Anda di halaman 1dari 36

1

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan primer pada hampir setiap

individu, dimana hubungan manusia yang paling intensif dan paling awal.

Setiap keluarga adalah suatu sistem yang dibentuk oleh bagian-bagian

yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan tidak pernah hanya

satu arah.24 Dalam analisis kultur-historis menunjukkan bahwa fungsi

sosialisasi keluarga masih dibutuhkan oleh anak kecil dan anak pada masa

sekolah.

Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak

secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Keluarga berkualitas merupakan

keluarga yang memenuhi ciri sebagai keluarga yang sejahtera, sehat, maju,

mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan,

bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa.25

Koerner dan Fitzpatrick, membagi definisi keluarga berdasarkan

tiga sudut pandang, yaitu:

 Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau

ketidakhadiran anggota keluarganya, seperti orang tua, anak, dan

kerabat lainnya. Dari perspektif ini termasuk didalamnya keluarga

sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana


24
John W. Santrock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 157.
25
Asep U. Ismail, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial, (Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2012), h. 151.
2

melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih

(extended family).

 Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada

terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi

tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi

dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu.

 Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang

mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang

memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa

ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan.26

Hill mengatakan bahwa keluarga adalah rumah tangga yang

memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan

terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi

ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu

jaringan.27 Jaringan yang dimaksud yaitu terdiri dari kerabat yang masih

memiliki hubungan darah, juga mencakup kerabat fiktif, seperti sahabat

keluarga.

Fungsi keluarga yaitu melahirkan dan merawat anak,

menyelesaikan masalah, dan saling peduli antaranggotanya tidak berubah

substansinya dari masa ke masa.28 Bagaimana keluarga melakukannya dan

26
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik Dalam
Keluarga, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 5.
27
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik Dalam
Keluarga, h. 6.
28
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik Dalam
Keluarga, h. 5.
3

siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut dapat berubah dari masa ke

masa dan bervariasi di antara berbagai budaya.

Menurut Berns, keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu:

Pertama, reproduksi yaitu dimana keluarga memiliki tugas untuk

mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat. Kedua,

Sosialisasi/edukasi yaitu keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,

keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi

sebelumnya ke generasi yang lebih muda. Ketiga, Penugasan peran sosial

yaitu keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras,

etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender. Keempat, Dukungan

ekonomi yaitu keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan

jaminan kehidupan. Kelima, Dukungan emosi/pemeliharaan yaitu keluarga

memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi

yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga

memberikan rasa aman pada anak.29

2. Orang Tua

a. Pengertian Orang Tua

Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau

ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.30

Orang tua memainkan peranan penting dalam membantu

perkembangan anak dengan membantu kontak antara anak dengan

teman bermainnya yang potensial. Anak dari orang tua yang mengatur

29
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik Dalam
Keluarga, h. 22.
30
UU no 23 tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak,(Bandung: Fokus Media, 2014), h.
3.
4

kontak dengan teman sebaya memiliki jumlah teman bermain di luar

sekolah yang lebih banyak daripada anak dari orang tua yang kurang

aktif dalam mengatur kontak ini (Ladd, LeSeuir, & Profilet, 1993).31

b. Peran Orang Tua

Peran orang tua direncanakan dan dikoordinasikan dengan baik

dengan peran lainnya dalam kehidupan. Cara untuk

mengkonseptualisasikan peran orang tua adalah memandang orang tua

sebagai manajer kehidupan anak, contoh pada masa bayi yaitu dengan

membawa anak ke dokter dan mengatur pengasuhan anak.

Pada masa anak-anak, peran manajerial mungkin berupa

menentukan preschool mana yang harus dimasuki anak, mengerahkan

anak agar memakai pakaian yang bersih dan menjauhkan mainan, serta

menyusun aktivitas anak setelah sekolah. Pada masa dewasa, peran

manajerial mungkin mencakup menetapkan jam malam dan memantau

kuliah dan minat karier si anak. Dari bayi melalui masa remaja, ibu

lebih cenderung melakukan peran manajerial dalam pengasuhan

daripada ayah.

Peran ibu adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab utama

atas anak, maupun pekerjaan rumah tangga dan bentuk lainnya dari

“pekerjaan keluarga” masih dibebankan di pundak ibu. Peran ayah

bertanggung jawab untuk mendisiplinkan dan mengontrol anak-anak

yang lebih tua dan mencari nafkah bagi keluarga, ayah juga dinilai

31
John W. Santrock, Perkembangan Anak: edisi kesebelas, h. 164.
5

dalam hal keterlibatan aktifnya dalam mengasuh anak (Day & Lamb,

2004).32

Orang tua yang baik menyesuaikan diri terhadap perubahan

perkembangan anak tersebut. Pada tahun pertama, interaksi orang tua

anak bergeser dari fokus yang lebih besar pada perawatan rutin, seperti

memberikan makan, mengganti popok, memandikan, dan

menenangkan, ke aktivitas yang tidak berkaitan dengan perawatan

misalnya bermain dan pertukaran visual-vokal.33 Di tahun kedua dan

ketiga kehidupan anak, orang tua seringkali menerapkan disiplin

dengan memanipulasi fisik yaitu dengan menjauhkan anak dari

aktivitas yang membahayakan ke tempat yang mereka inginkan,

mereka kadang-kadang memukul. Namun, ketika anak semakin besar,

orang tua mulai mengajarkan logika, memberikan nasihat moral, dan

memberikan atau mencabut hak-hak khusus. Ketika anak memasuki

masa sekolah dasar, orang tua menunjukkan kasih sayang fisik yang

semakin sedikit.

