Anda di halaman 1dari 13

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Topik :
Anak-anak dalam Keluarga

Dosen Pengajar :
Drs. Sahat Saragih, M. Si.

Disusun oleh Kelompok 02 :


1. Ria Dinda Febriana (1511700112)
2. Anisa Asma Eka (1511800069)
3. Anggun Eka Pratiwi (1511800157)
4. Ridho Abithan Dirgantara (1511800164)
5. Jauharotul Uyun (1511800165)
6. Sayfa Zennaria (1511800177)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA


FAKULTAS PSIKOLOGI
2019/2020
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.
M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat
dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.
Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu,
anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.
Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan
dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan
paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain
seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Gaya pengasuhan ini dipengaruhi oleh bagaimana budaya mengajarkan kepada
orang-orang terdahulu, sehingga anak sebagai obyek mendapatkan perilaku pengasuhan
yang telah turun temurun dilakukan oleh para pendahulunya. Unsur-unsur yang terdapat
dalam keragaman budaya, seperti sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, pekerjaan, serta perlengkapan dan bahasa akan membentuk anak
sehingga memiliki orientasi yang sesuai dengan budayanya (Hastuti 2008).
Pada umumnya orang tua belajar dari budaya setempat tentang peran yang harus
dilakukannya dalam mengasuh anak.Budaya yang ada, jika mengandung seperangkat
keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang
diperoleh orang tua memiliki kecenderungan yang berdampak positif terhadap
perkembangan anak. Sebaliknya, jika keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat
setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko, maka nilai-nilai pengasuhan yang
diperoleh orang tua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak
(Brooks, 2001). Perkembangan pada dasarnya adalah serangkaian perubahan progresif
yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman (Hurlock 1980).
Pemberian stimulus yang kurang akan berpengaruh terhadap pencapaian tahap
perkembangan anak. Perkembangan seorang anak tidak hanya berfokus pada
perkembangan kognitif, tetapi juga pada perkembangan sosial anak atau kematangan
sosial. Perkembangan sosial anak merupakan kemampuan untuk memahami orang lain
serta bertindak secara bijaksana dalam hubungan antar manusia (Goleman 1996). Menurut
Hastuti (2008), perkembangan sosial adalah kemampuan anak untuk berhubungan sosial
dengan orang lain. Perkembangan sosial dibutuhkan oleh individu untuk menjalin
hubungan dengan orang-orang disekitarnya.
Budaya yang beranekaragam akan menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang
heterogen, yang dapat berpengaruh pada kehidupan keluarga dalam aktivitas perilaku
pengasuhan anak dan akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak. Nilai-
nilai budaya yang ada pada masyarakat, baik di lingkungan keluarga maupun di luar
keluarga, akan dapat mempengaruhi seseorang untuk bersikap, yang selanjutnya
mempengaruhi perilaku. Nilai-nilai budaya akan menegaskan perilaku mana yang penting
dan perilaku mana yang harus dihindari (Porter & Samovar 1990). Singkatnya nilai-nilai
budaya akan mempengaruhi perilaku seseorang (Kusrestuwardhani 2003). Berdasarkan
hal yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk mengetahui Nilai Budaya, Pengasuhan
