Anda di halaman 1dari 15

CRITICAL BOOK REVIEW PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Sarlito W. Sarwono
Dosen Pengampuh : Aulia Marzuki M.Psi

Disusun oleh
Kelompok II :

Fitri Chairani Landa Suci

Siti Raudah Indah Agustina

Hoddiana Ummi Kalsum Lubis

Deni Efrina Siti Wulandari

Nia Khairdina Nurul Safrina

Salwa Sadila Royhan Asrofi

Riski Abdullah Muhammad Farhan

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T/A: 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis hanturkan ke hadirat Allah SWT, atas karunia yang
diberikanNya dan atas bantuanNya makalah yang berada dihadapan kita ini dapat
diselesaikan. Seterusnya shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah
Muhammad SAW.

Atas terlaksananya penulisan makalah ini, tidak lupa kami hanturkan terima
kasih banyak kepada berbagai pihak yang telah berkenan dalam partisipasinya
membantu penyelesaian makalah ini, khusus kepada kelompok Dua Critical Book
Review Psikologi Lintas Budaya yang telah bekerjasama dalam pembuatan tugas,
pihak BKI-3 yang selalu mengingatkan kami perihal tugas makalah dan taklupa
kepada dosen pengampuh yang memberikan dorongan untuk penyelesaian tugas
dengan sebaik- baiknya.

Seterusnya kepada pembaca, penulis mengharap masukan serta saran yang


membangun untuk kesempurnaan makalah ini, penulis hanturkan terimakasih banyak.
Semoga makalah ini bermanfaat dan semoga Allah mencurahkan keberkahan ilmu
kepada kita semua.

Penulis,
BAB I

IDENTITAS

Judul buku : Psikologi lintas budaya

Nama penulis : Sarlito W. Sarwono

Penerbit : PT Rajagrafindo Parsada, Jakarta

Penyunting : Eko A. Meinarmo dan Latifa Hannum

Tahun terbit : 2016

Cetakan : ke-3, Mei 2016

Tebal : x, 188 halaman 23 cm

ISBN : 9789797696962

Design Cover : Aditiya Sonihaya

Tempat Cetak : Kharisma Putra Utama


BAB II

RINGKASAN ISI

A. Enkulturasi, Budaya dan Proses Perkembangan


Enkulturasi merupakan pemahaman yang diajarkan sejak kecil sehingga menjadi sebuah
kebudayaan dan kebiasaan serta dianggap nilai yang benar ketika seorang individu telah
mencapai kedewasaan. Dinegara non Eropa-Amerika , ada yang disebut Extended family.
Biasanya, keuarga-keluarga non eropa-Amerika memeliki extended family. Misalnya,
didalam satu rumah terdapat beberapa generasi (ada kakek, nenek, ayah dan ibu). Hadirnya
extended family dapat mendukung pengasuhan anak (Matsumoto & Juang, 2004). Budaya
dan Pendidikan Institusi pendidikan merupakan salah satu agen penting dalam
menyolisasikan nilai-nilai budaya kepada anak-anak. Untuk melihat hubungan antar budaya
dan pendidikan secara lebih dalam, banyak penelitiLintas Budaya yang berusaha meneliti
perbedaan antar Negara dalam prestasi matematika. Hal ini karena matematika bukan hanya
terkonstruksi dari pemikiran logis dan abstrak, namun juga kombinasi dari pengetahuan,
keahlian, dan budaya (Stigler & Baranes, 1988)

Ada beberapa factor yang memengaruhi prestasi matematika salah satunya adalah bahasa.
Penelitian Stigler, Lee dan Stevensen (1986) menunjukan adanya perbedaan cara anak
menghitungdan menghafal antara Negara cina, jepang, dan amerika yang berkaitan dengan
bahasa mereka dalam dua kegiatan tersebut. Faktor berikutnya adalah system sekolah. Bahwa
system sekolah memiliki peran yang penting dalam kemampuan matematika yang berbeda
antar Negara. Faktor berikutnya adalah gaya mengajar guru? murud Budaya dan Teman
Sebaya (Peers). Margareth Mead (1978) menjelaskan adanya tiga tipe budaya yang berbeda
beda dalam proses sosialisasi budayanya.

a. Positive Cultures, Dimana perubahan budaya tergolong lambat dan proses sosialisasi
budaya didominasi oleh orang tua.
b. Cofigurative Cultures,Dimana perubahan budayalebih cepat, orang tua melanjutkan
proses sosialisasi kepada anak-anaknya
c. Prefigurative Culture, Dimana perubahan budaya sangat cepat dan pengaruh teman
sebaya sangat kuat dalam proses sosialisasi
Institusi agama adalah salah satu agen dalam proses enkulturasi budaya. Psikolog dari
AS mengabaikan faktor agama dalam penelitiannya sepanjang abad ke-20, tetap agama
merupakan sarana penting untuk enkulturasi. Padahal, agama adalah aspek penting dalam
sejarah, budaya, sosial, dan psikologi yang dihadapi seseorang setiap hari.