Interaksi orang tua-anak pada awal masa kanak-kanak berfokus

pada hal-hal seperti kerendahan hati, aturan tidur, pengendalian

amarah, perkelahian dengan saudara, dan teman sebaya, perilaku dan

tata cara makan, kebebasan dalam berpakaian, dan mencari perhatian.34

32
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi ketujuh (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2007), h. 194.
33
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi kesebelas (Jakarta: Erlangga, 2007),
h. 164.
34
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi kesebelas (Jakarta: Erlangga, 2007),
h. 165.
6

Namun seiring perkembangan zaman bukanlah hal yang mustahil

bagi ibu untuk bekerja. apalagi di Indonesia telah ada RUU tentang

Kesetaraan Gender. Seperti yang dijelaskan dalam teori Feminisme

Marxis yang menjelaskan bahwa subordinasi perempuan melayani

kebutuhan akan kapitalisme. Dalam hubungan ekonomi dan

karakteristik gagasan dari mode kapitalisme produksi yang seharusnya

mencari struktur ketidaksetaraan yang secara tidak adil menghambat

kehidupan perempuan, kebalikan dari kehidupan laki-laki yang serba

menikmati keuntungan dan kelebihan. Solusi untuk masalah

penindasan terhadap kaum perempuan itu terletak pada penghancuran

kapitalisme.35 Solusi untuk masalah penindasan terhadap kaum

perempuan itu terletak pada penghancuran kapitalisme.36

c. Ibu Yang Bekerja

Dalam Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah

seorang ibu yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan

penghasilan di samping membesarkan dan mengurus anak di rumah.

Menurut Munandar pengertian daripada ibu yang bekerja yaitu

bahwa pada ibu yang bekerja aktivitasnya meliputi kegiatan yang

bersifat melayani suami dan anak, juga ikut bekerja untuk menambah

penghasilan.

Menurut Achir, pada ibu yang bekerja selain menunjukkan

fungsinya dalam kehidupan rumah tangga, ia juga melakukan kegiatan

secara teratur atau sinambung dalam suatu jangka waktu tertentu,


35
Siti Napsiyah A, Lisma Diawati F, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 116.
36
Siti Napsiyah A, Lisma Diawati F, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, h. 116.
7

dengan tujuan yang jelas yaitu untuk menghasilkan atau mendapatkan

sesuatu dalam bentuk benda, uang, jasa, maupun ide.37

Faktor-faktor yang menyebabkan ibu bekerja yaitu untuk

mengurangi beban ekonomi keluarga, untuk menambah penghasilan,

menghindari kebosanan, mengisi waktu yang kosong, untuk

mengembangkan dirinya, menggilai kerja (workaholic), untuk

memanfaatkan skill atau keahlian yang ia punya, dan untuk ekonomis

tidak tergantung dari suaminya.38 Namun ada juga ibu yang memang

merupakan pekerja keras. Filosofi pekerja keras merupakan sesuatu

yang khas yang terjadi di dunia ‘Timur’. Faktornya bisa karena suatu

kultur atau mungkin juga karena memang lingkungan alam yang

membuat orang-orangnya ulet.39

Selain itu alasan yang menyebabkan ibu memilih untuk bekerja

yakni karena adanya dukungan/motivasi dari suami ataupun anaknya.

Menurut Herzberg yang dimaksud dengan motivasi adalah kekuatan

(energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan

entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang

bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik)

maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).40

37
Munandar, SCU, Emansipasi Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan
Psikologis, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1983), h. 23.
38
Munandar, SCU, Emansipasi Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan
Psikologis, h. 47.
39
Rudy Tantra, “Work Hard or Work Smart”, artikel ini diakses pada 4 Mei 2016 dari
http://m.kompasiana.com/rudytantra88/work-hard-or-work-smart_552e37c06ea83473238b45b4
40
“Teori-teori motivasi”, artikel ini diakses pada 29 Agustus 2016 dari
http://new.edulab.co.id/teori-teori-motivasi/
8

Dari pengertian dan faktor yang menyebabkan seorang ibu memilih

untuk bekerja, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarga mereka. Kesejahteraan sosial yakni suatu

keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup yang bersifat

mendasar, yang dikenal sebagai lima pilar kesejahteraan sosial. Kelima

pilar itu antara lain mencakup makanan, pakaian, perumahan,

pendidikan dan kesehatan.41

3. Anak

a. Pengertian Anak

Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Banyak dari

para ilmuan mendefinisikan arti Anak dalam sebuah keluarga, juga di

dalam UUD 1945 dijelaskan pengertian, hak-haknya, dan perlindungan

dari segi hukum dalam mensejahterakan kehidupan anak. Definisi anak

menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 35 tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut undang-undang

tersebut adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.42

Menurut John Locke, anak adalah pribadi yang masih bersih dan

peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.43

Anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan

41
Asep Usman Ismail, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Penerbit Lentera
Hati, 2012), h. 283.
42
Undang-undang Perlindungan Anak, (Bandung: Fokus Media, 2014), hal.3.
43
Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2012), h. 11.
9

ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan

pengertian terhadap realita kehidupan.

Haditono berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang

membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang, dan tempat bagi

perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga,

dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah

laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam

kehidupan bersama.44

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan secara garis

besar, bahwa anak adalah anugerah dari Tuhan yang berusia 0-18

tahun, yang membutuhkan kasih sayang, pendidikan, serta perlakuan

yang layak untuk tahap tumbuh kembangnya agar menghasilkan

generasi bangsa yang berkualitas di masa depan.

b. Perkembangan Anak dengan Ibu Yang Bekerja

Dalam beberapa penelitian dikatakan, bahwa seperti dua sisi mata

uang, peran ibu yang bekerja juga bisa memberi efek positif pada anak

laki-laki. Anak menyadari bahwa ibu bekerja keras untuknya, ini tentu

memperdalam cintanya. Penelitian juga menunjukkan, anak-anak dari

ibu yang bekerja lebih baik dalam mengelola sesuatu, lebih mandiri,

dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik.

Akan tetapi, ibu yang merasa bersalah karena menyukai pekerjaannya

cenderung memanjakan anak-anaknya. Akibatnya bisa negatif, tidak

44
Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, h. 12.
10

saja bagi hubungan anak dengan teman sebaya namun juga pada

prestasi anak di sekolah.45

Anak yang sering ditinggal ibunya bekerja, akibat yang dapat

ditimbulkan bagi perkembangan si anak biasanya, dia akan sering

tertekan, merasa tidak dibutuhkan dan kurang kasih sayang. Apalagi

jika orang tua terlebih ibu yang karena kelelahan dan memiliki

masalah di kantor, tidak dapat mengontrol emosinya dan bersikap

marah-marah maka keadaan seperti ini sangat berisiko bagi psikologis

anak.

Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif, yang

berarti faktor kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan

kemampuan berbahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Santrock

bahwa pengetahuan mengenai kosakata pada hakekatnya merupakan

bagian dari tes intelegensi, dan sama pentingnya dengan aspek

perkembangan bahasa lainnya yang merupakan aspek penting dari

intelegensi anak.46

Jika dalam pengasuhan sampai terjadi perlakuan salah terhadap

anak, maka akan berakibat pada perkembangannya seperti

pengendalian emosi yang buruk, masalah keterikatan, masalah dengan

hubungan peer group, kesulitan beradaptasi di sekolah, dan masalah

psikologis lainnya. Juga akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan

45
“Dampak anak pada ibu yang bekerja” artikel diakses pada 4 Februari 2016 dari
http://www.ayahbunda.co.id/keluarga-psikologi/dampak-ibu-bekerja.
46
John W. Santrock, Masa Perkembangan Anak, Buku 2 Edisi 11, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011), h. 216.
11

diri, dan cenderung terlalu agresif terhadap teman sebaya atau bahkan

menghindari interaksi dengan teman sebaya.47

Ketika perkembangan menjadi salah seperti yang dijelaskan di atas,

sebenarnya ibu bukanlah penyebab tunggal dari masalah tersebut

karena ayah juga berkewajiban untuk mendidik dan mengasuh anak.

Perkembangan sosial anak, dapat diuntungkan dari interaksi dengan

ayah yang menyayangi, terbuka, dan dapat diandalkan yang dapat

memberi rasa percaya dan kepercayaan diri. 48 Kerjasama ayah dan ibu

yang saling menghargai menolong anak membangun sikap yang positif

terhadap laki-laki maupun perempuan.

B. BIOPSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL

Dalam praktik pekerja sosial, intervensi dibagi menjadi 3 yaitu

intervensi mikro (individu), mezzo (kelompok) dan makro (masyarakat).

Biopsikososial (biopsikososial approach) merupakan alat untuk melakukan

assessment, yang menekankan pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis,

psikologis, dan sosial. Pendekatan ini digunakan untuk mengakses berbagai

situasi dalam konteks komunitas, keluarga, dan lingkungan sosial yang lebih

luas. Situasi dipahami sebagai gabungan antara faktor-faktor fisik, psikologis,

sosial, dan spiritual. Dengan kata lain kebutuhan manusia dan sumber-sumber

untuk memenuhi kebutuhan tersebut dipandang sebagai kesatuan yang saling

47
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi ketujuh, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2007), h. 173.
48
John W. Santrock, Perkembangan Masa Hidup, Edisi kelima, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2002), h. 121.
12

terkait.49 Biopsikososial adalah berkaitan dengan interelasi antara gejala-gejala

biologis dengan gejala-gejala sosial. Keduanya bersifat sosial dan biologis

secara alami.50

1. Teori Biologis

Teori Biologis didasarkan pada bukti bahwa perilaku yang sangat

ditentukan oleh proses-proses organik dan fisik serta otak.51 Proses

biologis menghasilkan perubahan pada tubuh seseorang. Gen yang

diwarisi orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi badan dan

berat badan, keterampilan motorik, dan perubahan hormon pada masa

puber mencerminkan peran proses biologis dalam perkembangannya.52

a. Otak

Perkembangan otak dan sistem syaraf merupakan salah satu

perkembangan fisik yang paling penting selama masa awal anak-anak.

ketika anak-anak mencapai usia 3 tahun, ukuran otaknya adalah ¾ otak

orang dewasa. Pada usia 5 tahun otak anak telah mencapai hampir 90

persen berat otak orang dewasa, berat total anak seusia 5 tahun hanya

sekitar 1/3 dari beratnya pada saat anak mencapai masa dewasa.53

Beberapa pertambahan ukuran otak disebabkan oleh pertambahan

jumlah dan ukuran urat syaraf yang berujung dan didalam dan di antara

daerah-daerah otak. Beberapa pertumbuhan otak disebabkan oleh proses

49
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Green, Buku Pintar Pekerja Sosial (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2009), h.13-14
50
J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1981), cet. 7, h. 60.
51
Edi Suharto, ed., Pekerja Sosial Klinis, (Jakarta: Pustaka Societa, 2008), h. 57-59.
52
Santrock, Perkembangan Anak (Jakarta: Erlangga, 2007), h.18.
53
John W. Santrock, Life-Spain Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta:
Erlangga, 2002), h. 224.
13

myelinasi, yaitu suatu proses dimana sel-sel urat syaraf ditutup dan disekat

dengan suatu lapisan sel-sel lemak. Peningkatan kematangan otak

menyumbang bagi peningkatan kemampuan kognitif.

b. Genetika

Proses biologis menghasilkan perubahan pada tubuh seseorang.