Penerimaan-Penolakan, dan Perkembangan Sosial Anak Usia 3-5 Tahun pada Keluarga
Kampung Adat Urug, Bogor.
Pengasuhan yang diterapkan orang tua pun berdampak pada perkembangan sosial
anak. Gaya pengasuhan yang baik adalah gaya pengasuhan yang menerima anak atau
pengasuhan penerimaan, tetapi kadangkala orang tua secara tidak sadar menerapkan gaya
pengasuhan penolakan, seperti pengabaian, penolakan, dan perasaan tidak sayang baik
secara verbal maupun fisik.
Secara verbal anak sering dicemooh dan dicaci, sedangkan secara fisik anak sering
mengalami kekerasan seperti dipukul.Data menunjukkan bahwa sebagian besar kasus
kekerasan terhadap anak dilakukan oleh ibunya sendiri dengan alibi untuk menegakkan
disiplin kepada anak.Sepanjang Tahun 2010, Komnas Perlindungan Anak menerima
laporan sebanyak 2.355 kasus kekerasan terhadap anak.Angka ini meningkat dari 2009
yang mencapai 1.998 kasus (Komnas perlindungan anak, 2010).
Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan orang tua mengenai gaya pengasuhan yang
tepat bagi anak. Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan penolakan (pengabaian,
penolakan, perasaan tidak sayang) baik secara verbal maupun fisik berdampak serius
terhadap perkembangan anak, yaitu pada perkembangan sosial anak. Anak yang ditolak
akan bermasalah dalam berhubungan antarpersonal, yang menyebabkan anak sulit dalam
beradaptasi, berkomunikasi, dan berempati (Sunarti 2004). Berdasarkan paparan di atas,
menjadi penting untuk mengetahui Nilai Budaya, Pengasuhan Penerimaan-Penolakan, dan
Perkembangan Sosial Anak Usia 3-5 Tahun pada Keluarga Kampung Adat Urug, Bogor.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Keluarga merupakan tempat dimana sebuah kebudayaan dapat terbentuk, dimana
individu-individu belajar mengenai kebudayaan yang diturunkan generasi ke generasi.
Semuanya itu adalah agar pada saat seorang individu masuk ke dalam masyarakat yang
lebih luas, mereka mengenal kebudayaan mereka. Tentunya setiap orang tua dalam
keluarga memiliki cara yang berbeda untuk mengajarkan nilai yang luhur serta norma
yang berlaku kepada anak-anak mereka.
Kami telah melakukan wawancara terhadap tiga keluarga yang memiliki latar
belakang keluarga yang berbeda dan suku yang berbeda. Kami melakukan wawancara
untuk mengetahui bagaimana orang tua mengajarkan kebudayaan terhadap anak-anaknya
dan bagaimana keragaman latar belakang budaya mewarnai proses sosialisasi dan
internalisasi yang dilakukan dalam keluarga tersebut. Berikut adalah uaraian hasil
wawancara kami.
Keluarga pertama yang kami wawancara adalah keluarga keturunan Arab di
bilangan Rempoa, Jakarta Selatan. Keluarga Bapak Haydar Yahya. Arab termasuk salah
satu bangsa yang memiliki banyak sekali budaya.
Dan masyarakatnya sangat mempertahankan budaya-budaya tersebut bahkan
banyak yang akhirnya menjadi fanatik. Kalau masyarakat Arab pada umumnya sangat
mempertahankan budayanya, maka berbeda dengan kelurga ini. Bukan dengan mengurung
anak perempuannya di rumah saja, makan makanan yang berbau-bau kambing, menikah
dengan sesama familinya, dan lain-lain tetapai justru memberikan kebebasab untuk
tumbuh berkembang sesuai yang ada pada dirinya. Dalam keluarga ini sang Ayahlah yang
sangat berperan dalam penanaman budaya.
Bukan budaya kesukuan yang ditanamkan, tetapi budaya yang mempunyai nilai-
nilai universal. Diantaranya yaitu budaya kejujuran, toleransi dan budaya kemerdekaan.
Sejak dini nilai-nilai kejujuran sudah mesti ditanamkan. Dan dengan memberikan
