PANDUAN
PENDIDIKAN KARAKTER TARAKANITA
UNTUK ORANG TUA
SMA
DIVISI PENDIDIKAN
YAYASAN TARAKANITA
Jl. Salemba Tengah No. 23 Jakarta Pusat 10440
www.tarakanita.or.id
Tim perumus:
Kisah yang sangat menarik untuk direnungkan, terlebih di tengah-tengah semakin maraknya
gagasan pendidikan karakter di sekolah. Belajar mengenai karakter dari peristiwa, pengalaman,
dan contoh konkrit menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat diadopsi dalam
kurikulum pembelajaran. Etimologi “karakter” yang berasal dari Bahasa Yunani “kharassein”
(kharak) yang berarti “to mark” (menandai) atau alat mengukir. Secara sederhana “karakter”
diartikan sebagai sifat-sifat kebajikan sebagai hasil ‘ukiran’ yang terinternalisasi dalam diri
seseorang. Maka “Pendidikan Karakter” dapat dipahami sebagai upaya mengajarkan kepada
peserta didik budaya yang membantu mereka mengembangkan berbagai standar moral,
kewarganegaraan, perilaku yang sehat sehingga menjadi pribadi yang secara sosial diterima oleh
masyarakatnya.
Sejak lahir seseorang membawa potensi untuk mampu berpikir (kemampuan kognitif), mampu
merasakan (kemampuan afektif), mampu mendengarkan suara hati (kemampuan moral-spiritual).
Lalu bagaimana karakter seseorang dapat terbangun? Langkah pertama dari proses pembentukan
karakter itu adalah “Observasi” (mengobservasi setiap prilaku orang dewasa), kedua “Imitasi”
(menirukan perilaku tersebut menjadi perilakunya), ketiga “Habit” (kebiasaan), keempat “Sifat”
(kebiasaan menonjol yang selalu diulangi), dan kelima terbentuklah “Karakter” (penampakan diri
seseorang). Yang terpenting dari tahap-tahap tersebut adalah menyediakan role model
(observasi) dan upaya peniruan (imitasi), sebab habit, sifat, dan karakter akan muncul dan
terbentuk dengan sendirinya setelah melalui proses observasi dan imitasi.
Dalam konteks Tarakanita, pendidikan karakter haruslah berakar dan berangkat dari semangat
cinta kasih tanpa syarat yang berbelarasa.
“Membangun dasar yang baik” merupakan tugas perutusan yang melekat pada siapapun dan di
manapun kita yang terlibat dalam proses pendidikan. Seluruh peserta didik hendaknya
mengobservasi (mengalami secara langsung) CINTA KASIH sejak mereka memasuki gerbang
sekolah, di koridor, di kelas, dalam setiap interaksi guru-peserta didik dan interaksi antar peserta
didik itu sendiri. Dari sana mereka akan mengalami proses imitasi di mana mereka terdorong
untuk meniru perilaku tersebut, menghayati cintakasih tanpa syarat dalam kehidupan mereka.
Bagaimana hal tersebut diaplikasikan? Pertama: Total Action. Semua Guru, karyawan dan juga
orang tua dengan potensinya masing-masing menghidupi nilai “Cinta kasih tanpa syarat” yang
kelihatan melalui sorotan mata, nada suara, bahasa tubuh, ketika bersalaman, ketika saling
berkomunikasi, ketika mengajar dan memberikan bimbingan pribadi pada setiap peserta didik.
Kedua: Daily Action. Mengajak setiap anak didik untuk menghidupi cinta kasih tanpa syarat dalam
kehidupan sehari-hari: ketika berkomunikasi, dalam cara menyapa, nada suara ketika menjawab
orang lain, sapaan yang tulus dan penuh penghargaan. Ketiga: Dorongan terus-menerus. Perilaku
berkarakter menjadi bahan pembicaraan setiap guru ketika mengajar di depan kelas,
pembicaraan setiap peserta didik ketika berintaraksi dengan teman-teman mereka, diskusi para
orang tua dalam berbagai kesempatan, praktek nilai menjadi tema pembicaraan yang terus-
menerus tanpa henti.
Untuk mendukung efektifitas proses aplikasi di sekolah dan di rumah, dirasa perlu dirumuskan
dan dibuat Buku sebagai pedoman dan alat pantau belajar bagi para orang tua. Melalui buku-
buku inilah diharapkan baik sekolah (para guru dan karyawan), peserta didik, dan juga orang tua
memiliki pemahaman dan gerakan yang sama sehingga menjadi bekal yang sangat berharga demi
keberlangsungan program Pendidikan Karakter Tarakanita yang menjadi salah satu nilai
pembelajaran bagi seluruh komunitas karya, civitas sekolah beserta seluruh peserta didik dan
keluarganya.
Lingkungan sosial yang pertama yang dikenal anak sejak lahir adalah keluarga.
ibu, ayah dan anggota keluarga lainnya merupakan lingkungan sosial yang secara langsung
berhubungan dengan anak. Sosialisasi yang dialami anak secara intensif berlangsung
dalam keluarga. Pengenalan nilai, norma dan kebisaan untuk pertama kali diterima dari
keluarga. Pengaruh sosialisasi dan inkulturasi yang berasal dari keluarga sangat besar bagi
pembentukan dan perkembangan anak.
Kebiasaan- kebiasaan baik yang positif maupun yang berlangsung lama dan
terbuka dalam lingkungan keluarga dapat tertanam secara kuat pada kepribadian
seseorang. Kebiasaan tidur dan bangun cepat atau terlambat, kebiasaan menggosok gigi,
kebiasaan menyisir rambut dan berpakaian rapi atau tidak, yang terbawa dalam
kepribadian seseorang, berlangsung dalam keluarga. Pada masa lampau pelajaran
agamapun dilakukan dalam lingkuangan ini. Selanjutnya keadaan keluarga sebagai suatu
bentuk lingkungan sosial termasuk besar kecilnya keluarga, keharmonisan keluarga,
perlakuan ayah ibu terhadap seorang anak, sangat mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan kepribadian seorang anak. Dalam menanamkan disilipin, nilai, norma,
kebiasaan dasar, peranan keluarga sangat besar.
Fungsi keluarga sebagai sarana pewarisan budaya dapat berkurang apabila
hubungan orang tua dengan anak tidak lagi mendalam karena berbagai tuntunan dan
kebutuhan hidup. Peranan keluarga dalam pembinaan kepribadian anak menjadi sangat
mundur. Tugas keluarga memberikan dasar pendidikan dan kebiasaan menjadi sangat
dangkal. Akibatnya perkembangan kepribadiaan anak menjadi lebih terpengaruh oleh hal
hal yang negative.
Dewasa ini penanaman kebiasaan yang baik, penanaman nilai, dan norma,
penanaman disiplin dan lain lainnya melalui orang tua menjadi sanagt lemah. bahkan pada
beberapa keluarga terdapat kecenderungan merosotnya wibawa orang tua terhadap anak-
anaknya. Dengan sendirinya peranan orang tua sebagai sarana pewarisan budaya akan
menurun. Hal itu antara lain juga disebabkan antara lain oleh kesibukan orang tua di luar
rumah sehingga hubungan dengan anak menjadi kurang mendalam.
Selain itu motivasi juga dapat diberikan dari orang tua kepada kepada anan-anak
mereka. Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang
diberikan seorang individu kepada individu lainnya sedemikan rupa, sehingga orang yang
diberi motivasi tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis,
rasional, dan penuh rasa tanggung jawab.
3. Pembiasaan:
Rutine Sekolah Rutine Kelas
Monitoring Guru piket Pemantauan walikelas terhadap jam belajar siswa
Bimbingan walikelas Jadwal dan tugas piket siswa
Gerakkan belarasa: penyisihan uang Laporan kejadian kelas
saku.
Rutine Sekolah Rutine Kelas
Presensi kelas
Upacara/paskibraka
Misa, doa Angelus, Doa Bunda Elisabeth
Menaruh sampah pada tempatnya.
Pemeliharaan tanaman: penyiraman, pemupukan,
penyiangan, dll.
4. Keteladanan:
Karyawan hadir tepat waktu, Karyawan memakai seragam sesuai dengan aturan,Guru
memeriksa tugas-tugas siswa tepat waktu, Guru mem beritahu ketidakhadirannya pada
kelas/siswa, Guru tidak merokok, tidak membuang sampah sembarangan, Guru jujur untuk
mengakui keterbatasannya antara lain: Mengatakan “tidak tahu”, “lain kali saya akan jawab”,
“maaf, saya belum membaca”, dll, Tidak pernah berbohong dan menepati janji yang pernah
terucapkan, Tidak korupsi: waktu, uang, dll, Kebiasaan karyawan meminta maaf kepada
orang lain: "Maaf, saya lupa/lalai/terlambat..dll"
Agar nilai-nilai Ketarakanitaan tersebut secara konsisten dihidupi oleh peserta didik, guru
dan juga orang tua maka lembaga berupaya menyusun Panduan Pendidikan Karakter
Tarakanita khusus untuk orang tua sebagai salah satu cara agar nilai-nilai Ketarakanitaan
yang sudah ditanamkan di sekolah juga ditindaklanjuti dan dihidupi di dalam keluarga.
COMPASSION
Tema
1. Aksi sosial peduli masyarakat
2. Mereka yang lemah, miskin, dan menderita membutuhkan uluran tangan kita
Mutiara Kita
“O Pecinta hatiku yang manis, berilah aku bagian dalam duka-Mu, semoga hatiku bernyala-nyala
karena cinta, Buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu, tetapi tidaklah bermanfaat bagi kami saja
pun juga bagi keselamatan sesama kami.( Elisabeth Gruyters ;39)
Mutiara kita di atas merupakan doa yang diajarkan Bunda Elisabeth pendiri Kongregasi suster-
suster Cinta Kasih Carolus Borromeus (suster CB) agar kita semakin peduli, solider dan rela
berbagi.
