Anda di halaman 1dari 37

PENELITIAN SOSIOLOGI GENDER

BENTUK POLA ASUH ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF GENDER

Disusun Oleh :

Ismiyati Nurchasanah NIM. 17413241014


Ira Nurastuti NIM. 17413241032
Arjun Rezky Fawzi NIM. 17413241033
Annisa Dwi Novitasari NIM. 17413241036
Muhammad Bagus Nugraha NIM. 17413241037
Farel Akbar Giffari NIM. 17413244009

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat banyak sistem sosial yang dikonstruksi oleh
masyarakat itu sendiri sebagai sebuah kesepakatan, dimana kesepakatan ini terkadang
tidak memperhatikan kesetaraan gender. Sebagai contoh tidak sedikit masyarakat
yang menyerahkan tanggung jawab merawat anak pada satu pihak saja, dalam hal ini
perempuan sebagai ibu. Belum lagi konstruksi sosial yang menempatkan perempuan
bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga yang ranah kerjanya seolah-olah terbatas
pada pekerjaan rumah dan dapur, sementara laki-laki bekerja di sektor publik semakin
memperkuat bias gender. Konstruksi sosial ini membuat perempuan amat terbatas dan
dirugikan, sekalipun dia bekerja di sektor publik bukan tidak mungkin mendapatkan
pelabelan-pelabelan dari masyarakat. Pelabelan ini seperti ketika seorang perempuan
yang sudah berkeluarga pulang larut malam karena bekerja yang kemudian mendapat
stigma tidak dapat mengurus anak dan suami, serta pelabelan negatif lainnya. Kondisi
dimana terdapat ketimpangan pembagian posisi dan peran antara laki-laki dan
perempuan yang merugikan salah satu pihak ini disebut bias gender.
Bias gender tumbuh subur tidak hanya pada kehidupan individu dewasa,
namun juga pada anak-anak. Hal ini dapat dilihat pada fenomena banyaknya orang tua
yang melarang anak laki-lakinya menangis, mengkotakkan anak dalam bermain
seperti anak perempuan hanya diperbolehkan bermain boneka atau belajar memasak
sementara anak laki-laki bermain mobil-mobilan, sepak bola dan sebagainya. Hal ini
dapat kita lihat sebagai awal dari kemunculan bias gender yang berakar pada
pembedaan pola asuh antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Pembedaan pola asuh ini berdampak pada ketidaksetaraan anak dalam
memperoleh hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang secara utuh. Setiap anak
berhak tumbuh dengan bermain apapun sesuai keinginan, mengekspresikan apa yang
mereka rasakan, mengeluarkan pendapat dan pemikiran, serta berhak melakukan hal-
hal lain tanpa merasa dibatasi oleh gender. Hal ini sejalan dengan pernyataan dalam
Konvensi Hak Anak PBB yang menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan
haknya tanpa memandang latar belakang apapun termasuk gender.
Untuk memenuhi hak anak agar mampu berkembang secara utuh salah satu
hal yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan pola asuh berwawasan
kesetaraan gender. Pola asuh ini dapat dimulai dengan tidak bersikap diskriminatif
terhadap anak berdasarkan gender karena pada dasarnya anak laki-laki dan anak
perempuan seharusnya mendapat perlakuan sama. Hal-hal seperti membiarkan anak
perempuan bermain bola atau mencuci mobil, anak laki-laki belajar memasak atau
memberi kesempatan anak laki-laki untuk menangis merupakan langkah kecil dalam
memperlakukan mereka setara. Memberikan pemahaman terkait kesetaraan gender
sedini mungkin dengan berbagai pembiasaan perlu dilakukan karena pada dasarnya
anak tumbuh dengan pembiasaan. Hal ini penting dilakukan agar ketika dewasa anak-
anak memiliki life skill yang beragam dan tidak terpaku pada gender. Selain itu,
pembiasan ini juga dapat mereduksi kemungkinan bullying pada anak. Bullying pada
anak yang dimaksud contoh kecilnya seperti anak laki-laki yang menuruti stereotype
masyarakat untuk kuat, tidak cengeng, tidak bersikap lembut seperti anak perempuan
yang kemudian menunjukkan “kejantanannya” dengan melakukan bulliying dengan
alasan agar ia sendiri tidak menjadi korban bulliying.
Adanya berbagai fenomena bias gender terutama pada anak dan belum
diterapkannya pola asuh berwawasan gender secara masif oleh banyak orang tua
maka penelitian ini menjadi penting dilakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola asuh orang tua terhadap anak dalam perspektif kesetaraan
gender?
2. Bagaimana dampak pola asuh orang tua terhadap anak dalam perspektif
kesetaraan gender?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pola asuh orang tua terhadap anak dalam perspektif kesetaraan
gender.
2. Mengetahui dampak pola asuh orang tua terhadap anak dalam perspektif
kesetaraan gender.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah referensi dan informasi
terkait pola asuh anak dalam perspektif kesetaraan gender.
b. Penelitian ini dapat digunakan untuk mengimplementasikan ilmu sosiologi
khususnya dalam kajian sosiologi keluarga mengenai pola asuh.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti dalam bidang penelitian
khususnya kualitatif dan pengetahuan mengenai pola asuh atau gaya pengasuhan
anak khususnya usia remaja dalam perspektif kesetaraan gender.
b. Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi bagi
pembaca khususnya tentang pola asuh atau gaya pengasuhan anak khususnya usia
remaja dalam perspektif kesetaraan gender.
c. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan atau sumber data
sekunder bagi penelitian sejenis serta menambah pengetahuan mahasiswa tentang
pola asuh atau gaya pengasuhan anak khususnya usia remaja dalam perspektif
kesetaraan gender.
d. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta
Penelitian ini diharapkan menambah koleksi kajian dan referensi bagi
Universitas Negeri Yogyakarta khususnya tentang pola asuh dan kesetaraan
gender.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pola Asuh
Pola asuh merupakan cara orang tua membimbing anaknya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008:1088) bahwa “pola adalah model, sistem, atau cara kerja”, Asuh
adalah “menjaga, merawat, mendidik, membimbing, membantu, melatih, dan sebagainya”
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:96). Gunarsa (2000:44) menambahkan bahwa “Pola
asuh tidak lain merupakan metode atau cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-
anaknya yang meliputi bagaimana pendidik memperlakukan anak didiknya.” Maka, secara
umum pola asuh dapat kita artikan sebagai cara mendidik anak, dan proses interaksi orang
tua dan anak, meliputi kegiatan mendidik, membimbing, serta mendisiplinkan dalam
mencapai proses kedewasaan. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berkaitan dengan pola asuh ada beberapa jenis pola asuh yang dapat diterapkan dalam
keluarga diantaranya: pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. a. Pola asuh otoriter
merupakan pola mengasuh anak dengan disertai aturan-aturan ketat dalam mendidik
anaknya. Biasanya sang anak tidak diberi kebebasan berperilaku. b. Pola asuh demokratis
ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi
kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada orang tua. c. Pola asuh permisif pola asuh
ini cenderung membebaskan anak untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini sang anak
dianggap sebagai seseorang yang dewasa dan mampu menentukan tindakan serta
perilakunya secara mandiri.
2. Tipe-Tipe Pola Asuh
Menurut Sugihartono, dkk (2007:31) dalam skripsi Arif mengatakan bahwa
terdapat 3 macam pola asuh orang tua, yaitu :
1) Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada
pengawasan orang tua kepada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan.
Orang tua bersikap tegas, suka menghukum, dan cenderung mengekang keinginan
anak. Hal ini dapat menyebabkan anak kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah
gugup. Oleh karena itu sering mendapat hukuman, anak menjadi tidak disiplin dan
nakal.
2) Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif merupakan bentuk pengasuhan di mana orang tua memberi
kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut
untuk bertanggungjawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua.
3) Pola Asuh Autoritatif
Pola asuh autoritatif bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak
adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk saling bertanggung
jawab, dan menentukan perilakunya sendiri supaya dapat disiplin.
Lalu, meurut Baumrind dalam Skripsi Monika (2011:23), mengatakan bahwa pola
asuh orang tua terbagi dalam 4 macam, yaitu:
a. Pola Asuh Otoriter
Dalam pola asuh ini, semua tingkah laku, pengambilan keputusan, dan cara
berpikir anak diatur oleh orang tua. Orang tua memiliki kendali penuh terhadap segala
aspek kehidupan anaknya. Dalam menyampaikan keinginannya, orang tua cenderung
memaksa, memerintah, memberi ancaman dan menghukum. Dalam pola asuh ini
sedikit sekali komunikasi secara verbal, biasanya komunikasi yang terjadi hanya
bersifat satu arah. Orang tua tidak lagi memberi pertimbangan terhadap pendapat
anaknya.
b. Pola Asuh Otoritatif
Dalam pola asuh ini, orang tua mendorong anak untuk bersikap mandiri, tetapi
orang tua masih memberikan kontrol terhadap perilaku anak. Anak diperbolehkan
untuk mengemukakan pendapatnya. Orang tua menanamkan nilai-nilai yang berlaku
dengan cara yang lebih hangat. Dalam menanamkan nilai, orang tua akan menjelaskan
dampak-dampak secara rasional dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak.
Komunikasi antara orang tua dan anak bersifat dua arah. Kepentingan anak menjadi
prioritas utama orang tua, tetapi masih dikontrol dalam pemberian kebebasan
anaknya.
c. Pola Asuh Permisif
Orang tua memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak bebas
melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan batasan-batasan
yang sangat sedikit. Dengan kata lain, kontrol orang tua terhadap perilaku anak sangat
sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat dalam aspek kehidupan anaknya. Orang
tua cenderung tidak menegur anaknya jika melakukan perbuatan yang salah