Dalam proses perkembangan sendiri terdapat tiga macam temperamen berdasarkan


pengetahuan umum menurut Thomas dan Chess, yakni :

a) Easy Temperament (temperamen yang sangat menyenangkan, mudah


beradaptasi, dan memiliki perilaku yang positif dan responsif).
b) Difficult Temperament (temperamen yang bersemangat, tidak biasa, menghindar,
dan ditandai dengan mood yang negatif).
c) Slow-to-warm-up (temperamen anak yang membutuhkan waktu untuk dalam
melakukan transisi antara aktivitas dan pengalaman).
Interaksi antara temperamen anak dengan orang tua, dikenal sebagai goodness of fit,
tampaknya merupakan kunci dari perkembangan kepribadian. Reaksi orang tua terhadap
temperamen anak dapat mendukung munculnya stabilitas atau kelabilan dalam respons
temperamental anak terhadap lingkungan.

Sedangkan Attachment adalah ikatan khusus yang terbangun antara bayi dengan
pengasuh utamanya. Berdasarkan teori Bowlby, anak memiliki bawaan untuk lekat
dengan pengasuh utamanya. Hal ini merupakan strategi agar anak dapat bertahan hidup,
di mana bayi memiliki kesempatan bertahan hidup yang lebih besar apabila ia dekat
dengan ibu atau pengasuh yang memberikan kenyamanan dan perlindungan. Menurut
Ainsworth, ada tiga sistem attachment, yaitu :

a) Secure (kalau ditinggal orangtua akan mengalami distress, tetapi langsung


senang saat orangtuanya pulang).
b) Ambivalent (jika ditinggal orang tuanya akan distress, tetapi kalau sudah pulang
antara senang dan marah reaksinya).
c) Avoidant (jika ditinggal orang tuanya tidak distress, tetapi juga tidak mencari
perhatian/mengalihkan ke hal yang lain).
Ketiga sistem attachment ini berkembang di tengah masyarakat di seluruh dunia.
Kemudian Crittenden & Claussen menyarankan untuk mengganti penggunaan secure dan
insecure dengan istilah adaptive dan maladaptive untuk menilai sistem attachment
seseorang. Definisi ini membuat kita mengartikan bahwa hubungan yang “optimal” antara
bayi dan pengasuhnya dapat tercapai dengan berbagai cara, dalam keadaan yang berbeda,
dan juga budaya yang berbeda.

Budaya dan Perkembangan Kognitif Dalam teori piaget (1951), perkembangan kognitif
anak terbagi ke dalam empat tahap. Keempat tahap tersebut adalah:

1. Tahap Sensorimotor (usia 0- 2 tahun)


Dalam tahap ini bayi mulai mengenal dunia melalui pancaindra (sensory) dan
gerak tubuhnya (motorik). Dalam tahap ini bayi sepenuhnya egosentris, artinya belum
mampu melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Bayi mulai mengembangkan
kebiasaan motorik tertentu (misal mengisap jempol), memerhatikan objek-objek di
sekitarnya, manipulasi objek-objek di sekitarnya dan mengetahui bahwa objek-objek
itu saling berhubungan (skemata).
2. Tahap Praoperasional (usia 2-7 tahun)
Skema dimasukkan ke dalam memori, tahu hubungan sebab-akibat,
keterampilan motorik berkembang (berlari, menyepak, makan), egosentrisme mulai
berkurang. Dalam tahap ini anak belum bisa menggunakan logika.
3. Tahap Operasional Konkret (usia 7-11 tahun)
Anak mulai bisa berpikir logis, tetapi logikanya masih terfokus dan masih
memerlukan alat bantu. Misalnya menghitung dengan jari, memahami konsep 5 atai 6
itik, atau kursi, bisa menambahkan dan mengurangkan, tetapi belum mengerti konsep
5 atau 6 sebagai bilangan yang abstrak-universal (berlaku di mana saja, kapan saja.
Egosentrisme sudah hilang.
4. Tahap Operasional Formal (usia 11-16 tahun dan selanjutnya)
Individu sudah mampu berpikir abstrak dan logis sehingga mampu melakukan
kalkulasi matematik atau mengevaluasi data dengan mudah.