Indikator keberhasilan
Anak-anak memiliki Compassion apabila dalam hidup sehari-hari mereka:
1. Dengan kesadaran diri mengunjungi orang sakit
2. Membantu orang yang mengalami kesulitan dan penderitaan
3. Menghargai keperbedaan di lingkungan sekitar
4. Mendengarkan dengan hati ketika orang lain berbicara
5. Ikut terlibat secara aktif kegiatan peduli kemanusiaan (bencana, kunjungan ke panti
asuhan, dll)
6. Menjadi tutor sebaya bagi teman-temannya yang membutuhkan
CELEBRATION
Tema :
1. Sikap rendah hati
2. Syukur atas anugerah Tuhan
3. Tabah, berdaya juang dalam mencapai keberhasilan
4. Semangat ugahari
Mutiara Kita
“...betapa Tuhan yang baik itu menganugerahkan rahmatnya dan memberkati kami setiap
hari dengan apa yang kami butuhkan” (Elisabeth Gruyters; 49)
Secara harafiah Celebration berarti perayaan khusus dalam menandai suatu peristiwa
kehidupan. Sebagai orang beriman seseorang dapat memaknai setiap peristiwa kehidupan sebagai
ungkapan syukur. Dalam berbagai situasi hidup kita Tuhan hadir dan menyatakan diriNya yang
kadang sulit kita pahami dan terima. Kita dapat merasakan kehadiranNya dan menemukan arti atau
makna yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa hidup, jika kita memiliki iman akan Tuhan.
Berkat iman, kita mampu mengakui Tuhan yang adalah Kasih dan senantiasa memenuhi kebutuhan
kita. Oleh karena itu, kita harus selalu bersyukur dan tidak perlu khawatir akan hidup kita.
Celebration merupakan nilai semangar dasar yang dihidupi oleh Bunda Elisabeth
Gruyters yang menaruh harapan yang kuat kepada Tuhan (Elisabeth Gruyters 54) dan berdoa terus-
menerus serta melibatkan campur tangan Tuhan dalam hidupnya (Elisabeth Gruyters 24). Nilai
Celebration dapat dicapai dengan sikap rendah hati mensyukuri hidup yang diselenggarakan oleh
Tuhan dan selalu berpengharapan serta mengandalkan campur tangan Tuhan dalam seluruh
hidupnya. Nilai celebration yang perlu dibangun adalah kegembiraan menghadapi realitas, berpikir
positif, dan optimis.
Jadi Celebration adalah suatu sikap kerendahan hati bahwa segala peristiwa kehidupan
tidak pernah lepas dari campur tangan Tuhan. Peserta didik yang memiliki nilai Celebration dapat:
(1) mengucap syukur saat mendapat kesuksesan; (2) bersikap tabah dan tetap penuh pengharapan
ketika mengalami kegagalan (3) mengandalkan penyelenggaraan ilahi namun tetap disertai usaha
keras untuk mencapai keberhasilan; (4) merayakan keberhasilan tanpa berlebihan dan tetap
mengingat saudara-saudaranya yang menderita.
Mengapa anak-anak perlu memiliki sikap Celebration?
Segala peristiwa hidup manusia tidak lepas dari campur tangan Tuhan, dan segala peristiwa
hidup merupakan ungkapan syukur. Kita dapat merasakan kehadiranNya dan menemukan arti atau
makna yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa hidup, jika kita memiliki iman akan Allah.
Berkat iman, kita mampu mengakui Allah yang adalah Kasih dan senantiasa memenuhi kebutuhan
kita. Oleh karena itu, kita harus selalu bersyukur dan tidak perlu khawatir akan hidup kita.
Anak perlu memiliki kesadaran bahwa potensi yang mereka miliki adalah anugerah yang
diberikan Tuhan secara cuma-cuma. Potensi diri hendaknya dikembangkan dengan sikap optimis,
tabah dan berdaya juang. Anugerah ini pantas untuk disyukuri. Rasa syukur ditunjukkan dengan
kegembiraan. Anak yang gembira adalah anak yang memiliki rasa syukur.
Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak. Sebagaimana halnya orangtua mendidik
anak-anaknya, sekolah mendampingi proses perkembangan anak. Sekolah mendampingi anak
dalam pengembangan sikap dan perilaku mereka. Salah satu sikap yang diajarkan adalah rasa
syukur kepada Tuhan atas anugerah yang boleh diterima. Pengembangan sikap syukur ini
hendaknya dilakukan secara berkesinambungan baik di sekolah maupun dalam keluarga. Untuk
itulah, kebiasaan baik yang dilakukan anak di sekolah perlu dilakukan dalam keluarga.
Peserta didik dan guru melakukan pengembangan sikap bersyukur dengan berbagai hal:
Indikator Keberhasilan
Tema
1. Kemandirian Belajar
2. Sikap Ilmiah
Mutiara Kita
kita turut serta memperjuangkan kehidupan yang sesuai dengan harkat manusia dan
berharap untuk ikut mendatangkan pembebasan bagi banyak orang.
“…keselamatan sesama sangat kupentingkan.”
( Elisabeth Gruyters; 40)
Peserta didik memiliki nilai Competence apabila melakukan antara lain: (1) menerapkan
pengetahuan dan kemampuan di dalam kehidupan; (2) memiliki kemandirian belajar (self
regulated learner & continuous learning); (3) memiliki sikap ilmiah yang ditandai dengan rasa
ingin tahu, sikap objektif, berpikiran terbuka dan mau menerima pendapat orang lain.
Mengapa perlu memiliki sikap competence?
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara positif berdampak untuk kemajuan
dunia pendidikan, sekaligus menjadi tantangan dan hambatan bagi peserta didik untuk
mengembangkan sikap belajar untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai contoh merebaknya
“Smartphone” membuat peserta didik salah memanfaatkan waktu, yang mestinya untuk belajar
tapi banyak digunakan untuk menggunakan smartphone mereka (telepon, sms, bbm, selfie, dll).
Pada dasarnya setiap anak memiliki potensi kecerdasan, tetapi potensi itu perlu dikembangkan agar
memperoleh hasil belajar yang baik sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Dalam pengembangan sikap kemandirian belajar dan sikap ilmiah perlu konsentrasi dan
pemanfaatan waktu dengan sebaik-baiknya. Maka dengan memiliki competence peserta didik
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan sesama.
Indikator Keberhasilan
Keberhasilan dari proses pembentukan sikap dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan
berikut:
Kemandirian Belajar
1. Anak menentukan sendiri waktu untuk belajar secara efektif.
2. Anak tepat waktu dalam memulai dan mengakhiri belajar.
3. Anak melebihi batas waktu belajar secara normal.
4. Anak bertanggung jawab terhadap tugas yang diterima.
5. Anak mengerjakan tugas melebihi dari yang diharapkan.
6. Anak menyelesaikan tugas secara teliti dan tepat waktu.
7. Anak suka bertanya dengan orang lain yang lebih tahu.
8. Anak memiliki referensi yang bervariasi (buku, situs, jurnal, surat kabar, majalah, dan
referensi-referensi lain).
9. Anak memanfaatkan referensi-referensi yang dimiliki secara tepat.
Sikap Ilmiah
1. Anak menunjukkan antusiasme terhadap sesuatu yang baru.
2. Anak mengajukan pertanyaan yang kritis dan relevan.
3. Anak berbicara sesuai fakta.
4. Anak mau mendengarkan dan menyimak ide dan pendapat orang lain.
5. Anak bersedia memperbaiki pendapat pribadi.
6. Anak menghormati perbedaan pendapat.
7. Anak mempunyai imajinasi yang tinggi.
8. Anak menyampaikan gagasan secara runtut.
9. Anak berpikir dengan logika yang tepat.
10. Anak menunjukkan bukti-bukti pendukung yang kuat.
CONVICTION
Tema
1. Berdaya juang
2. Tangguh
Mutiara Kita
Sementara itu kami mendapatkan dukungan dari pelbagai pihak, yaitu dari Bapak-ibu yang saleh,
dan Allah yang Mahabaik mulai menggerakkan hati orang-orang, sehingga akhirnya kami mulai
dengan kelima suster, tepat pada hari dan tanggal tersebut.
Akan tetapi… apa yang kami dapati dan bagaimana pengalaman kami pada tahun-tahun pertama,
tak mungkin diungkapkan kembali dengan tepat.
Yang sungguh –sungguh diperlukan pada waktu itu ialah, kesanggupan menderita dan berdiam
diri, kesabaran dan kegembiraan, serta keberanian yang tangguh.
(Elisabeth Gruyters; 11 ).
Apa itu Conviction?
Conviction berarti pendirian, keyakinan. Orang yang memiliki nilai conviction adalah orang yang
belajar untuk menghayati prinsip-prinsip kehidupan dengan keteguhan, dan berusaha untuk
melaksanakan secara konsisten di dalam segala aspek kehidupan. Dengan nilai ini, orang berusaha
mengisi kehidupan berdasarkan keyakinan-keyakinan sebagai suatu kebenaran, dan bertahan
dengan kesabaran untuk mewujudkan dalam kehidupan. Dasar untuk memenangkan keutamaan ini
adalah bahwa para peserta didik belajar untuk lebih mempertimbangkan rasio dan akal ketimbang
emosi dan perasaan. Prinsip rasio yang ditanamkan bukan prinsip senang tidak senang. Hal ini
sesuai dengan salah satu prinsip pendidikan UNESCO yaitu learning to be. Pendidikan hendaknya
menjadikan peserta didik terbentuk menjadi dirinya sendiri yang memiliki keteguhan prinsip dalam
kehidupan.
Conviction merupakan nilai semangat dasar yang diperjuangkan oleh Bunda Elisabeth Gruyters
ketika ia berupaya dan berjuang merawat dan mendidik anak-anak miskin yang jumlahnya semakin
bertambah. Meskipun dukungan dari masyarakat sekitar terhadap upayanya sangat sedikit, Bunda
Elisabeth tidak menyerah. Dengan kesabaran dan susah payah ia terus bekerja keras karena
memilki keinginan yang besar untuk maju (Elisabeth Gruyters 53), serta kesanggupan untuk
menderita dan berdiam diri, penuh kesabaran dan kegembiraan, serta keberanian yang tangguh
(Elisabeth Gruyters 119). Karena memiliki keyakinan bahwa Allah menyertai dia, Bunda Elisabeth
berani memilih jalan salib yang sempit sebagai resiko dalam melayani Allah. Conviction berarti
memiliki daya juang dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan hidup.