d. Pola Asuh Penelantar


Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe ini akan cenderung tidak
terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua tidak peduli dengan apa yang dilakukan
oleh anaknya. Dalam membesarkan anaknya, orang tua tidak memberikan kasih
sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup (dikutip dari King, 2015:172)
3. Bias Gender
Bias gender dapat didefinisikan sebagai penyimpangan, ketidaksetaraan, atau
ketimpangan terhadap laki-laki maupun perempuan (Rukmina, 2007). bias gender maasih
banyak terjadi pada masyarakat. Posisi perempuan masih sangat lemah meskipun telah
banyak kebijakan maupun peraturan yang mencoba melindungi posisi perempuan tersebut.
Perempuan masih menjadi korban yang sering mengalami diskriminasi. Dan hal ini juga
mencakup pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya.
4. Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) adalah suatu bentukan kata yang
mengandung dua konsep, yaitu kesetaraan gender dan keadilan gender. Kesetaraan gender
berarti kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan
hak-haknya sebagai manusia. Khususnya pada sektor publik dimana anatara laki-laki
berhak mendapat kesempatan yang sama. Seperti dalam hal pekerjaan, pendidikan dan lain
sebagainya. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap
laki-laki dan perempuan untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang
dimainkannya.

B. Kajian Teori

1. Teori Struktural Fungsional


Menurut Ratma Megawangi dalam Artikel Marzuki, Teori struktural fungsional
merupakan teori sosiologi yang dicetuskan oleh Talcot Parsons. Teori struktural
fungsional ini berangkat dari asusmsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian
yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di
dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi di setiap unsur, dan menerangkan
bagaimana unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Teori strutural fungsional mengakui
adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber
utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan
posisi seseorang dalam organisasi
Terait gender, teori ini dapat dikatkan, karena dalam struktural fungsional terdapat
pembagian kerja, dan struktur pembagian kerja, seperti laki-laki memiliki tugas sebagai
pencari nafkah dan bekerja di sektor publik,dan perempuan bekerja di sektor domestik
atau rumah. Pembagian kerja seperti ini telah banyak terjadi di masyarakat luas, baik di
kota maupun desa, dan hal-hal seperti itu sudah menjadi stereotype di masyarakat, bahwa
laki-laki kodratnya mencari nafkah di luar rumah, dan perempuan bekerja di rumah atau
sektor domestik. Teori struktural fungsional dapat relevan jika di dalam struktur keluarga
terdapat pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, baik ibu, ayah,
maupun anak-anak.
2. Teori Sosial Konflik

Dalam masalah gender, teori sosial konflik terkadang diidentikkan dengan teori
Marx, karena kuatnya pengaruh marx. Marx yang kemudian melengkapi pendapat F.
Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan
gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi
merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang
diterapkan dalam keluarga. Hubungan laki-laki dan perempuan tidak ubahnya dengan
hubungan proletar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan orang yang diperas.
Artinya ketimpangan atau bias gender yang terjadi di masyarakat bukan karena kodrat
Tuhan namun karena konstruksi masyarakat.

Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-
laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi
perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan
adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan
memiliki korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan. (Nasaruddin Umar,
1999:62 dalam Marzuki )

Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan
seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang
menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial
yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi
budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan
sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga
dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender
50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal
untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna
Megawangi, 1999: 91 dalam Marzuki).