kemerdekaan itulah salah satu cara untuk memberikan jalannya. Penanaman nilai-nilai
yang berorientasi kepada suku sama sekali tidak ditanamkan di keluarga ini.
Satu hal yang unik, di luar kebiasaan orang arab pada umumnya. Bapak ini
mengatakan bahwa bahwa nilai-nilai budaya kesukuan bisa tidak berpengaruh terhadap
perkembangan anaknya menghadapi dunia global seperti sekarang ini. Maka untuk
mempersiapkannya sejak dini harus ditanamkan budaya yang bersifat global atau
universal. Bukan budaya yang sifatnya kesukuan atau lokal saja. Untuk menghadapi dunia
global saat ini nilai-nilai kesukuan itu pastiah tidak lagi bisa diterima karena sudah terlalu
jauh perbedaannnya dengan segala ilmu, tekhnologi yang terus berkembang cepat.
Kalaupun ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan, maka akan mudah
untuk mencari jalan keluarnya. Karena penyimpangan yang dilakukan didasari dengan
kejujuran dan kesadaran. Sang Ayah pastinya memberikan hukuman bagi yang melakukan
penyimpangan, yaitu hukuman tanggung jawab.
Kemerdekaan telah diberikan, dan semua anggota mempunyai hak untuk memilih
jalannya sendiri maka apabila terjadi kesalahan maka yang membuat kesalahan itulah
yang mesti bertanggung jawab atas dirinya.
Kalau di kebanyakan bangsa Arab dalam adat menikah mengharuskan dengan
sesama familinya, keluarga ini membebaskan seluruh anggota menentukan pilihannya.
Terbukti bahwa menantunya ada yang dari Inggris dan ada juga dari Amerika. Ini hanya
salah satu contoh penerapannya. Disamping juga aktivitas-aktivitas layaknya keluarga
lainpun juga dilakukan. Seperti menjaga kebersamaan dan saling mengungkapkan kasih
sayang antar sesama anggota keluarga.
Sebelum semua itu dilakukan tentu sang Ayah telah memiliki konsep keluarga
seperti apa yang ingin ditanamkan sehingga dalam penerapannya terwujud demikian.
Meski dalam perkembangannya ternyata semua anggota keluarga memiliki budaya yang
berbeda-beda.
Seperti yang satu senang dikamar saja mendengarkan musik, yang lain membaca,
yang lain lagi jalan-jalan, yang lain lagi hobi computer, dan lain sebagainya yang
kesemuanya itu bisa berjalan atas dasar toleransi yang ada pada setiap individu. Suatu hal
yang penting dalam penanaman budaya di keluarga ini adalah bahwa semua anggota
keluarga memiliki kesadaran akan kebersamaan, rasa senasib, dan saling memebutuhkan
satu sama lain. Maksudnya tidak melakukan sesuatu dengan terpaksa hanya untuk
memenuhi keinginan sang Ayah atau Ibunya misal.
Keluarga kedua yang kami wawancara adalah keluarga keturunan Jawa yang
tinggal menetap di Medan, Sumatera Utara. Mereka menetap di sana semenjak lahir.
Walaupun begitu, kebudayaan yang ada di dalam keluarga mereka sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan dan adat istiadat Jawa. Perpaduan ini sangat unik.
Di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang berkebudayaan Batak, mereka
masih menanamkan kebudayaan Jawa. Pada kasus ini, anak-anak dalam keluarga selalu
melakukan “sungkeman” pada saat acara keluarga, yang jelas bukanlah kebudayaan Batak,
melainkan kebudayaan Jawa. Hal ini terus dilakukan walau mereka tinggal bukan pada
tempat kebudayaan itu berasal. Namun, keluarga ini juga tidak sepenuhnya mengikuti
tradisi Jawa yang penuh dengan adat istiadat.
Bukan hanya dua unsur tersebut yang mewarnai kebudayaan keluarga ini, keluarga
ini juga menerapkan nilai-nilai keagamaan yang mereka anut, yaitu Islam. Sehingga nilai-