Tahapan perkembangan kognitif ini tidak seragam di seluruh budaya. Orang-orang


yang tidak pernah bersekolah atau kuliah di sekolah barat menunjukkan performa yang buruk
pada tugas-tugas formal operation (Laurendeau-Bendavid, 1977; Shea, 1985). Penemuan ini
kemudian memunculkan anggapan bahwa tugaas-tugas Piagetian bergantung pada
pengetahuan yang pernah didapat dan nilai-nilai budaya dibandingkan sekedar kemampuan
kognitif (Matsumoto & Juang, 2004).
Seiring dengan pertumbuhannya, seorang anak berkembang menjadi lebih kompleks,
dalam memahami dunia. Perubahan kognitif yang dialami oleh si anak juga akan mengubah
penalaran moralnya (Matsumoto & Juang, 2004). Moralitas dan budaya memiliki hubungan
yang dekat. Prinsip-prinsip moral dan etika memberikan panduan bagi individu dalm
berperilaku dengan mempertimbangkan kepantasan dari perilaku tersebut. panduan ini
merupakan hasil dari budaya dan masyarakat, diwariskan dari generasi satu ke generasi
lainnya. Berikut Kohlberg (1976, 1984) menjelaskan mengenai tahapan perkembangan moral
berdasarkan kemampuan berpikirnya.

1. Pre-Conventional
Pada tahapan ini, anak berusaha mematuhi aturan-aturan yang berlaku untuk
menghindari hukuman dan memperoleh reward. Fokus tahapan ini adalah pada
pembenaran perilaku, apakah perilaku tersebut benar atau tidak.
2. Conventional
Di tingkat kedua, anak mencoba untuk menuruti peraturan yang berlaku sesuai
dengan kesepakatan dengan orang lain ataupun masyarakat. Seseorang pada
tahapan ini akan menilai pencurian sebagai sebuah tindakan yang salah, karena itu
bertentangan dengan hukuman dan bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat.
3. Post-Conventional
Pada tahap ini, penalaran moral yang dilakukan sudah mengacu pada prinsip-
prinsip dan kesadaran individual. Seseorang yang berada pada tahapan ini akan
menilai perilaku mencuri sesuai dengan konteks masyarakat atau komunitas atau
nilai-nilai moral pribadi yang dimiliki, yang mana juga diterima oleh masyarakat
sekitar (prinsip hati nurani).

B. Budaya, Bahasa, Komunikasi dan Prilaku Sosial

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal (mahakluk rasiaonal) , yaitu


mahkluk yang memahami simbol-simbol. Pemahaman akan simbol yang membuat manusia
berbeda dengan mahkluk lainnnya. Semua manusia punya bahasa(faktor etic), budaya adalah
media komunikasi pada manusia , bahasa menciptakan budaya, dan budaya memengaruhi
bahasa.

Matsumo dan Juang (2004) mengatakan hubungan timbal-balik antara budaya dan
bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satupun budaya yang dapat dipahami tanpa memahami
bahasanya, begitupula sebaliknya, melalui bahasa kita dapat memahami bagaimana pola pikir
manusia dari suatu budaya tertentu. Hal ini juga membantu kita untuk memahami bagaimana
ia memandang dunia. Dan ini salah satu cara untuk mengamati hubungan antara budaya dan
bahasa adalah mencatat hubungan antara perbedaan bahasa pada masing-masing budaya dan
kosa katanya. Matsumo dan Juang( 2004)

Kosa kata adalah kata-kata yang terkandung dalam bahasa (Matsumo dan Juang)( 2004)
Masing- masing budaya memiliki kosa kata yang berbeda. Misalnya bahasa inggris tidak
membedakan antara lontong dan ketupat , sup dan baso kuah, gado-gado dan ketoprak
ataupun pantun dengan gurindam.

Namun bahasa indonesia membedakan satu sama lain, misalnya bahasa jawa yang
memiliki kata maknyus untuk mengekspresikan makanan yang sangat enak , kata maknyos
untuk menyatakan kondisi tiba-tiba terkena api atau panas, dan kata maknyes untuk
menyatakan kedinginan. Beberapa kata dalam dalam bahasa jawa tersebut meskipun
memiliki pelafalan yang mirip namun memiliki makna yang berbeda saat digunakan.