C. Kerangka Berpikir

Orang Tua dan Anak

Pola Asuh Orang Tua

Bias Gender Kesetaraan Gender

Keterangan : Penelitian ini membahas tentang bagaimana pola asuh yang terjadi di sebuah
keluarga, di dalam keluarga terdapat ayah, ibu sebagai orang tua, dan mereka memiliki anak.
Setiap orang tua memiliki cara tersendiri dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya,
timbulah suatu pola asuh di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki pola asuh
yang beragam, dan setiap orang tua tentunya ingin anak-anaknya menjadi yang terbaik.
Berbicara tentang pola asuh, setiap orang tua memiliki anak tidak selalu sejenis kelamin, ada
yang berbeda, memiliki anak laki-laki dan perempuan. Berbicara tentang laki-laki dan
perempuan, hal ini sangat terakit dengan gender, yang merupakan sifat yang ada pada laki-
laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial di masyarakat. Terkait dengan gender,
terdapat 2 perilaku masyarakat terhadap gender, yaitu bias gender dan kesetaraan gender. Di
mana bias gender masih membedakan antara laki-laki dan perempuan dari segi gender, dan
kesetaraan gender berupaya untuk menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam segi gender.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di yaitu Jalan Waringin no 130 A, Sambilegi Lor,
Maguwoharjo, Depok, Sleman. Selain itu penelitian ini juga dilakukan di beberapa
daerah di Kabupaten Sleman.
B. Deskripsi Informan
Terdapat tiga informan dalam penelitian ini
a. Informan pertama
SN merupakan ibu rumah tangga dengan dua anak. Anak pertama putri dan anak
kedua putra. SN memiliki karakter yang lemah lembut dan sangat memperhatikan
setiap kegiatan serta pendidikan dari putra putrinya.
b. Informan kedua
LT merupakan ayah dari dua anak. Anak pertama putra dan anak kedua putri. LT
memiliki karakter yang memberi kebebasan pada putra putrinya.
c. Informan ketiga
AM merupakan ibu rumah tangga sekaligus wanita karir dengan dua anak. Anak
pertama putri dan anak kedua putra. AM memiliki karakter yang bersahabat
dengan putra putrinya, memberi kebebasan luas untuk berekpresi dalam hal
apapun yang positif.
C. Waktu Pengumpulan Data
Penelitian ini berlangsung selama dua minggu dimulai dari awal bulan
November tepatnya tanggal 2 November 2019 hingga tanggal 18 November 2019.
D. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memilih metode penelitian kualitatif. Yusuf
(2007: 50) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dapat digunakan apabila ingin
melihat dan mengungkapkan sesuatu keadaan maupun suatu objek, serta menemukan
makna (meaning) atau pemahaman yang mendalam tentang suatu masalah yang
dihadapi. Informasi yang diperoleh diolah dalam bentuk data kualitatif baik berupa
gambar, kata-kata maupun kejadian. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif.
Secara khusus, pendekatan penelitian yang dipilih adalah studi kasus. Menurut
punch (dalam Poerwandari 2005) yang di definisikan sebagai kasus adalah fenomena
khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara
fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu peran
kelompok kecil organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa.
Kasus juga berarti pula keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa
khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang dapat diteliti dalam studi kasus : individu-
individu, karekteristik atribut dari individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau
artefak perilaku, setting serta peristiwa, atau insiden tertentu. Sifat dari penelitian
studi kasus adalah tentang peristiwa dan pikiran sampel dengan seakurat mungkin
dengan menemukan faktor-faktor penyebab dan mengetahui pengaruh terhadap
kehidupan subjek saat ini (Moleong, 2004). Oleh karna itu dengan menggunakan
metode studi kasus membuat peneliti memahami subjek secara mendalam dan
memandang subjek sebagaimana subjek penelitian memahami dan mengenal dirinya.
E. Sumber Data
Sukandarrumidi (2006: 44) menjelaskan sumber data yang dimaksud adalah
semua informasi baik berupa benda nyata, abstrak peristiwa. Pada penelitian ini
sumber data yang digunakan ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder.
Sumber data primer adalah sumber data yang didapatkan secara langsung dari
informan melalui obervasi dan wawancara dengan informan yang dipilih dan
dipercaya dapat menghasilkan data yang benar. Sedangkan data sekunder adalah
sumber data yang didapat dari buku-buku, jurnal, ataupun penelitian sejenis yang ada
kaitannya dengan judul ini sehingga berguna untuk menunjang hasil laporan
penelitian.
F. Teknik Pengumpulan Data
Moleong (2004: 135) Metode pengumpulan data merupakan langkah penting
dalam melakukan penelitian, karena data yang terkumpul akan dijadikan bahan
analisis dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini
adalah dengan teknik studi kasus yaitu data penelitian. Studi Kasus dapat diperoleh
dari beberapa teknik, seperti wawancara, observasi pelibatan (participant
observation), dan dokumentasi. Peneliti sendiri merupakan instrumen kunci, sehingga
dia sendiri yang dapat mengukur ketepatan dan ketercukupan data serta kapan
pengumpulan data harus berakhir.
1. Wawancara adalah suatu proses tanya jawab lisan, dimana 2 orang atau
lebih saling berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka lain dan
mendengar dengan telinga sendiri dari suaranya (Sukandarrumidi, 2006:
89). Dari wawancara dengan informan inilah peneliti menggali data yang
dibutuhkan
2. Observasi atau pengamatan merupakan suatu cara mengumpulkan data
dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang
berlangsung. Kegiatan tersebut bisa berkenaan dengan cara guru mengajar,
siswa belajar, kepala sekolah sedang memberikan pengarahan (Nana S,
2009: 220). Jadi, observasi merupakan penelitian yang dilakukan secara
sistematis dan sengaja dilakukan dengan menggunakan indra penglihatan
untuk melihat kejadian yang berlangsung serta langsung menganalisis
kejadian tersebut
3. Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis ataupun film, sedangkan record
adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga
untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting
(Moleong, 2011: 216). Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan
data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik
tertulis, gambar maupun elekronik.
G. Validitas dan Reliabilitas Data
Pemeriksaan validasi data disini menggunakan teknik trianggulasi. Teknik
trianggulasi ini adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan
sesuatu diluar data untuk keperluan pengecekan data. Dan teknik trianggulasi yang
digunakan adalah trianggulasi metode dan sumber. Untuk memperoleh data dalam
penelitian digunakan metode pengamatan, wawancara dan analisis data yang
dperoleh. Teknik trianggulasi sumber dilakukan dengan meminta penjelasan lebih
lanjut. Kemudian trianggulasi digunakan untuk membandingkan informasi dari
informan pada saat yang berbeda kemudian dibandingkan.
Dalam penelitian kualitatif uji reliabilitas dilakukan dengan mengaudit
keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor yang independen yaitu
dosen pembimbing skripsi untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam
melakukan penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah, memasuki
lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data melakukan uji keabsahan
dan sampai kesimpulan harus dapat ditunjukkan oleh peneliti. Menurut Faisal (dalam
Sugiono, 2011) jika peneliti tidak mempunyai dan tidak menunjukkan jejak aktivitas
lapangannya maka reliabilitas penelitiannya masih diragukan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten
Sleman, lokasi yang diambil peneliti tidak jauh dari lokasi Universitas Negeri Yogyakarta,
1. Informan pertama di Jalan Waringin nomor 130 A, Maguwoharjo, Depok, Sleman
2. Informan kedua di Perumahan Purwo Alam Sari, Purwomartani, Kalasan, Sleman,
DIY
3. Informan ketiga di Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY
Sampel yang dipilih oleh peneliti adalah orang tua yang memiliki anak laki-laki dan
perempuan.
B. Deskripsi Informan
Informan yang dipilih oleh peneliti berjumlah tiga informan, yang terdiri orang tua
dari Saudara Ira, orang tua dari Talitha, dan orang tua dari Farel karena memiliki anak
laki-laki dan perempuan.

No Nama Informan Jumlah Anak


1 SN 2 (Laki-Laki Perempuan)
2 LNT 2 (Laki-Laki, Perempuan)
3 AMS 2 ( Laki-Laki, Perempuan)

SN
SN merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang memiliki 2 anak, yaitu 1 laki-laki
dan 1 perempuan, SN merupakan salah satu orang dari peneliti.
LNT
LNT merupakan seorang ayah yang memiliki 2 anak, yaitu 1 laki-laki dan 1
perempuan, LNT bekeja sebagai karyawan swasta.
AMS
AMS merupakan seorang ibu yang bekerja sebagai Guru di SMP Negeri 1 Depok
Sleman AMS memiliki 2 anak, 1 laki-laki dan 1 perempuan, salah satu anaknya
merupakan peneliti pada penelitian ini.
C. Pola Asuh
Setiap orang tua memiliki pola asuh yang berbeda-beda dan memiliki cara tersendiri
dalam mengasuh buah hatinya. Pada dasarnya pola asuh orang tua merupakan suatu cara,
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua untuk mengasuh, mendidik, mengajari,
membimbing anaknya agar menjadi anak yang terbaik, yang diharapkan oleh orang tua.
Dan setiap orang tua memiliki cara dan strategi yang berbeda-beda dalam mendidik dan
mengasuh seorang anak, dan dengan pola dan cara yang diberikan orang tua dapat
mempengaruhi bagaimana karakter dan kepribadian anak. Seperti contohnya, anak itu
didik oleh orang tuanya yang tegas, disiplin, maka lambat laun sikap tegas dan disiplin
tersebut akan tumbuh pada diri anak.
D. Gender dalam Pola Asuh
Gender adalah suatu konstruksi sosial dari adanya jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, lalu
dikonstruksikan. Menurut Farida (2018:3), konsep gender banyak dibicarakan dan
didiskusikan tingkat dunia, dan juga Indonesia seiring dengan tumbuh kembangnya
kesadaran mengenai hak-hak kaum perempuan dalam masyarakat. Di dalam kehiduapan
masyarakatpun, terdapat kesetaraan geder dan bias gender, khususnya dalam pola asuh
anak di dalam keluarga.
Kesetaraan Gender merupakan suatu kondisi di mana laki-laki dan perempuan dapat
menikmati status serta kondisi yang sama untuk mewujudkan untuk mewujudkan hak-hak
dan potensi bagi pembangunan dalam segala bidang kehidupan secara penuh. (Herien,
2013: 5) dalam Nisa Karimah (2014). Dalam konsep ini, laki-laki dan perempuan
diposisikan setara, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Kesetaraan gender ini muncul
sebagai bentuk perjuangan untuk mendobrak diskriminasi gender yang terjadi. Maka dari
itu, kesetaraan gender sangat diperlukan, banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk
mewujudkan kesetaraan, seperti adanya pendidikan gender, pentingnya mempelajari
gender dari hal terkecil, adanya diskusi-diskusi umum atau seminar mengenai kesetaraan
gender.
Kesetaraan gender juga perlu dilakukan dalam mendidik anak, karena masih terdapat
orang tua yang belum memahami kesetaraan gender untuk anak-anaknya, ada orang tua
yang terlalu membatasi anak-anaknya untuk bermain dan bergerak di luar.
Bias gender dapat didefinisikan sebagai penyimpangan ketidaksetaraan atau
ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Posisi perempuan masih
dianggap lemah oleh kaum laki-laki, meskipun telah banyak peraturan-peraturan yang
mengatur tentang kesetaraan gender.
E. Hasil Penelitian
1. Pola Asuh dan Gender
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan tipe pola asuh yang berbeda
antara satu orang tua dengan orang tua lainnya. Secara keseluruhan, informan
menerapkan pola asuh yang demokratis atau dapat dikatakan pola asuh mereka
cenderung autoritarian, artinya ketiga informan tersebut memberikan kebebasan kepada
anaknya untuk berpendapat, untuk memiliih, tetapi terdapat aturan-aturan yang berlaku
atau batasan, tidak terlalu dibebaskan. Seperti kutipan wawancara :
N : Kalau Ibu gimana, Ra? Kalau Ibu bebas sih, dia main mobil mobilan dimas
sering, trus main sepeda, terus, tapi ya ndilalah Dimas juga ga seneng boneka.
Ga pernah megang bonekamu yaa, Berbinya dia kan teng telecek tapi ya
alhamdulillah
P : Suka masak juga kan Dimas
N : Dilalah kalau masak beneran si Ira males dia, tapi kalau Dimas seneng. Bu,
bikin ini, Bu
(Kutipan wawancara SN, pada tanggal 2 November 2019)
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, dapat dikatakan bahwa pola asuh yang
diterapkan oleh Ibu SN kepada anak-anaknya, tidak membedakan gender, pada kutipan
wawancara tersebut mengatakan bahwa anak laki-laki atau Dimas suka memasak, justru
sebaliknya anak perempuan Ibu SN tidak terlalu suka memasak, dan Ibu SN
memandang hal tersebut biasa saja dan tidak mempersoalkan jenis kelamin, perempuan
dan laki-laki
Namun, di sisi lain terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan bahwa pola asuh
yang Ibu SN terapkan masih terdapat unsur bias gender, Ibu SN mengatakan bahwa