nilai yang diajarkan tentang kepercayaan dan perbuatan baik buruk didasarkan pada sistem
kepercayaan mereka. Ketiga faktor tersebut ternyata mempengaruhi proses internalisasi
yang dilakukan anak. Orang tua mengajarkan nilai yang mereka junjung tinggi dengan
menjadi role model yang baik bagi anak.
Mereka secara langsung turut serta dalam menerapkan kebiasaan tersebut. Terdapat
nilai-nilai luhur yang harus dipatuhi semua anggota keluarga tanpa terkecuali. Contohnya,
menerapkan nilai-nilai agama seperti melakukan ibadah, yaitu setiap sholat Subuh setiap
anggota keluarga harus sholat berjamaah. Sedangkan contoh dalam menerapkan nilai-nilai
kekeluargaan seperti harus makan bersama dalam satu meja makan.
Faktor lingkungan juga mempengaruhi bagaimana kebudayaan dalam keluarga
tersebut berkembang. Orang tua selalu menanamkan nilai-nilai luhur dari kebudayaan
Jawa yang diturunkan kepada mereka dari generasi sebelumnya, namun kebudayaan Batak
terlihat pada perilaku anak sehari-hari. Contohnya, anak jadi lebih keras kepala dan nada
bicaranya yang keras. Walaupun anak diajarkan nilai-nilai Jawa, saat mereka masuk dalam
lingkungan orang-orang suku Batak, mereka pun melakukan proses pembelajaran yang
dibawa pada keluarga.
Anak-anak pada keluarga tersebut mengerti bahasa Jawa dengan baik walaupun
tidak bisa berbicara bahasa Jawa. Justru, mereka tidak terlalu mengerti Bahasa Batak
walaupun telah lama tinggal di sana.
Jika terjadi pelanggaran nilai, orang tua mencoba memberikan perilaku diam
karena dengan begitu anak akan merasa bahwa dia telah melakukan kesalahan, barulah
setelah itu, orang tua menasehati kembali tentang konsekwensi atas perbuatannya tersebut.
Jika dapat ditelaah, kebersamaan dan keteraturan adalah nilai tertinggi yang dianut
keluarga ini.
Keluarga ketiga tinggal dan dibesarkan di mana kebudayaan mereka berasal. Keluarga ini
bersuku Sunda dan tinggal di daerah Tataran Pasundan.
Penyerapan nilai-nilai kebudayaan di dalam keluarga ternyata tidak terbentur
beberapa budaya lain. Orang tua menerapkan nilai-nilai keluarganya dengan cara
memberitahu batasan norma-norma dan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh anak.
Sebagai contoh, cara anak berbahasa, karena Bahasa Sunda memiliki tingkatan kesopanan
yang digunakan kepada tingkat orang yang berbeda. Dalam keluarga ini, masih dikenal
sistem kepercayaan yang masih dipegang kukuh seperti menggunakan adat “pamali”,
sebutan untuk sesuatu yang tidak boleh dilakukan dalam adat Sunda yang berdasarkan
pada mitos.
Memang masih terasa kental budaya kesukuan dan istiadat pada keluarga ini.
Keluarga ini pun memiliki tingkat kepercayaan yang sangat tinggi satu dengan yang lain.
Sehingga pelanggaran nilai akan hampir tidak nampak. Tentunya orang tua tidak begitu
saja memberikan kepercayaan kepada anaknya. Sebelumnya pasti ada proses penanaman
kepercayaan yang merupakan hal mutlak untuk dapat memberikan kepercayaan. Inilah
nilai tertinggi dari hasil wawancara dengan keluarga ini.
1. Setiap keluarga memiliki cara pandang sendiri terhadap nilai-nilai yang mereka
junjung, entah itu berdasar atas rasa kebudayaan kesukuan ataupun tidak.
2. Orang tua merupakan pembimbing utama dalam keluarga bagi anak untuk melakukan
pembelajaran kebudayaan.
3. Faktor lingkungan juga merupakan faktor yang tidak dapat terabaikan pada proses
pembelajaran kebudayaan.
4. Setiap keluarga memiliki cara penanganan tersendiri atas pelanggaran nilai yang
dilakukan anggota keluarganya sesuai dengan budaya yang juga dijunjungnya.

Keluarga pertama mendidik anaknya dengan budaya yang universal. Terlihat


keunikan tersendiri dalam keluarga ini sebagai bangsa Arab yang justru tidak ada arab-
arabnya sama sekali melainkan nilai-nilai universal yang kental terasa menerapkan cara
yang tidak berdasar pada kesukuan atau dari mana nenek moyang mereka berasal.
Sebaliknya, keluarga kedua yang juga memiliki kemiripan peristiwa dengan
keluarga pertama justru lebih menekankan kebudayaan dari mana mereka berasal, namun
tetap terpengaruh lingkungan dimana mereka tinggal walaupun tidak terlalu signifikan.
Sedangkan keluarga ketiga, tinggal dan mengembangkan kebudayaan asli dimana
mereka berada. Ketiga fenomena ini menjelaskan bagaimana keluarga dapat menjadi guru
bagi penanaman nilai dan norma. Walaupun setiap keluarga memiliki nilai yang berbeda,
namun begitulah kebudayaan, akan relatif dan berbeda-beda. Sekilas mengulas, keluarga
pertama begitu mengetengahkan aspek kebebasan yang tidak terkungkung dan terbatas
pada kesukuan.
Keluarga ini pun mengajarkan sebuah kebebasan yang disertai tanggung jawab.
Itulah esensi nilai internalisasi bagi anak-anak di keluarga tersebut. Sedangkan keluarga
kedua, melihat fenomena dari mana mereka berasal dan dimana mereka tinggal. Mereka
tidak melupakan kebudayaan ibu mereka walau kini berada jauh dari tempat kebudayaan
yang mereka junjung berasal. Namun, mereka pun tidak menampik pengaruh yang hadir
dari lingkungan.
Keluarga ini menekankan bahwa menjadi contoh yang baik bagi anak adalah
sebuah cara mensosialisasikan nilai-nilai yang mereka junjung. Keluarga ketiga, sama
melihat fenomena budaya berdasar budaya ibu atau budaya nenek moyang. Karena mereka
tetap tinggal di daerah dari mana kebudayaan mereka berasal, identitas kesukuan terlihat
jelas. Internalisasi kepercayaan bagi anak disertai dengan rasa percaya yang tinggi dari
orang tua, hal inilah yang membuat proses internalisasi dalam keluarga ini berjalan tanpa
hambatan berarti seperti pelanggaran anak terhadap nilai.
Dari ketiga keluarga di atas, dapat kita lihat bahwa proses penyerapan kebudayaan
dalam keluarga dipengaruhi beberapa faktor yaitu nilai apa yang mereka junjung tinggi,
cara orang tua menerapkan nilai-nilai luhur tersebut, faktor lingkungan mereka berada,
cara orang tua menerapkan nilai-nilai luhur tersebut, yaitu bisa dengan menjadi role model
bagi anak atau dengan memberi tahu dengan jelas batasan-batasan norma-norma dan nilai-
nilai yang dianut oleh keluarga dan lingkungan masyarakatnya.

A. Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan
pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-
nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor
yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang
sehat.
Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi
kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya
dan pengembangan ras manusia.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila
keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah
memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang dan mengembangkan hubungan yang
baik diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas
perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian,
pemahaman, respek dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya.
Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap
communication dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental
illness) bagi anak.
Orang tua di dalam keluarga harus mampu menciptakan kehidupan yang beragama
yang taat dan bertaqwa kepada Allah dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Hal
ini bisa dilakukan dengan menjalankan segala apa yang harus dikerjakan dan menjauhkan
segala apa yang dilarang atau tidak boleh dilakukan.
Hal itu dapat berhasil jika orang tua memberikan arahan dan mencontohkan segala
sesuatu yang baik kepada anaknya. Selain itupun orang tua harus menciptakan suatu
kehidupan yang harmonis di dalam keluarga. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memberikan waktu luang kepada anak, berkumpul bersama misalnya menonton bersama-
sama atau berekreasi bersama-sama di taman kota. Orang tua sebaiknya harus selalu
menanyakan kondisi anaknya setiap saat seperti menanyakan kondisi disekolah nya seperti
apa atau menanyakan keadaan hati anaknya setiap hari. Jika anak memiliki masalah maka
sebagai orang tua harus Gwh dengan senang hati dan mendengarkan secara seksama
masalah yang sedang dihadapi anaknya. Kasih sayang yang diberikan orang tua kepada
anaknya janganlah terlalu berlebihan hanya boleh diberikan secara wajar ketika
memberikan kasih sayang secara materi maupun dalam bentuk psikologis. Orang tua yang
terlalu sibuk dengan pekerjaannya maka anak akan kurang mendapatkan kasih sayang dari
orang tuanya. Maka dari itu sebagai orang tua haruslah meluangkan waktu kepada
anaknya agar anaknya tidak merasa kesepian atau merasa diterlantarkan ketika diacuhkan.

B. Faktor Lingkungan Keluarga yang Dipandang Mempengaruhi


Perkembangan Anak
Seiring perjalanan hidupnya yang diwarnai faktor internal (kondisi, fisik, psikis,
dan moralitas anggota keluarga) dan faktor eksternal, perkembangan sosial budaya, maka
setiap keluarga mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh
dalam menerapkan fungsi-fungsinya (fungsional-normal) sehingga setiap anggota merasa
nyaman dan bahagia dan ada juga keluarga yang mengalami broken home, keretakan atau
ketidakharmonisan (disfungsional-tidak normal) sehingga setiap anggota keluarga merasa
tidak bahagia. (Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd dan Dr. Nani M. Sugandhi, 2011).
Keluarga yang fungsional atau yang ideal menurut Alexander A. Schneiders (1960-405)
memiliki karakteristik, sebagai berikut :
b. Minimnya perselisihan antar orang tua atau antar orang tua-anak.
c. Ada kesempatan untuk menyatakan keinginan.
d. Penuh kasih sayang.
e. Menerapkan disiplin yang tidak keras.
f. Memberikan peluang untuk bersikap mandiri dalam berfikir, merasa dan berperilaku.
g. Saling menghargai atau menghormati (mutual respect) antar anggota keluarga.

C. Hubungan antara Psikologi Anak dan Keluarga


Membangun sebuah keluarga yang harmonis tidak hanya bermanfaat untuk
hubungan antara suami dan istri saja, tetapi juga baik untuk perkembangan psikologi anak.
Pertengkaran hingga perceraian yang dialami oleh suami istri akan membawa dampak
yang serius pada psikologi anak, terutama bagi anak-anak di bawah umur. Dalam beberapa
kasus, mungkin pertengkaran dan perceraian tidak memengaruhi kondisi psikologi anak-
anak secara drastis, namun tentu saja sebenarnya mereka tidak menginginkan orang tuanya
bertengkar atau bercerai.
Keluarga harmonis bukan hanya sebatas hubungan akrab antar sepasang suami dan
istri saja. Akan tetapi, hubungan antara anak dengan orang tua atau antar saudara juga
berpengaruh dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis. Bagaimana pengaruh
keluarga harmonis terhadap psikologi anak? Simak penjelasannya berikut ini :
1. Hubungan antara Keluarga Harmonis dengan Psikologi Anak
Keluarga adalah tempat pertama untuk membentuk kepribadian dan psikologi
anak. Hubungan keluarga yang harmonis dan quality time yang sering dilakukan
membuat anak menjadi lebih terbuka dan apa adanya. Sementara itu, hubungan antara
orang tua yang tidak harmonis dan tidak pernah menghabiskan waktu bersama anak-
anaknya membuat seorang anak menjadi tertutup dan enggan untuk berbagi hal apa
pun. Selain itu, untuk mewujudkan sebuah keluarga harmonis, sebaiknya orang tua
tidak terlalu menuntut anak untuk menjadi apa yang diinginkannya. Berikan
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang ia minati. Tugas setiap orang tua
adalah mengawasi dan mengarahkannya.

2. Dampak Keluarga yang Tidak Harmonis terhadap Psikologi Anak


Anak-anak tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarganya masing-
masing. Keluarga yang tidak harmonis dapat berdampak buruk terhadap psikologi
anak. Jika pertengkaran atau sikap saling cuek satu sama lain terjadi di dalam sebuah
keluarga, anak-anak bisa mencari kehangatan di luar keluarganya. Misalnya, ia bisa
mencari suasana tenang melalui teman-teman, komunitas, atau bahkan kekasihnya.
Bukan tidak mungkin bahwa hal ini bisa membawa anak ke dalam pergaulan bebas,
seperti penggunaan obat-obatan terlarang, berpesta semalam suntuk, atau bahkan seks
bebas. Hal ini dilakukan karena anak-anak ingin mencari ketenangan dan kebahagiaan
di luar keluarganya yang dianggap tidak harmonis.

3. Manfaat Keluarga Harmonis terhadap Psikologi Anak


Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, keluarga yang harmonis bisa
memengaruhi psikologi anak. Pasalnya, di dalam keluarga yang harmonis, anak-anak
akan merasa nyaman dan terbuka untuk berbagi segala hal. Apabila anak-anak
memiliki sifat yang terbuka, maka orang tua bisa memantau pergaulan dan aktivitas
anak secara tidak langsung melalui cerita-ceritanya. Selain itu, manfaat keluarga
harmonis terhadap psikologi anak adalah membuat anak tetap ceria. Mereka tidak
akan mencari kesenangan di luar keluarga, karena keluarga yang dimilikinya sudah
cukup membuat dirinya merasa aman, nyaman, dan tenang.

4. Cara Mewujudkan Keluarga Harmonis untuk Kebaikan Psikologi Anak


Di dalam sebuah rumah tangga, cekcok dan pertengkaran sangat mungkin terjadi.
Namun, yang terpenting adalah cara untuk menyelesaikan permasalahan yang menjadi
penyebab pertengkaran tersebut. Untuk mewujudkan keluarga harmonis, sebaiknya
bicarakan setiap masalah dengan kepala dingin. Saat suami istri berbicara dengan
kepala yang panas, tentu hasilnya tidak akan menjadi lebih baik. Jika anak-anak sudah
cukup umur untuk memahami masalah di antara orang tuanya, tak ada salahnya untuk
turut mengajak anak saat membahas masalah ini. Permasalahan yang diselesaikan
secara bersama tentu akan lebih baik.
Beberapa anak yang mengalami broken home mungkin tidak semuanya
terjerumus dalam pergaulan bebas. Bahkan, beberapa di antara anak korban broken
home dapat mencetak prestasi yang membanggakan. Akan tetapi, tak ada salahnya
bukan jika Anda mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis demi menjaga
perkembangan psikologi anak?
Anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, terutama pada usia kanak-
kanak hingga remaja, tengah disibukkan mencari jati dirinya. Psikologi anak yang
baik akan menuntun mereka dalam mencari jati diri yang tepat. Peran keluarga untuk
membentuk psikologi anak sangatlah penting. Oleh karena itu, wujudkan keluarga
yang harmonis untuk kehidupan psikologis anak yang lebih baik. Melakukan lebih
banyak quality time bersama keluarga adalah langkah awal untuk membangun
keluarga yang harmonis.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. “Hubungan Antara Psikologi Anak dan Keluarga”.


https://www.tehsariwangi.com/artikel/hubungan-antara-psikologi-anak-dan-
keluarga. Diakses pada 19 September 2019 pukul 20:13 WIB.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antroologi. Jakarta : PT Rineka Cipta
J. Narwoko, Dwi. 2007. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana
Prenada
Media Group.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grasindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai