Anda di halaman 1dari 6

DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

A. Konsepsi-konsepsi Khusus mengenai Pergeseran Masyarakat dan Kebudayaan


Semua konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis proses-proses pergeseran
masyarakat dan kebudayaan, termasuk lapangan penelitian ilmu antropologi dan sosiologi
yang disebut dinamika sosial (social dynamis). Di antara konsep-konsep yang terpenting ada
mengenai proses belakar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan, yaitu internalisasi
(internalization), sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation). Ada juga proses
perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan
yang sederhana, hingga bentuk-bentuk makin lama makin kompleks, yaitu evolusi
kebudayaan (cultural evolution). Kemudian ada proses penyebaran kebudayan secara
geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi
(diffusion). Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga
masyarakat, yaitu proses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akhirnya ada
proses pembaruan atau inovasi (innovation), yang berkaitan erat dengan penemuan baru
(discovery dan invention).
B. Proses Belajar Kebudayaan Sendiri
1. Proses Internalisasi
Proses Internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia
hampir meninggal. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan,
hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan
berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi dalam kepribadian individunya, tetapi
wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh
berbagai macam stimulasi yang berada dalam sekitaran alam dan lingkungan sosial maupun
budayanya. Perasaan pertama yang diaktifkan dalm kepribadian seorang bayi saat dilahirkan
adalah perasaan puas dan tidak puas. Lingkungan yang berbeda dengan kandungan ibu
memberi pengalaman tidak puas yang pertama kepada si individu baru itu. Baru setelah ia
dibungkus selimut dan diberi kesempatan untuk menyusu, maka rasa tidak puas itu hilang.
Kemudian setiap kali ia terkena pengaruh-pengaruh lingkungan yang menyebabkan rasa tidak
puas tadi ia akan menangis, tetapi setiap kali diberi selimut dan susu (yang mendatangkan

rasa puas tadi) ia merasa nyaman. Secara sadar si bayi telah belajar untuk tidak hanya
mengalami, tetapi juga mengetahui cara mendatangkan rasa puas, yaitu dengan menangis.
Tiap hari dalam hidupnya berlalu, bertambahlah pengalamannya mengenai bermacammacam perasaan baru, dan belajarlah ia merasakan kegembiraan, kebahagiaan, simpati, cinta,
benci, keamanan, harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu dan sebagainya. Selain
perasaan-perasaan

tersebut,

juga

berbagai

macam

hasrat

seperti

hasrat

untum

mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti, keindahan, dipelajarinya melalui


proses internalisasi menjadi bagian kepribadian individu.
2. Proses Sosialisasi
Proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayan dalam hubungan dengan
sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya
belajar pola-pola tindakan dalam interakssi dengan segala macam individu sekelilingnya yang
menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dapat mengerti cara menyelami dan mencoba mencapai pengertian tentang suatu
kebudayaan dengan belajar dari jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami oleh
sebagian individu dalam kebudayaan bersangkutan. Itulah sebabnya proses sosialisasi
merupakan suatu proses yang sudah sejak lama mendapat perhatian besar dari banyak ahli
antropologi sosial.
Sebagai ilustrasi dari suatu proses sosialisasi, berikut ini sebuah contoh dari pengalamanpengalaman seorang bayi Indonesia dalam suatu keluarga golongan pegawai tinggi di kota.
Dari permulaan hidupnya si bayi sudah harus menghadapi beberapa individu dalam
lingkungan masyarakat yang kecil, ialah ibunya, seorang bidan atau juru rawat yang
membantu ibunya semenjak ia lahir hingga ia berumur kira-kira seminggu, ibu dari ibunya
dan dari ayahnya. Dalam kontak dengan keempat orang tadi ia mengalami tingkah laku
mereka yang berdasarkan perhatian dan cinta. Kemudian ia juga belajar kebiasaannya yang
pertama, ialah makan dan tidur pada saat yang tetap. Tidak lama kemudian ia mendapat
perhatian dari kakak-kakak yang biasanya berjumlah banyak, dan dari beberapa saudara tua
lain yang menumpang pada orang tuanya, dan sering kali juga seorang wanita pembantu
rumah tangga yang mempunyai tugas khusus untuk memeliharanya. Dalam golongangolongan lain masyarakat Indonesia atau banyak masyarakat lain, tokoh wanita seperti yang
tersebut terakhir, biasanya tidak ada. Selama tumbuhnya pada tahun-tahun pertama, kedua
dan ketiga dari hidupnya, dengan susah payah dan disertai banyak konflik, seorang anak
harus menyesuaikan segala keinginan dirinya sendiri dengan tokoh-tokoh tadi. Hubungannya
dengan lingkungan sosialnya menjadi lebih intensif bila ia mengembangkan bahasanya

sehingga ia dapat menguraikan isi hatinya dengan lebih jelas dan dapat lebih mudah
menerima maksud dan pendirian individu-individu lain.
Selama masa kanak-kanak tersebut ia juga berkenalan dengan tokoh-tokoh lain, yakni
para paman dan bibinya, para tetangga serta kenalan-kenalan ayah-ibunya, dan karena rumah
di Indonesia sering kali mempunyai halaman yang luas, maka dengan bermain-main bersama
anak tetangganya di halaman ia mengalami suatu proses sosialisasi yang luas. Dalam hal itu
misalnya seorang anak belajar mengenai arti dari umur dalam berbagai macam peranan
sosial. Kakak-kakak dan teman-temannya yang lebih tua sering kali dimenangkan atau
mempunyai berbagai hak yang lebih banyak; sering kali juga ia dipaksa mengikuti kemauan
individu-individu lain sekitarnya yang lebih tua, dengan berbagai macam ancaman. Suatu
bentuk ancaman yang khas agar anak-anak menurut, caranya menakut-nakuti dengan
makhluk-makhluk yang mengerikan, seperti momok, hantu dan sebagainya. Cara memaksa
supaya seorang anak menurut seperti itu tidak terdapat misalnya dalam masyarakat di
Amerika, di mana paksaan terhadap anak-anak dilakukan dengan cara-cara lain.
Ketika seorang anak mulai sekolah, ia mulai belajar mengenai perbedaan antara jenis
kelamin pria dan wanita. Menginjak usia remaja, hasrat birahinya mulai berkembang. Untuk
itu ia harus belajar menyesuaikan diri dengan segala aturan kebudayaan, adat-istiadat yang
ada di masyarakat. Demikian pula aturan-aturan itu dapat kita teliti dan analisis pengaruhnya
pada para individu, dan untuk selanjutnya dapat kita ikuti dengan teliti segala situsi sekitar
individu-individu lain dalam lingkungan sosialnya, serta unsur-unsur kebudayan yang lazim
mempengaruhi diri orang Indonesia dalam golongan pegawai yang hidup dalam masyarakat
kota.
Proses sosialisasi dalam golongan-golongan sosial yang lain (dalam lingkungan sosial
dari berbagai suku bangsa di Indonesia atau dalam lingkungan sosial bangsa-bangsa lain di
dunia) dapat menunjukkan proses sosialisasi yang sangat berbeda. Tokoh ayah dalam
keluarga kaum buruh di Amerika misalnya tidak begitu penting dalam proses sosialisasi
pertama dari bayi, karena ayah sudah berangkat ke pabrik pagi-pagi sebelum si bayi bangun,
sedangkan siang hari ia tidak pulang untuk makan, dan baru kembali pada malam hari saat
bayi sudah akan tidur. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu bayi mengalami pengaruh
kehadiran ayahnya.
Demikianlah para individu dalam masyarakat yang berbeda akan mengalami proses
sosialisasi yang berbeda pula karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan
kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan.
Kalau sekarang keadaan kita balik; dengan mengikuti secara teliti proses sosialisasi yang
lazim dialami oleh para individu dalam suatu masyarakat, mungkin kita menemukan salah
3

satu metode lagi yang akan memberikan kepada kita suatu pengertian yang luas tentang
gejala dan masalah yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.
Memang sejak beberapa lama, beberapa orang sarjana ilmu antropologi budaya telah
mencoba metode penelitian tersebut. Selama melakukan field work mereka antara lain
mengumpulkan bahan mengenai, misalnya:
1) adat-istiadat pengasuhan anak,
2) tingkah laku seks yang lazim dilakukan dalam suatu masyarakat,
3) riwayat hidup secara detail dari beberapa individu dalam suatu masyarakat.
Pengumpulan bahan mengenai adat-istiadat pengasuhan anak, atau secara teknis disebut child
training practices, sekarang sudah banyak dilakukan oleh para sarjana ilmu antropologi.
Adat-istiadat pengasuhan anak itu antara lain: cara memandikan dan membersihkan bayi, cara
mempelajari disiplin buang air, cara melatih disiplin makan, adat-istiadat penyapihan, cara
menggendong bayi dan anak-anak, cara mendisiplin anak dan sebagainya.
3. Proses Enkulturasi
Istilah yang sesuai untuk kata enkulturasi adalah pembudayaan (dalam bahasa
Inggris digunakan istilah institutionalization).1 Proses enkulturasi adalah proses seorang
individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem
norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat;
mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya, kemudian dari temantemannya bermain. Sering kali ia belajar dengan meniru berbagai macam tindakan. Dengan
berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi sautu pola yang mantap, dan norma yang
mengatur tindakannya dibudayakan. Caranya dengan mendengar berbagai orang dalam
lingkungan

pergaulannya

pada

saat-saat

yang

berbeda-beda,

menyinggung

atau

membicarakan norma tadi. Sudah tentu ada norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja
tidak hanya dalam lingkungan keluarga dan di luar keluarga, tetapi juga secara formal di
sekolah. Di samping aturan-aturan masyarakat dan negara yang diajarkan di sekokah melalui
berbagai mata pelajaran seperti tata negara, ilmu kewarganegaraan dan sebagainya, juga
aturan sopan-santun bergaul dan lain-lainnya dapat diajarkan secara formal.
Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai
hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasinya, yang menyebabkan
1 Dalam bahasa Indonesia sekarang istilah institutionalization sering diterjemahkan dengan
pelembagaan. Hal itu salah, karena lembaga adalah istilah Indonesia untuk institute, dan bukan
untuk institution, yang mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk institution
adalah pranata.
4

bahwa hasilnya kurang baik. Individu itu tidak dapat menyesuaikan kepribadiannya dengan
lingkungan sosial sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk
senantiasa menghindari norma-norma dan aturan-aturan masyarakatnya. Hidupnya penuh
peristiwa konflik dengan orang lain. Individu-individu serupa disebut deviants.
C. Proses Evolusi Sosial
1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisis oleh seorang
peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga dipandang seolaholah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tampak besar saja
(macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya yang dianalisis secara detail akan membuka
mata peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika
kehidupan sehari-hari tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini disebut dalam ilmu
antropologi proses-proses berulang (recurrent processes). Proses-proses evolusi sosial
budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan menampakkan kepada peneliti
perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini
disebut dalam ilmu antropologi, proses-proses menentukan arah (directional processes).2
2. Proses-proses Berulang dalam Evolusi Sosial Budaya
Perhatian terhadap proses-proses berulang dalam evolusi sosial-budaya, sebenarnya
timbul bersama dengan perhatian ilmu antropologi terhadap faktor individu dalam
masyarakat, yaitu sejak masa sekitar 1920. Sikap, perasaan, dan tingkah laku khusus para
individu dalam masyarakat tadi yang mungkin bertentangan dengan adat istiadat yang lazi,
diabaikan saja atau tidak mendapat perhatian layak. Memang, sikap individu yang hidup
dalam banyak masyarakat terutama adalah mengingat keperluan diri-sendiri; dengan
demikian ia sedapat mungkin akan mencoba menghindari adat atau aturan bila tidak cocok
dengan keperluan pribadinya. Ini terpaksa kita akui dan dapat dilihat di sekitar kita sendiri
atau dalam kehidupan masyarakat kita sendiri. Di seluruh dunia tidak ada suatu masyarakat
yang semua warganya seratus persen taat kepada adat untuk selamanya. Kita mengerti bahwa
justru keadaan-keadaan yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya, karena
penyimpangan demikian merupakan pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan
masyarakat pada umumnya.
2 Hal yang terurai di atas diambil dari karangan E.Z. Vogt, On the Concept of Structure and Process
in Cultural Anthropology, American Anthropologist, LXII, 1960: hlm. 18-33. Istilah directional yang
berarti yang memberi arah.
5

Sudah tentu masyarakat pada umumnya tidak membiarkan saja penyimpanganpenyimpangan dari para warganya itu, dan itulah sebabnya dalam tiap masyarakat ada alatalat pengendalian masyarakat yang bertugas untuk mengurangi penyimpangan tadi. Masalah
ketegangan antara keperluan individu dan masyarakat selalu akan ada dalam tiap masyarakat,
dan walaupun ada kemungkinan bahwa ada suatu masyarakat yang tenang untuk suatu jangka
waktu tertentu, tetapi pada suatu saat, tentu, ada juga berbagai individu yang membangkang,
dan ketegangan-ketegangan masyarakat akan menjadi recurrent lagi. Akhirnya, kalau
penyimpangan-penyimpangan tadi pada suatu ketika menjadi demikian recurrent sehingga
masyarakat tidak dapat mempertahankan adatnya lagi, maka masyarakat terpaksa memberi
konsekuensinya, dan adat serta aturan diubah sesuai dengan desakan keperluan-keperluan
baru dari individu dalam masyarakat.
Faktor ketegangan antara adat-istiadat dari suatu masyarakat dengan keperluan para
individu di dalamnya itu menyebabkan perlu adanya dua konsep yang harus dibedakan
dengan tajam oleh para peneliti masyarakat, terutama para ahli antropologi dan sosiologi.
Konsep antara dua wujud dari tiap kebudayaan, yaitu: (i) kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari konsep norma-norma, pandangan-pandangan dan sebagainya, yang abstrak (yaitu sistem
budaya) dan (ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret di mana
individu saling berinteraksi (yaitu sistem sosial). Kedua sistem tersebut sering ada dalam
keadaan konflik satu dengan lain, dan suatu pengertian mengenai konflik antara kedua sistem
yang ada dalam tiap masyarakat itu menjadi pangkal untuk mencapai pengertian mengenai
dinamika masyarakat pada umumnya.
3. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Perubahan-perubahan besar dalam abad ke-19 telah menjadi perhatian utama para sarjana
ilmu antropologi budaya dalam arti umum. Pada masa sekarang, gejala ini menjadi perhatian
khusus dari subilmu dalam antropologi, yaitu ilmu prehistori. Ilmu ini mempelajari sejarah
perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang dan juga oleh para
sarjana ilmu sejarah yang mencoba merekonstruksi kembali sejarah perkembangan seluruh
umat manusia dan harus juga bekerja dengan jangka waktu yang panjang.

Anda mungkin juga menyukai