Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN OPERASI DAN RANTAI NILAI

“diajukan sebagai pemenuhan tugas dasar-dasar manajemen”

Disusun Oleh:
Maya Noravika 11160920000154

Dosen Pengampuh:
Rizki Adi Puspita Sari, SP., MM
 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Prodi Agribisnis
2017 
Kata Pengantar

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “MANAJEMEN OPERASI DAN RANTAI NILAI”. Makalah
ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Dasar-dasar Manajemen.

Dalam makalah ini kami sebagai penulis ingin membahas masalah “Manajemen Operasi dan
Rantai Nilai”. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
menejamen operasi dan rantai nilai serta aplikasinya pada suatu perusahaan atau organisasi.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita. Amin.

Jakarta, Juni 2017

Penyusun

iii 
 
Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................................................ii

Daftar Isi ...............................................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................1

1.3 Tujuan ..............................................................................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN ...................................................................................................................2

2.1 Pengertian Manajemen Operasi .......................................................................................2

2.3 Tugas Manajer Operasi ....................................................................................................3

2.3 Pengertian Manajemen rantai nilai ..................................................................................4

2.4 Strategi Meningkatkan Efektivitas Manajemen Rantai Nilai ..........................................7

2.5 Penerapan Rantai Nilai Agribisnis Labu di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang .8

BAB III

PENUTUP .............................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................11

Daftar Pustaka .....................................................................................................................12

Lampiran

iii 
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produksi dan operasi dalam suatu perusahaan atau organisasi merupakan kegiatan
yang sangat penting, karena keberhasilan dan kegagalan suatu perusahaan atau organisasi
terdapat pada produksi dan operasinya. Perusahaan dapat terus berjalan jika terdapat dapat
terus melakukan produksi dan operasi. Sementara kegiatan produksi dan operasi itu sendiri
adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan atau menciptakan barang dan jasa
yang dapat ditawarkan perusahaan kepada konsumen.
Kegiatan ini pada sebagian besar perusahaan atau organisas, menjadi kegiatan yang
paling banyak melibatkan karyawan dan mencakup jumlah yang besar dan merupakan asset
sebuah perusahaan. Oleh karena itu, kegiatan produksi dan operasi menjadi salah satu
fungsi utama dalam perusahaan. Melalui kegiatan produksidan operasi segala sumber daya
masukan (input) perusahaan diintegrasikan untuk menghasilkan keluaran (output) yang
menghasilkan nilai tambah untuk perusahaan dan organisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Manajemen Operasi?
2. Mengapa manajemen rantai nilai itu penting bagi suatu perusahaan?
3. Bagaimana cara meningkatkan keefektivan rantai nilai?
4. Bagaimana analisis rantai nilai pada agribisnis labu?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui arti dari manajemen operasi
2. Untuk mengetahui pentingnya manajemen rantai nilai bagi suatu perusahaan
3. Untuk mengetahui cara meningkatkan keefektivan rantai nilai
4. Untuk mengetahui analisis rantai nilai pada agribisnis labu


 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manajemen Operasi

Produksi atau operasi merupakan penciptaan produk dan jasa. Manajemen


operasi merupakan kegiatan menciptakan produk dan jasa melalui proses transformasi
input menjadi output (Heizer & Render, 2008). Kegiatan menciptakan produk dan jasa
tersebut dilakukan di dalam organisasi. Manajemen operasi juga dapat didefinisikan
sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi desain, operasi, dan perbaikan sistem yang
menciptakan dan menyampaikan produk dan jasa atau pelayanan (Chase et al., 2006).
Pada perusahaan manufaktur, kegiatan produksi yang menciptakan produk biasanya
cukup nyata. Hal ini dapat dilihat dari produk yang dihasilkannya. Sementara itu, dalam
perusahaan yang tidak menciptakan produk yang secara fisik nampak, kegiatan
produksi dirasakan tidak tepat lagi. Hal ini tidak nampak oleh masyarakat maupun
pelanggan, seperti proses transformasi yang terjadi di bank, rumah sakit, maupun
lembaga pendidikan. Ketika jasa atau pelayanan dilakukan, tidak ada produk yang
dihasilkan. Yang dapat dilihat adalah adanya keramahan pemberi jasa dan kenyamanan
fasilitas pemeriksaan/perawatan, adanya transfer dana, adanya pemeriksaan kesehatan
kepada pasien, atau pendidikan bagi para siswa. Namun demikian, apapun hasil akhir
yang diciptakan, baik barang maupun jasa, kegiatan produksi yang berlangsung dalam
organisasi ditunjukkan sebagai kegiatan operasi.
Seperti halnya pemasaran dan keuangan, kegiatan operasi merupakan bidang
usaha fungsional dengan tanggung jawab yang jelas yang ada pada manajemen lini.
Pengertian manajemen operasi sendiri sering kali kacau dengan pengertian penelitian
operasi (operation reseach), sains manajemen (management science), dan perancangan
industrial (industrial engineering). Perbedaan penting di antara istilah-istilah tersebut
adalah, manajemen operasi merupakan bidang manajemen. Penelitian operasi dan sains
manajemen merupakan penerapan metode kuantitatif dalam pengambilan keputusan
pada semua bidang. Sedangkan perancangan industrial merupakan disiplin dalam
perancangan. Manajer operasi menggunakan alat-alat dalam penelitian operasi, sains


 
manajemen, dan perancangan industrial dalam membantu pengambilan keputusan.

Manajemen operasi juga berkaitan dengan pengelolaan semua proses individu


seefektif mungkin. Dalam fungsi operasi, keputusan manajemen dapat dibagi ke dalam
keputusan strategik (jangka panjang), keputusan taktik (jangka menengah), dan
keputusan perencanaan dan pengendalian operasi (jangka pendek). Keputusan
manajemen operasi pada level strategik mempengaruhi keefektifan perusahaan atau
organisasi jangka panjang. Keputusan ini harus seiring dengan strategi korporasi.
Keputusan yang dibuat pada level strategik merupakan kondisi yang tetap atau
merupakan patokan dalam melaksanakan kegiatan operasi jangka menengah dan jangka
pendek. Perencanaan jangka menengah meliputi penjadwalan material dan tenaga kerja
untuk mencapai sasaran jangka panjang. Sedangkan perencanaan dan pengendalian
operasi jangka pendek mencakup rencana kerja harian atau mingguan, prioritas
penyelesaian pekerjaan, dan siapa yang melaksanakan kegiatan operasi tersebut.
Selanjutnya, operasi sering kali didefinisikan sebagai proses transformasi.
Dalam manajemen operasi dilakukan proses transformasi yang mengubah input
menjadi output. Input dapat meliputi bahan baku, pelanggan, atau produk yang berasal
dari sistem lain. Proses transformasi dapat dikategorikan sebagai fisikal (dalam
perusahaan manufaktur), lokasi (seperti perusahaan transportasi), pertukaran (seperti
pada usaha retail), penyimpanan (seperti penggudangan), fisiologikal (seperti dalam
perawatan kesehatan), dan informasional (seperti dalam perusahaan telekomunikasi).
Peran operasi adalah menciptakan nilai.
2.2 Tugas Manajer Operasi
Manajer operasi mempunyai kedudukan sama dengan manajer fungsional lain
seperti manajer keuangan, pemasaran, dan sumber daya manusia yang melaksanakan
fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengoordinasian,
memimpin, dan pengendalian. Manajer operasi menerapkan fungsi manajemen dalam
proses pembuatan keputusan. Menurut Heizer dan Render (2008), beberapa keputusan
yang diambil oleh manajer operasi antara lain:
 Desain produk dan jasa atau pelayanan, yang meliputi produk atau jasa apa
sajakah yang ditawarkan dan bagaimana mendesain produk dan jasa atau
pelayanan tersebut.


 
 Manajemen kualitas, yang meliputi siapa yang bertanggung jawab terhadap
kualitas produk atau jasa dan bagaimana perusahaan mendefinisikan kualitas
produk dan jasa atau pelayanan tersebut.
 Desain proses dan kapasitas, yang meliputi proses apa yang dibutuhkan untuk
membuat produk tersebut serta peralatan dan teknologi apa sajakah yang
dibutuhkan untuk melaksanakan proses tersebut.
 Lokasi, yang meliputi di manakah lokasi yang tepat untuk melaksanakan kegiatan
operasi dan kriteria apakah yang digunakan sebagai dasar dalam mengambil
keputusan lokasi perusahaan.
 Desain tata letak (layout), yang meliputi bagaimana mengatur fasilitas- fasilitas
untuk memudahkan kegiatan operasi dan mencapai tujuan.
 Sumber daya manusia dan desain pekerjaan, yang meliputi bagaimana
menyediakan lingkungan kerja yang baik dan berapa banyak output yang
diharapkan dapat dihasilkan karyawan.
 Manajemen rantai nilai, yang meliputi keputusan membuat sendiri atau membeli
bahan baku yang dibutuhkan, menentukan siapakah pemasok perusahaan, dan
menentukan pemasok yang mau berintegrasi dalam perusahaan.
 Persediaan, perencanaan kebutuhan bahan, dan just in time, yang meliputi
berapakah persediaan yang harus ada dan kapan harus melakukan pemesanan.
 Penjadwalan proyek dan kegiatan jangka menengah dan jangka pendek, yang
meliputi keputusan melakukan subkontrak atau kerja lembur, atau apakah
perusahaan lebih baik menyediakan tenaga kerja lebih banyak walaupun
permintaan menurun.
 Pemeliharaan atau perawatan, yang meliputi siapakah yang bertanggung jawab
dalam pemeliharaan dan perawatan mesin dan peralatan perusahaan.

2.3 Pengertian Manajemen Rantai Nilai


Nilai bisa didefinisikan sebagai seperangkat atribut, fitur, manfaat, dan aspek
produk atau jasa lainnya saat konsumen bersedia untuk menukarkan sumber daya untuk
memperolehnya. Sebagai contoh, mobil atau motor memberikan nilai (manfaat) yaitu
sebagai alat transportasi. Konsumen memandang nilai tersebut diperlukan. Karena itu,


 
konsumen bersedia membeli (menukarkan sumber dayanya, yaitu uang) mobil tersebut.
Nilai diciptakan dengan mengubah input melalui proses transformasi tertentu menjadi
output, seperti produk atau jasa yang memberi manfaat tertentu. Proses atau kegiatan
yang bertujuan menghasilkan produk atau jasa yang memberikan nilai tertentu tersebut
dinamakan sebagai rantai nilai. Dengan demikian, rantai nilai bisa didefinisikan sebagai
seluruh kegiatan organisasi yang diperlukan untuk menghasilkan nilai yang diinginkan
oleh konsumen. Kegiatan tersebut memiliki cakupan yang sangat luas, mulai dari
aktivitas pemasok perusahaan, aktivitas didalam perusahaan dan aktivitas jalur
distribusi yang mengantarkan produk atau jasa perusahaan ke konsumen akhir. Setiap
langkah atau aktivitas diharapkan menghasilkan nilai yang pada akhirnya berujung pada
nilai yang ditawarkan kepada konsumen.
Manajemen rantai nilai bisa didefiniskan sebagai suatu proses untuk mengelola
aktivitas-aktivitas disepanjang rantai nilai yang akan ditawarkan kepada konsumen.
Manajemen rantai nilai lebih luas dibandingkan dengan manajemen rantai pasokan.
Manajemen rantai pasokan berorientasi internal, yaitu mengefisienkan aliran bahan
baku ke perusahaan. Manajemen rantai nilai berorientasi eksternal, yaitu bagaimana
mengefektifkan penciptaan nilai, yang dimulai dari aliran bahan baku ke perusahaan,
proses transformasi dalam perusahaan, dan mengalirkan produk atau jasa ke konsumen.
Manajemen rantai pasokan mempunyai tujuan efesien, sedangkan rantai nilai
mempunyai tujuan efektivitas.
a. Kegiatan Pendukung
1) Infrastruktur perusahaan
Mencakup prasarana yang digunakan perusahaan untuk menjalankan aktivitasnya.
Contoh infrastruktur perusahaan adalah bangunan atau gedung yang dijadikan
basis kegiatan, surat izin, atau akta pendirian perusahaan.
2) Manajemen sumber daya manusia
Kegiatan perusahaan dijalankan oleh sumber daya manusianya. Manajemen
sumber daya manusia mencakup aktivitas yang berkaitan dengan karyawan
perusahaan, seperti rekrutmen, pengembangan, dan pemberian kompensasi.
3) Pengembangan teknologi
Teknologi merupakan komponen penting dalam kegiatan perusahaan. Teknologi


 
bisa digunakan untuk mendukung kegiatan utama perusahaan. Seperti kegiatan
operasi, inbound dan outbound logistics, dan lainnya.
4) Procurement (Pengadaan)
Merupakan kegiatan pengadaan barang atau jasa yang diperlukan perusahaan.
Sebagai contoh, kegiatan operasi membeli pabrik baru untuk meningkatkan
efesiensi perusahaan.
b. Kegiatan Utama
1) Inbound logistics
Inbound logitics adalah serangkaian aktivitas yang dijalankan untuk
mendatangkan barang atau jasa dari pihak luar (seperti pemasok) ke perusahaan.
Contoh kegiatan tersebut adalah pemesanan bahan baku, penerimaan bahan baku
dan memasukkan bahan baku ke dalam gudang. Rangkaian tersebut bisa menjadi
semakin kompleks dengan berkembangnya jaringan pemasok perusahaan.
2) Operasi
Kegiatan operasi bertujuan mengubah input, melalui proses transformasi tertentu
menjadi output.
3) Outbound logistics
Outbound logistics adalah kebalikan dari inbound logistics. Outbound logitsics
adalah serangkaian kegiatan untuk memindahkan barang atau jasa dari perusahaan
ke pihak luar perusahaan. Sebagai contoh, setelah pabrik mobil selesai
memproduksi mobil, mobil tersebut perlu dikirimkan ke pihak daeler mobil.
Daeler mobil berhubungan dengan konsumen akhir.
4) Pemasaran dan penjualan
Pemasaran dan penjuanlan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk konsumen
agar konsumen bersedia melakukan “pertukaran” produk atau jasa perusahaan.
5) Pelayanan
Pelayanan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan dan menjaga
nilai produk, seperti jasa pemasangan dan instalasi mesin, konsultasi
pengoperasian dan perawatan mesin, serta pelayanan setelah mesin dibeli.
Kegiatan pendukung dan utama tersebut ditujukan untuk menciptakan nilai, yaitu
manfaat yang dihargai oleh konsumen. Dari sudut pandang konsumen, jika nilai yang


 
ditawarkan sepadan dengan harganya, konsumen bersedia membeli. Dari sudut pandang
perusahaan, jika harga yang dibayarkan konsumen diatas biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan untuk memproduksi manfaat (atau produk) tersebut, perusahaan bisa
menghasilkan nilai tambah. Selisih antara harga jual dan biaya yang dikeluarkan disebut
sebagai margin.
2.4 Strategi Meningkatkan Efektivitas Manajemen Rantai Nilai
Manajemen rantai nilai bisa ditingkatkan efektivitasnya melalui beberapa hal
dari sisi individu dan organisasi. Pada dasarnya, manajemen rantai nilai bisa
ditingkatkan efektivitasnya dengan pola kerja yang mendorong koordinasi dan
kolaborasi. Untuk mendorong koordinasi dan kolaborasi, diperlukan sikap dan perilaku
yang terbuka, bersedia berbagi informasi dan sumber daya lain. Untuk mendorong
perilaku tersebut, diperlukan dukungan organisasi seperti dukungan dari manajemen
puncak, sistem kompensasi yang mendukung, serta teknologi yang bisa mendorong
budaya dan perilaku berbagi.
a. Persepektif Individu
Untuk mendorong budaya koordinasi dan kolaborasi, diperlukan individu yang
bersedia melakukan koordinasi, kolaborasi, serta berbagi informasi dan sumber
daya. Adaptasi dan fleksibilitas diharapkan bisa meningkatkan lagi kemampuan
koordinasi dan kolaborasi.
b. Perspektif Organisasi
Organisasi harus membentuk perilaku koordinasi, kolaborasi, dan berbagi serta juga
selalu mendorong budaya produktivitas, yaitu meningkatkan efesiensi dan
efektivitas kerja dalam organisasi.
c. Hambatan
Ada beberapa hambatan yang bisa menghalangi pencapaian efektivitas manajemen
rantai nilai. Beberapa individu mungkin mempunyai keengganan untuk melakukan
koordinasi dan berbagi karena beberapa alasan, misalnya perbedaan budaya dan
perbedaan bahasa.


 
2.5 Penerapan Rantai Nilai Agribisnis Labu di Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang
1. Peta Rantai Nilai Agribisnis Labu
Peta Rantai Nilai Agribisnis Labu pada Gambar 1 menggambarkan distribusi
Labu dari produksi hingga konsumen akhir melewati tahapan dan proses yang
berbeda. Peta Rantai Nilai terdiri dari 3 bagian yaitu Fungsi Utama Rantai Nilai,
Pelaku dalam Rantai Nilai dan Lembaga-lembaga terkait yang menunjang
keberlangsungan Rantai Nilai Agribisnis Labu. Fungsi Utama Rantai Nilai yaitu
dari proses produksi, pengumpulan, perdagangan, pengolahan, perdagangan dan
ritel. Pelaku atau aktor Rantai Nilai yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam
Agribisnis Labu seperti petani, tengkulak, pengumpul, pedagang besar, ritel
atau pedagang kecil Labu. Lembaga penunjang yaitu lembaga baik formal
maupun informal yang membantu dan memfasilitasi pelaku atau aktor dalam
melaksanakan fungsi mereka dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu.
Gambar 1
Rantai Nilai Agribisnis Labu

Sumber: Data primer diolah, 2013


 
Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu terdapat beberapa pelaku mulai dari level
petani hingga ke pedagang eceran. Berikut fungsi dan pelaku dalam Rantai Nilai
Agribisnis Labu:
a. Petani
Petani labu di Kecamatan Getasan umumnya menanam labu hanya sebagai
tanaman “sampingan” hal tersebut dikarenakan nilai ekonomis Labu masih rendah
sehingga petani masih enggan memproduksi Labu lebih serius. Selama ini hasil
pertanian Labu yang sudah dipanen diambil oleh para pedagang. Pedagang tingkat
eceran yang langsung mengambil dari petani dan juga pedagang tengkulak yang
mengambil dari petani dengan tingkat harga yang relatif rendah. Petani tidak
dapat berbuat banyak dengan harga beli Labu yang rendah oleh tengkulak
karena pada kasus tertentu terdapat suatu perjanjian non-formal antara petani dan
tengkulak terkait hutang-piutang. Sehingga, daya tawar petani dalam kasus
tersebut rendah.
Banyak petani Labu yang memiliki prinsip meskipun hasil secara ekonomi
pertanian Labu sangatlah rendah dan tidak dapat memberikan peningkatan
kesejahteraan akan tetapi pertanian Labu masih mereka geluti karena terdapat
unsur budaya turun-temurun dari leluhur mereka. Petani Labu menganggap
bahwa penanaman Labu tergolong mudah, sederhana dan tidak terlalu
mengeluarkan banyak biaya perawatan. Kelemahan petani Labu di Kecamatan
Getasan yaitu para petani masih belum tergerak untuk mengolah Labu menjadi
produk-produk olahan yang bernilai ekonomis tinggi. Hal tersebut karena
terkendala masalah modal dan juga keterampilan.
b. Tengkulak
Tengkulak merupakan individu-individu yang melakukan pembelian Labu
langsung ke petani. Tengkulak biasanya membeli labu dengan harga rendah
karena petani tidak memiliki akses untuk menjual labu ke tingkat pedagang
yang lebih besar karena terbentur modal. Selain itu, dalam beberapa kasus
tertentu tengkulak memiliki posisi tawar harga yang lebih baik daripada petani
karena ada peminjaman sejumlah dana oleh petani.
c. Pengumpul
Pengumpul merupakan penyalur dari tengkulak menuju ke pengumpul besar
level kecamatan. Pengumpul memiliki pasokan Labu lebih besar daripada
tengkulak dan lebih kecil dari Pengumpul Level Kecamatan. Pengumpul
biasanya hanya mencakup wilayah desa atau beberapa desa saja.
d. Pengumpul Level Kecamatan
Pengumpul level kecamatan merupakan pedagang pengumpul besar dalam
satu Kecamatan Getasan. Kecamatan Getasan memiliki pedagang pengumpul
besar level Kecamatan sebanyak 2 orang saja. Pasokan bahan pengumpul tersebut
lebih besar daripada pengumpul level desa. Pengumpul Level Kecamatan
berhubungan langsung dengan pedagang besar baik dalam kota, luar kota, pulau
Jawa maupun Luar pulau Jawa.
e. Pedagang Besar
Pedagang besar merupakan pedagang Labu ditingkat wholesaler. Pedagang
mengambil pasokan Labu dari Pengumpul Level Kecamatan untuk selanjutnya
dipasarkan ke pedagang pengecer bisa melalui pasar maupun secara personal.
Pedagang Besar mencakup pedagang di kota-kota besar maupun daerah sekitar


