Anda di halaman 1dari 12

BAB I

LATAR BELAKANG

Pendidikan seksual merupakan hal yang masih tabu bagi kebanyakan orang tua. banyak
orang tua yang menganggap bahwa seks merupakan hubungan seksual, padahal seks merupakan
jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis. kebanyakan orang
mengatakan bahwa pengetahuan seksual merupakan pemicu atau suatu hal yang mendorong anak
untuk berhubungan seksual ketika remaja. dan masih berpandangan stereotype dengan
pendidikan seks (sex education) seolah sebagai suatu hal yang vulgar.

Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan
mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, sehingga dapat disimpulkan bahwa kata ini
mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Menurut Suliman (dalam Suraji, 2008) Pendidikan adalah ’suatu perbuatan atau tindakan
yang dilakukan dengan maksud agar anak atau orang yang dihadapi itu akan meningkat
pengetahuannya, kemampuannya, akhlaqnya bahkan seluruh pribadinya.

Sedangkan pengertian pendidikan menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus
(abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara
fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu pembelajaran yang dilakukan


oleh orang dewasa dalam perkembangan anaknya menuju kedewasaan, dengan tujuan
membentuk pribadi yang memiliki akal, pemikiran, dan wawasan yang baik agar nantinya
mampu melakukan tugas secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain.
Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau
hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan
perempuan. Karakter seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda
hal ini seperti yang pendapat berikut ini: sexual characteristics are divided into two types.
Primary sexual characteristics are directly related to reproduction and include the sex organs
(genitalia). Secondary sexual characteristics are attributes other than the sex organs that
generally distinguish one sex from the other but are not essential to reproduction, such as the
larger breasts characteristic of women and the facial hair and deeper voices characteristic of
men (microsoft encarta encyclopedia 2002)

Pendidikan seksual merupakan salah satu bentuk pembelajaran pengenalan fungsi seks ,
organ - organ seksual, pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral,
etika, serta komitmen agama agar tidak terjadi “penyalahgunaan” organ reproduksi tersebut.
Dengan demikian, pendidikan seks ini bisa juga disebut pendidikan hidup berkeluarga.
Pendidikan seksual merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perkembangan anak, terlebih
perkembangan seksual anak. dan peranan yang paling penting yang dalam proses pendidikan
seksual adalah keluarga.

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama kali yang sangat berpengaruh pada
anak.dimana anak bertemu dengan orangtua yang akan mendidik dan membesarkan mereka.
peran orang tua dalam kehidupan anak sangatlah penting. orang tua harus mengasuh anak sedari
kecil, memberinya makan, menyekolahkan, dan sebagainya. Menjadi orangtua adalah hal yang
sulit, orang tua harus mengajarkan anak berbagai macam hal yang nantinya akan menjadi sifat
dan perilaku anak. hal tersebut didasari dengan bagaimana orang tua melakukan pola asuh.

Peran orang tua dalam masa perkembangan anak sangatlah penting, karena dengan
adanya orang tua, anak akan belajar segala hal, mulai dari lingkup pendidikan, keluarga, dan
sosial. Lingkungan keluarga yang pertama kali menanamkan nilai dan moral yang ada dalam
kehidupan sosial. semua hal yang dipelajari anak berasal dari peranan orang tua yang intens dan
banyak cara yang dapat dilakukan orang tua dalam menanamkan pembelajaran, moral,
pengetahuan, nilai, dan sebagainya. salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memberikan anak
berbagai informasi adalah dengan menggunakan pola asuh yang benar dalam mengasuh anak.

Maraknya kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi belakangan ini menjadi
bukti nyata kurangnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seks sebagai pembentuk moral
anak yang seharusnya sudah mereka dapatkan dari orang tua mulai tahun pertama. Pendidikan
seks yang seharusnya menjadi penting untuk dipedulikan orang tua terhadap masa depan anak
dalam menjaga kehormatannya terutama bagi anak perempuan. Tetapi yang terjadi di lapangan
justru orang tua bersikap apatis dan tidak berperan aktif untuk memberikan pendidikan seks
sejak dini kepada anaknya. Orang tua tidak menganggap bahwa pemberian pendidikan mengenai
seksualitas kepada anak sejak dini adalah hal yang penting untuk dilakukan, mereka malah
menganggap hal tersebut adalah hal yang tabu untuk diajarkan, sehingga anak menjadi tidak
paham dalam menyikapi pertumbuhan seksualitas dan moral pada dirinya sendiri. Hal ini
dikarenakan persepsi masyarakat khususnya orang tua mengenai pendidikan seks masih
menganggap hal yang tabu untuk dibicarakan bersama anak. Pandangan masyarakat masih
terlalu sempit dalam mengartikan seks yang dianggap sebagai aktivitas mesum hingga ke hal-hal
yang intim. Kurangnya pengetahuan para orang tua inilah yang menjadikan pendidikan seks
belum diajarkan kepada anak bahkan sebagian besar remaja juga tidak memperoleh pendidikan
seks dari orang tuanya sehingga mereka mendapatkan informasi yang tidak tepat bahkan
cenderung menjerumuskannya untuk melakukan apa yang mereka temukan dari informasi yang
tidak bertanggung jawab tersebut. Persepsi inilah yang harus diubah bersama untuk membekali
anak melawan arus globalisasi yang semakin transparan dalam berbagai hal termasuk seksualitas.

Berdasarkan banyaknya kasus seperti itulah yang membuktikan bahwa pendidikan


seksual pada anak merupakan hal yang sangat penting, selain membentuk nilai pada diri anak,
hal tersebut juga membuat anak menjadi pribadi yang mampu menjaga diri dan mampu
memahami moral dan nilai yang ada dalam masyarakat

PERTANYAAN PENELITIAN
1. Mengapa orang tua harus memberikan pendidikan seksual pada anak?
2. Seberapa penting pendidikan seksual bagi anak?
3. Apa efek pendidikan seksual bagi anak?

TUJUAN PELATIHAN

Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan seberapa penting
peranan orang tua dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak.
sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh orang tua
dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak.

MANFAAT PENELITIAN

a. Bagi Penulis
Dengan dilakukannya penelitian tentang peran orang tua dalam pendidikan
seksual pada anak ini, membuat peneliti semakin memahami pentingnya peranan orang
tua dalam perkembangan seksual anak, serta menambah pengalaman dan wawasan
penulis

b. Bagi Orang tua


Orang tua diharapkan menyadari betapa pentingnya pendidikan seksual bagi anak.
sehingga orang tua tidak lagi merasa tabu apabila mengajarkan kepada anaknya hal-hal
yang berbau seksual

c. Bagi Anak
Anak akan mengerti nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, dan anak akan
terhindar dari pelecehan seksual dan penyimpangan moral

d. Bagi Ilmu Psikologi


peneliti psikologi dapat menjadikan penelitian ini sebagai acuan atau sebagai
bahan pertimbangan dalam membuat penelitan yang dilakukannya terkait dengan
pengetahuan seksual
e. Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada pembaca tentang
peranan penting orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada anak. serta
memberikan pemahaman kepada pembaca terkait tentang bagaimana langkah yang
seharusnya dilakukan orang tua ketika memberikan pendidikan seksual kepada anak.

BAB II

KAJIAN TEORI

I. PSIKOSEKSUAL SIGMUND FREUD

Teori yang diciptakan oleh Sigmund Freud ini merupakan teori yang cukup terkenal,
namun teori ini juga merupakan teori yang kontroversial. Freud percaya bahwa kepribadian yang
berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak di mana mencari kesenangan-energi
dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu.

Menurut Sigmund Freud Kepribadian mulai terbentuk pada masa Golden age atau usia
emas. Usia emas merupakan usia dimana anak berumur 5 tahun, dan dalam usia tersebut anak
akan menyerap berbagai macam informasi yang nantinya akan berpengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian dan terus berpengaruh hingga anak tersebut dewasa.

Apabila tahapan psikoseksual berhasil dilalui dengan sukses, maka, akan tercipta
kepribadian yang sehat, namun jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap yang tepat,
fiksasi dapat terjadi. fiksasi adalah fokus yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai
konflik ini diselesaikan, individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang
yang terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari
rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.
Teori psikoseksual Sigmund Freud dibagi menjadi lima fase, diantaranya :
1. Fase Oral
Pada tahapan ini sumber interaksi utama bayi adalah melalui mulut sehingga perakaran
dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi
merasakan kesenangan dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti
mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang
bertanggung jawab untuk memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa
kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.Konflik utama pada tahap ini adalah
proses penyapihan, anak harus menjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika
fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan
ketergantungan atau agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum,
merokok makan, atau menggigit kuku.

2. Fase Anal
Anak mengalami tahapan ini ketika anak berumur 1-3 tahun Freud percaya bahwa fokus
utama dari libido adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar. konflik
utama yang terjadi dalam tahapan ini adalah anak yang harus belajar untuk
mengendalikan tubuhnya. menurut Sigmund Freud, keberhasilan dalam tahapan ini
adalah pendekatan orang tua terkait dengan pelatihan toilet ( toilet training) anak. orang
tua dapat menggunakan pujian atau penghargaan apabila anak mampu menggunakan
toilet. Hal tersebut akan menyebabkan anak merasa dihargai, mampu dan produktif.
Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat sebagai dasar orang
untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif.

3. Fase Phalic
Tahapan ini terjadi pada anak yang berusia 3-5 tahun. pada tahapan ini anak menggeser
kenikmatan seksualnya pada alat kelamin, dan mulai memahami jenis kelamin laki-laki
dan perempuan, dan tidak hanya itu, anak juga mulai bisa menikmati sentuhan
(rangsangan) pada alat kelaminnya. ciri khas yang ada dalam tahapan ini adalah oedipus
complex, yaitu fase dimana anak laki-laki begitu mencintai ibunya dan merasa bahwa
ayahnya adalah saingan. Pada tahap ini pula Freud menjelaskan konsepnya tentang penis
envy, yaitu rasa iri anak perempuan atas kepemilikan penis anak lelaki.
4. Fase Latensi
Tahapan latensi merupakan tahapan dimana energi seksual tetap ada, namun diarahkan ke
aspek lain, misalnya saja, penyerapan intelektual dan relasi sosial. Tahapan ini sangat
penting dalam pembentukan keterampilan sosial, komunikasi, dan kepercayaan diri.

5. Fase Genital
Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari perkembangan seksual. Pada fase ini
individu mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Jika tahap lainnya
telah selesai dengan sukses, individu sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan
dari tahap ini adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.

Berdasarkan teori dari Sigmund Freud, terbukti bahwa perkembangan seksual pada anak
sangat berpengaruh hingga anak tersebut dewasa. dan dalam setiap fase, orang tua harus mampu
membantu anak dan berperan penting dalam setiap fase yang nantinya akan dilewati anak.Fase
yang paling penting merupakan fase phalic, karena disini anak mulai mengetahui antara laki -laki
dan perempuan. disinilah peran orang tua dapat digunakan untuk memberikan pemahaman
seksual. salah satu contohnya, orang tua bisa memberikan pemahaman kalau alat kelamin laki-
laki dan perempuan itu berbeda, dan juga bisa mulai mengajarkan penanaman moral,misalnya
memberitahukan ke anak kalau ada orang lain yang memegang alat kelaminnya maka harus
berteriak. dengan melakukan hal tersebut anak akan mulai memahami tentang perbedaan kelamin
dan juga menghindarkan anak dari pelecehan seksual.

II. TEORI POLA ASUH DIANA BAUMRIND

Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif
konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun
positif. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan dari tiap
orang tua (Petranto, 2006). banyak para ahli yang mendefinisikan serta mengkategorikan
berbagai macam pola asuh orang tua, salah satu tokohnya adalah Diana Baumrind. Diana
Baumrind mengelompokkan pola asuh yang ada di dalam setiap keluarga menjadi 4 macam pola
asuh, diantaranya :

Pola Asuh Otoritarian (Authoritarian Parenting Style)


Pola asuh ini bersifat membatasi dan menghukum, mendesak anak untuk mengikuti
kata orangtua mereka, harus hormat pada orangtua mereka, memiliki tingkat kekakuan
(strictness) yang tinggi, dan memiliki intensitas komunikasi yang sedikit. Diana Baumrind
menyatakan bahwa anak yang dididik secara otoritarian ini memiliki sikap yang kurang
kompeten secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk, dan takut akan perbandingan
social Dengan gaya otoritarian seperti ini anak dimungkinkan memberontak karena tidak
terima atau bosan dengan pengekangan. Karena remaja cenderung ingin mencari tahu tanpa
mau dibatasi. Dengan pola asuh ini, probabilitas munculnya perilaku menyimpang pada
remaja menjadi semakin besar.
Pola Asuh Otoritatif (Authoritatve Parenting Style)
Menurut Chadler pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas tinggi akan
kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orangtua terhadap anak, nalar, serta
mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini memiliki
sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberi
batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Anak
yang di didik dengan pola asuh ini memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi, percaya
diri, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, akrab dengan teman sebaya mereka,
dan mengetahui konsep harga diri yang tinggi.
Pola Asuh Mengabaikan (Neglectful Parenting Style)
Pola asuh ini bercirikan orangtua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak karena
cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orangtua sebagai bukan urusan mereka atau
orang tua menganggap urusan sanganak tidak lebih penting dari urusan mereka. Diana
Baumrind menyatakan anak yang diasuh dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap
secara sosial, memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki
kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks ini
timbulnya perilaku penyimpangan oleh remaja, pola asuh seperti ini men ghasilkan anak-
anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi dalam melakukan tindakan anti sosial.
Karena mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau lakukan, mereka akan
lakukan tanpa mau dilarang oleh siapapun.
Pola Asuh Memanjakan (Indulgent Parenting Style)
Menurut Diana Baumrind, Pola asuh seperti ini membuat orang tua menjadi sangat
terlibat dengan anak-anak mereka. Mereka menuruti semua kemauan anak mereka, dan
sangat jarang membatasi perilaku anak mereka. Anak yang dihasilkan dengan pola asuh
seperti ini, merupakan anak-anak yang sulit untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri,
karena terbiasa untuk dimanja. Anak-anak ini dapat seenaknya untuk melakukan tinda kan
perilaku menyimpang, karena terbiasa dengan sistem “apa saja dibolehkan”. Sehingga
kemungkinan timbul dan terulangnya perilaku menyimpang menjadi sangat besar.

Menurut Trisusilaningsih (2009) pola asuh orangtua memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan moral anak, karena orangtua dengan model pola asuh otoriter akan
cenderung menghasilkan anak dengan ciri kurang matang, kurang kreatif dan inisiatif, tidak tegas
dalam menentukan baik buruk, benar salah, suka menyendiri, kurang supel dalam pergaulan, ragu-
ragu dalam bertindak atau mengambil keputusan karena takut dimarahi.

untuk mendukung kemudahan orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada anak,
dapat menggunakan pola asuh otoritatif. dengan menggunakan pola asuh tersebut memiliki
karakteristik yang dapat mengimbangi rasa keingintahuan remaja. Sehingga proses anak dalam
menimbulkan perilaku tindakan antisosial cenderung bisa dibatasi. Karena walaupun anak
dibebaskan, orang tua tetap terlibat dengan memberi batasan berupa peraturan yang tegas. bahkan
Diana Baumrind, pencetus teori ini, sangat mendukung sekali penerapan pola asuh ini di rumah

BAB III

PARADIGMA

Penelitian ini menggunakan paradigma critical theory. Critical theory merupakan realitas
yang tampak terbentuk dari nilai-nilai sosial, politik, kultural, ekonomi, etnik dan gender yang
mengkristal dari waktu ke waktu. Kami menggunakan paradigma critical theory karena
pendidikan seksual yang diberikan orang tua berkaitan erat dengan faktor lingkungan individu
tersebut. Faktor lingkungan dalam hal ini meliputi sosial-budaya, ekonomi-pendidikan, serta
etnik dan gender yang dapat memberikan efek yang berbeda tergantung dari faktor pendukung
dari lingkungan tersebut. Contohnya budaya Timur menganggap seksual tidak patut untuk
dibicarakan pada anak secara terbuka sedangkan budaya Barat lebih terbuka dalam menyikapi
seksualitas untuk anaknya

Banyak orang tua yang masih canggung, risih bahkan menganggap “tabu” jika
membicarakan mengenai organ intim atau masalah seksualitas dengan anak. Hal ini disebabkan
karena faktor budaya khususnya di Indonesia yang cenderung mengutamakan etika, moral dan
kesopanan. Menurut Christine Viem Meaty, Psi dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
merupakan sebuah kewajaran jika anak memepertanyakan mengenai seksualitas. Dampak yang
bisa terjadi dari ketidakpahaman anak terhadap seksualitas adalah semakin tingginya seks yang
dilakukan di luar nikah, hamil anak yang tidak diinginkan, serta penyebaran penyakit seperti
HIV dan AIDS.

Ekonomi - Pendidikan juga berhubungan dengan masalah edukasi seksual pada anak.
Orang tua yang berasal dari kelas ekonomi bawah akan cenderung meremehkan edukasi seksual
pada anaknya. Tidak hanya itu, orang tua dari kelas ekonomi bawah juga akan cenderung
memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah mengenai seksualitas. Oleh sebab itu,
tidak heran jika seorang anak yang lahir dalam keluarga ekonomi dan pendidikan rendah serta
lingkungan yang buruk akan cenderung mengalamI masalah seksual. Masalah seksual yang
terjadi anatara lain pelecehan seksual yang dilakukan secara fisik maupun verbal. Pelecehan
seksual secara verbal seperti membicarakan alat kelamin atau suatu hal yang berhubungan
dengan seksual dengan lawan jenis. Pelecehan seksual secara verbal ini sering tidak disadari
karena orang banyak menganggap bahwa pelecehan seksual hanya bersifat fisik ( pemerkosaan,
sodomi, menunjukan alat kelamin didepan lawan jenis ).

Kultural – seksualitas seringkali dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang
menegaskan apakah perilaku yang berhubungan dengan seksualitas tersebut diterima atau tidak
berdasarkan kultural yang berlaku pada sebuah kebudayaan di suatu daerah. Karena peraturan
kuktural tersebutlah, maka memunculkan asumsi yang kadang membentengi komunikasi orang
tua untuk membicarakan dan mengajarkan tentang pentingnya seksualitas kepada anak. Orang
tua tak jarang lebih mementingkan kebijakan kultural yang sudah ditetapkan sehingga para orang
tua merasa tidak memiliki kepentingan khusus dalam mengajarkan seksualitas kepada anak-
anaknya.

Etnik dan Gender - Menurut Deney & Quadagno mengatakan bahwa kecenderungan
orang tua memperlakukan anak perempuan dan laki-laki secara berbeda, mendekorasi kamar
secara berbeda, dan demikian pula respon terhadap tindakan mereka. Orang tua juga akan
memberikan penghargaan terhadap anak lak-laki yang melakukan eksplorasi dan mandiri,
sedangkan anak perempuan sering didorong untuk menjadi penolong dan meminta bantuan.
Lebih lanjut orang tua cenderung mempertegas permaian sesuai dengan jenis kelamin pada anak-
anak prasekolah mereka. Kesimpulannya orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan
gender mereka masing-masing tetapi tidak diimbangi dengan pengenalan seksualitas pada anak.

DESAIN PELATIHAN

METODE PENELITIAN
Penelitian yang kami gunakan dalam hal ini adalah penelitian kualitatif dengan
paradigma critical theory. untuk mendapatkan informasi kami melakukan wawancara/interview
kepada beberapa ibu yang telah memberikan pengetahuan seksual kepada anaknya. kami
melakukan interview tersebut guna untuk mendapatkan berbagai informasi terkait tentang,
pendapat ibu mengenai pengetahuan seksual sebagai pembentuk moral pada anak.

ANALISIS DATA
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanti, R. ( n.a.). Peran orang tua dalam perkembangan moral anak. Purwokerto : Universitas Muhammadiyah
Universitas Sumatera Utara (n.a). Definisi pola asuh. retrieved from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40378/4/Chapter%20II.pdf
Habib (2013) Pengaruh pola asuh terhadap terhadap perilaku anak retrieved from
http://mendidikanakanak.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-pola-asuh-terhadap-perilaku.html
Berbagi Info (2013) Macam-macam pola asuh orang tua retrieved from http://izan-
sher.blogspot.co.id/2013/06/macam-macam-pola-asuh-orang-tua.html
Wulantika, Surya (2014). Pentingnya mengenalkan pendidikan seks sejak usia dini. retrieved from
http://www.kompasiana.com/wicka14/pentingnya-mengenalkan-pendidikan-seks-sejak-usia-
dini_54f8417ca33311855e8b48f6
Cahyo, Rudi (2014). Perkembangan psikoseksual menurut sigmund freud. retrieved from
http://rudicahyo.com/psikologi-artikel/perkembangan-psikoseksual-menurut-sigmund-freud/
Psikoterapis. (n.a.). Budaya, moral, dan seksualitas. retrieved from http://www.psikoterapis.com/?en_budaya-moral-
dan-seksualitas,218
Kompasiana (2014). Pendidikan seks untuk anak, perlu ataukah tidak?. retrieved from
http://www.kompasiana.com/al-karom/pendidikan-seks-untuk-anak-perlu-ataukah-
tidak_54f3db29745513942b6c821e
Haryanto (2010). Tahap perkembangan psikoseksual sigmund freud. retrieved from
http://belajarpsikologi.com/tahap-perkembangan-psikososial-menurut-sigmund-freud/
Haryanto (2011). Pentingnya pendidikan seksual ( seksual education). retrieved from
http://belajarpsikologi.com/pentingnya-pendidikan-seks-sex-education/
Haryanto (2012). Pengertian pendidikan menurut ahli. retrieved from http://belajarpsikologi.com/pengertian-
pendidikan-menurut-ahli/
PsychologyMania. ( 2013). Pengertian pendidikan seks. retrieved from
http://www.psychologymania.com/2013/02/pengertian-pendidikan-seks.html
Dunia Baca (n.a.). pengertian pendidikan seks dan manfaatnya. retrieved from http://duniabaca.com/pengertian-
pendidikan-seks-dan-manfaatnya.html

Anda mungkin juga menyukai