Gen yang diwarisi dari orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi

dan berat badan, keterampilan motorik, dan perubahan hormon pada masa

puber mencerminkan peran proses biologis dalam perkembangan. Seorang

anak akan mewarisi gen dari kedua orangtuanya. Genotipe (genotype)

ialah warisan genetic seseorang, bahan genetik yang sebenarnya. Fenotipe

(phenotype) ialah cara genotipe individu yang diekspresikan dalam

karakteristik yang dapat diamati dan diukur. Mencakup sifat-sifat fisik,

seperti tinggi, berat, warna mata, dan warna kulit serta karakteristik

psikologis. Penampilan meliputi cara berbicara, kehangatan, respon awal

terhadap wawancara, ekspresi tubuh, dll.54 Berikut adalah kondisi yang

mempengaruhi ukuran tubuh: 55

1) Pengaruh Keluarga

Yang dimaksud disini dalah faktor keturunan. Dimana

seorang anak akan mewarisi gen dari kedua orangtuanya. Genotipe

(genotype) ialah warisan genetic seseorang, bahan genetik yang

sebenarnya. Fenotipe (phenotype) ialah cara genotipe individu

yang diekspresikan dalam karakteristik yang dapat diamati dan

54
John W. Santrock, Live Spain Development, h. 91.
55
Hurlock, Perkembangan Anak, cet. 6, h.117-118).
14

diukur. Mencakup sifat-sifat fisik, seperti tinggi, berat, warna mata,

dan warna kulit serta karakteristik psikologis.56

2) Gizi

Anak-anak yang memperoleh gizi cukup biasanya akan

lebih tinggi tubuhnya dan sedikit lebih cepat. Hal ini bisa dilihat

misalnya dari riwayat kesehatan anak.

3) Jenis kelamin

Anak laki-laki biasanya tumbuh lebih tinggi dan lebih berat

daripada wanita. Kecuali pada usia 12 dan 15 tahun, anak

perempuan biasanya akan sedikit lebih tinggi dan berat daripada

anak laki-laki. Terjadinya perbedaan berat dan tinggi tubuh ini

karena bangun tulang dan otot pada anak laki-laki memang

berbeda dari anak perempuan.

4) Kecerdasan

Hampir selalu sama, anak yang kecerdasannya tinggi

biasanya lebih gemuk dan berat daripada anak yang kecerdasannya

rendah.

5) Status sosial ekonomi

Anak-anak yang berasal dari keluarga ekonomi rendah

cenderung akan lebih kecil daripada anak lainnya.

6) Kesehatan

Meliputi diagnosis kesehatan apa yang diterima oleh anak,

apakah anak telah berkonsultasi dengan sumber lain tentang jenis

56
John W. Santrock, Live Spain Development, h. 91.
15

penyembuhan untuk masalah kesehatannya? Apakah klien sedang

menggunakan obat? Catatan kesehatan dan pengobatannya.

Apakah status kesehatannya merupakan masalah dalam rencana

pelayanan?57

2. Teori Psikologis

Gardner Murphy (1929), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari

respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.58

Permasalahan psikologis yang terjadi pada masa anak-anak biasanya

menyangkut masalah gejolak emosional, masalah kognitif dan memiliki

masalah relasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya dimana keluarga

maupun teman sebaya juga ikut berperan mempengaruhinya. Psikologi

digunakan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi emosi anak,

kesehatan jiwa seperti trauma, gangguan kognitif, pengalaman tentang

trauma, kekerasan, lalu faktor resiko keselamatan apa yang ada saat ini?59

a. Emosi

Emosional selama masa kanak-kanak sangat kuat, dimana anak-anak

akan mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit

57
Panduan Assesmen Biopsikososial Spiritual dan Format Rencana Pengasuhan, data
diakses pada 4 Oktober 2016 dari
http://bettercarenetwork.org/sites/default/files/BPSS_guideline.pdf
58
Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 6.
59
Panduan Assesmen Biopsikososial Spiritual dan Format Rencana Pengasuhan, data
diakses pada 4 Oktober 2016 dari
http://bettercarenetwork.org/sites/default/files/BPSS_guideline.pdf
16

dibimbing dan diarahkan.60 Emosi pada anak dapat dilihat dari cara

berbicara, respon terhadap suatu masalah, pola pikir anak, dan pikiran-

pikiran anak pada situasi yang dihadapi.61

1) Perkembangan emosi

Emosi yang kuat pada periode anak-anak dapat disebabkan

oleh kelemahan akibat lamanya bermain, tidak mau tidur siang, dan

makan terlalu sedikit. Emosi yang tinggi dimasa awal anak-anak

ditandai oleh ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat, dan

iri hati yang tidak masuk akal. Emosi yang tinggi kebanyakan

disebabkan oleh masalah psikologis daripada masalah fisiologis.

Emosi sendiri pada dasarnya tidak memaksa kita untuk bertingkah

laku secara tertentu. Tetapi arti yang kita berikan kepada emosi itu

dapat mengarahkan kita kepada tingkah laku tertentu.

2) Pola-pola emosi

Banyak faktor yang mempengaruhi kuat dan seringnya emosi

dalam awal masa kanak-kanak. Ledakan amarah misalnya mencapai

puncaknya antara usia dua dan empat tahun, setelah itu amarah

langsung tidak terlampau dan berubah menjadi merajuk, merenung.

Rasa takut juga mengikuti pola yang sama, sebagian karena anak sadar

bahwa situasi yang tadinya ditakuti ternyata tidak menakutkan dan

sebagian karena adanya tekanan sosial yang menyebabkan ia merasa

harus menyembunyikan ketakutannya. Sebaliknya cemburu mulai

60
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 114.
61
Panduan Assesmen Biopsikososial Spiritual dan Format Rencana Pengasuhan, data
diakses pada 4 Oktober 2016 dari
http://bettercarenetwork.org/sites/default/files/BPSS_guideline.pdf
17

sekitar dua tahun dan semakin meningkat dengan bertambahnya

anak.62

b. Konsep Berpikir

Plato mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas ideasional. Jadi,

berpikir adalah suatu aktivitas, karenanya subyek yang berpikir itu

aktif. Aktivitas itu sendiri sifatnya ideasional, artinya menggunakan

abstraksi-abstraksi (ideas) dan bukan aktivitas sensoris atau motoris,

tetapi dapat disertai oleh kedua aktivitas itu.63

Berpikir adalah proses yang dinamis. Sedangkan bagaimana proses

berpikir itu langsung, para ahli mengemukakan dengan istilah yang

berbeda. Menurut Suryabrata, proses berpikir dapat dibagi menjadi tiga

langkah, yaitu:

1) Pembentukan pengertian,

2) Pembentukan pendapat,

3) Pembentukan kesimpulan.

