Anda di halaman 1dari 12

BUDAYA YANG BERPENGARUH TERHADAP GENDER DALAM

KEHIDUPAN MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bagi suatu negara, budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
sosial manusia, karena budaya adalah suatu pola menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Budaya merupakan kepercayaan yang dipercayai secara turun-temurun. Salah satunya
adalah kepercayaan tentang adanya perbedaan gender. Isu tentang perbedaan gender telah
menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai
perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan
perubahan social. Gender dipersoalkan karena secara social telah melahirkan perbedaan peran,
tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
(Anonim, 2012).
Dari kondisi yang ada saat ini, diamati bahwa masih terjadi ketidakjelasan dan
kesalahpahaman tentang pengertian gender. Harus diakui bahwa gender merupakan isu baru bagi
masyarakat. Dalam setiap masyarakat, kaum laki-laki dan perempuan memiliki peran gender
yang berbeda. Perbedaan jalan perkembangan peran gender dalam masyarakat disebabkan oleh
beberapa factor, mulai dari lingkungan alam hingga cerita yang digunakan untuk memecahkan
teka-teki perbedan jenis kelamin (Novy dkk, 2010). Peran gender diajarkan secara turun temurun
dari orang tua ke anaknya. Hal ini dimulai sejak anak berusia muda, kadang tanpa disadari, orang
tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda. Kami tertarik dengan adat
budaya masyarakat yang masih mempermasalahkan gender dalam kehidupan social. Maka dari
itu kami, ingin menjelaskan sedikit dan memberikan contoh permasalahan budaya yang
berpengaruh terhadap gender dalam kehidupan di masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dari makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan budaya ?

2. Apa yang dimaksud dengan gender?

3. Bagaimana budaya berpengaruh terhadap gender?

4. Apa saja contoh permasalahan budaya yang berpengaruh terhadap gender ?

C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini diantaranya:

1. Mengetahui definisi dari budaya.

2. Mengetahui definisi dari gender.

3. Mengetahui hubungan antara budaya dengan gender.

4. Mengetahui contoh permasalahan budaya yang berpengaruh terhadap gender.

 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan
karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas (Kurniawan,2012).

B. Pengertian Gender

Gender pada awalnya diambil dari kata dalam bahasa arab JINSIYYUN yang kemudian
di adopsi dalam bahasa perancis dan inggris menjadi Gender. Kata gender dalam bahasa
Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus, tidak secara jelas dibedakan
pengertian seks dan gender. Echols dan Shadily (dalam Sutinah, 2004) misalnya menyebutkan
bahwa gender berarti jenis kelamin. Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan
perempuan apabila dilihat dari nilai dan perilaku.Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai
social, budaya dan adat istiadat (Badan Pemberdayaan Masyarakat, 2003, dalam
Ramauli,Suryanti). Gender adalah peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang
ditentukan secara social. Gender berhubungan dengan persepsi dan pemikiran serta tindakan
yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena
perbedaan biologis (WHO, 1998 dalam Ramauli,Suryanti).

      Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender merupakan perlakuan yang setara antara perempuan dan laki-laki
dalam hukum dan kebijakan serta akses yang sama ke sumber daya danpelayanan dalam
keluarga, komunitas dan masyarakat luas.
NO KETIDAKSETARAAN GENDERKETIDAKSETARAAN GENDER
(PEREMPUAN) (LAKI-LAKI)
1 Rata-rata perempuan di pedesaanLaki-laki bekerja 20% lebih pendek.
bekerja 20% lebih lama daripada
laki-laki.
2 Perempuan mempunyai akses yangLaki-laki menikmati akses sumber
terbatas terhadap sumberdayadaya ekonomi yang lebih besar.
ekonomi.
3 Perempuan tidak mempunyai aksesLaki-laki mempunyai akses yang
yang setara terhadap sumberdayalebih baik terhadap sumberdaya
pendidikan dan pelatihan. pendidikan dan pelatihan.
4 Perempuan tidak mempunyai aksesLaki-laki mempunyai akses yang
yang setara terhadap kekuasaan danmudah terhadap kekuasaan dan
pengambilan keputusan disemuapengambilan keputusan di semua
lapisan masyarakat. lapisan masyarakat.
5 Perempuan menderita danLaki-laki tidak mengalami tingkat
mengalami kekerasan dalam rumahkekerasan yang sama dengan
tangga dengan kadar yang sangatperempuan.
tinggi.

C. PERAN GENDER DAN BUDAYA


Sejak peristiwa kelahiran, seorang bayi sudah dlberi label oleh kebanyakan orang
tua dengan selimut biru untuk laki-laki, selimut merah muda untuk perempuan. Harapan
yang sesuai dengan gender terus berkembang, misalnya tampak ketika perempuan dan
lakl-laki diberi perrnainan yang berbeda. Seorang ayah lebih suka berrnain secara keras
(rough/yJ dengan bayi laki-laki dibandlngkan dengan bayi perempuan. Remaja
perempuan lebih dituntut untuk menjaga kehormatan dibandingkan dengan remaja laki-
laki yang cenderung lebih dibebaskan dalam pergaulan. Orang dewasa sering
memperlakukan anak-anak secara berbeda berdasarkan gender. Sosialisasi peran gender
terhadap orang anak ternyata tidak hanya dilakukan oleh tua, tetapi masyarakat memberi
pesan secara [etas kepada anak-anak sejalan dengan pertumbuhan mereka. Buku bacaan
anak-anak secara tradisional digambarkan bahwa anak pererrouan dlberi stereoio peran
mengasuh (nurtutant roles), sedangkan anak laki-laki diberi peran yang beorientasi fisik
dal1 tirdakan (adion-oliented roles), (McDonaJd, 1989, C-& Pristasll, 1992,dalam
Feklman, 1999). Televisl pun juga turut melakukan sosialisai peran gender, misalnya
perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang le mah dalam sinetron-sinetron.
Keyakinan yang telah tersebar luas dalam masyarakat berkisar soaJ laki·laki dan
perempuan (stereotip gender) telah banyak dikaji di masyarakat Barat. William & Best
(dalam Matsumoto, 1996) melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa ada
suatu pert,edaan daJam pandaJ1gan mengenai laki-laki dan perempuan tampak serupa di
semua negara.

C. Budaya yang Mempengaruhi gender

1. Sebagian besar masyarakat banyak dianut kepercayaan yang salah tentang apa arti
menjadi seorang wanita, dengan akibat yang berbahaya bagi kesehatan wanita. Dimana, dapat
terjadi ekstramarital seks yang hal ini menimbulkan perilaku seksual yang pada akhirnya
berhubungan dengan transmisi dari penyakit seksual seperti gonorhoe, syphilis, herpes genitalia,
AIDS, kanker servik, hepatitis B, dan lainnya.

2. Setiap masyarakat mengharapkan wanita dan pria untuk berpikir, berperasaan dan
bertindak dengan pola-pola tertentu dengan alasan hanya karena mereka dilahirkan sebagai
wanita/pria. Contohnya wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan, membawa air dan kayu
bakar, merawat anak-anak dan suami. Sedangkan pria bertugas memberikan kesejahteraan bagi
keluarga di masa tua serta melindungi keluarga dari ancaman.

3. Gender dan kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut, semuanya
adalah hasil rekayasa masyarakat. Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan dan merawat
anak adalah dianggap sebagai “kegiatan wanita”.

4. Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah ke daerah lain diseluruh dunia, tergantung
pada kebiasaan, hukum dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.

5. Peran jenis kelamin bahkan bisa tidak sama didalam suatu masyarakat, tergantung pada
tingkat pendidikan, suku dan umurnya, contohnya : di dalam suatu masyarakat, wanita dari suku
tertentu biasanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga, sedang wanita lain mempunyai
pilihan yang lebih luas tentang pekerjaan yang bisa mereka pegang.

6. Peran gender diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak
berusia muda, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda, meskipun
kadang tanpa mereka sadari (Suryanti, 2009).

7. Masyarakat di Indonesia khususnya di jawa menganut budaya patriaki,dimana seorang


kepala keluarga adalah laki-laki sehingga laki-laki di cap sebagai orang yang berkuasa di
keluarga.Budaya patriaki bias mengakibatkan angggapan bahwa kesehatan reproduksi adalah
maslah perempuan sehingga berdampak kurangnya partisipasi,kepedulian laki-laki dalam
kesehatan reproduksi.KB hanya dianggap masalah perempuan sehingga sangat kecil akseptor KB
laki-laki.

8. Di jawa ada pepatah bahwa perempuan di dalam rumah tangga sebagai


kasur,sumur,dapur.sehingga perempuan di dalam keluarga hanyalah melayani
suami,kedudukannya lebih rendah dari laki-laki.

9. Perlakuan orang tua kepada anaknya sejak bayi di bedakan antara laki-laki dan
perempuan dengan memberikan perlengkapan bayi warna biru untuk laki-laki, perlengkapan bayi
warna pink untuk perempuan .

10. Pengaruh pengasuhan ibu banyak mengurus hal yang berkaitan fiisik anak sedangkan
ayah cenderung pada interaksi yang bersifat permainan dan diberi tanggung jawab untuk
menjamin bahwa anak laki-laki dan anak perempuan menyesuaikan dengan budaya yang ada.
Ayah lebih banyak terlihat dalam sosialisasi dengan anak laki-laki dari pada dengan anak
perempuan. Banyak orang tua membedakan permainan bagi anak laki-laki dengan anak
perempuan. Permainan anak laki-laki cenderung agresif. Pada masa remaja orang tua lebih
mengijinkan anak laki-laki mereka cenderung lebih bebas dari pda anak perempuan dengan
mengijinkan mereka pergi jauh dari rumah.

Berikut akan dipaparkan beberapa budaya yang mempengaruhi gender:

1. Budaya di Bali
Salah satu budaya yang mempengaruhi gender yaitu budaya patriaki atau patrilinial.
Budaya patriaki merupakan suatu budaya dimana yang dominan dan memegang kekuasaan
dalam keluarga berada di pihak ayah. Dalam sistem kekerabatan masyarakat khususnya Bali,
Bali termasuk dalam kelompok kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat yang sangat
jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan
sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota
masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun
masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum
perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli
waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama keluarga karena dalam
perkawinan (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota
masyarakat adat.

2. Budaya di India

Salah satu budaya yang masih dianut di India sampai saat ini adalah budaya Patriaki.
Budaya patriaki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas
utama yang sentral dalam organisasi sosial. Dimana Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan,
anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak
istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Di india terdapat satu kepercayaan yang
masih diyakini sampai saat ini terkait dengan gender yaitu kepercayaan atau keyakinan bahwa
anak laki-laki akan memberikan kemakmuran kepada keluarga, sedangkan jika memiliki anak
perempuan akan menambah beban. Hal ini diperkuat dengan adat yang berlaku di india yaitu
adanya system pemberian mas kawin yang berlaku dalam tradisi india dimana mempelai pria
harus dibeli oleh mempelai wanita. Dibeli disini diartikan setiap keluarga dari pihak anak
perempuan wajib menyerahkan sejumlah besar uang atau barang mewah kepada mempelai laki-
laki dan keluarganya.
3. Budaya di Sulawesi Selatan.

Selain budaya patriaki, budaya yang dianut di Sulawesi Selatan yang terkait dengan
gender adalah budaya siri. Budaya siri berlaku di masyarakat pesisir Sulawesi Selatan. Sebagian
masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan menilai perempuan pekerja masih dianggap siri (tradisi
malu).
Mereka beranggapan keterlibatan perempuan dalam bekerja melecehkan tanggungjawab laki-laki
yang dinilai tidak mampu lagi menghidupi kebutuhan keluarga. Akibatnya, perempuan pesisir
hanya bisa menunggu dan menaruh harapan pada hasil tangkapan laki-laki yang sedang melaut.
Hal ini masih diturunkan turun-temurun sampai saat ini oleh masyarakat pesisir Sulawesi Selatan
(Aldito,2013).

4. Peran gender pada masyarakat Jawa, yaitu:

1. Arti dan nilai anakmenunrtjenis kelamin. Anak laki-laki cenderung mempunyai arti
yang bemubungan dengan martabet, perlindungan, dan tumpuan harapan keluarga di masa
depan, sehingga anak laki-laki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Anak perempuan
mempunyai arti yang berhubungan dengan kepraktisan, dalam arti kehadirannya bermanfaat
untuk memperlancar kegiatan beres-beres urusan rumah tangga, sedangkan anak-laki-laki
dianggap tabu melakukan tugas-tugas rumah tangga. Hal tersebut seperti dlungkapkan
kebanyakan para lbu, bahwa keuntungan mempunyai anak perempuan adalah mereka dapat
membantu ibunya membereskan pekerjaan rumah. Oahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak
perlu sekolah tinggitinggi, karena pada akhimya akan ke dapur juga. Jadi di satu sisi masyarakat
mengakui bahwa anak perempuan mempunyai potensi membawa manfaat layaknya anak laki-
laki, tetapi di sisi lain masyarakat belum percaya sepenuhnya menyerahkan be ban martabat
keluarga di pundak anak perempuan. Seperti sering diungkapkan orang tua:" Kalau anak
perempuannya menikah akan dibawa oteh suaminya."

2. Pengenalan norma gender pada masa kecit Pengenalan norma gender dimulai dari
pemberian nama pada anaknya. Namanama feminin diperuntukkan bagi anak perempuan dan
nama-nama maskulin untuk anak laki-laki. Pembiasaan yang berkaitan dengan jenis kelamin
berlangsung seiring dengan bertambahnya umur. Misalnya anak perempuan jangan suka ngeyel,
anak laki-laki tidak boleh cengeng. Pemberian permainan pun harus sesuai dengan jenis kelamin.
Orang tua getisah jika anak lakilakinya bermain boneka, khawatir anaknya seperti perempuan,
banci, dan sebagainya. Mereka juga percaya bahwa anak laki-lakr dan perempuan mempunyai
pembawaan sifat yang berbeda: anak laki-laki sulit diatur dan anak perempuan lebih mudah
diatur, serta memahami keinginan orang tua.
3. Persoalan pergaulan, seksualitas, dan cita-cita di katangan remaja. Masyarakat (orang
tua) biasanya memberikan larangan yang lebih banyak bagi remaja perempuan, seperti
mengingatkan mereka untuk menjaga kehormatan, tidak boleh keluar rumah sendirian pada
malam hari. Sedangkan larangan untuk anak laki-laki tidak seketat anak perempuan. Perempuan
sekarang nampaknya sudah tidak berbeda dalam aspirasinya, yaitu mereka juga mempunyai
motivasi yang kuat untuk bekerja di luar . Norma peran ganda wanita juga sudah terintematisasi
sejak remaja.

4. Pembagian peran dalam rumah tangga Suami berkewajiban menjadi kepala keluarga,
yaitu menafkahi dan melindungi keluarganya, tetapi tidak wajib membantu tugas istri di rumah.
lstri wajib

d.      Bentuk Diskriminasi Gender

1)      Marginalisasi ( peminggiran)
Marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, terjadi dalam masyarakat di Negara
berkembang seperti penggusuran dari kampong halamannya, eksploitasi. Marginalisasi banyak
terjadi dalam bidang ekonomi.
2)      Subordinasi (penomorduaan)
Keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding
jenis kelamin lainnya. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng
yang mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.
3)      Stereotipe ( citra buruk)
Pandangan buruk terhadap perempuan. Salah satu jenis stereotype yang melahirkan
ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan
atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu.
4)      Violence ( kekerasan )
Violence merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi
seseorang. Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang
muncul dalam berbagai bentuk.
5)      Beban kerja berlebihan.
Beban kerja yang dilakukan oleh jenis kelamin tertentu lebih banyak. Bagi perempuan di
rumah mempunyai beban kerja lebih lebih besar dari pada laki-laki,90% pekerjaan
domestik/rumah tangga dilakukan oleh perempuan belum lagi jika dijumlahkan dengan bekerja
diluar rumah.

BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Perbedaan peran gender ada dalam setiap budaya, tetapi masing-masing budaya
mempunyai intensltas yang berbeda-beda. Perubahan sosial ternyata belum
sepenuhnya membawa pandangan yang setara terhadap peran gender antara
perempuan dan laki-laki. Hal tersebut menimbulkan permasalahan bias gender di
masyarakat, sehingga sering merugikan laki-laki maupun perempuan.
2. Saat ini masih ditemukan beberapa kebudayaan yang dipengaruhi oleh gender, seperti
pada kasus yang terjadi di berbagai daerah yaitu di India, Bali dan Jawa.
3. Di India, Bali dan Jawa masih menganut budaya patriaki, yaitu budaya dimana yang
dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga berada di pihak laki–laki,
sehingga perempuan tidak memiliki kesempatan dalam menentukan pilihan baik
untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarga.
4. Budaya yang mempengaruhi gender tidak hanya berdampak pada satu aspek, tetapi
mencakup beberapa aspek yaitu perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi.

DAFTAR PUSTAKA
Endang. 2002.   Buku Sumber Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan
Pembangunan Kependudukan. Jakarta:BKKBN & UNFPA.
Evertsson, Marie. 2006.  “The reproduction of gender: housework and attitudes towards gender
equality in the home among Swedish boys and girls”, The British Journal of Sociology . Volume
57 Issue 3: 415-436.
Fakih, Mansour, 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Fitria, Maya dan Avin Fadilla Helmi. 2011. “Keadilan Gender dan Hak-hak Reproduksi di
Pesantren”, Jurnal Psikologi. Volume 38, No. 1 : 1–16.
Ervita, 2000. Sikap terhadap Kemitrasejajaran Ditinjau dari Peran Jenis dan Jenis Kelamin.
Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII. Fananie, Z. 2000.
Restruktun·sasi Budaya Jawa. Perspektif KGPAA MN I. Surakarta: Muhammadiyah University
Press. Feldman, A. S. 1999. Understanding Psychology (Fihh edition). United State of America:
The McGraw-Hilt Companies, Inc. Fischer, A. H. 2000. Gender and Emotion. Social
Psychological Perspectives. United Kingdom: Cambridge University Press. Matsumoto, D.1996.
CultureandPsydlology. Brooks/Cote Publishing Company

Anda mungkin juga menyukai