“Kalau pendidikan sih kalau perempuan kayak Ira banyak saya arahin, kalau
pendidikan. Kalau laki saya bebasin lebih, saya lebih bebasin gitu, kamu mau
apa terserah, tapi kalau perempuan saya arahin si Ira, misalnya kan ambil
pendidikan ya, karena kalau saya lihat wanita kayaknya lebih fleksibel ya kalau
di bidang pendidikan, tapi kalau saya didik anak laki, saya buka selebar-
lebarnya dia mau milih apa terserah, tapi kalau perempuan saya batesin.
Soalnya apa, ya kalau saya soalnya anak perempuan besok tuh dia punya
tanggung jawab rumah tangga gitu, lho. Lebih lebih, kondisinya lebih besar kan
dibanding anak laki. Setinggi-tingginya kamu, terserah mau apa S1, S2, terserah,
tapi kalau perempuan lingkupnya kan dia punya tanggung jawab keluarga gitu,
lho “
(Kutipan Wawancara SN, 2 November 2019)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Ibu SN masih belum memberikan kebebasan
pada perempuan, masih terdapat stigma bahwa perempuan itu memiliki tanggung jawab
besar atau tanggung jawab yang dominan di rumah, maka dari itu Ibu SN lebih
mengarahkan pendidikan perempuan itu menjadi guru, karena ia menganggap dengan
menjadi guru tugas perempuan fleksibel. Berbeda dengan anak laki-laki, Ibu SN
memberikan kebebasan untuk memilih profesi apa yang dilakukan, karena baginya laki-
laki memiliki tanggung jawab besar di luar rumah, sebagai pencari nafkah, jadi
perempuan lebih baik bisa mengontrol rumah, laki-laki lebih fokus untuk bekerja di
luar rumah.
Selain Ibu SN, terdapat ayah LNT yang memiliki 2 anak, yaitu 1 laki-laki dan 1
perempuan. Pola asuh yang diterapkan LNT itu apa yang ia yakini benar, apa yang
mereka anggap baik, mereka terapkan kepada anak-anaknya., dan apa yang kami yakini
benar dapat dikatakan bahwa Bapak LNT bersikap demokratis, terbuka dengan anak-
anaknya, memberi saran kepada anaknya ketika anak mereka membutuhkan dukungan
dan saran. Seperti kutipan wawancara berikut ini :
P : Bagaimana pola asuh yang Anda lakukan kepada anak-anak Anda?
N : Sesuai dengan apa yang kami yakini benar
(Kutipan wawancara LNT, 16 November 2019)
LNT memahami apa yang dimaksud dengan gender, baginya gender lebih kepada
peran seseorang, baik itu laki-laki maupun perempuan. Pola komunikasi yang
diterapkan di keluargapun terbuka, antara anak dengan orang tua terbuka, tidak
tertutup. Dan terkait dengan kesetaraan gender, LNT menerapkan sikap tersebut dengan
mendidik anak-anaknya, tanpa membedakan jenis kelamin antara laki-laki dan
perempuan.
P : Terkait dengan hal gender, apakah dalam mendidik Anak antara laki-laki dan
perempuan memiliki cara yang berbeda?
N : Tidak membeda-bedakan
(Kutipan wawancara LNT, 16 November 2019)

Lalu, informan ketiga adalah AMS, ia adalah seorang Ibu yang memiliki 2 anak laki-
laki dan perempuan. Menurut hasil wawancara, terkait dengan pola asuh, AMS
menerapkan pola asuh yang demokratis, karena AMS mengatakan bahwa ia
membebaskan anak-anaknya untuk bereskpresi, sehingga dengan cara membebaskan
tersebut, anak bisa bertanggungjawab atas hal yang anak tersebut lakukan, namun orang
tua tetap untuk memberi batasan terhadap anak-anaknya.
P : Di dalam keluarga, apakah anak-anak Anda memiliki sifat/karakter khusus
sehingga diperlukan pola yang berbeda dari pola asuh pada umumnya?
N : Kami cenderumg membebaskan mereka dalam bergaul dan berekspresi,
karena dengan begitu kami yakin mereka akan lebih bertanggung jawab pada
diri sendiri.
(Kutipan wawancara AMS, 16 Novermber 2019)
Terkait dengan gender, AMS mengatakan bahwa tidak selalu, karena ada beberapa
hal yang disamakan antara laki-laki dan perempuan, dan ada pula beberapa hal yang
perlu dibedakan, artinya AMS sebagai orang tua memiliki batasan, dan tidak selalu
antara laki-laki dan perempuan itu diperlakukan sama.
Namun, di sisi lain berdasarkan hasil wawancara dengan AMS, dapat dikatakan
bahwa kesetaraan yang dilakukan oleh AMS kepada anak-anaknya tidak sepenuhnya
setara. Artinya, masih terdapat tindakan-tindakan yang dilakukan AMS kepada anak-
anaknya yang bias gender
P : Terkait dengan hal gender, apakah dalam mendidik Anak antara laki-laki dan
perempuan memiliki cara yang berbeda?
N : Tidak selalu, ada hal-hal yang memang kami samakan namun ada hal-hal
pula yang kami bedakan.
(Kutipan wawancara, AMS, 16 November 2019)
P : Contohnya seperti apa?
N : Contoh simplenya misal ganti aqua galon, ya pastinya nyuruhnya aku karena
itu berat, tapi kalo nyuci piring ya dua-duanya harus bisa dan mau disuruh.
(Kutipan wawancara Farel (Anak AMS), 2 Desember 2019)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dikatakan bahwa masih terdapat bias
gender yang dilakukan oleh AMS kepada anak-anaknya, seperti ia mengatakan bahwa
ada hal-hal yang memang disamakan, namun ada pula yang kami bedakan, seperti
contohnya mengangkat aqua galon itu menjadi tugas laki-laki, sedangkan untuk
menyuci piring laki-laki dan perempuan harus bisa untuk melakukannya. Jika dinalar,
laki-laki lebih mendominasi di sini, laki-laki harus bisa semuanya, baik untuk
mengangkat galon dan meyuci piring, sedangkan perempuan hanya fokus pada menyuci
piring.

2. Dampak dari Pola Asuh yang diterapkan


Dampak dari adanya pola asuh yang diterapkan dari Ibu SN, Bapak LNT, dan Ibu
AMS.
Dampak dari adanya pola asuh tersebut dari Ibu SN adalah :
a. Anak-anak menjadi lebih terarah karena masih adanya pengawasan dan batasn yang
diberlakukan oleh orang tua
b. Anak-anak menjadi lebih patuh, dan nurut ketika Ibu SN menggunakan cara keras
dalam mendidik anak
c. Ibu SN membatasi dalam hal profesi, di sisi lain hal tersebut memang pada awalnya
sulit, namun dari dibatasi itu perempuan menjadi belajar untuk menyukai arahan
profesi yang dianjurkan oleh Ibu SN
Dampak dari adanya pola asuh dari Bapak LNT adalah :
a. Menurut wawancara dengan Talitha (anak LNT) ia menjadi lebih merasa disayang
dan diperhatikan oleh orang tuanya
b. Menjadi lebih teratur karena orang tua memberikan arahan yang baik untuk anaknya
Dampak dari adanya pola asuh Ibu AMS
a. Menurut hasil wawancara dengan Farel (anak AMS), ia mengatakan bahwa ia
menjadi mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berani berpendapat, dan punya
rasa tanggung jawab yang lebih
3. Analisis Gender
Menurut Farida (2018:15) Analisis gender digunakan sebagai alat untuk menelaah
permasalahan gender terutama dalam menganalisis ketimpangan gender yang ada di
masyarakat.
a. Analisis Aktivitas
Analisis aktivitas adalah analisis yang meliputi perempuan dan laki-laki
merupakan pelaku pembangunan/pemberdayaan masyarakat, baik di tingkat
individu maupun masyarakat.
Pertanyaan : Siapa melakukan apa?
Berdasarkan hasil penelitian, aktor yang terlibat adalah anak laki-laki dan
perempuan, dan orang tua penggerak ke mana anak-anak mereka akan diajarkan
dan dididik. Hasil penelitian berdasarkan informan SN, LNT, dan AMS mengatakan
bahwa mereka melakukan pola asuh, tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan
perempuan, tetapi di sisi lain masih terdapat bias gender di antara para informan
b. Analisis Manfaat
Analisis ini meliputi perempuan dan laki-laki sebagai penikmat atau
pemanfaat hasil pembangunan.
Pertanyaan : Siapa yang mendapatakan keuntungan?
Berdasarkan hasil penelitian, tentunya yang mendapatkan, merasakan dari pola
asuh orang tua adalah anak-anaknya, baik laik-laki dan perempuan. Hasil penelitian
berdasarkan informan SN, LNT, AMS pada dasarnya mereka memberikan yang
terbaik untuk anak-anaknya, tapi membedakan antara laki-laki dan perempuan,
mereka mendidik tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, sehingga anak-anak
mereka sama-sama mendapat manfaat dari pola asuh orang tua mereka, seperti
contohnya mereka mendapat perlakuan yang baik dari orang tua, mereka
mendapatkan perhatian dari orang tua.
Namun, di sisi lain masih terdapat bias gender seperti contohnya SN dalam hal
pendidikan, ia membatasi untuk anak perempuan untuk menjadi guru karena lebih
fleksibel, dan laki-laki diberi kebebasan untuk memilih profesi karena laki-laki
mencari nafkah di luar rumah. Sehingga, yang mendapatkan manfaat adalah
kebanyakan laki-laki, karena ia bebas untuk memilih bekerja sebagai apa.
Lalu AMS, ia mengatakan bahwa masih ada kegiatan yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan, seperti dalam hal menyuci piring dan mengangkat galon,
perempuan dibatasi hanya menyuci priring, dan laki-laki keduanya harus bisa.
Maka dari itu yang mendapatkan banyak manfaat adalah laki-laki.
c. Analisis Akses
Peluang perempuan dan laki-laki atas sumber daya alam, politik, ekonomi, dan
sosial.
Pertanyaan : Siapa yang menjangkau peluang tersebut?
Berdasarkan hasil penelitian oleh informan SN, LNT, AMS, anak-anak
mereka tentunya mendapatkan peluang yang sama, dalam artian anak-anak mereka
bisa mengakses biaya untuk sekolah, sumber daya yang dimiliki oleh orang tua
mereka, mereka dapat mengakses pendidikan sesuai dengan kemampuan dan
bidang mereka yang tentunya tak lepas dari biaya dari orang tua.
Namun, di sisi lain masih terdapat bias gender di antara para informan seperti
contohnya SN dalam bidang pendidikan, yang lebih membebaskan laki-laki untuk
menjadi profesi apa saja, sedangkan perempuan menjadi guru, sehingga yang
menjangkau peluang lebih banyak jatuh pada laki-laki.
d. Analisis Kontrol
Penguasaan (kendali) perempuan dan laki-laki terhadap pemanfaatan sumber
daya dan fasilitas
Pertanyaan : Siapa yang paling dominan mengontrol?
Berdasarkan hasil penelitian oleh informan SN, LNT, dan AMS, anak-anak mereka
tentunya mendapat kontrol atas segala perlakukann yang anak mereka lakukan.
Seperti contohnya jam pulang anak antara laki-laki dan perempuan tidak boleh
pulang larut malam, tidak boleh menginap di rumah teman baik anak laki-laki
maupun perempuan.
Namun, masih ada beberapa yang bias, seperti contoh Ibu SN yang masih
membebaskan anak laki-laki dalam hal profesi, sedangkan perempuan lebih
dibatasi, lebih mendapat kontrol. Dan AMS yang masih mengontrol perempuan
untuk tidak melakukan pekerjaan berat, seperti hanya sebatas mencuci piring,
namun laki-laki boleh menyuci piring dan mengangkat galon. Sebetulnya
perempuan bisa saja dimintai tolong untuk mengangkat galon.
e. Analisis Dampak
Dampak yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan bagi adanya
pembangunan secara adil dan merata.
Pertanyaan : Siapa yang mendapat dampak paling besar dari adanya proses
pembangunan?
Berdasarkan hasil penelitian oleh informan SN, LNT, dan AMS, mereka
memperlakukan anak-anak mereka dengan baik dan adil, dan berdasarkan hasil
penelitian pola asuh yang mereka terapkan adalah pola asuh autoritaritativ, dan
memberikan dampak yang merata bagi anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun
perempuan. Seperti contohnya, anak-anak mereka di sekolahkan sampai jenjang
tinggi, nantinya akan berdampak kepada anak tersebut, seperti mendapat gelar,
adanya mobilisasi, lalu anak menjadi lebih bertanggungjawab ketika orang tua
mereka memberikan kebebasan dalam berpendapat
Namun, di sisi lain terdapat beberapa hal yang bias, seperti contohnya masih
ada anggapan bahwa perempuan itu memiliki tanggung jawab sepenuhnya di
rumah, dan laki-laki memiliki tanggung jawab sepenuhnya di luar rumah, seperti
mencari nafkah, sehingga dampaknya mereka menjadi terkotak-kotakan oleh gender
mereka, laki-laki fokus mencari nafkah, sedangkan perempuan fokus bekerja di
rumah.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan :
Bias Gender masih ditemukan di kehidupan masyarakat, baik di lingkungan
masyarakat secara umum, maupun di lingkungan keluarga. Setiap orang tua tentunya
mengupayakan yang terbaik untuk anak-anaknya, memiliki cara yang baginya baik demi
anaknya. Pola asuh orang tuapun beragam, ada yang demokratis, permisive, bahkan yang
tegas dan mengekang. Sudah seharusnya pola asuh yang dilakukan orang tua menerapkan
pola asuh berwawansan kesetaraan gender, yang nantinya anak-anak berhak mendapatkan
kesempatan yang sama, baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan, kami meneliti 3 orang tua, antara lain
Ibu SN, Bapak LNT, dan Ibu AMS, dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki pola asuh
yang demokratis, dan sedang proses dalam menerapkan kesetaraan gender, dan masih
terdapat bias gender dalam pola asuh mereka, seperti
1. Keterbatasan perempuan dalam hal profesi, yang dikatakan Ibu SN. Perempuan lebih
baik menjadi guru, karena lebih fleksibel, sedangkan laki-laki bebas karena ia
berperan di sektor publik
2. Keterbatasan perempuan dalam hal pekerjaan rumah, seperti yang dikatakan Ibu
AMS, laki-laki identik kuat sehingga ia diberi tugas untuk mengangkat galon, lalu
perempuan menyuci piring, tetapi laki-laki juga harus bisa menyuci piring, hal
tersebut masih terlihat bias, karena bisa saja perempuan dilatih untuk mengangkat
galon.
Jadi, dapat disimpulkan kondisi keluarga informan sudah menerapkan kesetaraan gender
dalam mengasuh anak, namun belum sepenuhnya karena masih terdapat bias gender dalam
mengasuh. Pada intinya informan tersebut tidak sepenuhnya menerapkan kesetaraan gender
dan tidak sepenuhnya mereka bias gender. Lalu dampak dari adanya bias gender tersebut
seperti anak-anak di masa yang akan datang akan tetap berpandangan bahwa laki-laki bekerja
di sektor formal, dan perempuan bekerja di rumah, dan posisi laki-laki dan perempuan
terkotak-kotakan begitu saja seandainya masih ada bias gender di dalam pola asuh.

LAMPIRAN

Lembar Observasi

Data Informan

Nama : SN

Sebagai : Ibu

Tanggal observasi : 2 November 2019

Lokasi observasi : Jalan Waringin Nomor 130A, Sambilegi Lor, Maguwoharjo

No Hal yang Diobservasi Keterangan


1 Lokasi Penelitian Jalan Waringin Nomor 130A, Sambilegi Lor,
Maguwoharjo, Sleaman DIY
2 Komunikasi orang tua dengan Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan,
anak komunikasi yang dilakukan oleh orang tua
memiliki perbedaan, yaitu antara laki-laki dan
perempuan. Karena anak laki-lakinya cenderung
akan lebih keras jika dikerasi orang tua, jadi
perlu kesabaran. Berbeda dengan perempuan,
informan berpendapat kalau anak perempuannya
itu lebih kalem, dan penurut. Namun, sejauh ini
komunikasi antar orang tua dan anak terbilang
baik.
3 Bentuk pola asuh yang dilakukan Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan,
oleh orang tua informan mengatakan bahwa tidak membeda-
bedakan dalam mengasuh anak-anaknya,
bersikap demokratis, tidak terlalu mengekang
dan memberi kebebasan kepada anaknya
4 Karakteristik anak Karakteristik anak perempuan cenderung
pendiam, kalem, dan penurut
Karakterstik anak laki-laki cenderung penurut,
tetapi keras, mudah emosi
5 Karakteristik orang tua Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
karekteristik orang tua adalah demokratis
kepada anak-anaknya, tidak terlalu mengekang
anak-anaknya, memberi kebebasan berdarkan
pilihan anak-anaknya
6 Pandangan orang tua tentang Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara,
gender dalam mengasuh anak informan sebagai orang tua memiliki pandangan
gender dalam mengasuh anak, seperti antara
laki-laki dan perempuan tidak dibeda-bedakan
dalam mengasuh, lalu dalam hal pendidikan
tidak membatasi anak-anaknya dalam memilih
minat dan bakat, namun orang tua memberikan
arahan seperti perempuan baiknya menjadi guru
karena lebih fleksibel ketika berkeluarga, namun
masalah menuntut ilmu diberikan kebebasan
setinggi-tingginya
Lembar Observasi

Data Informan
Nama : LNT
Sebagai : Ayah

Tanggal observasi : 16 November 2019


Lokasi observasi : Perumahan Purwo Alam Sari, Purwomartani, Kalasan, Sleman, DIY

No Hal yang Diobservasi Keterangan


1 Lokasi Penelitian Perumahan Purwo Alam Sari, Purwomartani,
Kalasan, Sleman, DIY
2 Komunikasi orang tua dengan Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara,
anak pola asuh yang dilakukan oleh keluarga LNT
adalah baik, LNT berusaha mengajak anak-
anaknya untuk bisa terbuka, dan bersikap orang
tua layaknya juga seorang teman.
3 Bentuk pola asuh yang dilakukan Bentuk pola asuh yang dilakukan informan
oleh orang tua adalah apa yang informan yakini baik dan benar
untuk anakanak mereka. Berdasarkan hasil
wawancara anaknya, ia mengatakan bahwa
informan bersifat terbuka, demokratis,
menerima pendapat anak-anaknya, dan bersfiat
terbuka
4 Karakteristik anak
5 Karakteristik orang tua Inforan memiliki karakteristik yang terbuka,
memberi kebebasan kepada anaknya
6 Pandangan orang tua tentang Informan berpendapat bahwa gender itu terkait
gender dalam mengasuh anak dengan peran seorang anak

Lembar Observasi

Data Informan
Nama : AMS
Sebagai : Ibu

Tanggal observasi : 16 November 2019


Lokasi observasi : Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman

No Hal yang Diobservasi Keterangan


1 Lokasi Penelitian Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman
2 Komunikasi orang tua dengan Terbuka, demokratis
anak
3 Bentuk pola asuh yang dilakukan Demokratis, dibuktikan dari terbuka nya
oleh orang tua komunikasi orang tua dengan anak
4 Karakteristik anak Perempuan kalem dan yang laki-laki lebih aktif
5 Karakteristik orang tua Orang tua modern
6 Pandangan orang tua tentang Dibeberapa hal memandang gender namun
gender dalam mengasuh anak beberapa hal lain tidak
Transkrip Wawancara
A. Data Informan
Nama : SN
Umur : 51 Tahun
Sebagai : Ibu

B. Waktu Wawancara
Tanggal Wawancara : 2 November 2019
Pukul : 19.00 – 20.00 WIB

P : Pola asuh yang bagaimana selama ini Ibu terapkan untuk kedua anak Ibu?
N : Sama aja sih ya. Ga ada perbedaan. He’eh, ga ada perbedaan sama
P : Karakter masing-masing putra putri gimana,Bu?
N : Oh itu.. Kalau laki-laki biasanya kan lebih ini yaa.. lebih banyak gerak, kalau laki
aktif. Kalau perempuan kan banyak diamnya, ya paling kalau main ya paling satu
tempat gitu kan, boneka atau apa udah anteng. Kalau laki-laki kan enggak,biasanya
dia malah condong sepeda apa mobil-mobilan itu kan dia seneng, yang apa ya, yang
banyak geraklah istilahnya antara laki-laki sama perempuan yaa..
P : Kalau pola komunikasi antara Ibu dengan anak-anak?
N : Laki sama perempuannya?
P : Iya
N : Oh, gitu. Kalau laki-laki biasanya harus banyak ini, harus banyak sabar. Kalau laki,
kalau saya lebih keras dia malah lebih keras. Kalau perempuan, kayak Ira kalau keras
yaudah terus diam. Kalau laki biasanya jawab, kalau udah jawab, biasanya saya teriak,
“Kamu kalau Ibu ngomong ga perlu jawab” kalau laki biasanya banyak jawabnya
kan, kalau perempuan enggak.
P : Kalau ini, anak-anak Ibu sering curhat ndak, Bu?
N : Iya sih
P : Keduanya?
N : Iya, keduanya.
P : Biasanya kalau cowok masalah apa,Bu?
N : Ya biasanya pelajaran. Ya enggak sih, biasanya kondisi sekolah. Ira kadang-kadang,
Bu aku rapat ya,Bu.. Cerita ini.. ini.. ini. Cuma kadang-kadang saya cuek
wae.Pokoknya ya banyaklah, kalau ada apa gitu cerita biasanya. Soalnya banyak yang
diem kan saya dibanding bapaknya. Kalau bapaknya banyak keluar. Jadi banyak
ceritanya ke ibunya , karena kondisi saya kan banyak di rumah
P : Kalau di rumah itu ada aturan yang membedakan, ga sih,Bu?
N : Ga ada sih, sama.
P : Mungkin ada jam malam khusus buat cewek?
N : Semuanya cowok cewek saya jamin. Pokoknya jam segini harus pulang. Kalau ada
kegiatan apa harus kasih tau. Trus, sekarang kan HP gampang kan, tinggal share loc,
lokasinya mana, tapi kalau ini ga ada yang diistimewakanlah, semua sama
P : Berarti dua-duanya diperlakukan sama, ya,Bu?
N : Sama, saya perlakukan sama
P : Trus, dalam mendidik perlu perlakuan khusus, ga,Bu? Antara Ira sama adiknya
N : Perlakuan khusus kayaknya enggak sih
P : Ibu tau ga sih, tentang gender? Dan apakah Ibu memperlakukan anak Ibu sesuai
gendernya ga sih,Bu? Kayak misalkan ada perlakuan beda antara anak cowok dan
cewek atau ya disamain aja gitu?
N : Hmm. Apa nih kalau masalah pendidikan?
P : Iya
N : Kalau pendidikan sih kalau perempuan kayak Ira banyak saya arahin, kalau
pendidikan. Kalau laki saya bebasin lebih, saya lebih bebasin gitu, kamu mau apa
terserah, tapi kalau perempuan saya arahin si Ira, misalnya kan ambil pendidikan ya,
karena kalau saya lihat wanita kayaknya lebih fleksibel ya kalau di bidang pendidikan,
tapi kalau saya didik anak laki, saya buka selebar-lebarnya dia mau milih apa terserah,
tapi kalau perempuan saya batesin. Soalnya apa, ya kalau saya soalnya anak
perempuan besok tuh dia punya tanggung jawab rumah tangga gitu, lho. Lebih lebih,
kondisinya lebih besar kan dibanding anak laki. Setinggi-tingginya kamu, terserah
mau apa S1, S2, terserah, tapi kalau perempuan lingkupnya kan dia punya tanggung
jawab keluarga gitu, lho
P : Harapan Ibu untuk anak-anak tentang pendidikan khususnya untuk Mbak Ira sendiri
sampai jenjang apa?
N : Kalau saya sih, masalah sampai jenjang setinggi-tingginya saya bebasin, tapi kalau
pilihan sata batesin gitu. Kalau saya sih ga perlu punya cita-cita anak perempuan
kantoran sih ya, misalnya guru juga mungkin kantor yaa, Cuma mungkin saya
kepikiran anak perempuan ga harus kerja di kantor, instansi ini ini. Saya condong ke
pendidikan karena biar bisa deket sama anak-anak, kalau dia ga didik di sekolahan,
dia kan bisa kayak buka bimbel, atau apa, trus anaknya sendiri juga ga terlantar
gitu,lho. Soalnya dia punya tanggung jawab juga kan besoknya, kalau perempuan.
Kalau laki-laki yaudah saya bebasin. Soalnya saya juga pengalaman kantoran soalnya,
dek. Kalau kantoran tuh pulang malam,
P : Berapa tahun Ibu kerja di kantoran?
N : sampai 7 tahun. Trus, lahir Ira ini saya keluar, dulu di Jakarta. Berangkat pagi,
pulang malam, berangkat pagi, pulang malam, macet. Kalau punya anak apa ya saya
kasih ke pembantu? Antara pendidikan pembantu sama orang tua kan beda. Ya kan,
cetakannya kan besok beda. Kasihan anaknya, makanya aku pikir ah sudahlah, saya
cari pekerjaan yang dia punya tanggung jawab di rumah juga. Kalau dosen-dosen gitu
kan masih bisa, walaupun sebenarnya dosen juga lebih ini sih, luas juga dosen. Kalau
saya, tapi ga tau kalau ibu-ibu yang lain. Kalau pengalaman ngantor, sedih,mbak dulu.
Pulang malam, berangkat pagi, udah gitu Jakarta tau sendiri macet. Belum kalau
nunggu bus, halaah jam piro iki, kok ora teko-teko, selak kepengen di rumah. Baru
istirahat, besok udah bangun pagi lagi. Itu waktu saya masih single. Iya, kalau saya
keluarga gimana.. nah itu, lho,mbak kalau saya gitu ngedidik antara laki-laki dan
perempuan
P : Kalau Bapak juga satu prinsip sama Ibu?
N : Iya sih,kalau saya punya ide seperti ini, saya punya pemikiran seperti ya dirembuk
berdua. Ndilalah kok sejalan
P : Ada kesulitan ga sih, Bu mendidik antara anak cowok dan cewek?
N : Alhamdulillah enggak, dek. Anakku dilalah ora ngeyelan. Enggak ngeyelan,
alhamdulillah enggak. Adiknya juga enggak, kalau saya udah keras, youwes. Kalau
saya marahin ga langsung marah, saya panggil, saya ajak ngomong empat mata,
maksudnya ibu marah bisa dijelasin. Ga terus mencak-mencak , saya panggil
P : Lebih dalem sih itu, Bu
N : He’eh, itu kan lebih berasa dari pada saya marah-marah,
P : Iya, dari kitanya malah jadinya gamau dengerin ya,Bu..
N : Malah jadi males yaa.. kalau ada apa-apa saya ajak omong alhamdulillah sih
anaknya mau.
P : Mengenai hobi anak, diarahkan ga Bu?
N : oh iya, kalau anak saya misalnya Dimas ya, dia seneng bidang apa, ya komputer, HP
kan biasanya anak seneng kan kalau HP, kayak game-game-an, tapi ga sampe 24 jam
main HP, alhamdulilah si anakku enggak si Dimas. Walaupun ya mas, ya seneng tapi
ya
Dilalah sebelum masuk SMK ini, saya ke psikolog, anak ini sebaiknya gimana, masuk
SMA atau masuk SMK Kayaknya dia condong ke SMK karena dia suka yang berbau-
bau bidang IT, ya lagi guming sih yaa, trus akhirnya suruh ambil itu TKJ (Teknik
Jaringan Komputer) atau Multimedia. Yaudah, saya arahin aja ke situ, jadi saya nggak,
padahal dulu keluarga saya tuh ga ada yang SMK, semua SMA, tapi saya ga mbegegeh.
Kalau saya tuh liat pasar, sekarang tuh pasar minta apa, lulusannya mintanya apa sih,
kalau jamannya saya kan teknik, ekonomi, hukum, sosiologi ga guming nah sekarang,
sing payu telu itu sarjanya udah banyak, lingkup kerjanya ga nambah, malah akhirnya
jadi pengangguran. Kalau saya liat pasar wae, fleksibel kalau saya sih, mengikuti
jaman.
P : Kalau cara ibu menyikapi perilaku antara anak cowok dan cewek gimana,Bu? Kayak
misalnya ya, cowok itu ga boleh main boneka, cowok harus main mainan cowok, kalau
cewek mainan cewek. Membatasi ga sih?
N : Kalau Ibu menurut Ira gimana?
P : Enggak pernah sih
N : Bukannya dulu Ira ngelarang Ibu waktu Sd, kalau Sd kan Ira waktunya pulang ya
pulang, kalau Dimas kan kadang-kadang main. Kok, dimas boleh main. Kalau ibu
nyikapinnya gini, ya karena cowok ya. Cowok itu kan saya didik ga rumahan gitu,
lho, biar dia tahu lingkungan luar, tapi ada batasan-batasan
P : Itu saat masih kecil atau berlaku sampai sekarang? Biasanya kan cewek disuruh main
boneka. Apakah di Ibu juga berlaku seperti itu? Ya ga apa apa, kamu cewek boleh
mencoba apapun
N : Kalau Ibu gimana, Ra? Kalau Ibu bebas sih, dia main mobil mobilan dimas sering,
trus main sepeda, terus, tapi ya ndilalah Dimas juga ga seneng boneka. Ga pernah
megang bonekamu yaa, Berbinya dia kan teng telecek tapi ya alhamdulillah
P : Suka masak juga kan Dimas
N : Dilalah kalau masak beneran si Ira males dia, tapi kalau Dimas seneng. Bu, bikin
ini, Bu
P : Mau mencoba yaa..
N : Bikin Fried Chichken yang dalamnya ada keju, dia mau, dia nyoba. Ini kalau udah
besar kayak gini lho ya, kalau udah besar gini dia gitu. Tapi, kalau waktu kecil
mainan anak perempuan dia ga megang, tapi kalau yang sungguhan kompor, bikin
nasi goreng biasanya condong kom mbuh adik’e sik lanang sik anu, Bu tak bikinin
nasi goreng yaa. Kalau Ira enggak
P : Kalau misalkan kan Ira misalkan orang itu punya sisi maskulin dan feminim, kalau
misal anak cewek tingkat maskulinnya lebih tinggi kayak tomboy itu gimana?
N : Kalau penampilan tomboy si ya ga masalah, tapi jangan sampai ke perasaan, nanti
perasaan karena dia tomboy malah dia suka sama cewek, sama cewek lhaa itu jangan
sampe. Lha itu kalau kelainan ya malah. Kalau dari penampilan tomboy si ga
masalah. Kalau itu udah tingkat tinggi kayak cewek sama cewek apa Lesbi ya, kalau
cowok sama cowok gay. Itu enggak deh, amit amit jabang bayi
P : trus dari anak-anak kecil sampai sekarang ini ada aturan yang dibuat ga sih,Bu?
Aturan yang diterapkan antara cowok sama cewek sama atau enggak atau lebih ke
yang cewek atau cowok? Mungkin karena sudah kuliah, ada aturan-aturan yang
fleksibel? Trus Dek Dimas juga sudah SMK apa aturan yang lebih fleksibel? Atau
tetap sama
N : aturan apa, ya Ra? Kayak contohnya
P : Mungkin kayak jam pulang
N : ya semua ini sih sama kalau masalah kegiatan, ya sama sih laki-laki sama perempuan.
Tertuma cowok, saya ga suka nginep walaupun cowok. “Bu, aku nginep ya Bu, nggon
koncoku Saya nggak memperbolehkan selama masih satu kota, harus pulang
P : Trus itu, ya Bu dulu waktu SD misal jam segini harus belajar
N : Iya, sekarang fleksibel. Kalau dulu kecil kan saya ikut-ikut belajar, kelas 4 SD baru
saya lepas
P : sekarang Ibu masih menerapkan jam belajar?
N : Enggak. Dari kelas berapa yaa?
P : Aku kelas 6 Sd,
N : Kelas 6 SD saya bebasin, tapi dari kelas 1 sampai 6 saya awasin, jam belajarnya saya
awasih, tapi setelah lepas dari SD, saya lepas. Uwes tambah angel’e. Pusing..
Pelajarannya sekarang tambah pusing. Akhirnya apa, ya mengundang guru les, kalau
dari kelas 1 sampai 5 ya tak hafalin, saya juga ngikut hafalin. Anaknya suruh baca,
trus saya buat pertanyaan, saya kayak orang belajar juga. Nah, itu lho anak perempuan
nanti tanggung jawabnya juga ke anak-anak. Anak-anak sing ngajari pembantu piye?
Ya,kan? Cetakannya kan beda

Narasumber ke-2

A. Identitas Narasumber
Nama : LNT
Umur : 50 Tahun
Sebagai : Ayah
B. Waktu wawancara
Tanggal Wawancara : 16 November 2019

1. Berapa Anak yang Anda miliki? 2


2. Apa yang Anda ketahui tentang pola asuh?
Jawab : Bertanggung jawab dalam merawat dan mendidik anak sesuai dengan hal-hal
yang kami yakini benar
3. Bagaimana pola asuh yang Anda lakukan kepada anak-anak Anda?
Jawab : Sesuai dengan apa yang kami yakini benar
4. Bagaimana karakter anak perempuan dengan Laki-Laki Anda? Sama saja karakter
keduanya tidak ada bedanya karena kami dalam mendidik juga tidak membeda-
bedakan. Ntah kakak, adik, laki-laki, atau perempuan, apabila salah sama-sama kami
tegur dan apabila melakukan suatu hal yang baik sama-sama akaan kami apresiasi
5. Bagaimana pola komunikasi antara Anda dengan anak Anda? Baik, kami selalu
berusaha supaya berkomunikasi seperti teman agar terbuka
6. Apa yang Anda ketahui tentang gender? Gender mungkin lebih ke peran
7. Apa makna Bias Gender dan Kesetaraan Gender bagi Anda? Kalau bias
Membeda2kan kesempatan berdasarkan jenis kelamin mungkin, tapi kalau setara ya
tidak membeda-bedakan
8. Terkait dengan hal gender, apakah dalam mendidik Anak antara laki-laki dan
perempuan memiliki cara yang berbeda? Tidak membeda2kan
9. Menurut Anda, seberapa besar tingkat ketelatenan/kesulitan dalam mendidik anak
laki-laki dan perempuan? Tidak sulit karena ikhlas
10. Di dalam keluarga, apakah anak-anak Anda memiliki sifat/karakter khusus sehingga
diperlukan pola yang berbeda dari pola asuh pada umumnya? Tentu saja iya. Dalam
mmendidik harus mengikuti karakter tiap anak juga
11. Apa harapan Anda untuk anak Anda ke depannya? Bisa menjalani apa yang mereka
sukai
12. Bagaimana Anda menyikapi terhadap perbedaan Anak laki-laki dan perempuan?
Sama saja dalam hal karakter semua bisa dididik sama
Narasumber 3

C. Identitas Narasumber
Nama : AMS
Umur : 50 Tahun
Sebagai : Ibu
D. Waktu wawancara
Tanggal Wawancara : 16 November 2019

1. Berapa Anak yang Anda miliki? Dua, nomer 1 perempuan dan nomer 2 laki-laki.
2. Apa yang Anda ketahui tentang pola asuh? Pola asuh adalah bentuk tanggung jawab
kami sebagai orang tua untuk mendidik dan mengasuh anak-anak saya dari sejak lahir
hingga saat ini.
3. Bagaimana pola asuh yang Anda lakukan kepada anak-anak Anda? Pola asuh yang
kami lakukan ya selayaknya orang tua kebanyakan, mencontohkan yang baik dan
benar.
4. Bagaimana karakter anak perempuan dengan Laki-Laki Anda?
Yang perempuan cenderung kalem dan yang laki-laki lebih aktif.
5. Bagaimana pola komunikasi antara Anda dengan anak Anda? Kami selalu
mengajarkan anak-anak kami untuk selalu terbuka kepada kami, terkadang dibeberapa
momen kami juga bertindak sebagai teman curhat untuk mereka.
6. Apa yang Anda ketahui tentang gender?
Gender adalah perbedaan jenis kelamin, seperti laki-laki dan perempuan.
7. Apa makna Bias Gender dan Kesetaraan Gender bagi Anda?
Bagi kami, bias dan kesetaraan gender sama-sama penting dilakukan untuk mendidik
anak.
8. Terkait dengan hal gender, apakah dalam mendidik Anak antara laki-laki dan
perempuan memiliki cara yang berbeda?
Tidak selalu, ada hal-hal yang memang kami samakan namun ada hal-hal pula yang
kami bedakan.
9. Menurut Anda, seberapa besar tingkat ketelatenan/kesulitan dalam mendidik anak
laki-laki dan perempuan?
Bagi kami sama saja, yang penting harus benar-benar tau karakter anak dan kami tau
betul tentang karakter dari masing-masing anak kami.

10. Di dalam keluarga, apakah anak-anak Anda memiliki sifat/karakter khusus sehingga
diperlukan pola yang berbeda dari pola asuh pada umumnya?
Kami cenderumg membebaskan mereka dalam bergaul dan berekspresi, karena
dengan begitu kami yakin mereka akan lebih bertanggung jawab pada diri sendiri.
11. Apa harapan Anda untuk anak Anda ke depannya?
Ya tentunya jadi pribadi yang baik dan berguna bagi orang banyak.
12. Bagaimana Anda menyikapi terhadap perbedaan Anak laki-laki dan perempuan?
Menyesuaikan saja seperti apa yang sudah kami jelaskan tadi.
Foto

(Wawancara dengan Ibu SN, pada 2 November 2019, Pukul 19.00 WIB)
Daftar Pustaka
Arif Setiawan.2013.Skripsi.”Hubungan Antara Tingkat Religiusitas dan Pola Asuh Orang
Tua Terhadap Intensitas Kenakalan Remaja.Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Hanum, Farida.2018.Kajian dan Dinamika Gender.Malang: Instrans Publishing
Muchlis Riadi.2019. https://www.kajianpustaka.com/2019/04/kesetaraan-gender-teori-peran-
dan-keadilan.html, diakses pada 30 November 2019 Pukul, 09.33 WIB
Marzuki.”Artikel Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender”. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Monica Farah Diba.2016.Skripsi. “Pola Asuh Orang Tua dalam Fenomena Pernikahan Usia
Remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta
Nisa Karimah.2014.Skripsi. “Fenomena Kesetaraan Gender pada Guru PAUD (Studi pada
TKA ABA Karangmalang Catur Tunggal Depok Sleman DIY).Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta, diakses melalui
http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/7181/34/751
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-pola-asuh-menurut-para-ahli.html diakses
pada tanggal 4 Nov 2019 jam 22.00

Anda mungkin juga menyukai