3. Teori Psikososial

Psikologi sosial merupakan ilmu merupakan ilmu teoretik, juga

merupakan ilmu terapan. Psikologi Sosial adalah psikologi yang dapat

diterapkan dalam konteks keluarga, sekolah, teman, kantor, politik, negara,

62
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 139.
63
MIF Baihaqi, Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2005), h. 91.
18

lingkungan, organisasi dan sebagainya.64 Sherif & Muzfer (1956)

Psikologi Sosial ialah ilmu tentang pengalaman dan prilaku individu

dalam kaitannya dengan situasi stimulus sosial.65

Jadi, Psikologi sosial adalah Ilmu yang membahas tentang perilaku

manusia dan lingkungan sosialnya. Kebutuhan Psikososial mencakup cara

seseorang berfikir dan merasa mengenal dirinya dengan orang lain,

keamanan dirinya dan orang-orang yang bermakna baginya, hubungan

dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya serta pemahaman dan

reaksinya terhadap kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.

Perkembangan psikososial pada anak sangat berperan penting untuk

kehidupan sang anak kedepannya, berikut faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak:

a) Fase-fase Perkembangan Psikososial

Menurut Erik H. Erickson, berpendapat bahwa pembentukan

identitas merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Fase-fase

perkembangan psikososial dibagi dalam 8 tahap yang saling berurutan

sepanjang hidup, yaitu sebagai berikut :

1) Rasa Percaya versus Rasa Tidak Percaya (Trust vs Mistrust)

Krisis ego yang pertama oleh Erikson disebut sebagai

“Rasa Percaya vs Rasa Tidak Percaya” yaitu tahap bayi (lahir

hingga 18 bulan). Dalam tahap ini, anak berusaha keras untuk

mendapatkan pengasuhan, kehangatan, dan ekskresi yang

64
Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, h. 3.
65
Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial, h. 12.
19

menyenangkan. Jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya,

sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat

mempercayai dan mengembangkan asa. Akan tetapi, gangguan

pada tahap ini dapat membuat sang anak mengembangkan rasa

tidak percaya dan terabaikan. Anak yang memiliki ibu tidak

tanggap dalam merespons tangisan kelaparannya, atau jarang

menggendongnya, biasanya mengalami perasaan tidak aman dan

selalu merasa curiga terhadap lingkungan dan perasaannya bahwa

dunia tidak dapat dipercaya. Jika krisis ego ini tidak pernah

terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam

membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya,

selalu meyakinkan dirinya bahwa oranglain berusaha mengambil

keuntungan darinya, atau merasa bahwa teman-temannya tidak

dapat dipercaya untuk menjaga rahasia.

2) Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan (Autonomy

vs Shame & Doubt)

Yaitu masa kanak-kanak awal (2 hingga 3 tahun). Dalam

tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas

tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya,

mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impuls-

impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Resolusi

yang sukses dari tahapan ini akan menghasilkan anak yang dapat

mengetahui perbedaan antara benar dan salah, dan hampir selalu

mau dan mampu untuk memilih “yang benar”. Kontrol yang


20

berlebih dari orang tua yang sering memberikan hukuman akan

membuat anak mengembangkan perasaan “saya selalu salah...saya

selalu tidak baik... saya tidak tahu bagaimana cara menjadi sukses

dan berhasil” dalam dirinya.

3) Inisiatif versus Kesalahan (Initiative vs Guilt)

Yaitu masa prasekolah (3 hingga 5 tahun). Anak yang

berhasil melewati tahap ini akan tahu bahwa ia merupakan individu

independen dan mandiri, tetapi hanya sekedar itu. Pada periode

inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan

tindakannya. Selain itu, dalam tahap ini anak juga belajar

bagaimana bersosialisasi dengan teman sebayanya. Resolusi yang

tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut untuk

mengejar mimpi-mimpi dan kemungkinan-kemungkinan yang ia

bayangkan. Jika perasaan semacam ini tidak dihilangkan, sang

anak tidak akan dapat mengambil inisiatif atau membuat

keputusan, memiliki rasa percaya diri rendah, dan tidak mau

mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Penelitian

mengenai hal ini menegaskan bahwa anak yang berasal dari

keluarga yang disfungsional (mengalami gangguan) nantinya akan

memiliki masalah harga diri.

4) Produktif versus Inferioritas (industry vs inferiority)

Yang terjadi pada usia sekolah (6 hingga 11 tahun). Pada

tahap ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan

kepuasan dari menyelesaikan tugas, khususnya tugas-tugas


21

akademis. Pada masa ini juga anak berkembang kamampuan

berpikir deduktif, disiplin diri dan kemampuan berhungan dengan

teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Penyelesaian

yang sukses pada tahap ini akan menciptakan anak yang dapat

memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang ia peroleh.

Sebaliknya, anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa

cukup, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya. Anak yang

tidak mampu melewati tahap ini dengan baik akan merasa inferior,

seolah-olah ia tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan

tidak mampu mencapai apa yang diraih oleh teman-teman

sebayanya.

5) Identitas versus Kebingungan Peran (Identity vs Role

Confusion)

Yaitu masa remaja (12 hingga 18 tahun). Pada tahap ini, remaja

bereksperimen dengan berbagai macam peran yang berbeda, sambil

mencoba mengintegrasikannya dengan identitas yang ia dapatkan

dari tahapan-tahapan sebelumnya. Dalam tahap ini individu mulai

merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, siap untuk

memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat yang

bersifat menyesuaikan diri. Anak mulai menyadari sifat-sifat

kesukaan dan ketidaksukaannya. Jika berhasil pada tahapan ini akan

menciptakan individu yang memiliki perasaan akan diri yang jelas

dan multifaset, seseorang yang telah berhasil menyatukan banyak

peran menjadi “identitas” tunggal dirinya. Erikson melihat bahwa


22

keadaan memalukan dari masa remaja dapat menyebabkan adanya

kebingungan identitas dan ketidakpastian mengenai kemampuan,

asosiasi dan tujuan masa depan individu yang disebut sebagai krisis

identitas. Kegagalan pada masa ini menyebabkan anak kebigungan

peran, sering muncul perasaan keragu-raguan dan bahkan menarik

diri dari lingkungan.

6) Keintiman versus Isolasi (Intimacy vs Isolation)

Yaitu masa dewasa muda (19 hingga 40 tahun). Orang

dewasa muda pada tahap ini, akan mempelajari cara berinteraksi

dengan orang lain secara lebih mendalam. Tujuan dalam tahap ini

adalah mencari hubungan dengan sesama yang memiliki banyak

kesamaan, khususnya untuk membentuk hubungan asmara dengan

pasangan. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang

kuat akan menciptakan rasa kesepian, alih-alih cinta. Beberapa

orang mungkin tidak mampu membentuk hubungan yang intim

sama sekali, sehingga ia menjadi orang yang “kesepian” atau mulai

membentuk banyak hubungan yang dangkal.

7) Generativitas versus Stagnasi (Generativity vs Stagnation)

Yaitu masa dewasa menengah (40 hingga 65 tahun). Pada

tahap inilah individu mulai menyerahkan dirinya dengan orang

lain, dalam bentuk seperti membesarkan dan mengasuh anak.

Namun juga dapat berbentuk beberapa kegiatan lain, seperti

kegiatan sosial. Idenya dalah memberikan sesuatu pada dunia


23

sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya,

juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan

generasi penerus dimasa depan. Seseorang yang telah mencapai

tujuan-tujuan hidupnya yang bersifat materiil akan menetapkan

tujuan-tujuan baru bagi dirinya sendiri, yaitu tujuan dalam wujud

perilaku menolong sesama. Ketidakmampuan untuk memiliki

pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini

tidak berharga dan membosankan. Individu seperti ini mungkin

berhasil memperoleh tujuan-tujuan duniawi, tetapi di balik

kesuksesannya itu hidup terasa tidak berarti.

8) Integritas versus Keputus-asaan (Ego Integrity vs Despair)

Yaitu masa dewasa akhir (65 tahun hingga mati). Pada

tahap usia lanjut ini, individu memperoleh kebijaksanaan dari

pengalaman-pengalaman hidupnya, dan mereka juga dapat

mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman, dan

integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan, dan

pencarian saat ini adalah mengintegrasikan tujuan hidup yang telah

dikejar selama bertahun-tahun. Kegagalan dalam melewati tahap

ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa: saya belum

meyelesaikan apa yang saya inginkan dalam hidup ini, dan

sekarang semuanya sudah terlambat.66

b) Faktor-faktor Psikososial

66
Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset
Modern, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 157.
24

Faktor-faktor yang mempengaruhi psikososial yaitu pola asuh serta

kasih sayang dari orang tua, status ekonomi orang tua, lingkungan

sekolah, hubungan dengan anak lain. Yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Pola Asuh dan Kasih Sayang dari Orang Tua

Orang tua merupakan area terdekat pada anak. Anak sangat

memerlukan kasih sayang, rasa aman, sikap dan perlakuan yang

adil dari orang tua. Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi

anak-anak, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara

optimal. Selain kelekatan antara orang tua dan anak, pola asuh

yang diterapkan orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku

anak di masa depan. Apakah di masa yang akan datang anak akan

berprilaku positif atau negatif, itu tergantung dari pola asuh yang

diterapkan orang tua pada masa kecilnya.

Terdapat 4 jenis pola pengasuhan orang tua menurut Diana

Baumrind (1971), yang dijelaskan sebagai berikut:

a) Pengasuhan Otoritarian (Authoritarian Parenting)

Adalah pola yang membatasi dan menghukum, dimana

orang tua menghukum dan mendesak anak untuk mengikuti arahan

mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Anak dari

orang tua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder

ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu

memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang

lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berprilaku

agresif (Hart dkk., 2003).


25

b) Pengasuhan Otoratif (Authoritatif Parenting)

Yaitu pola pengasuhan dengan mendorong anak untuk

mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan

mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan,

dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak.

Orang tua yang otoritatif menunjukkan kesenangan dan dukungan

sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Anak dengan

orang tua yang otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri

dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi; maka cenderung untuk

mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya,

bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress

dengan baik.

c) Pengasuhan Yang Mengabaikan (Neglectful Parenting)

Adalah pola pengasuhan di mana orang tua sangat tidak

terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang

mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih

penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak

memiliki kemampuan sosial. Mereka sering kali memiliki harga

diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari

keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukkan

sikap suka membolos dan nakal.

d) Pengasuhan Yang menuruti (Indulgent Parenting)

Adalah pola pengasuhan di mana orang tua terlibat dengan

anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka.