 
yaitu Jakarta, Bandung, Salatiga, Ambarawa, Bandungan dan Sragen.
f. Pedagang Eceran
Pedagang eceran merupakan pedagang yang langsung melakukan aktifitas
jual beli dengan konsumen secara langsung. Biasanya pedagang eceran
membeli barang dari pedagang besar maupun dari petani secara langsung.
Cakupan wilayah pedagang eceran dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu yaitu
pedagang disepanjang Kecamatan Getasan dan juga pedagang eceran lainnya.
2. Ananlisis Rantai Nilai Agribisnis Labu
Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu terdapat pelaku atau aktor yang berperan
yaitu petani, tengkulak, pedagang pengumpul, pedagang pengumpul level
kecamatan, pedagang besar dan pedagang eceran. Berdasarkan Tabel 2 (lampiran)
Harga labu ditingkat petani sebesar Rp 2.000,00 / kg ; harga labu ditingkat
tengkulak Rp 2.200,00 / kg; harga labu ditingkat pengumpul level kecamatan
sebesar Rp 2.500,00 / ; harga labu ditingkat pedagang besar sebesar Rp 3.000,000
dan harga labu ditingkat pengecer sebesar Rp 5.000,00. Terlihat bahwa pelaku
atau pihak yang paling diuntungkan dengan harga jual labu paling tinggi yaitu
pedagang eceran.
Margin dilevel petani sebesar 50, margin level tengkulak sebesar 2056, margin
level pengumpul sebesar 2330, margin level pedagang besar sebesar 2506.7 dan
margin dilevel pedagang ecerean sebesar 4850. Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu
pihak yang sangat diuntungkan berdasarkan tingkatan yaitu pertama pedagang
eceran, kedua pedagang besar dan ketiga pedagang pengumpul level kecamatan.
Terdapat suatu kesenjangan yang sangat tinggi antara margin dilevel pedagang
eceran dan tingkat petani.

10 
 
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Manajemen operasi merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan produk atau jasa
melalui proses transformasi input menjadi output. Manajer operasi sendiri memiliki
kedudukan yang sama dengan manajer fungsional lainnya dan bertugas dalam proses
pembuatan keputusan yang berhubungan dengan proses penciptaan (pembuatan) produk
atau jasa. Sementara yang dimaksud dengan rantai nilai adalah proses yang bertujuan untuk
menghasilkan produk atau jasa yang memberikan nilai tertentu bagi konsumen. Rantai nilai
memiliki kegiatan pendukung dan kegiatan utama, dimana kedua kegiatan tersebut
bertujuan untuk menciptakan nilai yang dapat dihargai oleh konsumen. Untuk
meningkatkan kefektivan rantai nilai disuatu perusahaan atau organisasi, maka dibutuhkan
strategi-strategi baik dari individu maupun dari organisasi itu sendiri.
Penerapan rantai nilai pada usaha labu di kecamatan Getasan kabupaten Semarang,
yaitu melalui pendistribusian Labu dari produksi hingga konsumen akhir melewati tahapan
dan proses yang berbeda. Peta Rantai Nilai terdiri dari 3 bagian yaitu Fungsi Utama
Rantai Nilai, Pelaku dalam Rantai Nilai dan Lembaga-lembaga terkait yang menunjang
keberlangsungan Rantai Nilai Agribisnis Labu. Fungsi Utama Rantai Nilai yaitu dari
proses produksi, pengumpulan, perdagangan, pengolahan, perdagangan dan ritel. Pelaku
atau aktor Rantai Nilai yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam Agribisnis Labu seperti
petani, tengkulak, pengumpul, pedagang besar, ritel atau pedagang kecil Labu. Lembaga
penunjang yaitu lembaga baik formal maupun informal yang membantu dan
memfasilitasi pelaku atau aktor dalam melaksanakan fungsi mereka dalam Rantai Nilai
Agribisnis Labu.

11 
 
Daftar Pustaka

Ariani dorothea W., 2014.”EKMA4369-Manajemen Operasi Jasa”. Tangerang Selatan:


Universitas Terbuka.

Hanafi Mamhud, 2015.”EKMA4116-Manajemen”. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka   

Kusumawati Agni dan Santosa Purbayu B., 2013,”Rantai Nilai (Value Chain) Agribisnis Labu di
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang”. Diponegoro Journal of Economics. Vol. 2,
No 4, Tahun 2013, http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/economics, 09 Juni 2017

12 
 
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/economics ISSN (Online): 2337-1384

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) AGRIBISNIS LABU DI


KECAMATAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG

Agni Kusumawati, Purbayu Budi Santosa1

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan


Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
Jl.Prof.Soedharto SH Tembalang, Semarang 50239, Phone: +622476486851

ABSTRACT
This study aims to explore the value chain of pumpkins farming to improve the pumpkin agribusiness
performance in Getasan region of Semarang,Central Java. Pumpkin agribusiness is remain as a
seconday job farmers in the study area, where as the main corps among others are tobacco, chili,
vegetable, etc. Sampling method of quoted purposive sample has been invoked to select 60 farmers.
While, the in-depth interview had been done with the stakeholders of academician, government,
business and community (A-G-B-C). The results showed that the most benefited in the pumpkin chain
is retailers. On the other hand, farmers were less to have benefit from pumpkin agribusiness. This
mightbe due to farmers acted as the price taker. Therefore, it is indeed need to improve the
agribusiness chain in pumpkin farming.

Keyword : value-chain, pumpkins, agribusiness, Semarang, regency

PENDAHULUAN
Labu atau waluh merupakan salah satu produk pertanian yang banyak ditemukan di
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Walaupun tanaman ini masih dianggap sebagai tanaman
“sampingan” tapi potensi tanaman ini masih bisa dioptimalkan lagi karena jumlah lahan dan produksi
labu tiap tahun mengalami peningkatan (Slamet, 2012). Penanaman labu tidak hanya dipandang dari
segi ekonomis saja oleh masyarakat setempat tapi juga merupakan budaya turun temurun.
Tanaman labu belum mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat karena selain konsumsi
labu yang masih rendah juga karena harga jual labu oleh petani masih sangat rendah. Sehingga, petani
kurang termotivasi untuk fokus terhadap pertanian labu. Harga jual labu oleh petani dikisaran Rp
500,00- Rp 1.000,00 per kg saat hari biasa dan Rp 2.000,00 per kg saat bulan ramadhan. Sedangkan
harga jual oleh pedagang saat hari biasa Rp 3.000,00 per kg dan Rp 5.000,00 per kg saat bulan
ramadhan. Kurangnya motivasi para petani untuk menanam labu disebabkan oleh adanya nilai jual
labu yang lebih bagus ditingkat pedagang sehingga para petani menganggap labu sebagai “tanaman
sampingan”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Rantai Nilai (Value Chain) Agribisnis Labu di
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dan mengetahui strategi untuk mengeksiskan posisi
Agribisnis Labu.

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS


Teori Rantai Nilai atau Value Chain Agribisnis Labu tidak dapat dipisahkan dari grand theory
yaitu teori produksi. Terdapat keteritakan dan hubungan dengan teori biaya, nilai tambah dan margin
pemasaran.
Teori Produksi
Teori produksi mempelajari bagaimana menggunakan kombinasi input / faktor-faktor
produksi untuk menghasilkan output yang optimal. Fungsi produksi dibagi menjadi 2 yaitu fungsi
produksi jangka pendek yaitu suatu periode dimana beberapa input jumlahnya tidak dapat ditambah.
Fungsi produksi jangkan panjang yaitu suatu periode dimana semua input dapat dirubah jumlahnya.

1
Corresponding author

1
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

Dalam fungsi produksi terjadi The Law of Diminishing Marginal Return yaitu tambahan hasil
yang menurun karena penambahan 1 unit faktor produksi.

Rantai Nilai
Rantai nilai merupakan suatu cara pandang dimana bisnis dilihat sebagai rantai aktivitas yang
mengubah input menjadi output yang bernilai bagi pelanggan. Nilai bagi pelanggan berasal dari tiga
sumber dasar : aktivitas yang membedakan produk, aktivitas yang menurunkan biaya produk dan
aktivitas yang dapat segera memenuhi kebutuhan pelanggan (Pearce dan Robinson, 2008).
Analisis rantai nilai (value-chain analysis-VCA) berupaya memahami bagaimana suatu bisnis
menciptakan nilai bagi pelanggan dengan memeriksa kontribusi dari aktivitas-aktivitas yang berbeda
dalam bisnis terhadap nilai tersebut. VCA mengambil sudut pandang proses, analisis ini membagi
bisnis menjadi kelompok-kelompok aktivitas yang terjadi dalam bisnis tersebut; diawali dengan input
yang diterima oleh perusahaan dan berakhir dengan produk atau jasa perusahaan dan layanan
purnajual bagi pelanggan. VCA berupaya melihat biaya lintas rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh
bisnis tersebut untuk menentukan dimana terdapat keunggulan biaya rendah atau kelemahan biaya.
VCA melihat pada atribut-atribut dari setiap aktivitas yang berbeda untuk menentukan dengan cara
bagaimana setiap aktivitas yang terjadi antara pembelian input dan layanan purna jual dapat
membedakan produk dan jasa perusahaan.

Teori Biaya
Fungsi biaya adalah fungsi yang menunjukkan hubungan antara biaya dan jumlah produksi.
Berdasarkan periode waktunya, terdapat biaya jangka pendek (short run) dan jangka panjang (long
run).
Faktor-faktor yang menentukan besarnya biaya produksi:
1. Kondisi fisik proses produksi
2. Harga faktor produksi
3. Efisiensi kerja pengusaha dalam memimpin produksi

Beberapa pengertian biaya produksi:


1. Biaya produksi sosial / biaya alternatif (opportunity cost)
Yaitu memperlihatkan besarnya alokasi biaya untuk barang Y yang harus dikorbankan
sebagai akibat tambahan 1 unit barang X yang akan diproduksi
2. Biaya produksi private
Yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan berdasarkan pencatatan akuntansi
3. Biaya produksi eksplisit
Yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan guna membeli / membayar
Faktor-faktor produksi diluar yang dimiliki oleh pengusaha
4. Biaya produksi implisit
Yaitu biaya yang seharusnya dikeluarkan pengusaha guna membayar
faktor-faktor produksi termasuk yang dimiliki pengusaha itu sendiri.

Nilai Tambah
Konsep nilai tambah adalah salah satu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input
yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai tambah dari suatu
komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan-perubahan pada komiditas tersebut, yaitu perbahan
bentuk, tempat dan waktu.
Menurut Hayami dalam Armand Sudiono (2004) terdapat dua cara menghitung nilai tambah.
Pertama nilai untuk pengolahan dan kedua nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor teknis
dan faktor pasar. Faktor teknis adalah kapasitas produk, jumlah bahan baku yang digunakan dan
tenaga kerja. Faktor pasar adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input
lain selain bahan baku dan tenaga kerja.

2
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

Margin Pemasaran
Margin didefinisikan dengan dua cara yaitu pertama, margin pemasaran merupakan
perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Kedua,
margin pemasaran yaitu biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat dari
permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran.
Komponen margin pemasaran terdiri dari 1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga
pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya
fungsional; dan 2) keuntungan lembaga pemasaran. Margin didefinisikan dengan dua cara yaitu
pertama, margin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima petani. Kedua, margin pemasaran yaitu biaya dari jasa-jasa pemasaran yang
dibutuhkan sebagai akibat dari permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran.
Komponen margin pemasaran terdiri dari 1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga
pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut biaya pemasaran atau biaya
fungsional; dan 2) keuntungan lembaga pemasaran. Apabila dalam pemasaran suatu produk pertnaian,
terdapat lembaga pemasarn yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, maka margin pemasaran dapat
ditulis sebagai berikut:
M= ij +
Dimana
M= Margin pemasaran
Cij= Biaya pemasaran untuk melaksanakan fungsi pemasaran ke- i oleh lembaga pemasaran ke-j
Pj= keuntungan yang diperoleh lemabaga pemasaran ke-j
m= jumlah jenis biaya pemasaran
n= jumlah lembaga pemasaran
Agribisnis
Istilah agribisnis terkenal ketika terjadi krisis moneter dan ekonomi di Indonesia pada tahun
1997. Pada saat itu sektor pertanian, satu-satunya sektor yang tumbuh positif dibandingkan sektor
yang lain. Davis dan Golberg (1957) merupakan ekonom pertama yang memperkenalkan istilah
agribisnis. Mereka berpendapat agribisnis terdiri dari empat bagian (sub-sistem), yaitu sub-sistem
input pertanian, produksi, pengolahan produk pertanian termasuk pemasarannya serta sub sektor
penunjang lainnya. Karena memakai pendekatan sistem, maka pengembangan keseluruhan sub-
sistemnya saling berhubungan, bersifat koordinatif dan saling terintegrasi. Artinya untuk
mengembangkan agribisnis perlu mengembangkan berbagai sub-sistem tersebut secara sinergis dan
seimbang. Apabila salah satu sub-sistem mengalami gangguan dan kelambatan, maka akan
berdampak kepada hasil akhir yang kurang optimal (Purbayu, 2010).
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 5 variabel seperti tertera dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1
Variabel dan Definisi Operasional
No. Variabel Satuan Definisi Operasional
1 Biji Labu (Wineh) Rp/kg Biji Labu atau wineh yang siap ditanam menjadi
tanaman labu
2 Pupuk kandang Rp/kg Pupuk kandang yang dibutuhkan untuk
penanaman labu. Satuan pengukuran 1 kg.Para
petani biasanya menggunakan ukuran per kol
atau per 1 bak terbuka. Dimana 1 kol bisa
memuat sekitar 100 kg pupuk kandang
3 Tenaga Kerja Rp /kg Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menanam
labu.
4 Biaya Transportasi Rp/kol Biaya yang dikeluarkan untuk proses
pengangkutan produk dari
petani,tengkulak,pedagang,pengecer dan
konsumen.
5 Harga Labu Rp/kg Harga labu yang dijual oleh petani maupun
pedagang.
Sumber: Data primer diolah, 2013

3
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

Penentuan Sampel
Penentuan sampel untuk penelitian ini diambil secara purposive sampling yaitu sampel
diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Peneliti menganggap bahwa Petani Labu di Kecamatan
Getasan memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian ini. Terdapat dua jenis sampel di
purposive sampling yaitu judgement dan quota sampling. Jenis teknik yang dipakai dalam penelitian
ini yaitu quota sampling. Teknik sampel qutoa yaitu sampel yang distratifikasikan secara proporsional
namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Besaran sampel yang diambil yaitu 60 orang. Hal tersebut dikarenakan informasi responden
yang umumnya homogen dan tidak banyak berbeda satu dengan yang lain. Dari 12 Desa di
Kecamatan Getasan, sampel penelitian yang diambil hanya 3 Desa yaitu Desa Batur, Desa Tajuk dan
Desa Sumogawe. Tiga desa tersebut jumlah Petani Labu paling banyak diantara Desa yang lain.
Sumber untuk key person dalam indepth interview yaitu:
a. Pihak akademisi : Ibu Maria, SP, MP (Kaprodi Agribisnis Fakultas Pertanian UKSW, Dr.Titik
Ekowati (Dosen Ekonomi Pertanian Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro)
b. Pihak bisnis / pengusaha : Bapak Slamet (pemilik usaha IRT Mugi Rahayu)
c. Pihak petani : Bapak Tugiman, Bapak Suwarlan
d. Pihak goverment / pemerintah : Bapak Jumardi (staff pengolahan pascapanen hortikultura
Departemen Pertanian Provinsi Jawa Tengah), Ibu Retno (staff seksi hortikultura Departemen
Pertanian Kabupaten Semarang)

Metode Analisis
Analisis Rantai Nilai

Langkah awal dalam analisis rantai nilai adalah memecah operasi suatu perusahaan menjadi
aktivitas atau proses bisnis tertentu, biasanya dengan mengelompokkan aktivitas atas proses tersebut
kedalam kategori aktivitas primer atau pendukung. Proses tersebut disebut juga dengan identifikasi
aktivitas.
Langkah berikutnya adalah mencoba mengaitkan biaya ke setiap aktivitas yang berbeda.
Setiap aktivitas dalam rantai nilai mengeluarkan biaya serta mengikat waktu dan aset. Analisis rantai
nilai mengharuskan manajer untuk mengalokasikan biaya dan aset ke setiap aktivitas dan dengan
demikian menyediakan sudut pandang yang sangat berbeda terhadap biaya dibandingkan dengan yang
dihasilkan oleh metode akuntansi biaya tradisional.
Ketika rantai nilai didokumentasikan, para manajer perlu mengidentifikasikan aktivitas yang
penting bagi kepuasan pembeli dan keberhasilan pasar. Aktivitas-aktivitas tersebut adalah aktivitas-
aktivitas yang perlu mendapat perhatian khusus dalam analisis internal. Terdapat tiga pertimbangan
penting dalam tahap analisis rantai ini.
Pertama, misi utama perusahaan perlu mempengaruhi pilihan aktivitas yang akan diteliti
secara rinci oleh manajer. Jika perusahaan tersebut fokus untuk menjadi penyedia dengan biaya
rendah, perhatian manajemen terhadap penurunan biaya harus sangat terlihat. Selain itu, jika misi
perusahaan didasarkan pada komitmen terhadap diferensiasi, para manajer perusahaan harus
mengeluarkan lebih banyak uang untuk aktivitas-aktivitas yang menjadi kunci diferensiasi.
Kedua, sifat dari rantai nilai dan relatif pentingnya aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai
tersebut bervariasi dari satu industri ke indutri lain. Ketiga, relatif pentingnya aktivitas nilai dapat
bervariasi sesuai dengan posisi perusahaan dalam sistem nilai yang lebih luas yang mencakup rantai
nilai dari para pemasoknya di hulu serta pelanggan atau rekanan di hilir yang terlibat dalam
penyediaan produk atau jasa bagi para pemakai akhir.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Peta Rantai Nilai Agribisnis Labu
Peta Rantai Nilai Agribisnis Labu pada Gambar 1 menggambarkan distribusi Labu dari
produksi hingga konsumen akhir melewati tahapan dan proses yang berbeda. Peta Rantai Nilai terdiri
dari 3 bagian yaitu Fungsi Utama Rantai Nilai, Pelaku dalam Rantai Nilai dan Lembaga-lembaga
terkait yang menunjang keberlangsungan Rantai Nilai Agribisnis Labu. Fungsi Utama Rantai Nilai
yaitu dari proses produksi, pengumpulan, perdagangan, pengolahan, perdagangan dan ritel. Pelaku

4
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

atau aktor Rantai Nilai yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam Agribisnis Labu seperti petani,
tengkulak, pengumpul, pedagang besar, ritel atau pedagang kecil Labu. Lembaga penunjang yaitu
lembaga baik formal maupun informal yang membantu dan memfasilitasi pelaku atau aktor dalam
melaksanakan fungsi mereka dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu.
Gambar 1
Rantai Nilai Agribisnis Labu

Sumber: Data primer diolah, 2013

Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu terdapat beberapa pelaku mulai dari level petani hingga
ke pedagang eceran. Berikut fungsi dan pelaku dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu:
1. Petani
Petani labu di Kecamatan Getasan umumnya menanam labu hanya sebagai tanaman
“sampingan” hal tersebut dikarenakan nilai ekonomis Labu masih rendah sehingga petani masih
enggan memproduksi Labu lebih serius. Selama ini hasil pertanian Labu yang sudah dipanen diambil
oleh para pedagang. Pedagang tingkat eceran yang langsung mengambil dari petani dan juga
pedagang tengkulak yang mengambil dari petani dengan tingkat harga yang relatif rendah. Petani
tidak dapat berbuat banyak dengan harga beli Labu yang rendah oleh tengkulak karena pada kasus
tertentu terdapat suatu perjanjian non-formal antara petani dan tengkulak terkait hutang-piutang.
Sehingga, daya tawar petani dalam kasus tersebut rendah.
Banyak petani Labu yang memiliki prinsip meskipun hasil secara ekonomi pertanian Labu
sangatlah rendah dan tidak dapat memberikan peningkatan kesejahteraan akan tetapi pertanian Labu
masih mereka geluti karena terdapat unsur budaya turun-temurun dari leluhur mereka. Petani Labu
menganggap bahwa penanaman Labu tergolong mudah, sederhana dan tidak terlalu mengeluarkan
banyak biaya perawatan. Kelemahan petani Labu di Kecamatan Getasan yaitu para petani masih
belum tergerak untuk mengolah Labu menjadi produk-produk olahan yang bernilai ekonomis tinggi.
Hal tersebut karena terkendala masalah modal dan juga keterampilan.
2. Tengkulak
Tengkulak merupakan individu-individu yang melakukan pembelian Labu langsung ke
petani. Tengkulak biasanya membeli labu dengan harga rendah karena petani tidak memiliki akses
untuk menjual labu ke tingkat pedagang yang lebih besar karena terbentur modal. Selain itu, dalam
beberapa kasus tertentu tengkulak memiliki posisi tawar harga yang lebih baik daripada petani karena
ada peminjaman sejumlah dana oleh petani.
3. Pengumpul
Pengumpul merupakan penyalur dari tengkulak menuju ke pengumpul besar level kecamatan.
Pengumpul memiliki pasokan Labu lebih besar daripada tengkulak dan lebih kecil dari Pengumpul
Level Kecamatan. Pengumpul biasanya hanya mencakup wilayah desa atau beberapa desa saja.

5
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

4. Pengumpul Level Kecamatan


Pengumpul level kecamatan merupakan pedagang pengumpul besar dalam satu Kecamatan
Getasan. Kecamatan Getasan memiliki pedagang pengumpul besar level Kecamatan sebanyak 2 orang
saja. Pasokan bahan pengumpul tersebut lebih besar daripada pengumpul level desa. Pengumpul
Level Kecamatan berhubungan langsung dengan pedagang besar baik dalam kota, luar kota, pulau
Jawa maupun Luar pulau Jawa.
5. Pedagang Besar
Pedagang besar merupakan pedagang Labu ditingkat wholesaler. Pedagang mengambil
pasokan Labu dari Pengumpul Level Kecamatan untuk selanjutnya dipasarkan ke pedagang pengecer
bisa melalui pasar maupun secara personal. Pedagang Besar mencakup pedagang di kota-kota besar
maupun daerah sekitar yaitu Jakarta, Bandung, Salatiga, Ambarawa, Bandungan dan Sragen.
6. Pedagang Eceran
Pedagang eceran merupakan pedagang yang langsung melakukan aktifitas jual beli dengan
konsumen secara langsung. Biasanya pedagang eceran membeli barang dari pedagang besar maupun
dari petani secara langsung. Cakupan wilayah pedagang eceran dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu
yaitu pedagang disepanjang Kecamatan Getasan dan juga pedagang eceran lainnya.

Analisis Rantai Nilai Agribisnis Labu


Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu terdapat pelaku atau aktor yang berperan yaitu petani,
tengkulak, pedagang pengumpul, pedagang pengumpul level kecamatan, pedagang besar dan
pedagang eceran. Berdasarkan Tabel 2 (lampiran) Harga labu ditingkat petani sebesar Rp 2.000,00 /
kg ; harga labu ditingkat tengkulak Rp 2.200,00 / kg; harga labu ditingkat pengumpul level kecamatan
sebesar Rp 2.500,00 / ; harga labu ditingkat pedagang besar sebesar Rp 3.000,000 dan harga labu
ditingkat pengecer sebesar Rp 5.000,00. Terlihat bahwa pelaku atau pihak yang paling diuntungkan
dengan harga jual labu paling tinggi yaitu pedagang eceran.

Margin dilevel petani sebesar 50, margin level tengkulak sebesar 2056, margin level
pengumpul sebesar 2330, margin level pedagang besar sebesar 2506.7 dan margin dilevel pedagang
ecerean sebesar 4850. Dalam Rantai Nilai Agribisnis Labu pihak yang sangat diuntungkan
berdasarkan tingkatan yaitu pertama pedagang eceran, kedua pedagang besar dan ketiga pedagang
pengumpul level kecamatan. Terdapat suatu kesenjangan yang sangat tinggi antara margin dilevel
pedagang eceran dan tingkat petani.

Strategi Agribisnis Labu


Agribisnis Labu masih belum dikembangkan secara optimal baik dari petani hingga pedagang
kecil. Berdasarkan in-depth interview yang dilakukan dengan unsur dari AGBC ditemukan beberapa
permasalahan dalam Agribisnis Labu yaitu:
Tabel 3
Permasalahan Agribisnis Labu

No. Permasalahan Agribisnis Labu


1 Menurunnya harga Labu saat panen
2. Produk Labu belum terkoordinasi dalam suatu cluster
3. Terbatasnya akses pemasaran ke pasar
4. Belum optimalnya pengolahan produk Labu
5. Belum adanya sinergi dalam pelaku Agribisnis Labu
Sumber: Data primer diolah, 2013

Agribisnis Labu merupakan suatu sistem pertanian yang mencakup 5 subsistem dari hulu hingga
hilir. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Agribisnis Labu seperti tertera dalam Tabel
3. Pertama, menurunnya harga labu saat panen raya. Harga jual labu otomatis akan turun saat panen
tiba karena jumlah supply yang banyak dari petani. Hal tersebut menyebabkan harga labu menjadi
rendah karena petani juga tidak dapat menentukan harga labu. Harga jula rendah juga terkait dengan
permasalahan terbatasnya akses pemasaran ke pasar. Umumnya, produk dari petani diambil oleh
pedagang pengumpul maupun tengkulak walaupun dengan harga yang rendah. Para petani tidak
memiliki pilihan lain karena petani tidak memiliki akses pasar yang luas untuk memasarkan labu.

6
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

Permasalahan selanjutnya adalah produk labu belum terkoordinasi dalam suatu cluster. Hal
tersebut yang menyebabkan pertanian labu berdiri sendiri-sendiri dan tidak terdapat suatu kesatuan
dimana nantinya akan memberikan keuntungan bagi para petani jika bergabung secara bersama-sama.
Selanjutnya, banyak petani yang belum banyak melakukan pengolahan labu menjadi produk-produk
seperti makanan dan minuman. Padahal, jika diolah lebih lanjut nilai ekonomis labu akan tinggi dan
dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi bagi pelaku usahanya. Secara keseluruhan,
permasalahan yang terjadi karena belum adanya sinergi yang berkesinamabungan antara pelaku-
pelaku dalam Agribisnis Labu termasuk didalamnya petani. pelaku usaha, pemerintah dan
masyarakat.
Berdasarkan proses FGD (Focuss Group Discussion) ditemukan beberapa strategi untuk
mengatasi permasalahan Agribisnis Labu seperti tertera dalam Tabel 4
Tabel 4
Strategi Agribisnis Labu

No. Strategi Agribisnis Labu


1. Perlunya pendampingan pasar
2. Peningkatan harga jual Labu
3. Petani harus punya skill untuk mengolah Labu
4. Pemerintah membantu dalam pemasaran produk, bantuan peralatan dan tekhnologi
5. Sinergi antara petani, pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat
6. Controlling dan Evaluating oleh Pemerintah yang telah memberikan bantuan ke petani
Sumber: Data primer diolah, 2013

Terdapat beberapa strategi untuk mengatasi permasalahan dalam Agribisnis Labu. Pertama,
perlunya pendampingan pasar oleh pemerintah kepada petani untuk memasarkan produk labunya.
Kedua, peningkatan harga jual labu penting untuk dilakukan dengan pengaturan penetapan harga beli
minimal dari tengkulak ke petani karena selama ini tengkulak yang mendapatkan keuntungan lebih
besar dari petani. Selain itu, petani juga harus memiliki skill untuk mengolah labu. Petani dapat
meningkatkan kesejahteraan hidupnya salah satunya dengan melakukan pengolahan produk pertanian
dan lebih memperhatikan sektor hilir. Pemerintah juga harus membantu dalam pemasaran produk,
bantuan peralatan dan tekhnologi. Namun, juga perlu dilakukan evaluasi dari pemerintah dan
pemantauan yang intens dalam pemberian bantuan agar tepat sasaran dan optimal. Terakhir, perlu
adanya sinergi dari petani, pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan
Agribinis Labu lebih baik lagi.

KESIMPULAN DAN KETERBATASAN


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku yang paling diuntungkan dalam Rantai Nilai
Agribisnis Labu yaitu pedagang eceran dengan margin 4850, margin pedagang besar sebesar 2506.7 ,
margin pedagang pengumpul sebesar 2330, margin tengkulak 2056 dan margin petani 50. Petani Labu
memiliki margin keuntungan paling rendah dibandingkan pelaku dalam Rantai Nilai lainnya. Hal ini
membuktikan bahwa nilai ekonomis Labu bagi petani sangatlah rendah sehingga petani hanya
menganggap menanam labu merupakan aktivitas “sampingan” dan para petani tidak secara serius
untuk mengembangkan pertanian labu yang lebih baik lagi. Strategi Agribisnis Labu yaitu perlunya
pendampingan pasar; peningkatan harga jual labu; petani harus punya skill untuk mengolah labu;
pemerintah membantu dalam pemasaran produk, bantuan peralatan dan tekhnologi; sinergi antara
petani, pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat; Controlling dan Evaluating oleh Pemerintah yang
telah memberikan bantuan ke petani.
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu pada bagian lembaga penunjang. Peneliti pada tahap
ini hanya meneliti pada lembaga yang terlibat Rantai Nilai Agribisnis di level petani. Sedangkan
lembaga yang terlibat dan menunjang Agribisnis Labu di level pedagang mulai dari tengkulak hingga
ke konsumen akhir belum diteliti lebih lanjut. Penelitian ini belum memberikan solusi terkait
kebijakan-kebijakan yang dapat dijadikan referensi bagi para pemangku kebijakan untuk
mengembangkan pertanian labu lebih baik lagi terkhusus di daerah Kecamatan Getasan yang
merupakan daerah sentra penghasil labu.

7
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

REFERENSI

Apichat Sopadang. Application of Value Chain Management To Longan Industry.


American Journal of Agricultural and Biological Sciences, 2012, 7(3), 301-311.
Arifin, Bustanul.2004.Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia.Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
Biro Pusat Statistik (BPS). Indikator Ekonomi dan Sosial Kabupaten Semarang 2012.
Semarang: 2013
Biro Pusat Statistik (BPS). Kecamatan Getasan Dalam Angka Tahun 2011.
Semarang: 2012
Biro Pusat Statistik (BPS). Kecamatan Getasan Dalam Angka Tahun 2012.
Semarang: 2013
Biro Pusat Statistik (BPS).Statistik Daerah Kabupaten Semarang Tahun 2011.
Semarang: 2012
Biro Pusat Statistik (BPS).Statistik Indonesia Tahun 2012. Jakarta: 2013
Biro Pusat Statistik (BPS).Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2011.
Jakarta: 2012
Biro Pusat Statistik (BPS). Tinjauan PDRB Kab /Kota se Jawa Tengah 2011.
Semarang: 2012
Downey & Erickson. 1987. Manajemen Agribisnis. Jakarta: Erlangga.
John Jeckoniah. Mapping of Gender Roles and Relations Along Onion Value Chain In
Northern Tanzania. International Journal of Asian Social Science, 2013, 3(2) :523-
541.
Mankiw, Gregory. Pengantar Mikroekonomi. 2005. Jakarta: Salemba Empat.
Mubyarto. 1995. Pengantar, Teori dan Kasus Ekonomika Pertani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Oni Timothy Olukunle. Evaluation of Income and Employment Generation from Cassava
Value Chain in the Nigerian Agricultural Sector. Volume 3 No. 3 March 2013.
Publisher: Asian Economic and Social Society. ISSN (P): 2304-1455, ISSN (E) :
2224-4433.
Pearce & Robinson.2008. Manajemen Strategis. Jakarta: Salemba Empat.
Purbayu,BS.2010. Politik Beras dan Beras Politik. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang.
Saragih, Bungaran.2001.Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.
Slamet. 2012. “Potensi Geplak Waluh”. Laporan tidak dipublikasikan, Dinas Pertanian
Kecamatan Getasan.
Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. UMM Press, Malang.

8
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

Xingjian Zhou.Research on Logistics Value Chain Analysis and Competitiveness


Costruction for Express Enterprises. American Journal of Industrial and Business
Management, 2013, 3, 131-135.

9
DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1-10

LAMPIRAN
Tabel 2
Analisis Rantai Nilai per Produksi 1 kg Labu

PEDAGANG PENGUMPUL
PETANI TENGKULAK KECAMATAN PEDAGANG BESAR PEDAGANG ECERAN
Rp/k Rp/k Rp/k Rp/k
Biaya Biaya Biaya Biaya Rp/kg Biaya
g g g g
Biaya Biaya Biaya
Biaya Produksi Pengumpulan Biaya Pengumpulan Pengumpulan Pengumpulan
Biji 200 Transportasi 75 Transportasi 100 Transportasi 400 Transportasi 50
Pupuk 1.000 Tenaga Kerja 25 Tenaga Kerja 20 Tenaga Kerja 33,3
Tenaga Kerja 500
Total Biaya Produksi 1.700
Biaya Pasca Produksi
Transportasi 50

Total Biaya Pasca Total Biaya Total Biaya Total Biaya


Produksi 50 Pengumpulan 100 Total Biaya Pengumpulan 120 Pengumpulan 433,3 Pengumpulan 50

Total Biaya Level Total Biaya Level Total Biaya Level Pedagang Total Biaya Level Total Biaya Level
1.750 100 120 433,3 50
Petani Tengkulak Pengumpul Pedagang Besar Pedagang Kecil

Penyusutan (10%) 200 Penyusutan (2%) 44 Penyusutan (2%) 50 Penyusutan (2%) 60 Penyusutan (2%) 100
2.506,
Margin 50 Margin 2.056 Margin 2.330 Margin 7 Margin 4.850

Harga Tingkat Harga Tingkat Pedagang Harga Tingkat Harga Tingkat


Harga Tingkat Petani 2.000 Tengkulak 2.200 Pengumpul 2.500 Pedagang Besar 3.000 Pedagang Eceran 5.000
Sumber: Data primer diolah, 2013

10

Anda mungkin juga menyukai