Dalam bahasa indonesia juga membedakan antara "kami" (aku dan kawan-kawanku) dan
kita" ( aku dan engkau dan mungkin juga termasuk kawan-kawanku dan kawan-kawanmu ,
yang dalam bahasa bahasa barat hanya diwakili dengan satu kata saja yaitu we" dalam bahasa
inggris dan belanda, dan wir" dalam bahasa (Jerman), atau nous" ( Prancis) yang maksudnya
hanya merujuk pada kata ganti orang. Menurut Fuad Hasan (1974) dikatakan bahwa
perbedaan kosa kata ini menunujukkan perbedaan yang sangat bermakna antara cara berpikir
orang Barat (lebih ekslusif) dan orang Timur( lebih inklusif).

Hipotesis Relativitas Bahasa menyatakan bahwa penutur bahasa memiliki pola pikir
yang berbeda karena menggunakan bahasa yang berbeda. Karena budaya yang berbeda
memiliki bahasa yang berbeda pula. Maka hipotesis Sapir-Whorf atau relativitas bahasa
mengatakan bahwa untuk memahami sutau budaya maka kita harus memahami bahasanya
karena budaya adalah refleksi dari bahasa Linguistic determinism theory. Menurut teori ini,
orang yang memiliki budaya yang berbeda memiliki pemikiran yang berbeda, dengan sifat,
struktur, dan fungsi yang berbeda dari setiap bahasa.
Komunikasi adalah proses interaksi antara seseorang dengan orang lain, untuk
menyampaikan sebuah informasi ataupun memperoleh informasi dari lawan bicara. Ada
empat hal dalam proses komunikasi yang harus diperhatikan, yaitu encoding, decoding,
signal dan channels. Encoding adalah proses dimana seseorang memilih, baik secara sadar
ataupun dibawah sadarnya, modalitas dan metod tertentu untuk membuat dan mengirimkan
pesan atau informasi kepada orang lain. Decoding adalah proses dimana seseorang menerima
sinyal dari orang lain dan menerjemahkannya ke dalam pesan yang bermakna. Signal atau
sinyal adalah kata-kata dan perilaku spesifik yang dikirimkan oleh seseorang selama
komunikasi berlangsung. Channels adalah informasi sensoris spesifik saat sinyal dikirimkan
dan pesan diterima, seperti pnglihatan dan suara.
Ada enam Kendala dalam tercapainya komunikasi lintas budaya yang efektif,
diantaranya: asumsi kesamaan, perbedaan bahasa, kesalahpahaman non verval, prekonsepsi
dan stereotype, kecenderungan untuk menilai negtif, dan kecemasan yang tinggi atau
ketegangan. Saat mnggunakan bahasa tertentu, kita harus mengikuti norma-norma yang
berlaku dalam budaya bahasa tersebut.
Budaya berpengaruh pada self-concept . Self-concept adalah ide atau citra tentang diri
sendiri dan alasan di balik berbagai perilaku yang kita munculka. Ada tiga label untuk
menggambarkan diri, yaitu:

1. Sifat (attribute) didalam diri sendiri


2. Perilaku, pikiran, perasaan di masa lalu
3. Perilaku, pikiran, dan perasaan di masa depan

Self-concept dapat terbentuk darri praktik budaya, di mana seseorang mendapatkan


perilaku nyata, objektif, dan kasat mata dalam budaya tertentu. Namun pada dasarnya,
pandangan budaya mengenai dunia (cultural world view) pada tingkat kognitif tidak perlu
berdasar kepada kenyataan. Dalam hal ini, self-concept merupakan bagian dari pandangan
budaya mengenai dunia, sehingga ia tidak perlu sesuai dengan kenyataan yang ada.

Berikut adalah contoh dari perbedaan konseptualisasi budaya terhadap diri (self),
yaitu:

1. An independent construal of self : Stressing pada hubungan tertentu, saya sebagai


intinya. Contohnya saya dan teman, saya dan keluarga, saya di sekolah, saya di
tempat keja.
2. An interpendent construal of self : stressing pada peran terhadap orang lain/kelompok.
Contohnya saya anak mbah marijan, alumni SMAN1 Bogor, saya kasir di Carrefour
3. Dalam menjelaskan mengenai independent dan interdependent of construal self,
beberapa peneliti juga mencoba menggunakan multiple selves theory. Teori ini
mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki diri sebanyak peran sosial
yang dilakukannya dalam kehidupan.

Budaya juga memengaruhi pembentukan identitas sosial pada diri seseorang. Misalnya,
orang Amerika bangga menyebut dirinya sebagai orwng Amerika. Di Indonesia sendiri,
identitas sosial ini diungkap dalam bentuk Sumpah Pemuda. Self – esteem merupakan hasil
evaluasi tentang diri sendiri. Biasanya, self-esteem juga berkaitan dengan self worth, yaitu
penghargaan kita terhadap diri sendiri. Terkadang, self -esteem bisa menjadi
berlebihan,disebut self-enhancement.

C. Budaya dan Emosi

Menurut Ekman (Ekman & Friesen,1971) mengemukakan bahwa ada enam bentuk emosi
dasar (basic emoticon) pada manusia, yaitu marah (anger), takut (fear), sedih ( sorrow),
bahagia (happiness), jijik (disgust), minat (interest). Sedangkan menurut Shiraev dan Levy
(2010) menjelaskan bahwa emosi sebagai sebuah respon evaluatif yang biasanya mencakup
kombinasi dari rangsangan fisiologis, pengalaman subjektif (positif, negatif, atau ambivalen)
dan ekspresi perilaku. Didalam Psikologi, emosi adalah reaksi penilaian, baik positif ataupun
negatif, yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari
dalam dirinya sendiri. Emosi dapat dirasakan oleh manusia akibat beberapa hal berikut ini;

1. Pengalaman subjektif, misalnya putus pacaran, mendapatkan hadiah dari orang tua,
dan sebagainya.

2. Perilaku overt, misalnya menangis, tertawa, mengumpat, dan sebagainya

3. Motivasi, misalnya keinginan untuk mencapai tujuan tertentu, keinginan untuk


menghindari atau mendekati sesuatu, dan sebagainya

4. Proses psikologis, misalnya tekanan darah, harman adrenalin yang meningkat, dan
sebagainya

5. Proses belajar, misalnya takut terhadap benda berbulu akibat kondisioning ini di
alaminya

6. Kondisi sistem sistem saraf seseorang, misalnya seseorang yang selalu marah karena
sarap di otak nya terganggu.
Emosi juga sering dikaitkan dengan istilah lainnya seperti;

1. Efek, dalam psikologi dan psikiatri istilah alfred digunakan untuk menjelaskan
pengalaman emosional yang terkualifikasi atau terkuantifikasi

2. Affect display, yaitu ekspresi dari emosi and dirasakan

3. Sifat (disposition), mengaji pada karakteristik yang membedakan seseorang,


kecenderungan untuk bereaksi terhadap situasi situasi tertentu dengan emosi tertentu
pula

4. Perasaan (feeling), biasanya mengacu pada aspek emosi yang subjektif dan
fenomenologis

5. Mood, mengaji pada kondisi emosional dengan durasi yang relatif sebentar

Berdasarkan asal-usul katanya, emosi berasal dari bahasa prancis emoticon dari emouvoir,
excite. Berdasarkan kata latin emovere yang terdiri dari kata e- (variant atau ex-) dengan arti
keluar dan movere, yaitu bergerak. Istilah motivasi giat berasal dari kata tersebut. Berbagai
Penelelitian Psikologis Mengenai Emosi

a. Teori Somatik, Teori paling dasar adalah teori somatik. Menurut teori ini penyebab
munculnya emosi pada seseorang akibat adanya perubahan kondisi tubuh. Misalnya,
teman kita membawa binatang yang kita takuti seperti kecoa ketika itu dia
mengagetkan kita dengan kecoa nya, maka spontan respon kita akan marah-marah dan
jantung berdebar kencang. Dan tubuh kita mengalami getaran akibat rasa takut yang
muncul pada diri seseorang.
b. Teori Cannon-Bard, Cannon dan Bard muncul dengan penjelasan yang berbeda
mengenai hubungan perilaku dengan emosi, dimana munculnya emosi ini di dalam
suatu situasi tertentu yang mendorongnya memunculkan sebuah emosi. Misalnya,
sama dengan contoh yang diatas ketika seseorang membawa binatang yang kita takuti
seperti kecoa ketika itu dia mengagetkan kita dengan kecoa nya, maka spontan respon
kita akan teriak dan berlari menjauhi binatang tersebut.
c. Teori Kognitif, Penelitian psikologi sosial menginterpretasikan emosi sebagai
gabungan dari dua hal, yaitu rangsangan fisiologis dan interpretasi kognitif.
Rangsangan yang dialami patisipan dapat memunculkan senyawa kimia (adrenalin)
dan menempatkan partisipan tersebut pada situasi fisik yang berbeda dari sebelumnya.
Emosi baru timbul terkait dengan interpretasi yang terjadi sebagai akibat dari proses
kognitif pada orang yang bersangkutan. Jadi menurut teori ini saya takut karena saya
tahu (kognitif) bahwa kecoa itu kotor. Itulah yang menyebabkan ketakutan pada
seseorang.
d. Perspektif Evolusioner, Emosi berevolusi melalui seleksi alamiah sebagai pertanda
untuk makhluk lain mengenai intense kita. Darwin berpendapat bahwa emosi pada
manusia tidak hanya bersifat fungsional, etapi epifenomena (kejadian yang muncul
bersama peristiwa yang lain tetapi tidak mempunyai asal-usul yang berpengaruh pada
yang lain).

Emotional intellegence theory (kecerdasan emosi) disebut juga sebagai EQ atau


emotional quotient.tetapi istilah"quotient"yang dipinjam dari IQ (intellegence iquetient)
mengandung pengertian matematik,sementara emosi tidak bisa diukur secara matematik
sebagaimana halnya dengan intelegensia. Emotional intellegence sangat erat kaitannya
dengan pengembangan organisasi,pengembangan individu.Prinsip-prinsip dalam individu
membantu kita memahami dan menilai prilaku,sikap,gaya manajemen,kemampuan
interpersonal,sikap dan potensi-potensi yang dimiliki individu.Emotional intellegence juga
berhubungan erat dengan konsep cinta dan spritualitas ketika seseorang ia membawa
perasaan kasih sayang dan kemanusian yang dimilikinya dalam menyelesaikan langsung
tanggung jawabnya.

Konsep EQ ini berpendapat bahwa IQ(intellegence quotient)atau intellegence


konvensional.premis penting dalam EQ yaitu menjadi sukses membutuhkan kesadaran,
kontrol dan pengelolahan emosi sendiri serta orang lain.Goleman menurunkan dua aspek ke
dalam lima area:

1. Memahami emosi diri sendiri


2. Mengelola emosi sendiri
3. Memotivasi diri sendiri
4. Mengenali dan memahami diri dan orang lain
5. Menjaga hubungan dengan orang lain yakni mengelola emosi orang.
BAB III

Kelebihan Dan Kekurangan

Kelebihan Buku Kekurangan Buku

Terdapat indikator yang harus dicapai oleh Terdapat beberapa kata-kata yang
pembaca pada setiap bab. Melalui observasi menggunakan istilah, sehingga sulit
dan latihan langsung sebagai pembahasan dipahami
setiap teori

Ada banyak gambar dalam buku ini Tidak ada rangkuman pada akhir bab
sehingga tidak membosankan ketika
membacanya, juga memudahkan pembaca
dalam memahami penjelasan yang ada

Memiliki rangkuman hal-hal penting gambar-gambar yang ditampilkan tidak


disetiap halamannya. Membantu perumusan bewarna sehingga kurang menarik
masalah dari setiap teori yang dijelaskan

Penilisan referensinya jelas bisa dilihat Banyak penjelasan yang sulit untuk
melalui daftar pustaka ataupun bodynot dipahami, sehingga hanya berpedoman pada
yang telah dicantumkan contoh yang ada

Penulis sudah menjelaskan dengan bagus Tidak terdapat sub bab didalam buku,
pada setiap materinya juga ditambahkan sehingga sulit bagi pembaca menemukan
dengan beberapa perbandingan langsung bahan kajian yang tepat pada buku
antar budaya

Sistem Penulisan sudah rapi dan sesuai

Terdapat penjelasan perkata pada halaman


terakhir buku
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa budaya berkembang terus menerus dan diwariskan, pewarisan budaya ini
biasa kita kenal dengan istilah enkulturasi. Cara pewarisan budaya akan terjadi
dikehidupan sehari-hari. Dimulai sejak anak masih kecil, melalui pembiasaan suatu
budaya sudah ditanamkan sampai akhirnya anak tumbuh dewasa dengan sebuah budaya
tersebut. Contohnya pada keluarga yang berada dilingkungan agamais, maka anak-anak
akan diajarkan bersikap dan berprilaku sesuai dengan aturan agama tersebut. Selain
keluarga lingkungan juga sangat berperan dalam pewarisan budaya seperti Orang tua,
keluarga, teman, tetangga, dan juga media massa. Pola asuh orang tua merupakan cara
terkuat dalam pengenalan budaya pada anak. Tujuan yang dimiliki orang tua dalam
perkembangan anak-anaknya didasarkan pada konteks pengasuhan dan prilaku yang
dihargai pada sebuah kebudayaan tersebut.

Selain lingkungan dengan orang- orang terdekat, beberapa media pewarisan buadaya
bisa melalui teman sebaya, menurut teori Margareth mead ada 3 proses sosialisasi budaya
dalam teman sebaya yaitu postfigurative cultures, cofigurative cultures, prefigurative
cultures masing-masing proses memiliki ketergantungan pada perubahan dalam
jangkawan waktu, lambat atau cepatnya sebuah budaya berkembang. Pendidikan juga
menjadi tempat sosialisasi suatu kebudayaan, bagaimana sebuah gaya hidup bisa
berpengaruh dalam sebuah lingkungan pendidikan. Dalam sebuah proses perkembangan
sosialisasi budaya terus berkembang dan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Biasanya
sering dikenal dengan istilah tempramen. Selain itu, ada juga istilah attachment yang
sering dikenal dengan pembangunan ikatan khusus antara sibayi dan pengasuh sampai
pembentukan suatu karakter melalui kebudayaan yang dibawakan oleh pengasuh tersebut.

Komunikasi merupakan sebuah aspek budaya yang menjadikan proses sosialisasi


antar budaya mudah dilakukan. Bahasa menjadi sebuah media dalam komunikasi. Melalui
bahasa inilah tercipta suatu budaya karena terjadi suatu interaksi sosial dalam
berkomunikasi. Selain itu budaya sangat mempengaruhi bahasa suatu kelompok,
contohnya pada setiap bayi yang lahir tentu mengeluarkan suara dengan bahasa yang
sama. Namun, bahasa yang dianutnya berbeda tergantung dari pengasuhannya. Jika kita
ingin memahami suatu budaya maka yang terlebih dahulu dipahami adalah bahasanya.
Terjadinya suatu kesalah pahaman dalam mengenal budaya, ini termasuk kesalahan
dalam memahami suatu bahasa dikebudayaan tersebut. Karena kerap kali bahasa disetiap
daerah berbeda namun memiliki tutur penyebutan yang sama. Begitupun dengan prilaku,
kebudayaan akan mempengaruhi prilaku seseorang. Ini sering kita kenal dengan pengaruh
external dari sebuah prilaku.

Emosi merupakan reaksi penilaian yang kompleks dari sistem saraf seseorang
terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. emosi tersebut dapat
dirasakan melalui pengalaman seorang individu yang benar adanya terjadi pada dirinya,
prilaku overt yang diekspresikan individu karena ada sebuah stimulus yang didapatkan.
Motivasi yang menjadi pendorong seseorang agar tetap bersemangat dalam mencapai
suatu tujuan. Prosess fisiologis, yang dibawa melalui pewarisan gen yang didapat setiap
individu melalui orang tua. Proses belajar, yang terus menerus membarikan pemahaman
tentang kehidupan sehari-hari. Kondisi sistem-sistem saraf seseorang, yang menjadikan
pengolahan stimulus atas respon yang akan diberikan seorang individu tersebut.

B. Saran

Buku ini baik dijadikan acuan bagi seorang pendidik yang seharusnya mengetahui
lintas budaya. Terkhusus bagi negara kita yang memiliki banyak budaya, akan
mempengaruhi proses pembelajaran. maka akan lebih baik lagi jika pemahaman lintas
budaya dapat dikuasai seorang pengajar.

Dalam penulisan dan sistematika buku sangat bagus dan menarik untuk dibaca,
bahkan dari kalangan umum. Akan tetapi perbandingan budaya yang dicantumkan
merupakan budaya antar negara. Akan lebih menarik lagi jika yang dicontohkan adalah
kebudayaan yang terdapat di Indonesia mengingat indonesia memiliki ragam budaya yang
banyak dan diikat melalui kebhinekaan.

Anda mungkin juga menyukai