerima perawatan yang berkualitas tinggi. Sebaliknya, orang tua seperti di Israel, berpendapat bahwa semua warga negara harus berbagi tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak-anak. Rosenthal (1992) menunjukkan bahwa kebanyakan orang tua Israel percaya bahwa tepat dan penting anak- anak untuk berinteraksi dalam kelompok teman sebaya mereka dan tidak berdiam di rumah. Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa day care berkualitas rendah dapat merusak kemampuan sosial dan intelektual anak. Sebaliknya, penitipan berkualitas tinggi dapat meningkatkan perkembangan anak, terutama bagi mereka yang berasaldari SES rendah. Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset E. Budaya dan Pendidikan Banyak penelitian dari lintas nasional dan lintas budaya yang berfokus pada prestasi dalam bidng matematika. Mempelajari matematika menempati tempat yang spesial dalam memahami budaya, sosialisasi dan sistem edukasi. Matematika sangat penting dalam mengembangkan sains di masyarakat. Menurut Stigler dan Baranes (1988), kemampuan matematika tidak dibentuk secara logika atas dasar dari stuktur kognitf yang abstrak, tetapi lebih tertempa dari kombinasi pengetahuan dan skill sebelumnya (yang memang sudah didapatkan) dan masuknya budaya baru. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata murid di Amerika jauh dibawah dibandingkan anak-anak dari Asia seperti Jepang, Korea dan Cina. Untuk mengetahui penyebab perbedaan ini, Geary (1996) mengatakan adanya perbedaan antara kemampuan primer dan sekunder. Kemampuan primer, dimana semua orang berbagi kemampuan matematika yang terbentuk karena adanya proses evolusi. Sedangkan untuk kemampuan sekunder adalah kemampuan yang tidak didapat secara alami yang sebagian besar didasari oleh kemampuan primer. Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H., & Dasen, Pierre R. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Perbedaan lintas nasional dalam pencapaian dalam matematika berhubungan dengan kemampuan sekunder daripada primer, yang menunjukkan bahwa factor sosial dan budaya memainkan peran penting dalam perbedaan tersebut. Berikut adalah perbedaannya : Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. a. Bahasa Stingler, Lee dan Setevenson (1986) mengatakan adanya perbedaan kemampuan matematika pada anak di Jepang, Cina dan Amerika dipengaruhi karena adanya perbedaan fungsi dalam bahasa Cina, Jepang dan Inggris yang berhubungan dengan menghitung dan angka. Anak didaerah Asia membuat lebih sedikit kesalahan dan lebih baik dalam memahami konsep dasar matematika yang berhubungan dengan berhitung dan angka. b. Sistem Sekolah Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang hal apa yang dianggap penting. Dengan adanya perbedaan itu, maka sistem edukasi memperkuat pandangan tertentu tentang kognisi dan intelegensi. Dalam masyarakat industri, guru dianggap sebagai orang yang memberikan edukasi, berbeda dengan budaya lain dimana untuk pendidikan formal maka dibentuk sebuah kelompok kecil yang dipimpin oleh orang yang lebih tua dan di budaya lain merupakan tugas bagi sebuah keluarga. c. Nilai dari Pengasuhan dan Keluarga Cara pengasuhan orang tua dipercaya mempengaruhi kemampuan matematika anak. Contohnya, orang tua di Amerika lebih befokus pada kemampuan daripada usaha, sebaliknya orang Jepang lebih menghargai usaha daripada kemampuan. Kepercayaan terhadap kemampuan daripada usaha membuat adanya penilaian bahwa anak itu terbatas akan kemampuan yang mereka miliki. d. Sikap dan Penghargaan : Adanya penelitian tentang perbedaan budaya antara orang Asia dan Asia Amerika tentang hubungan dalam test kegelisahan, konsep diri dan persepsi murid tentang dukungan orang tua. Hasilnya, anak Asia Amerika lebih mementingkan bagaimana cara menyenangkan orang tua mereka dengan beban yang cukup besar tetapi juga dengan dukungan yang seimbang. d. Gaya guru mengajar dan hubungan antara murid dan guru Perbedaan penggunaan ruang kelas dapat menjelaskan beberapa perbedan kemampuan matematika. Contohnya di Jepang, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dikelas untuk belajar ditemani oleh gurunya daripada anakanak di Amerika yang jumlah waktu belajarnya lebih sedikit dan tanpa pengawasan dari gurunya. Yang menajdi sorotan dalam pembelajaran ini dimana hadir setiap hari dalam hubungannya dengan gaya pengajaran, ekspektasi dan sikap sebenarnya mungkin dapat menjelaskan mengapa adanya perbedaan ini. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa perbedaan dalam pencapaian akademik ini dipengaruhi oleh banyak factor social dan budaya. Tidak ada satupun penelitian yang mengatakan bahwa satu faktor bisa menjelaskan seluruh perbedaan, melainkan kombinasi dari semua faktor diatas. Kemampuan siswa dalam berbagai mata pelajaran dengan budaya yang berbeda merupakan perpaduan dari keyakinan, kemampuan, pengalaman dan dinamika keluarga. Bagaimana pendidikan dapat mempengaruhi enkulturasi dapat dilihat dari sikap orangtua dan anak, praktisi edukasi dan kurikulum serta perilaku guru. Mereka menanamkan pentingnya pengetahuan akan budaya dimana siswa sebagai anggota dari masyarakat yang berbudaya dan memainkan peran yang besar serta membantu dalam menyebarkan informasi tentang budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sarwono, Sarlito N. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Rajawali Press. F. Agama Lembaga kegamaan membantu dalam membuat aturan tentang sikap, mempersiapkan anak untuk peran yang akan mereka mainkan sebagai laki-laki maupun perempuan dan membantu orang untuk membentuk identitas dirinya. Selain itu, komunitas keagamaan juga memberi dukungan dalam perkembangan anak, menumbuhkan rasa memiliki dan penegasaan atas penghargaan diri. Agama merupakan pengalaman manusia yang dapat memberikan bimbingan, struktur dan bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam berbagai aspek. Contohnya, keluarga yang tinggal di Inggris menggunakan agama dan praktik keagamaan dalam kehiudapan sehari-hari untuk meneruskan nilai-nilai dan bahasa budaya mereka kepada anak mereka Agama memegang peran penting dalam perkembangan dan mempertahankan identitas personal mereka. Tetapi masih harus diindentifikasi lagi apa keterkaitan antara agama dengan budaya dan bagaimana mereka bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak, gaya pengasuhan serta kepercayaan dalam sebuah keluarga. Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset