rasa puas tadi) ia merasa nyaman. Secara sadar si bayi telah belajar untuk tidak hanya
mengalami, tetapi juga mengetahui cara mendatangkan rasa puas, yaitu dengan menangis.
Tiap hari dalam hidupnya berlalu, bertambahlah pengalamannya mengenai bermacammacam perasaan baru, dan belajarlah ia merasakan kegembiraan, kebahagiaan, simpati, cinta,
benci, keamanan, harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu dan sebagainya. Selain
perasaan-perasaan
tersebut,
juga
berbagai
macam
hasrat
seperti
hasrat
untum
sehingga ia dapat menguraikan isi hatinya dengan lebih jelas dan dapat lebih mudah
menerima maksud dan pendirian individu-individu lain.
Selama masa kanak-kanak tersebut ia juga berkenalan dengan tokoh-tokoh lain, yakni
para paman dan bibinya, para tetangga serta kenalan-kenalan ayah-ibunya, dan karena rumah
di Indonesia sering kali mempunyai halaman yang luas, maka dengan bermain-main bersama
anak tetangganya di halaman ia mengalami suatu proses sosialisasi yang luas. Dalam hal itu
misalnya seorang anak belajar mengenai arti dari umur dalam berbagai macam peranan
sosial. Kakak-kakak dan teman-temannya yang lebih tua sering kali dimenangkan atau
mempunyai berbagai hak yang lebih banyak; sering kali juga ia dipaksa mengikuti kemauan
individu-individu lain sekitarnya yang lebih tua, dengan berbagai macam ancaman. Suatu
bentuk ancaman yang khas agar anak-anak menurut, caranya menakut-nakuti dengan
makhluk-makhluk yang mengerikan, seperti momok, hantu dan sebagainya. Cara memaksa
supaya seorang anak menurut seperti itu tidak terdapat misalnya dalam masyarakat di
Amerika, di mana paksaan terhadap anak-anak dilakukan dengan cara-cara lain.
Ketika seorang anak mulai sekolah, ia mulai belajar mengenai perbedaan antara jenis
kelamin pria dan wanita. Menginjak usia remaja, hasrat birahinya mulai berkembang. Untuk
itu ia harus belajar menyesuaikan diri dengan segala aturan kebudayaan, adat-istiadat yang
ada di masyarakat. Demikian pula aturan-aturan itu dapat kita teliti dan analisis pengaruhnya
pada para individu, dan untuk selanjutnya dapat kita ikuti dengan teliti segala situsi sekitar
individu-individu lain dalam lingkungan sosialnya, serta unsur-unsur kebudayan yang lazim
mempengaruhi diri orang Indonesia dalam golongan pegawai yang hidup dalam masyarakat
kota.
Proses sosialisasi dalam golongan-golongan sosial yang lain (dalam lingkungan sosial
dari berbagai suku bangsa di Indonesia atau dalam lingkungan sosial bangsa-bangsa lain di
dunia) dapat menunjukkan proses sosialisasi yang sangat berbeda. Tokoh ayah dalam
keluarga kaum buruh di Amerika misalnya tidak begitu penting dalam proses sosialisasi
pertama dari bayi, karena ayah sudah berangkat ke pabrik pagi-pagi sebelum si bayi bangun,
sedangkan siang hari ia tidak pulang untuk makan, dan baru kembali pada malam hari saat
bayi sudah akan tidur. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu bayi mengalami pengaruh
kehadiran ayahnya.
Demikianlah para individu dalam masyarakat yang berbeda akan mengalami proses
sosialisasi yang berbeda pula karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan
kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan.
Kalau sekarang keadaan kita balik; dengan mengikuti secara teliti proses sosialisasi yang
lazim dialami oleh para individu dalam suatu masyarakat, mungkin kita menemukan salah
3
satu metode lagi yang akan memberikan kepada kita suatu pengertian yang luas tentang
gejala dan masalah yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.
Memang sejak beberapa lama, beberapa orang sarjana ilmu antropologi budaya telah
mencoba metode penelitian tersebut. Selama melakukan field work mereka antara lain
mengumpulkan bahan mengenai, misalnya:
1) adat-istiadat pengasuhan anak,
2) tingkah laku seks yang lazim dilakukan dalam suatu masyarakat,
3) riwayat hidup secara detail dari beberapa individu dalam suatu masyarakat.
Pengumpulan bahan mengenai adat-istiadat pengasuhan anak, atau secara teknis disebut child
training practices, sekarang sudah banyak dilakukan oleh para sarjana ilmu antropologi.
Adat-istiadat pengasuhan anak itu antara lain: cara memandikan dan membersihkan bayi, cara
mempelajari disiplin buang air, cara melatih disiplin makan, adat-istiadat penyapihan, cara
menggendong bayi dan anak-anak, cara mendisiplin anak dan sebagainya.
3. Proses Enkulturasi
Istilah yang sesuai untuk kata enkulturasi adalah pembudayaan (dalam bahasa
Inggris digunakan istilah institutionalization).1 Proses enkulturasi adalah proses seorang
individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem
norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat;
mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya, kemudian dari temantemannya bermain. Sering kali ia belajar dengan meniru berbagai macam tindakan. Dengan
berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi sautu pola yang mantap, dan norma yang
mengatur tindakannya dibudayakan. Caranya dengan mendengar berbagai orang dalam
lingkungan
pergaulannya
pada
saat-saat
yang
berbeda-beda,
menyinggung
atau
membicarakan norma tadi. Sudah tentu ada norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja
tidak hanya dalam lingkungan keluarga dan di luar keluarga, tetapi juga secara formal di
sekolah. Di samping aturan-aturan masyarakat dan negara yang diajarkan di sekokah melalui
berbagai mata pelajaran seperti tata negara, ilmu kewarganegaraan dan sebagainya, juga
aturan sopan-santun bergaul dan lain-lainnya dapat diajarkan secara formal.
Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai
hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasinya, yang menyebabkan
1 Dalam bahasa Indonesia sekarang istilah institutionalization sering diterjemahkan dengan
pelembagaan. Hal itu salah, karena lembaga adalah istilah Indonesia untuk institute, dan bukan
untuk institution, yang mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk institution
adalah pranata.
4
bahwa hasilnya kurang baik. Individu itu tidak dapat menyesuaikan kepribadiannya dengan
lingkungan sosial sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk
senantiasa menghindari norma-norma dan aturan-aturan masyarakatnya. Hidupnya penuh
peristiwa konflik dengan orang lain. Individu-individu serupa disebut deviants.
C. Proses Evolusi Sosial
1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisis oleh seorang
peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga dipandang seolaholah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tampak besar saja
(macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya yang dianalisis secara detail akan membuka
mata peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika
kehidupan sehari-hari tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini disebut dalam ilmu
antropologi proses-proses berulang (recurrent processes). Proses-proses evolusi sosial
budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan menampakkan kepada peneliti
perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini
disebut dalam ilmu antropologi, proses-proses menentukan arah (directional processes).2
2. Proses-proses Berulang dalam Evolusi Sosial Budaya
Perhatian terhadap proses-proses berulang dalam evolusi sosial-budaya, sebenarnya
timbul bersama dengan perhatian ilmu antropologi terhadap faktor individu dalam
masyarakat, yaitu sejak masa sekitar 1920. Sikap, perasaan, dan tingkah laku khusus para
individu dalam masyarakat tadi yang mungkin bertentangan dengan adat istiadat yang lazi,
diabaikan saja atau tidak mendapat perhatian layak. Memang, sikap individu yang hidup
dalam banyak masyarakat terutama adalah mengingat keperluan diri-sendiri; dengan
demikian ia sedapat mungkin akan mencoba menghindari adat atau aturan bila tidak cocok
dengan keperluan pribadinya. Ini terpaksa kita akui dan dapat dilihat di sekitar kita sendiri
atau dalam kehidupan masyarakat kita sendiri. Di seluruh dunia tidak ada suatu masyarakat
yang semua warganya seratus persen taat kepada adat untuk selamanya. Kita mengerti bahwa
justru keadaan-keadaan yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya, karena
penyimpangan demikian merupakan pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan
masyarakat pada umumnya.
2 Hal yang terurai di atas diambil dari karangan E.Z. Vogt, On the Concept of Structure and Process
in Cultural Anthropology, American Anthropologist, LXII, 1960: hlm. 18-33. Istilah directional yang
berarti yang memberi arah.
5
Sudah tentu masyarakat pada umumnya tidak membiarkan saja penyimpanganpenyimpangan dari para warganya itu, dan itulah sebabnya dalam tiap masyarakat ada alatalat pengendalian masyarakat yang bertugas untuk mengurangi penyimpangan tadi. Masalah
ketegangan antara keperluan individu dan masyarakat selalu akan ada dalam tiap masyarakat,
dan walaupun ada kemungkinan bahwa ada suatu masyarakat yang tenang untuk suatu jangka
waktu tertentu, tetapi pada suatu saat, tentu, ada juga berbagai individu yang membangkang,
dan ketegangan-ketegangan masyarakat akan menjadi recurrent lagi. Akhirnya, kalau
penyimpangan-penyimpangan tadi pada suatu ketika menjadi demikian recurrent sehingga
masyarakat tidak dapat mempertahankan adatnya lagi, maka masyarakat terpaksa memberi
konsekuensinya, dan adat serta aturan diubah sesuai dengan desakan keperluan-keperluan
baru dari individu dalam masyarakat.
Faktor ketegangan antara adat-istiadat dari suatu masyarakat dengan keperluan para
individu di dalamnya itu menyebabkan perlu adanya dua konsep yang harus dibedakan
dengan tajam oleh para peneliti masyarakat, terutama para ahli antropologi dan sosiologi.
Konsep antara dua wujud dari tiap kebudayaan, yaitu: (i) kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari konsep norma-norma, pandangan-pandangan dan sebagainya, yang abstrak (yaitu sistem
budaya) dan (ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret di mana
individu saling berinteraksi (yaitu sistem sosial). Kedua sistem tersebut sering ada dalam
keadaan konflik satu dengan lain, dan suatu pengertian mengenai konflik antara kedua sistem
yang ada dalam tiap masyarakat itu menjadi pangkal untuk mencapai pengertian mengenai
dinamika masyarakat pada umumnya.
3. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan
Perubahan-perubahan besar dalam abad ke-19 telah menjadi perhatian utama para sarjana
ilmu antropologi budaya dalam arti umum. Pada masa sekarang, gejala ini menjadi perhatian
khusus dari subilmu dalam antropologi, yaitu ilmu prehistori. Ilmu ini mempelajari sejarah
perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang dan juga oleh para
sarjana ilmu sejarah yang mencoba merekonstruksi kembali sejarah perkembangan seluruh
umat manusia dan harus juga bekerja dengan jangka waktu yang panjang.