26

Orang tua seperti ini membiarkan anak melakukan apa yang ia

inginkan. Dampaknya, anak tidak akan pernah belajar

mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap

mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki orang tua yang

selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan

mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka

mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan

kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).67

Pola asuh ini sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi

anak terhadap orang tua. Bagaimana anak terbentuk tentunya

didapat dari pembiasaan-pembiasaan yang terjadi pada situasi

rumah. Hal inilah yang terkadang mendasari anak untuk

mengembangkan dirinya.68

2) Status Ekonomi Orang Tua

Keadaan sosio-ekonomi keluarga tentulah mempunyai

peranan terhadap perkembangan anak-anak, bahwa dengan adanya

perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi

anak di dalam keluarga itu lebih luas, ia mendapat kesempatan

yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam

kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan apabila tidak ada alat-

alatnya.

Jika status sosio ekonomi orang tua memuaskan tetapi

apabila mereka itu tidak memperhatikan didikan anaknya atau


67
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi ke tujuh, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2007), hal. 167.
68
John W. Santrock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 167.
27

senantiasa bercekcok, hal itu juga tidak menguntungkan

perkembangan sosial anak-anaknya, bisa jadi anak berkembang

dengan tidak wajar.69

3) Lingkungan Sekolah

Mengenai peran sekolah dalam mengembangkan

kepribadian anak, Hurlock mengemukakan bahwa sekolah

merupakan faktor penentu bagi perkembangan anak, baik dalam

cara berfikir maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai

substitusi keluarga dan guru serta substitusi orang tua. Ada

beberapa alasan mengapa sekolah memainkan peranan berarti bagi

perkembangan psikososial anak, yaitu anak harus hadir di sekolah,

sekolah memberikan pengaruh kepada anak sejak dini seiring

perkembangan konsep dirinya dan anak lebih banyak

menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain selain

di luar rumah.

4) Hubungan dengan Anak Lain

Hubungan anak kecil dengan orang dewasa yang

mengasuhnya merupakan hal yang terpenting. Namun hubungan

dengan saudara kandung dan teman sebaya lainnya menjadi

penting nilainya pada usia pra sekolah. Setiap aktivitas yang

dijalani anak, perkembangan kepribadian, perkembangan jenis

kelamin ke prilaku prososial atau agresif, keseluruhannya

69
Gerungan W.A, Psikologi Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2000), cet. 11, h. 182.
28

melibatkan anak lain. Tumbuh berdampingan dengan anak lain

akan menumbuhkan rasa kompetisi yang meningkatkan

kemampuan anak dalam belajar mengukur kompetensi fisik, sosial

dan bahasa dan mendapatkan pemahaman diri yang lebih realistis

(Bandura dalam Papalia, 2008).70

4. Teori Sosial

Masalah-masalah yang terjadi dalam perkembangan anak juga

dipengaruhi oleh suatu budaya. Dimana permasalahan itu lebih bervariasi

antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya.

a. Budaya

Budaya adalah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol

yang dimiliki bersama oleh manusia dan biasanya dikomunikasikan

dari satu generasi ke generasi berikutnya.71

Menurut Richard Brislin mendeskripsikan sejumlah karakteristik

budaya sebagai berikut:

1) Budaya disusun oleh sejumlah idealisasi, nilai, dan asumsi

mengenai kehidupan yang mengarahkan perilaku manusia yang

hidup di budaya tersebut.

2) Budaya dibuat oleh manusia.

70
Achmad Damayanto, Hubungan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Dengan
Perkembangan Psikososial Anak Prasekolah Di Kelurahan Jatirahayu Bekasi (Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, 2013), h. 21.
71
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015), h. 3.
29

3) Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang

bertanggung jawab dalam mewariskan budaya tersebut adalah

orang tua, guru, dan piminan komunitas.

4) Pengaruh budaya paling jelas terlihat dalam perselisihan-

perselisihan halus di antara orang-orang yang memiliki latar

belakang budaya yang berbeda.

5) Apabila nilai-nilai budaya mereka dilanggar atau ketika harapan

budaya mereka diabaikan, orang yang tinggal di budaya tersebut

akan cenderung bereaksi secara emosional.

6) Tidak jarang orang menerima suatu nilai budaya di suatu keaaan

dalam kehidupannya namun kemudian menolaknya disaat lain.

b. Kelekatan

Menurut Bowlby, kelekatan memiliki nilai keberlangsungan hidup

yang hanya bukan fisik. Ia meyakini bahwa kelekatan memberikan

“keterhubungan psikologis yang abadi diantara sesama manusia”.72

Kelekatan yaitu tentang bagaimana hubungan berlangsung berdasarkan

suatu model mental diri, pengasuh, dan hubungan antara keduanya.

1) Rasa aman (Secure)

Rasa aman seringkali dirasakan oleh anak-anak dengan

kelekatan kuat (Secure) yakni menggunakan ibu atau pengasuh

sebagai basis aman bagi mereka untuk menjelajah lingkungan

baru. Anak akan cemas dengan kepergian ibunya dan berusaha

72
Penny Upton. Psikologi Perkembangan, h. 87.
30

membuat ibu kembali dengan perilaku menangis atau mencari.

Ketika ibu kembali anak akan membangun kembali interaksi

positif terhadap terhadap ibu ataupun pengasuhnya mungkin

dengan cara tersenyum atau duduk dipangkuannya. Anak

dengan kelekatan secure akan merespon dengan positif ketika

bertemu dengan orang lain atau orang yang baru ditemuinya.

Tingkah laku anak yang lekat biasanya mereka mencari,

menambah, dan memepertahankan kedekatan serta melakukan

komunikasi timbal balik dengan figur lekatnya.

2) Tidak kuat-menghindar (Insecure-Avoidant)

Anak-anak dengan tipe kelekatan ini biasanya menghindari

interaksi dan mengabaikan ajakan-ajakan ibu untuk

berinteraksi, mereka hanya menunjukkan sedikit kepedulian

atas kepergian ibunya. Ketika ibu kembali biasanya anak tidak

melakukan interaksi. Andaipun melakukan kontak dapat

terjadi, anak biasanya menghindar atau membuang muka. Anak

dengan tipe kelekatan ini biasanya akan takut terhadap orang

baru, mereka juga akan merasa sedih.

3) Tidak kuat-resisten (Insecure-Ambivalent)

Yakni anak-anak yang cemas dengan kepergian ibunya dan

berperilaku secara ambivalen ketika bertemu kembali, berusaha

melakukan kontak dan interaksi namun sekaligus menolak

dengan marah ketika diajak berinteraksi. Anak sering kali

lengket dengan pengasuhnya tetapi kemudian menolak


31

kedekatan dengan mendorong atau meronta. Ketika ibu pergi

anak akan menangis dengan keras 73

Dalam teori etologi tingkah laku lekat tidak hanya

ditujukan kepada anak tapi juga pada ibu. Bentuk tingkah laku

lekat pada ibu berupa sikap yang ingin mempertahankan kontak

dengan anak dan memperlihatkan ketanggapan terhadap kebutuhan

anak.74

5. Teori Spiritual

Aspek spiritual sangat mempengaruhi tahap tumbuh kembang

anak. Spiritual adalah pencarian manusia akan makna dan tujuan hidup,

sehingga memiliki keseluruhan kepribadian dari sejumlah pengalaman

hidup yang beragam.75 Aspek spiritual membantu kita dalam

membedakan baik dan buruk ataupaun benar dan salah. Data spiritual dan

budaya yakni tentang agama sebagai pendukung dan bagaimana

pandangan spiritual terhadap situasi dan permasalahannya.76 Aspek-aspek

yang berkaitan dengan spiritual, dijelaskan sebagai berikut:

a) Etika

Etika menurut Bertens (1999:6) etika memiliki 3 arti. Pertama,

dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi

seseorang atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah

73
Penny Upton. Psikologi Perkembangan, h. 87.
74
Santrock, Perkembangan Anak (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 54.
75
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Dwiyati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan
Sosial, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. I, h. 81.
76
Panduan Assesmen Biopsikososial Spiritual dan Format Rencana Pengasuhan, data
diakses pada 4 Oktober 2016 dari
http://bettercarenetwork.org/sites/default/files/BPSS_guideline.pdf
32

lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral.

Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang ilmu yang baik dan buruk. Etika

baru menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas dan

nilai yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima oleh

masyarakat seringkali dapat disadari menjadi bahan refleksi bagi

suatu penelitian sistematis dan metodis.77

b) Moral

Secara etimologi kata etika sama dengan etimologi kata

moral karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat

kebiasaan. Jadi dapat disimpulkan arti kata etika sama dengan

moral yaitu nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang

atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.78 Menurut

Atkinson (1969) moral atau moralitas merupakan pandangan

tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak

dapat dilakukan.79 Jadi moral adalah seperangkat keyakinan dalam

suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa

yang seharusnya dilakukan manusia, juga sebagai sarana untuk

mengukur benar-tidaknya atau baik-tidaknya tindakan manusia.

c) Nilai

Steeman (dalam Darmaputra, 1999) bahwa nilai adalah

yang memberi makna hidup, yang memberi pada hidup ini titik-

77
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan
Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), h. 27.
78
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan
Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, hal.27.
79
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan
Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, h. 29.
33

tolak, isi, dan tujuan. Nilai adalah Sesuatu yang dijunjung tinggi,

yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai selalu

menyangkut tindakan, oleh karenanya etika menyangkut nilai.80

Nilai yang berkembang di masyarakat ada empat, yaitu nilai moral,

nilai sosial, nilai undang-undang, dan nilai agama. Nilai moral

adalah segala nilai yang berhubungan dengan konsep baik dan

buruk.

80
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan
Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, h. 29.
34

Indikator Assesmen Biopsikososial Spiritual

Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli yang sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya. Maka peneliti membuat indikator penelitian sebagai

landasan bagi peneliti untuk melakukan assessment biopsikososial spiritual anak,

yang dijelaskan sebagai berikut:

A. Bio

1. Fisik: Jenis Kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, adakah pengaruh

genetik terhadap pertumbuhan anak.

2. Cara berbicara meliputi respon awal terhadap wawancara, ekspresi tubuh,

respon awal terhadap wawancara.

3. Riwayat Kesehatan: status kesehatan sebelum ibu bekerja dan status

kesehatan anak ketika ibu bekerja.

B. Psikologis

1. Cara berbicara, respon terhadap suatu masalah, pola pikir anak, dan

pikiran-pikiran anak pada situasi yang dihadapi.

2. Riwayat kesehatan jiwa: terkait dengan trauma, kekerasan, dan hubungan

dengan keberfungsian sosialnya.

3. Prilaku anak yang terkait dengan tahap perkembangan termasuk

didalamnya emosi yang ada pada diri anak.

C. Sosial

1. Latar belakang budaya: Bagaimana budaya mempengaruhi prilaku anak.


35

2. Hubungan anak dengan lingkungan sosialnya termasuk didalamnya:

lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal serta hubungannya

dengan teman sebaya.

3. Riwayat Keluarga: Hubungan anak dengan anggota keluarga. Termasuk

didalamnya hubungan kelekatan anak dengan keluarga, apakah anak

memiliki pengasuh ketika ibu bekerja? dan seberapa sering anak

berkomunikasi dengan ibunya? Seberapa lekat anak dengan pengasuh?

4. Kondisi status ekonomi keluarga terkait dengan kondisi rumah anak.

D. Spiritual

1. Latar belakang budaya klien menyangkut Agama.

2. Kondisi spiritual anak dengan ibu yang bekerja

3. Pandangan spiritual anak terhadap permasalahan yang dihadapinya.

Anda mungkin juga menyukai