Mengapa anak perlu sikap Conviction?
Sebagaimana kita ketahui pada zaman ini kamanusiaan sedang mengalami titik balik dalam
sejarahnya, sebagaimana dapat dilihat dari kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam banyak bidang.
Kita berada di era pengetahuan dan informasi, sumber bentuk-bentuk baru dari suatu perhatian
yang tanpa disadari menguasai pikiran dan cara hidup kita.
Namun ironinya adalah tuntutan untuk memperoleh pengetahuan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan informasi ini mau diperoleh dengan cara “instan”. Semangat instan, memperoleh
hasil yang baik tapi tanpa kerja keras, tanpa sadar juga telah merasuki anak-anak kita. Sebagai
contoh banyak ditemukan kasus di sekolah, anak tidak mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) atau
tugas, hasil ulangan tanpa pemberitahuan yang jelek, kurang tekun ketika mengerjakan tugas,
mudah untuk berkeluh kesah. Kalau bisa, kecil bahagia, remaja berfoya-foya, dewasa kaya raya,
tua sejahtera, mati masuk surga.
Usia Anak anak adalah usia subur bagi proses pembelajaran baik yang berkaitan dengan sains,
seni maupun yang berkaitan dengan akal budi dan moral. Pada masa ini penanaman nilai-nilai daya
juang dan keteguhan dalam menggapai sebuah tujuan bisa dipupuk dan ditumbuhkan dengan
maksimal. Semangat daya juang dan ketangguhan tidak bisa diperoleh secara instan. Pola daya
juang dan ketangguhan yang terbentuk dalam setiap pribadi anak harus di konstrusikan melalui
perjumpaan dengan masalah masalah yang dihadapinya.
Ketangguhan maupun daya juang harus diupayakan dan dikondisikan serta dibentuk melalui
pembiasaan dan latihan dengan menghadapi tantangan. Anak anak bisa ditumbuhkan semangat
daya juang dan ketangguhannya, dengan dilatih sejak dini baik melalui motivasi kata kata maupun
melalui permainan simulasi dan pengalaman langsung dalam menghadapi sebuah persoalan.
Di sekolah untuk menumbuhkan conviction, hal hal yang dilakukan oleh guru bersama peserta
didik lewat proses pembelajaran dan pembiasaan ialah :
1. Anak dilatih untuk tahan menghadapi kesulitan dan penderitaan melalui latihan dan
pendampingan memecahkan sebuah masalah,
2. Anak dilatih untuk mampu bergembira dan optimis dalam menghadapi seluruh tantangan yang
muncul dalam proses belajar mengajar, belajar sambil bermain menjadi salah satu konsep
pembelajaran untuk melatih nilai ini.
3. Anak dilatih menahan sabar, menahan keluhan dan menahan amarah ketika melakukan
pembelajaran di sekolah.
4. Anak dilatih untuk setia terhadap tugas tugas yang dipercayakan kepadanya tanpa mengeluh.
5. Anak dilatih untuk tekun dan sungguh sungguh dalam mengerjakan tugas yang dihadapinya.
Dalam menumbuhkan nilai daya juang dan ketangguhan pada anak, setiap orang tua bisa
mengambil bagian sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya misalnya dengan memberi
semangat, memberi kepercayaan/ tanggung jawab, memberi teladan serta memberi dukungan yang
diperlukan sesuai dengan usia anak dalam menghadapi persoalan. Peranan orang tua ialah menjadi
coach, pendamping, pembimbing dan pelindung bagi anak. Bila peran tersebut dilaksanakan
dengan maksimal tentu akan sangat bermanfaat bagi perkembangan kemampuan daya juang dan
keteguhan pada anak anak.
Indikator Keberhasilan
Tema
Mengembangkan bakat dan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
Mutiara Kita
Ini kudengarkan dengan tenang hati, dan jawab yang kuberikan ialah
bahwa aku bersenang hati dengan kehendak Tuhan yang Kudus untuk tetap tinggal
di luar biara; bahwa aku selanjutnya tidak akan mengganggu beliau lagi; bahwa aku
telah berbuat segala sesuatu yang menurut pendapatku harus kuperbuat untuk
memenuhi panggilan Tuhan; bahwa kupikir aku idak usah menanggung perkara ini di
hadapan Tuhan;
sekalipun demikian, aku akan tetap setia kepada Tuhan
dan aku akan tetap berekun dalam cintakasihNya sampai mati. Begitulah jawabanku.
(Elisabeth Gruyters ; 20)
Creativity merupakan nilai semangat dasar yang diperjuangkan oleh Bunda Elisabeth yang
memandang bahwa hidup akan menjadi indah jika manusia mengembangkan daya kreatifnya.
Manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup dan harus menemukan jalan keluar.
Bakat dan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia harus dikembangkan secara
benar, bijaksana, dan bermakna bagi pengembangan manusia, pelayanan terhadap sesama beserta
seluruh alam semesta sebagai ungkapan syukur atas anugerah Tuhan. Dalam diri Bunda Elisabeth
nilai kreativitas tampak dalam upayanya yang tekun, pantang menyerah, dan konsisten untuk
mengabdikan diri pada Tuhan dengan tulus ikhlas dan sempurna (Elisabeth Gruyters 20).
Peserta didik memiliki nilai Creativity apabila melakukan antara lain: (1) mampu
menciptakan/menemukan hal-hal baru yang bermanfaat; (2) Mampu mengeksplorasi; (3) berani
untuk mencoba dan menghadapi kegagalan; (4) terus belajar dengan tekun; (5) memanfaatkan
waktu untuk berkreativitas; (6) dll.
Tujuan pendidikan menurut Bloom adalah meningkatkan kecerdasan yang meliputi tiga domain
yaitu cognitif, afektif dan psikomotorik. Tanda-tanda kecerdasan adalah dapat menyampaikan
secara bebas pendapatnya dengan kritis, mampu menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa
oleh perasaan, dapat menjadi orang yang berkomitmen, berani melibatkan diri. Kreativitas
(creativity) merupakan juga salah satu indikator kecerdasan cognitif dan psikomotorik. Namun
sering kali kemampuan berkreativitas muncul pada usia anak-anak yag ditandai dengan banyak
mengajukan pertanyaan, rasa ingin tahun yang besar (seperti membongkar mainan,dll), semakin
besar semakin memudar. Tanpa sadar kita sebagai guru dan/ atau orang mempunyai andil
memudarkan tingkat kreativitas anak-anak tersebut.
Pendidikan bagi anak tidak berbatas waktu, ruang dan jarak, yang artinya di manapun dan
kapanpun anak memiliki kesempatan untuk belajar. Sekolah, rumah dan masyarakat merupakan
tempat yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan anak. Oleh karena itu sekolah dan rumah
harus menjadi tempat yang subur bagi berkembangnya nilai-nilai/karakter Tarakanita, agar hal-hal
yang dianggap baik oleh sekolah dan keluarga akan berkembang bersamaan. Creativity yang
merupakan nilai-nilai keutamaan Tarakanita dapat diterapkan baik di sekolah maupun di rumah.
Demi suksesnya pembelajaran yang ditempuh peserta didik, tentunya mereka banyak mengalami
permasalahan-permasalahan sehingga menghambat pencapaian tujuan pembelajaran itu sendiri.
Oleh karena itu dalam menghadapi keadaan yang seperti itu dibutuhkan terobosan untuk
memecahlan permasalahan tersebut. Hal ini dapat dikembangkan dan dilatihkan bersama dengan
guru, misalnya:
2. Memberikan evaluasi atau umpan balik ketika tugas dan tanggungjawab itu sudah selesai
dikerjakan.
3. Bersifat terbuka sehingga anak merasa tidak takut untuk mengembangkan kreativitasnya.
Indikator Keberhasilan
Peserta didik memiliki karakter kreatif dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain:
Tema:
Daya reflektif terhadap Pengalaman hidup dalam membangun persaudaraan sejati di lingkungan
sekolah, keluarga, dan di masyarakat.
Berbagai fasilitas bersama yang ada di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat.
Mutiara Kita:
“Alangkah bahagia suasana biara, bila terdapat kesatuan antara para anggota; maksudku ialah
jika mereka saling membantu dan berunding, aagar karyanya menghasilkan buah demi Allah,
sehingga peraturan suci dilaksanakan dengan baik” (Elisabeth Gruyters; 79)
Pengertian Community
Pada usia anak seperti ini masih dijumpai sikap dalam berteman yang tidak baik: pilih-
pilih dalam berteman, mau menang sendiri, suka mengejek teman, sombong dan mementingkan
diri sendiri. Akibatnya orang tersebut dihindari oleh teman, tidak diterima dalam kelompok, dan
terasing. Situasi tersebut tentu menjadikan diri orang tersebut sedih, takut, kawatir, dan mudah
marah pada siapa saja.
Setiap pribadi manusia berharga di hadapan Tuhan. Maka penghargaan terhadap orang
lain atau teman ditunjukkan dengan bersikap positif/baik kepada teman.
Oleh karena itu nilai community yang perlu dibangun untuk anak adalah perhatian pada teman,
penghargaan, dukungan, ramah, sopan, lemah lembut, penerimaan, persahabatan, keterbukaan,
nyaman dan aman, keterlibatan, pemaaf.
Lingkungan merupakan wadah atau sarana bagi remaja untuk memperluas sosialisasinya. Dalam
masa ini seorang remaja tidak lagi terbatas pada pergaulangan di lingkungan keluarga, tetapi
lingkungan dunia luar lebih menjadi prioritas pergaulannya. Oleh karena itu lingkungan pergaulan
dengan teman sebayanya menjadi lebih dominan dalam mempengaruhi sikap perilakunya. Melalui
berbagai pengamatan kita sehari-hari maupun melalui berbagai sumber media massa, kita tidak
bisa menutup mata tentang munculnya berbagai realitas kehidupan remaja yang negatif. Realitas
perilaku remaja yang negatif ini berkaitan dengan berbagai aspek perkembangannya dan
menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Remaja dihadapkan pada masalah –
masalah sosial yang dapat merusak persaudaraan sejati terjadi di lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Pemeliharaan fasilitas umum adalah tanggungjawab bersama. Bukan hanya pihak yang
membangun/menyediakan tapi juga masyarakat yang mempergunakannya. Tanpa adanya rasa
tanggungjawab penggunaan, manfaat fasilitas umum ini tidak akan optimal. Masyarakat yang
hanya tahu memakai dan tidak mau ikut serta dalam pemeliharaan akan semaunya sendiri
menggunakan fasilitas umum.
Anak bersama guru di sekolah menidentifikasi gejala-gejala sosial yang dapat mengancam
perkembangan pribadi remaja:
Disamping itu anak juga diajak untuk menggali penyebab munculnya gejala sosial yang
mengancam perkembangan pribadi remaja yaitu disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri
(internal) maupun faktor dari luar (eksternal).
Faktor internal berupa krisis identitas :
Dalam kesempatan lain kelompok siswa melaksanakan tugas mengamati permasalahan yang
merusak fasilitas bersama:
1. mengamati dan mencatat beberapa fasilitas bersama ( di sekolah) yang tidak dimanfaatkan
sebagaimana mestinya, tidak dirawat dengan baik, bahkan cenderung dirusak, misalnya kamar
mandi/toilet, taman, dll.
2. mengamati dan mencatat beberapa fasilitas bersama ( di rumah) yang tidak dimanfaatkan
sebagaimana mestinya, tidak dirawat dengan baik, bahkan cenderung dirusak, misalnya kamar
mandi, ruang keluarga, dll.
3. mengamati dan mencatat beberapa fasilitas bersama (di masyarakat) yang tidak dimanfaatkan
sebagaimana mestinya, tidak dirawat dengan baik, bahkan cenderung dirusak, misalnya halte
bis, taman kota, saluran air, bak sampah bersama, dll.
Dari problematika yang ada pada remaja, diperlukan penyadaran pada remaja tentang makna hidup
yang sesungguhnya. Keterlibatan semua lapisan masyarakat khususnya orangtua sangat diperlukan,
agar generasi muda kita tidak terjerumus ke hal-hal yang negatif. Beberapa hal dapat memberikan
solusi sebagai berikut:
1. Menunjukkan bahwa anak memiliki kompetensi-kompetensi (misalnya kompetensi kognitif,
ditampilkan dalam kemampuan mengambil keputusan yang tepat, memiliki kompetensi sosial,
ditampilkan dalam bentuk mampu menyelesaikan konflik sosial, memiliki kompetensi
akademik, ditampilkan dalam bentuk pencapaian prestasi akademik yang cenderung/ selalu
tinggi, atau memiliki kompetensi vokasional, ditampilkan dalam bentuk membina kebiasaan
kerja yang baik.)
2. Menunjukkan bahwa dirinya berharga dan menunjukkan keyakinan bahwa dirinya mampu.
3. Menunjukkan kemampuan membina relasi dengan baik, misalnya mampu membina relasi
dengan anggota keluarga, dengan guru, dengan orang dewasa lain, dengan sebaya dan dengan
lingkungan masyarakatnya.
4. Melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa ia memahami dan peduli pada orang
lain serta peduli dengan lingkungan.
5. Menghargai aturan-aturan yang berlaku dan bertindak penuh tanggung jawab.
Di lain pihak, peran orangtua yang bertanggungjawab terhadap keselamatan remaja, tentunya juga
tidak membiarkan anaknya terlena dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menenggelamkan si anak
remaja ke dalam kenakalan remaja, kontrol yang baik dengan selalu memberikan pendidikan moral
dan agama yang baik diharapkan akan dapat membimbing anak remaja ke jalan yang benar.
1. Prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang dewasa
yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki
diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
2. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
3. Kemauan orangtua untuk mempertahankan kondisi keluarga sehingga tetap tercipta keluarga
yang harmonis, komunitatif, dan nyaman bagi remaja.
4. Nasehat untuk memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan
dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
Peran orangtua dalam membimbing putra-putrinya untuk ikut memelihara dan menjaga berbagai
fasilitas bersama yang ada di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat.
Indikator Keberhasilan:
Anak mampu mengembangkan sikap community jika :
1. Memiliki prestasi akademis baik
2. Mampu memimpin dalam organisasi
3. Mampu mengatasi masalah secara bertanggung jawab
4. Menyelesaikan pekerjaan dengan baik
5. Memiliki kepedulian terhadap sesama dan lingkungannya
6. Tertib terhadap peraturan
7. Memiliki kepedulian terhadap kebersiahn di lingkungan sekitarnya
8. Memiliki kepedulian terhadap peralatan di rumah : memeliharanya
9. Mampu meletakkan barang-barang pada tempatnya
10. Menggunakan secara tepat guna
11. Mampu melakukan efisiensi, memupuk-menyiangi an menyiram tanaman
12. Menaruh sampah pada tempatnya
13. Menyelesaikan tugas yang menjadi tanggungjawabnya
14. Menegur teman yang mempunyai perilaku menyimpang terhadap fasilitas bersama
KEADILAN, PERDAMAIAN, DAN KEUTUHAN CIPTAAN
Tema
1. Lingkungan Sehat
2. Memanfaatkan Kekayaan Alam
3. Mengolah Sampah
4. Siaga Bencana
Mutiara kita
“ ... jika alam sudah mulai tidak bersahabat maka manusia siap menerima derita”
Kerusakan lingkungan dalam tingkat lokal muncul dalam bentuk polusi air, tanah, udara serta
polusi suara, sementara di tingkat dunia kerusakan lingkungan telah menyebabkan pemanasan
global yang mengakibatkan berbagai macam cuaca ekstrim berlangsung di berbagai wilayah bumi.
Mengingat dampaknya yang luar biasa maka semua pihak harus segera mengembangkan sikap dan
perilaku yang baik untuk menjaga kelestarian lingkungan. Siswa sebagai generasi muda perlu
dikenalkan dan dididik agar memiliki nilai-nilai ini, agar kelak ketika dewasa mampu mewujudkan
perilaku yang baik dalam menjaga lingkungan.Tuhan menciptakan alam semesta dengan
segala isinya dengan penuh kasih. Tugas manusia adalah mencintai, merawat dan
memeliharanya.
Mengidentifikasi lingkungan yang kurang bersih dan kurang sehat di lingkungan sekolah:
1. Mengambil bagian dan bertanggung jawab dalam melaksanakan program kelas yang bersih,
indah, segar dan alami.
2. Memilah sampah berdasarkan jenisnya di lingkungan sekolah secara rutin.
3. Mengorganisir pelaksanaan sistem pengelolaan sampah organik menjadi pupuk
organik/kompos secara sederhana
4. Membuat kerajinan tangan dari jenis sampah anorganik
5. Mempelajari sebab-sebab penurunan kualitas lingkungan (kualitas tanah, air dan udara) di
sekitar sekolah
6. Mengembangkan cara mempertahankan kualitas lingkungan di sekitar sekolah
7. Mempelajari sebab-sebab terjadinya bencana alam
8. Mengambil bagian dalam mengembangkan program pengurangan resiko bencana di sekolah
Bagaimana orang tua dapat membantu anak menumbuhkan dan melatih Nilai
Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan?
1. Orang tua menjadi model dan teladan dalam menciptakan lingkungan rumah yang bersih
dan sehat
2. Orang tua menjadi model dan teladan dalam menjaga kualitas tanah, air dan udara di
lingkungan sekitar rumah.
3. Orang tua menanamkan pelestarian alam dengan menanam dan merawat pohon di
halaman rumah.
4. Anggota keluarga dibiasakan menghemat air dan listrik di rumah.
5. Keluarga menyediakan tempat sampah organik dan nonorganik, seluruh anggota
keluarga membiasakan diri untuk menaruh sampah sesuai jenis dan pada tempatnya.
6. Anggota keluarga dibiasakan memanfaatkan barang bekas yang masih layak pakai.
7. Anggota keluarga mempelajari cara-cara mencegah/menanggulangi bencana
dilingkungan tempat tinggal (kebakaran oleh listrik dan gas dan bencana alam sesuai
daerahnya).
8. Anak dibiasakan untuk peduli pada orang lain yang terkena bencana dengan :
menyisihkan uang jajan, memberikan pakaian pantas pakai, mengunjungi.
Indikator Keberhasilan
Anak-anak kita mampu mengembangkan nilai Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan bila
dengan kesadarannya sendiri dapat :
1. Menjaga lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal sebagai lingkungan yang sehat.
2. Menjaga kualitas tanah, air dan udara di lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal.
3. Menghemat pemakaian air, listrik, gas dan bahan bakar lainnya.
4. Memanfaatkan barang bekas yang dapat didaur ulang untuk kerajinan tangan
5. Menjaga lingkungan sekolah dan tempat tinggal dari bahaya bencana kebakaran dan bencana
alam.
KEDISIPLINAN
Tema:
Memperjuangkan Kedisiplinan Sebagai Nilai Kehidupan
Mutiara kita
“ … Tuhan selalu menasihati aku untuk bangun pagi dan rajin berdoa dan setiap hari untuk
mengikuti misa, bangun lebih pagi. (Elisabeth Gruyters; 104)
Tanpa disadari bahwa kedisiplinan telah menjadi masalah besar di negeri ini. Orang tidak merasa
bersalah ketika terlambat masuk kantor, menyerahkan laporan kerja tidak tepat waktu, tanpa
sungkan mengendarai motor dengan melawan arus, dan sebagainya. Disiplin menjadi nilai yang
sulit untuk dilakukan apalagi menjadi budaya hidup. Mengapa?
Kedisiplinan sebagai salah satu keutamaan hendaknya dikenalkan dan dibiasakan kepada anak
sejak usia dini, mulai dari berbagai peristiwa dan pengalaman-pengalaman sederhana di rumah dan
sekolah. Melalui pembiasaan-pembiasan konkrit tersebut diharapkan:
1. anak mulai diperkenalkan dengan budaya menghargai dan mengatur waktu (optimalisasi
waktu)
2. anak belajar untuk mengatur/mengontrol diri sendiri berdasarkan prinsip kebebasan
3. anak belajar konsekuen atas aturan yang dibuat sendiri (berkomitmen dan bertanggungjawab)
4. anak mampu membuat dan melakukan segala sesuatu berdasarkan skala prioritas
5. anak memiliki nilai dan kepekaan sosial yang tinggi
6. anak-anak memahami keutamaan-keutamaan hidup bersama (berada bersama orang lain)
dalam keteraturan dan keharmonisan
7. anak-anak mengerti akan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dan menjauhi hal-hal
yang dilarang
1. Berdiskusi tentang disiplin (pengertian, syarat, dan manfaat) dan menemukan korelasinya
dengan keberhasilan hidup
2. Berefleksi dan sharing tentang dampak disiplin terhadap pencapaian cita-cita dirinya
3. Melakukan evaluasi diri dan menuliskan hasil evaluasi diri dalam melaksanakan tata aturan
disiplin diri secara konsisten dan konsekuen
4. Berefleksi tentang manfaat menerapkan aturan-aturan disiplin diri secara konsisten dan
konsekuen
5. Membentuk kelompok/tim penggerak disiplin di kelas
6. Mengumpulkan dan menganalisa data penyimpangan/pelanggaran disiplin di sekolah
7. Membuat keputusan dan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
8. Mengamati dan melaporkan penyimpangan/pelanggaran yang terjadi di kelas
9. Memaknai kedisiplinan sebagai budaya hidup
10. Membuat refleksi dan komitmen diri dalam menerapkan disiplin diri sebagai budaya hidup
secara konsisten
Indikator Keberhasilan
Proses menjadi pribadi yang disiplin akan tampak ketika anak-anak kita menunjukkan perilaku
disiplin, seperti:
1. Membuat rumusan peraturan untuk dirinya sendiri
2. Mengatur kebutuhan pribadi (belajar, istirahat, makan, olah raga, dll) berdasarkan waktu yang
ditetapkan
3. Tidak terlambat datang ke sekolah, tidak terlambat mengikuti berbagai kegiatan
(ektrakurikuler, pelajaran tambahan, dll)
4. Mengerjakan tugas sesuai skala prioritas dan tidak menunda-nunda
5. Mampu memilah dan membedakan pengalaman mentaati dan melanggar peraturan
6. Melakukan setiap aktivitasnya berdasarkan kesadaran sendiri, bukan karena disuruh-suruh atau
diperintah
7. Mentaati aturan/batasan yang dibuat oleh orang tua/guru/kelas/diri sendiri
NILAI KEJUJURAN
Tema
Mutiara Kita
… anakku, aku harus mengatakan sesuatu kepadamu: sekarang aku pergi ke surga dan engkau
akan menyusul aku. Jangan menyimpang sedikitpun dari yang telah kuajarkan, aku pemimpinmu.
Teruskanlah karyamu, Tuhan akan selalu memberkati dasar-dasar yang telah dibangun”.
(Elisabeth Gruyters 75)
Jujur adalah sikap, keterarahan hati untuk berperilaku, berkata sesuai dengan yang sebenarnya.
Berhubungan dengan sesama, jujur adalah suatu keterarahan hati, sikap “hormat” kepada orang
lain, karena orang lain membutuhkan informasi yang benar. Kejujuran juga sangat erat
hubungannya dengan nilai keadilan. Orang yang jujur tidak mau menerima apa yang bukan
menjadi haknya, namun mampu memberi apa yang menjadi hak orang lain. Berhubungan dengan
proses pendidikan, jujur menumbuhkan kepercayaan diri, bangga akan hasil atau prestasi dari
dirinya sendiri. Karena itu siswa yang jujur tidak pernah mencontek meskipun mempunyai
kesempatan untuk itu.
Kejujuran adalah salah ciri khas orang yang bermartabat. Mengapa? Perilaku jujur, berpikir
jujur menyandarkan keputusan berdasarkan hati nurani. Hanya manusia yang memiliki hati nurani,
hanya manusia yang memiliki kebebasan sehingga dapat memilih apakah mengikuti hati nurani
atau tidak, hanya manusia yang mengetahui pilihan itu baik atau buruk. Karena itu orang yang
tidak jujur berarti menghina martabatnya sendiri sebagai manusia. Dengan kejujuran, orang mem-
bangun integritas dirinya, tidak pernah terombang-ambing situasi karena dirinya telah menemukan
keteguhan untuk menuruti hati nuraninya bukan perasaan.
Kejujuran adalah dasar dari komunikasi yang efektif dan hubungan yang sehat (Kelly,
2003/2005). Ini membuktikan bahwa kejujuran sangat penting supaya hubungan anak dan keluarga
dapat terjalin dengan harmonis. Kejujuran juga akan menciptakan komunikasi yang baik antara
orangtua dan anak dan akan terciptanya rasa kepercayaan. Anak adalah pribadi yang masih bersih
dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan luar. Dengan demikian
pada masa anak sangat ideal bagi orangtua untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran.
(http://nilaikejujurananakk.blogspot.com/) diunduh tgl. 13 November 2014 pkl. 17.15 WIB.
Kejujuran sangat berkaitan dengan kepercayaan, kejujuran dan kepercayaan sulit dipisahkan
dalam hubungan apapun. Jadi jika seseorang memiliki sikap jujur maka akan menimbulkan
kepercayaan pada orang tersebut.
Dari sudut pandang religiositas, Tuhan berkenan kepada orang yang jujur. Kenyataan ini tidak
akan pernah berubah sekalipun semua orang di sekeliling kita berlaku curang dan tidak jujur,
bahkan sekalipun kita melihat orang yang tidak jujur mendapatkan banyak hal di dalam hidupnya
namun Tuhan tidak akan merubah prinsip-Nya. Banyak orang menjalani hidup tidak jujur tanpa
merasa bersalah. Benarkah orang yang tidak jujur akan selamanya menikmati keberuntungannya?
Tidak! Ingatlah selalu bahwa di dunia ini berlaku “Hukum Tabur Tuai”. Tuhan tidak berkenan
kepada mereka yang tidak jujur. Itulah sebabnya anak-anak harus memiliki sikap jujur dalam hidup
sehari-hari, karena bersikap jujur akan membawa dampak baik terhadap kehidupan manusia.
1. Menggali pengertian jujur, mencari contoh-contoh perilaku jujur, dan manfaat kejujuran
dalam hidup manusia.
2. Mengidentifikasi penyimpangan kejujuran, penyebab dan dampaknya terhadap pencapaian
keberhasilan hidup.
3. Mengevaluasi tingkat kejujuran yang terjadi di dalam kelas.
4. Menjadi tim penegak kejujuran di sekolah.
5. Diterapkannya reward and punishment atas kejujuran dan ketidakjujuran yang terjadi di
sekolah.
1. mampu membedakan perilaku jujur dan tidak jujur baik di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2. Mampu menerapkan atau bertindak jujur dalam kehidupan di keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
3. Mampu mengevaluasi penyebab dan dampak penyimpangan kejujuran dalam hidup sehari-
hari.
4. Mampu menjadi penegak kejujuran di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
LAMPIRAN –LAMPIRAN
Pendiri Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus (Suster-suster CB)
Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus didirikan oleh Elisabeth Gruyters
(1789-1864) pada 29 April 1837 di Maastricht, Belanda. Gereja memberikan Santo Carolus
Borromeus sebagai pelindung Kongregasi, yang diakui dan disahkan sebagai Kongregasi Apostolik
Kepausan. Konstitusi pertama disetujui Gereja pada 14 Desember 1856.
Elisabeth Gruyters dilahirkan pada 1 November 1789 di Leut, Belgia. Orang tuanya, Nicolas
Gruyters dan Maria Bonde, memberikan dia nama Maria Elisabeth. Ia adalah anak keempat dari
delapan bersaudara. Sebagai orang katolik yang taat memelihara tradisi dan ajaran Gereja, keluarga
Gruyters dikenal baik oleh masyarakat, bukan hanya karena kedudukannya melainkan juga karena
keterbukaan dan kehangatan mereka dalam membantu orang-orang yang menderita akibat
peperangan dan kekerasan akibat revolusi Perancis.
Pada usia 32 tahun (1821), Elisabeth Gruyters meninggalkan Leut, menuju Maastricht, Belanda
dengan tujuan mencari pekerjaan. Tindakan serupa juga dilakukan orang-orang muda lainnya saat
itu karena penjajahan Perancis, mengakibatkan terjadinya penderitaan, kemiskinan, dan kurangnya
lapangan pekerjaan di Leut dan daerah sekitarnya. Setiba di Maastricht, Elisabeth bekerja pada
keluarga Nijpels, keluarga katolik yang kaya raya tetapi tidak mempedulikan kehidupan dan
keagamaan. Di sana Elisabeth bekerja sebagai pengurus rumah tangga. Apa yang dilakukan
Elisabeth bukan sekedar mengurus rumah tangga, melainkan juga memperhatikan dan memelihara
kebutuhan mental, maupun spiritual seluruh anggota keluarga, khususnya Nyonya Nijpels yang
sedang sakit keras. Setelah mendapatkan perhatian, pelayanan serta doa yang tiada henti dari
Elisabeth, Nyonya Nijpels akhirnya meninggal dunia dalam damai. Berkat pelayanan dan doa yang
ia panjatkan pula, tiga tahun kemudian Tuan Nijpels serta anak-anaknya kembali hidup sebagai
orang beriman yang baik.
Dengan demikian Elisabeth Gruyters telah menunjukkan sikap hidup sebagai “hamba Yahwe”. Ia
senantiasa rindu untuk membawa jiwa-jiwa yang malang agar memperoleh keselamatan (bdk. EG
39-40). Sikap inilah yang juga telah dihayati dan ditanamkan oleh keluarga Gruyters, sejak masa
kecilnya.
Selama di Maastricht, Elisabeth Gruyters berjumpa dengan begitu banyak orang miskin dan
menderita. Di dalam diri merekalah ia melihat Allah yang perlu diabdi. Demi mewujudkan
kerinduan hati untuk mengabdi dan melayani Allah dalam diri orang-orang miskin dan menderita
tersebut, Elisabeth Gruyters ingin diterima dalam sebuah biara. Namun Allah memberikan lebih
dari apa yang dia rindukan. Setelah melalui pergumulan sulit dan perjuangan yang panjang serta
melelahkan, ternyata Allah justru memilihnya menjadi pendiri sebuah biara yang didirikan pada
tanggal 29 April 1837 dengan bantuan pastor komisaris Antonius Van Baer, seorang deken gereja
St. Servaas, Maastricht. Ia menulis demikian, “meskipun orang telah membicarakan kami bahwa
kami miskin, kota Maastricht telah menjadi kota tertutup sejak enam tahun berselang dan tidak
dapat diharapkan adanya perubahan, namun Tuhan memberi kami keberanian untuk mengawali
karya ini.” ( EG 46).
Dalam proses mengajukan pengakuan dari Roma dan pembuatan konstitusi, Roma meminta Bunda
Elisabeth memilih untuk menggabungkan diri dengan tarekat yang sudah didirikan oleh St.
Vincentius a Paulo atau menerima St. Carolus Borromeus sebagai santo pelindung. Bunda
Elisabeth memilih yang kedua oleh karena itu, nama kongregasi itu menjadi Kongregasi Suster-
suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus. Carolus adalah tokoh pembaru Gereja yang memiliki
kepedulian yang begitu besar terhadap kaum muda. Ia memberi pelajaran agama (sekolah minggu,
menulis, membaca, berhitung dan juga mendirikan kolese-kolese dan seminari-seminari
(Liedmeier, 1989: 96-99).
Elisabeth Gruyters meninggal pada 26 Juni 1864, dalam usia 75 tahun, setelah seluruh hidupnya
diabdikan kepada Allah. Semangatnya menjadi inspirasi bagi para perempuan yang seperti dirinya,
merasa tergerak untuk “mengabdi Tuhan dengan tulus ikhlas dan menyadari bahwa keinginan itu
hanya dapat diwujudkan dengan mengabdi sesama.”(bdk.EG 5). Hingga hari ini, para pengikutnya,
yang tersebar di seluruh dunia, mencoba mengikuti jejaknya dan meneruskan semangatnya.
KISAH HIDUP SANTO CAROLUS BORROMEUS
Carolus Borromeus dilahirkan pada tanggal 02 Oktober 1538 di Puri Arona, Lago
Magiore, Milano Italia. Ia putra ketiga dari enam bersaudara. Nama kecilnya adalah Carlo.
Ayahnya bernama Giberto Borromeus dan ibunya bernama Margaretha de Medici. Kedua orangtua
Carolus Borromeus berasal dari keluarga bangsawan yang saleh dan sungguh-sungguh mendidik
anak-anaknya secara katolik. Bapak Giberto juga dikenal sebagai orang yang beriman mendalam,
rendah hati, dan murah hati kepada yang miskin. Lingkungan keluarga yang baik ini memberi
pengaruh yang besar dalam pembentukan dan perkembangan carolus Borromeus.
Carolus Borromeus hidup pada abad XIV dalam periode Renaisance, yang ditandai oleh
adanya kemerosotan moral, kekerasan, kekacauan, dan perampokan sebagai akibat dari banyaknya
pengangguran. Di saat itu rakyat kecil sangat tertindas, ketidakadilan dan kemiskinan merajalela,
banyak orang semakin bodoh, banyak anak terlantar dan para janda mengalami penderitaan.
Keluarga Giberto Borromeus sering membagikan kasih kepada kaum papa, merawat janda
dan yatim piatu, orang-orang miskin dan yang memerlukan bantuan. Keluarga mereka menghindari
pertemuan-pertemuan yang bersifat duniawi dan kehidupan yang memamerkan kemewahan. Pagi
hari mereka pergi ke gereja untuk berdoa harian. Kebiasaan ini diikuti oleh putra-putri mereka.
Seorang kakak Carolus Borromeus masuk biara dan yang lain menikah dengan orang-orang dari
keluarga yang berkedudukan tinggi. Demikian, betapa berharga dan berkesan teladan yang
ditanamkan orangtua Carolus Borromeus dalam hidupnya. Meskipun hidup dalam keluarga yang
berkecukupan, Carolus Borromeus menjalani hidup yang sederhana, setia, tekun serta tertib.
Pada tahun 1560, Carolus Borromeus diangkat menjadi Sekretaris Vatikan (Paus Pius IV),
di mana gereja saat itu memiliki keprihatinan yang mendalam akan kemerosotan hidup beriman
serta perpecahan dalam tubuh gereja karena berkembangnya Protestanisme. Pada waktu itu Carolus
Borromeus memegang peranan yang sangat besar dalam mempersiapkan Konsili Trente. Dengan
sekuat tenaga beliau mengakhiri banyak keadaan buruk dengan keputusan-keputusan yang bijak
dari konsili. Adapun keputusan yang dilaksanakan antara lain adalah masalah pendirian seminari-
seminari dan menata kembali kehidupan beriman yang telah merosot.
Pada usia 25 tahun, Carolus Borromeus ditahbiskan menjadi imam. Pada tahun yang sama,
beliau ditahbiskan menjadi Uskup Milan. Sejak saat itu ia berjuang keras menata kembali
kehidupan menggereja. Beliau berusaha menghayati kehidupan imam dengan benar, mempraktikan
hidup bersahaja. Beliau banyak memugar gereja-gereja tua yang telah rusak serta membangun
kembali semangat hidup beriman umatnya.
Carolus Borromeus adalah seorang pendidik, pembangun, dan pembaru. Dalam perjalanan
pembaruan ini, Carolus Borromeus tidak jarang mengalami penolakan dari mereka yang tidak suka
dengan pembaruan itu. Bahkan ia pernah ditembak oleh pembunuh bayaran, tetapi suatu mukjizat
terjadi, Carolus Borromeus tidak cidera sama sekali, peluru hanya melubangi jubahnya. Dengan
peristiwa itu para pemberontak mengubah sikap dan bertobat.
Beliau adalah seorang gembala yang baik. Gembala yang baik rela menyerahkan
nyawanya bagi domba-dombanya. Carolus Borromeus rela memberikan hidupnya bagi
kebahagiaan umatnya. Kehadiran dan pelayanannya di tengah para pasien pes, membuat beliau
akhirnya juga tertulari penyakit pes sampai akhirnya meninggal karena penyakit tersebut pada
tanggal 03 november 1584. Jenazahnya disemayamkan di Katedral Milano. Pada tanggal 01
November 1610 diadakan upacara resmi pengangkatan Uskup Carolus Borromeus sebagai santo
oleh Paus Paulus V di Gereja Santo Petrus di Roma. Pada saat itu Paus Paulus V berkata, “Ia
adalah Penerus Cahaya. Cahaya yang tak akan sirna, yang akan tetap bersinar bagi gereja yang
sangat ia cintai”.
Semangat Santo Carolus Borromeus sebagai tokoh pembaruan Gereja memiliki kepedulian
yang begitu besar terhadap orang-orang yang sakit, miskin, dan menderita akibat berbagai macam
penindasan dan perlakuan tidak adil, sangat selaras dengan semangat Elisabeth Gruyters, pendiri
kongregasi. Inilah yang menjadi alasan mengapa Bunda Elisabeth Gruyters memilih Santo Carolus
Borromeus sebagai pelindung kongregasi dan menamainya Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih
Santo Carolus Borromeus. (Pedoman Pelaksanaan Spiritualitas CB, hal.64-67).
Sejarah Pelayanan Pendidikan yang diselenggarakan
di Indonesia
Sejarah karya pelayanan pendidikan para suster CB di Indonesia, bermula dari tanah
Sumatera. Diawali oleh kehadiran empat orang suster CB di Bengkulu yang berangkat dari Batavia
pada 19 Desember 1929 yaitu Sr. Hadeline Jagtman sebagai pemimpin komunitas, Sr. Carolus
Hazenbosch sebagai guru, Sr. Fabiola de Keijzer untuk taman kanak-kanak, dan Sr. Jaequeline van
Nieuwenhaven sebagai perawat. Karya pelayanan pendidikan yang pertama tersebut tidak lepas
dari adanya undangan dan kerja sama para Romo Hati Kudus Yesus (SCJ) yang sudah terlebih
dahulu berkarya membuka sekolah di sana. Pada 6 Januari 1930 terjadilah penyerahan pengelolaan
HCS Bengkulu dari tangan para romo SCJ kepada para suster CB.
Selanjutnya, karya pelayanan pendidikan bersemi di daerah Lahat yang diawali oleh
hadirnya tiga suster CB pada pertengahan 1935. Karya pelayanan pendidikan terus berkembang.
Para suster memimpikan adanya sekolah MULO di Lahat. Sr. Laurentia de Sain yang waktu itu
menjadi Kepala HCS di Bengkulu dengan sangat gigih memperjuangkan terwujudnya impian para
suster di Lahat itu. Bapak Uskup Palembang sendiri sebenarnya kurang mendukung cita-cita
pendirian MULO di Lahat karena dianggap resikonya terlalu besar, tetapi berkat keuletan Sr.
Laurentia akhirnya Bapak Uskup memberi izin untuk mencobanya. Kemudian datanglah Sr.
Catharinia Liedmeier dari Nederland untuk membantu mendirikan MULO di Lahat. Sementara itu
Sr. Laurentina pindah dari Bengkulu ke Lahat dalam rangka mempersiapkan lahirnya MULO di
Lahat. Bersama Sr. Catharinia, mereka berdua berhasil membuka MULO di Lahat pada 1 Agustus
1937.
Di Pulau Jawa sendiri karya pelayanan pendidikan juga bermula dari tawaran kerja sama
dari gereja setempat. Ordo Salib Suci pada tahun 1927 mengambil alih pelayanan gereja di Garut,
Bandung, dan sekitarnya dari para imam Yesuit dan mulai membuka HCS. Pada tahun 1935 Mgr.
Goumans, OSC meminta kepada para suster CB untuk berkarya di sekolah HCS tersebut. Waktu
itu Pemimpin Kongregasi mengutus Sr. Yvonne Suwarti, suster CB pribumi yang pertama di
Indonesia dan Sr. Lamberte Kooter yang datang dari Nederland untuk membantu karya pendidikan
di Garut. Sayang, sesudah tahun 1945, karena keadaan di Garut dan sekitarnya tidak aman, dan
kiranya sulit sekali untuk dapat berkarya kembali di Garut, maka sekolah dan biara di Garut
dialihkan kepada Ordo Salib Suci pada tahun 1957.
Karya pelayanan pendidikan di daerah Jawa Tengah, diawali dengan tawaran Vikariat
Apostolik Semarang kepada para suster CB pada awal 1941, untuk membantu para romo dari
Tarekat Misionaris Keluarga Kudus (MSF) yang sejak 1932 memulai karya pendidikan di
Semarang, Pati, dan Kudus. Di Kudus, para romo MSF membuka sebuah HCS yang murid-
muridnya berasal dari keluarga Thiong Hwa yang berada/ekonomi mampu. Sekolah HCS inilah
yang oleh Vikariat Semarang ditawarkan kepada Kongregasi suster CB untuk dikelola. Tanggal 24
Mei 1941 Kongregasi CB menerima tawaran tersebut. Pada 15 Juli 1941 berangkatlah beberapa
suster CB dari Yogyakarta yang akan berkarya di Kudus, yaitu Sr. Techildis sebagai pemimpin
komunitas, Sr. Jose Van den Berg, Sr. Adria Sukanti, Sr. Gonzaline Wasdorp, dan Sr. Maria
Tarsisius Willemse, yang waktu itu masih novis (calon suster CB). Sayang, karya di Kudus
terpaksa dihentikan pada 8 Desember 1941 karena Perang Pasifik meletus.
Sesudah Perang Pasifik, para suster CB tidak melanjutkan karya pelayanan pendidikan di
Kudus, tetapi membuka pelayanan pendidikan yang baru di Magelang. Para suster CB datang
pertama kali pada 27 Juni 1952. Tiga suster mulai berkarya di Magelang, tepatnya di SD Kanisius
Magelang, yaitu Sr. Chantal Jonckbloedt, Sr. Consepta Suminah, dan mendiami “ rumah samping”
milik para suster Fransiskanes (OSF) yang sudah rusak sampai akhirnya berdiri komunitas baru di
Magelang, yang diberi nama komunitas Pius X, di bawah lindungan Santo Pius X.
Karya pelayanan pendidikan di Yogyakarta diawali tahun 1935 atas permintaan Yayasan
Kanisius. Ada beberapa suster yang mulai membantu mengajar di sekolah-sekolah katolik, yaitu di
sekolah semacam HCS di daerah Loji Kecil, yang dikenal dengan nama School voor de Chineesche
Leerlingen, sekolah rakyat (Volkschool) di Gowongan, dan di Ganjuran.
Mula-mula sekolah Kanisius Gowongan bernama Standaard School atau sekolah standar,
yang terdiri dari kelas I sampai kelas V. Pada 1935 dibuka semacam sekolah lain yaitu Sekolah
Dasar hanya untuk remaja putri dari kelas I sampai kelas VI. Sekolah ini dibagi menjadi dua
bagian: kelas I sampai kelas III disebut Volkschool atau disingkat VS kelas IV sampai kelas VI
disebut Meisjes Vervolgschool, disingkat MVS.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, atas dasar inspirasi
atau “impian” dari Sr. Laurentia de sain dan Sr. Catharinia Liedmeir sewaktu mereka berdua masih
berada dalam kamp tahanan Jepang di Muntok (Pulau Bangka), di Yogyakarta mulai didirikan
berbagai sekolah, yaitu SMP Stella Duce Dagen, SMAK Stella Duce di Jalan Sumbing, dan SGA
Stella Duce yang awalnya menempati sebuah garasi milik dr. Yap di jalan Code, Kotabaru, yang
sekarang menjadi gedung RRI.
Semula segala urusan administrasi dan subsidi dilaksanakan oleh Yayasan Kanisius, milik
para Romo Yesuit, tetapi melihat perkembangan urusan yang semakin banyak, yang juga berarti
bertambahnya beban tugas Yayasan Kanisius, maka Missie Overste para suster CB di Indonesia
yaitu Sr. Laurentia bersama dewannya dan Sr. Catharinia yang waktu itu diberi tugas sebagai
“supervisor” sekolah-sekolah milik CB, mengadakan pembicaraan bersama, yang akhirnya
mengambil keputusan untuk mendirikan suatu yayasan pendidikan. Keputusan itu diambil pada 29
April 1952, yang bertepatan dengan hari jadi Kongregasi CB yang ke-115. Memang keputusan
tersebut baru terwujud secara resmi di hadapan notaris RM.Wiranto di Yogyakarta pada 7 Juli
1952. Yayasan Pendidikan itu diberi nama Yayasan Tarakanita. Adapun yang mengusulkan
nama”Tarakanita” adalah almarhum Bapak E. Djaja Endro, guru Bahasa Jawa Kuno di SMAK
Stella Duce. Tarakanita artinya “Bintang Penuntun”. Tarakanita diambil dari Bahasa Sansekerta,
yang dalam bahasa latin “Stella Duce”. Para pendiri Yayasan Tarakanita adalah sebagai berikut :
Sr. Ursulia, CB, Sr. Catharinia,CB, Sr. Bernardia,CB, Sr. Marie Johanna,CB, Ibu Hardjosoebroto,
Bapak Markus Manguntiyoso, Bapak E. Sudarmo dan Romo van Thiel, SJ.
Tawaran untuk membantu karya pelayanan pendidikan dari gereja terus mengalir di
berbagai daerah. Pada awal kemerdekaan Indonesia, ketika Jakarta menjadi ibukota Republik
Indonesia, Mgr. Willekens meminta Murder Laurentia untuk membantu mengembangkan
pendidikan di Ibukota. Tawaran tersebut baru ditanggapi dan ditangani pada tahun 1953 bersamaan
dibukanya Novisiat CB di Kebayoran Baru. Dua orang novisnya, Sr. Emmanuella Jansen dan Sr.
Marije Peters yang datang bersama Sr. Theodora dari Belanda mulai mengajar di SD Strada. Pada
1954, karena persiapan untuk profesi (pengikraran kaul) kedua suster tersebut digantikan oleh Sr.
Benedictus yang didatangkan dari Yogyakarta. Pada 1955, Sr. Borromeo Sumirah menggantikan
ibu Sardjono menjadi Kepala Sekolah di SD tersebut. Karya pendidikan berkembang dengan baik,
maka pada tahun 1957 Yayasan Strada menawarkan kepada Pimpinan Tarekat untuk mengambil
alih pengelolaan sekolah tersebut. Pada 1959 terjadi pengambilalihan pengelolaan sekolah, dan
nama sekolah diganti menjadi SD Tarakanita.
Sedikit demi sedikit karya pelayanan pendidikan para suster CB terus berkembang. Atas
dorongan Mgr. A. Djajaseputro banyak dibuka sekolah baru dari tingkat TK, SD, sampai SMA,
dan SMEA/SMK baik di daerah Blok B, Blok Q, Patal senayan di daerah Kebayoran, Pulo Raya,
Pluit dan Rawamangun.
SMEA Tarakanita dan LPK Tarakanita didirikan secara bersamaan atas prakarsa Sr.
Emmanuella yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala sekolah SMA Tarakanita 1 Pulo Raya,
tepatnya pada 19 Januari 1968. SMEA/SMK Tarakanita menempati gedung lantai III, sedangkan
lantai I & II dipakai untuk SMA Tarakanita 1. Siang hari gedung sekolah digunakan untuk LPK.
Pada 1972, LPK berubah menjadi Aksek/LPK Tarakanita atau Akademi Sekretari.
Aksek/LPK Tarakanita dari tahun ke tahun meningkat baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Peningkatan tersebut menyebabkan kampus Pulo Raya tidak lagi memadai. Demi peningkatan
mutu pelayanan, didirikan kampus baru di Pondok Kelapa Jakarta Timur. Pada 1990 seluruh
civitas akademika pindah ke kampus baru. Mulai 2002, Aksek/LPK Tarakanita pengelolaannya di
bawah Yayasan Pendidikan Tinggi Tarakanita.
Di Yogyakarta, pada 2 Februari 1967, dengan diprakarsai oleh Sr. Vincenza CB,
didirikanlah Akademi Kewanitaan, disingkat AKWA, untuk gadis-gadis lulusan SMA yang tidak
dapat melanjutkan belajar di Perguruan Tinggi, terutama mereka yang langsung mempersiapkan
diri untuk membangun keluarga. Tujuannya ialah untuk memberikan bekal, berbagai macam
pengetahuan, dan ketrampilan dalam mendidik anak, cara bergaul yang sehat dalam bermasyarakat,
dan mengelola kehidupan rumah tangga yang dapat dipertanggungjawabkan.
AKWA yang awalnya bersifat non-formal berkembang lebih lanjut dalam jalur pendidikan
formal. Lewat SK Kopertis wilayah IV Yogyakarta, pada 18 Maret 1974, secara resmi, AKWA
terdaftar menjadi akademi dengan nama AKTK (Akademi Kesejahteraan Keluarga dan Teknologi
Kerumahtanggaan) Tarakanita dengan masa pendidikan tiga tahun. Dalam perkembangan
selanjutnya, lewat SK Menteri P&K RI no. 1317/1086, tertanggal 23 Juli 1985, nama AKWA
diubah menjadi AKS (Akademi Kesejahteraan Sosial) Tarakanita, yang resminya bernama
AKS”AKTK” Tarakanita dengan empat program studi, yaitu Tata Boga, Tata Busana, Tata Griya,
dan Teknologi Kesejahteraan Sosial. Pengelolaan AKS Tarakanita semula ditangani oleh Yayasan
Tarakanita Cabang Yogyakarta, namun pada 1992 diambil alih oleh Kantor Pusat Yayasan
Tarakanita di Jakarta. Karena Yayasan Tarakanita hanya menangani pengelolaan pendidikan dasar
dan menengah, maka pada 2003, dalam hal pengelolaan, AKS Tarakanita diserahkan kepada
Yayasan Pendidikan Tinggi Tarakanita.
Pada tahun 1970, karya pelayanan pendidikan berkembang ke Surabaya. Kehadiran Tarakanita
di Surabaya tentu saja tidak pernah tanpa alasan. Bermula dari dijadikannya Surabaya sebagai tempat
transit bagi para Suster CB yang melakukan perjalanan ke Nusa Tenggara Timur atau sebaliknya. Hal ini
mengingat kapal laut yang melayani rute dari dan ke NTT sandar di Tanjung Perak. Namun jadwal
keberangkatan dan kedatangan kapal laut yang sering tidak tepat waktu membuat para Suster CB yang
transit di Surabaya harus menginap di biara Suster-suster Ursulin di Jalan Darmo Surabaya atau di biara
SSpS di Jalan Jambi Surabaya, karena pada saat itu biara Suster-suster CB di Surabaya belum ada.
Dengan kenyataan seperti itu, mulai dipikirkan lebih baik kalau Kongregasi CB memiliki rumah
atau komunitas sendiri di Surabaya. Maka mulai tahun 1970 dicari rumah yang dapat dipakai sebagai
rumah biara yang tujuan utamanya adalah agar para suster yang mau ke Indonesia timur dan transit di
Surabaya dapat berkumpul bersama saudara-saudaranya se-Kongregasi. Hingga didapatlah rumah di
Jalan Bendul Merisi No. 11, yang selanjutnya menandai terbentuknya komunitas di Surabaya
Disadari, bahwa tidak mungkin para suster yang tinggal menetap di Surabaya tanpa karya. Ada
tawaran menarik dari paroki Yohanes Pemandi Wonokromo agar para Suster CB turut melayani di
poliklinik Margorejo dan sekolah SD/SMP Santo Yosef. TK/SD R.A. Kartini.
Pada tahun 1974 Kongregasi CB ikut mengelola TK-SD R.A. Kartini. Yang pada saat itu
dikelola oleh Paroki Yohanes Pemandi wonokromo. Sampai dengan tahun 1974 sekolah ini belum
memiliki status yang jelas. Pada tanggal 1 Januari 1975 diusulkan sekolah TK RA Kartini dibawah
naungan Yayasan Yohanes Gabriel Keuskupan Surabaya. Tanggal 28 Juni 1976 secara resmi TK-
SD R.A. Kartini menjadi milik Yayasan Yohanes Gabriel, Keuskupan Surabaya.Pada tanggal 1 Juli
1981 No: 0/8104/YG/IV/1981 sekolah diserahkan kepada Yayasan Suster-suster Carolus
Borromeus Surabaya oleh R. YH. Purwoputranto Pr atas nama YGWS kepada Sr. Bernardia CB
atas nama Yayasan Suster-suster Carolus Borromeus.
Pada tahun 1985 Yayasan Mardiwidjanayang diselenggarakan oleh bruder-bruder CSA
menghibahkan pengelolaan sepenuhnya sekolah Santo Yosef yang terletak di Wonokromo kepada
suster-suster CB dalam wadah Yayasan Pendidikan Karolus Borromeus (YPKB). Mulai saat itu sekolah
Santo Yosef berada di bawah naungan YPKB Cabang Surabaya.
Pada tahun 1981 Kongregasi CB sudah mendirikan Yayasan di Surabaya dengan nama
Yayasan Suster-suster Carolus Borromeus yang berpusat di Yogyakarta atas nama Sr. Bernardia
CB, namun ini sifatnya sementara, karena pada saat itu sangat mendesak sifatnya yaitu sebagai
syarat hibah TK-SD R.A. Kartini.
Tahun 1981 secara administratif Yayasan Suster-suter Carolus Borromeus sudah berdiri,
meskipun belum berjalan seperti sekarang ini. Sebagai pelaksana harian adalah Sr. Ernesta CB
merangkap sebagai Kepala Sekolah SMP Santo Yosef. Baru pada 26 Desember 1984. Yayasan
Pendidikan Karolus Borromeus Cabang Surabaya berdiri secara resmi dengan pengurus: Sr.
Ernesta Sumartini CB (Ketua). Sr. Rufina Marmini CB (Sekretaris). Sr. Milburga Larasati CB
(Bendahara). Sejak saat ini semua sekolah dan seluruh harta miliknya termasuk karyawan menjadi
milik Yayasan Pendidikan Karolus Borromeus Cabang Surabaya, yang secara hierarkhis menjadi
cabang dari Yayasan Pendidikan Karolus Borromeus Pusat.
Dalam kurun waktu tahun 1981sampai dengan 1984 inilah atas permohonan masyarakat
paroki Gembala Yang Baik, di kompleks Jemur Andayani didirikan TK Santo Carolus (Juni1982)
dengan Kepala TKnya adalah Sr. Edelburga CB dan SD Santo Carolus (Juli 1983) dengan Kepala
Sekolah Sr. Aloysia menempati lahan yang telah disediakan oleh Tarekat CB. Lalu berturut-turut
mendirikan SMP Santo Carolus pada tahun 1988 dengan Kepala Sekolah Sr. Rosaline CB dan
SMA Santo Carolus pada tahun 1992 dengan Kepala Sekolah Sr. Vincenza CB. Berbeda dengan
lingkungan kompleks Santo Yosef maupun TK-SD R.A. Kartini, masyarakat Jemur Andayani
relatif mapan dari sisi sosial ekonomi. Pada bulan Agustus 2002 Yayasan Pendidikan Karolus
Borromues bergabung dengan Yayasan Tarakanita, dan secara resmi berganti menjadi Kantor
Wilayah Surabaya Yayasan Tarakanita.
Tahun 1995 karya pelayanan pendidikan para suster CB melebar sampai di Tangerang-
Banten. Hal ini sebagai tanggapan atas tawaran dari PT Jakarta Baru Cosmopolitan untuk
membuka sekolah di lingkungan perumahan Gading Serpong. Dan untuk menanggapi kebutuhan
gereja setempat atas dukungan Mgr. Julius Kardinal Darmaatmaja, SJ, dibuka sekolah di daerah
Citra Raya Tangerang.
Pada 22 Juni 1976, SD Katolik Tritis tidak lagi menjadi “kelas jauh” dari SD Tarakanita
Ngembesan, tetapi berdiri sendiri dengan nama SD Tarakanita Tritis. Setelah berdiri sendiri, SD
Tarakanita Tritis semakin mantap melayani anak-anak dari keluarga kecil, miskin dan terpencil di
Dusun Ngandong, Tritis dan Turgo yang berada di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta.
Karya pelayanan pendidikan suster-suster CB bagi anak-anak miskin tidak hanya terjadi di
Yogyakarta saja. Di Jawa tengah, tepatnya di Ngablak,lereng Gunung Merbabu, di daerah
pinggiran kota Magelang, sebuah SMP yang semula didirikn oleh masyarakat desa Ngablak
sebagai wujud keprihatinan atas rendahnya tingkat pendidikan anak-anak setempat diserahkan
kepada Yayasan Tarakanita perwakilan Magelang. SMP di Desa Ngablak tersebut diberi nama
SMP Pendowo. Karena terbentur oleh peraturan pemerintah yang mengharuskan SMP Pendowo
harus dikelola dalam sebuah yayasan, maka oleh para tokoh masyarakat desa tersebut SMP
Pendowo diserahkan pengelolaannya pada Yayasan Sanjaya, milik Gereja Papa Miskin St. Perus
dan Paulus. Pada tahun 1980, karena terbentur masalah keuangan, dalam hal pendanaannya, maka
sekolah tersebut diserahkan kepada Yayasan Tarakanita, tetapi kepemilikan sekolahnya masih
tetap pada Yayasan Sanjaya. Hal ini mengakibatkan dualisme pengelolaan SMP Pendowo. SMP
Pendowo akhirnya resmi secara penuh penyelenggaraannya diserahkan kepada Yayasan Tarakanita
pada 13 November 2002. Sejak itu secara keseluruhan penyelenggaraan SMP Pendowo Ngablak
berada di bawah Yayasan Tarakanita.
Pada tahun 1989, didirikanlah TK dan SD Tarakanita Solo Baru, yang pada waktu itu
pengelolaannya dibawah naungan Yayasan Tarakanita wilayah Yogyakarta.
Pada tahun 2002 dua Yayasan Pendidikan milik Kongregasi CB, yaitu Yayasan
Pendidikan Karolus Borromeus disatukan dengan Yayasan Tarakanita. Mulai tahun 2002 Yayasan
Tarakanita meliputi tujuh wilayah yaitu:
1. Wilayah Bengkulu
2. Wilayah Lahat
3. Wilayah Yogyakarta
4. Wilayah Jakarta
5. Wilayah Jawa Tengah
6. Wilayah Surabaya
7. Wilayah Tangerang
Pada tanggal 25 November 2002 seluruh penyelenggaraan Yayasan Tarakanita wilayah
dikoordinir oleh Kantor Pusat Yayasan Tarakanita yang berkantor di Jalan Salemba Tengah no.23
Jakarta Pusat.
Daftar Referensi
Buku ini dirancang sedemikian rupa untuk memahamkan kepada para orang tua/ wali
peserta didik betapa pentingnya pendidikan karakter Tarakanita bagi perkembangan dan
pertumbuhan kepribadian peserta didik yang mengenyam pembelajaran di sekolah
Tarakanita, agar filosofi pembentukan pribadi yang utuh bisa terwujud. Buku ini sekaligus
menjadi panduan bagi orang tua untuk mengikuti pola pembelajaran Pendidikan Karater
Tarakanita sesuai dengan jenjang pendidikan peserta didik sehingga bisa secara aktif
terlibat dalam implementasi Pendidikan Karakter Tarakanita. Buku ini dihadirkan kepada
orang tua / wali peserta didik agar seluruh proses dan implementasi Pendidikan Karakter
Tarakanita bisa berjalan secara utuh dan berkesinambungan sehingga terjadi kolaborasi
pendampingan oleh sekolah, keluarga dan masyarakat. Seyogyanya buku ini akan semakin
membantu orang tua dalam mendampingi putra putrinya agar proses Pendidikan Karakter
Tarakanita bisa di kawal secara seimbang baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat.