Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN RANCANGAN INTERVENSI

MODIFIKASI PERILAKU

“Efektifitas Teknik Forward Chaining Pada


Kemampuan Menggunakan Kemeja Pada Anak
Dengan Disabilitas Intelektual”

Anggota Kelompok:
Afra Fairuz Alfisri (20011180)
Aisyah Putri (20011183)
Annisa Aristia (20011082)
Fadhila Fitri (20011101)
Haniifah Humairoo (20011220)
Ichlasul Farij (20011115)

Dosen Pengampu:
Farah Aulia, S.Psi, M.Psi., Psikolog

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Intellectual Disabillity yang biasa disebut dengan retardasi mental adalah suatu
kondisi dimana seseorang mengalami gangguan perkembangan otak dan terganggunya
kemampuannya untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang ditandai dengan skor IQ yang
rendah dan skor IQ yang relatif rendah. Menurut American Psychiatric Association (2013),
disabilitas intelektual dimulai pada tahap perkembangan dan diikuti oleh kurangnya fungsi
intelektual dan adaptif yang terkait dengan keterampilan konseptual, sosial, dan praktis.
Sekarwati dan Riyanto (2013) menyatakan bahwa keterampilan motorik pada penyandang
disabilitas intelektual pada umumnya mengalami kesulitan. Individu mengalami
keterlambatan saat bergerak, menggunakan anggota tubuh, duduk, dan berbicara. Karena
keterbatasan ini, penyandang disabilitas intelektual mengalami gangguan perkembangan
keterampilan motorik halus. Perkembangan kognitif pada penyandang disabilitas
intelektual lebih lambat dibandingkan pada orang normal. Inhalder (Purnamawati, 2008)
menyatakan bahwa perkembangan kognitif pada anak tunagrahita (retardasi mental) dapat
melampaui usia prasekolah. Pada usia sekolah, kemampuan kognitif mereka bergerak
lamban dari tingkat preoperasional ke operasional konkrit. Penundaan ini berlangsung
sekitar tiga sampai empat tahun, memperlambat pertumbuhan untuk mencapai tahap
berikutnya. Pertumbuhan mereka dapat terhampat hingga dewasa.

Individu dengan intellectual disability kategori berat mengalami kesulitan dalam


menguasai keterampilan bantu diri (Lumbantobing, 2001). Menurut Endaryati (2006), rata-
rata orang tidak membutuhkan bantuan untuk melakukan hal-hal yang berhubungan
dengan perawatan diri. Namun, penyandang disabilitas intelektual mengalami
keterlambatan perkembangan dalam menyelesaikan tantangan hidup, bahkan jika mereka
tidak sepenuhnya mandiri sebagai orang dewasa. Menurut Soemantri (2006), keterampilan
menolong diri sendiri adalah keterampilan untuk menyelesaikan tugas-tugas mandiri.
Inilah yang dibutuhkan individu untuk mengembangkan kemampuan mereka untuk
beradaptasi dengan situasi. Selain itu, American Psychiatric Association (2013)
menemukan bahwa penyandang disabilitas intelektual berat membutuhkan waktu lebih
lama untuk mandiri, namun dapat memenuhi kebutuhan pribadinya seperti makan,
memakai pakaian, dan bersih-bersih. Keterampilan yang perlu ditingkatkan atau yang
dapat dilatih pada anak tingkat ID intermediate adalah (1) belajar mengurus diri sendiri.
Makan, ganti baju, mandi, buang air kecil (BAK), buang air besar (BAB), tidur. (2) Belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, rumah, atau lingkungan. (3) Mempelajari
penggunaan fungsi ekonomi sederhana di rumah atau di lembaga khusus (Efendi, 2009).
Oleh karena itu, pendidikan untuk anak ID level sedang cenderung lebih menekankan pada
keterampilan merawat diri atau pengembangan pribadi dalam kehidupan sehari-hari.
Keterampilan memakai kemeja secara mandiri penting untuk diajarkan karena hal
itu merupakan bentuk sederhana dari kemandirian anak dalam berpakaian. Sewell, Collins,
Hemmeter, & Schuster, (dalam Osborne, 2014) juga mengungkapkan pentingnya
kemampuan memakai pakaian bagi anak-anak, terutama anak dengan disabilitas.
Mengajarkan keterampilan memakai baju bagi anak-anak adalah hal yang penting, karena
keterampilan ini bersifat fungsional, dilakukan dalam aktivitas/rutinitas sehari-hari, dan
memiliki derajat validitas sosial yang tinggi. Walau membutuhkan waktu yang lebih lama
dari anak normal dan terkadang masih memerlukan pengingat serta dukungan orang
disekitarnya. Umumnya seorang anak membutuhkan waktu empat tahun untuk belajar
memakai pakaiannya secara mandiri (Shepherd, dalam Weichman, 2012). Anak
mempelajari kemampuan mengenakan dan melepas pakaian secara bertahap sejak usia satu
tahun (Weichman, 2012).
Metode yang tepat diperlukan agar anak dengan disabilitas intelektual dapat
menguasai kemampuan mengenakan pakaian secara mandiri. Weber (dalam Lee, et. al.,
2014) mengatakan bahwa chaining merupakan teknik yang efektif dalam mengajar anak
dengan disabilitas intelektual. Behavior chaining adalah teknik modifikasi perilaku yang
melibatkan stimulus dan respon yang berurutan secara sistematis, di mana respon terakhir
diikuti oleh pemberian penguatan/reinforce. Dalam behavior chaining, target perilaku akan
dibagi ke dalam beberapa tahap sehingga anak tidak perlu menguasai satu keterampilan
dalam satu waktu. Behavior chaining sendiri terbagi dalam tiga metode, yakni total-task
presentation, backward chaining, dan forward chaining (Martin & Pear, 2015).
Program yang akan dilakukan yaitu menggunakan teknik forward chaining.
Forward chaining adalah metode mengajarkan serangkaian tindakan langkah demi langkah
dari langkah pertama sampai akhir (Kazdin, 2013). Teknik ini membahas tahapan memakai
kemeja satu per satu, dari yang paling mudah hingga yang paling sulit, setelah anak berhasil
menyelesaikan satu tahap, anak mendapatkan penguatan. Teknik berutuan ini dimulai
dengan yang paling sederhana dan memotivasi anak untuk belajar cara memakai kemeja..
Metode ini akan sangat menolong anak dengan yang memiliki kesulitan untuk mempelajari
hal secara umum.
Penelitian yang dilakukan Batra dan Batra (2006) menemukan bahwa tidak terdapat
perbedaan hasil yang signifikan antara penggunaan forward chaining dan backward
chaining dalam melatih keterampilan dressing skill pada anak dengan disabilitas
intelektual. Hal yang sama ditemukan juga pada penelitian Lee, et. al. (2014), teknik
chaining terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan dressing skill pada anak
dengan disabilitas intelektual sedang.
Teknik chaining merupakan bagian dari intervensi modifikasi perilaku. Salah satu
karakteristik penting dalam intervensi modifikasi perilaku adalah penekanan pada perilaku
spesifik yang menjadi fokus perubahan. Perilaku harus jelas (overt) dan dapat diukur
(Kazdin, 2013). Target perilaku yang dituju dalam penelitian Batra dan Batra (2006) adalah
perilaku memakai kaus kaki dan mengikat tali sepatu, sedangkan dalam penelitian Lee, et.
al. (2014) target perilaku yang dituju adalah perilaku memakai jaket dan celana. Dalam
penelitian ini, target perilaku yang akan dikembangkan adalah keterampilan mengenakan
baju kemeja berkancing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti mengajukan rumusan
masalah penelitian sebagai berikut: “seberapa efektifitas teknik forward chaining pada
kemampuan menggunakan kemeja pada anak dengan disabilitas intelektual?”
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengetahui tingkat Efektifitas Teknik
Forward Chaining Pada Kemampuan Menggunakan Kemeja Pada Anak Dengan
Disabilitas Intelektual.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis :
1. Memberikan dorongan dan bantuan kepada orangtua, guru, dan pendamping
anak dalam menguasai setiap tahapan latihan menggunakan kemeja pada
anak disabilitas intelektual.
2. Memberikan kesadaran kepada orangtua, guru, dan pendamping anak dalam
mengatasi kemandirian melalui tahapan latihan menggunakan kemeja pada
anak disabilitas intelektual.
3. Menambah wawasan orangtua, guru, dan pendamping anak untuk terlibat
aktif dalam pemberian stimulasi anak dengan disabilitas intelektual.

Manfaat Teoritis :

1. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana latihan dan


pengembangan kemampuan dalam penggunaan bidang penelitian dan
penerapan teori dari teknik forward chaining pada anak disabilitas
intelektual.
2. Hasil penelitian diharapkan bisa menjadi bahan referensi dan acuan bagi
peneliti selanjutnya terutama dalam pembahasan “Efektivitas Teknik
Forward Chaining Pada Kemampuan Menggunakan Kemeja Pada Anak
Disabilitas Intelektual.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Disabilitas Intelektual
1. Pengertian Disabilitas Intelektual
Penyandang disabilitas intelektual adalah penyandang gangguan perkembangan
mental yang secara prinsip ditandai oleh deteriorasi fungsi konkrit di setiap tahap
perkembangan dan berkontribusi pada seluruh tingkat intelegensi (kecerdasan). Disabilitas
intelektual/tunagrahita menurut Amarican Association on Intelectual and Developmental
Disabilities (AAIDD) melalui Schalock et al., 2010 (Kauffman & Hallahan, 2011: 176)
“characterized by significant limitation both in intelectual functioning and in adaptive
behavior as expressed in conceptual, social, and practical adaptive skills.” Disabilitas
intelektual, atau keterbelakangan mental adalah individu yang membutuhkan kemandirian
dalam masyarakat terhadap kecakapan hidup yang spesifik dan terlatih secara intensif.
Penyandang disabilitas intelektual merupakan individu yang memiliki keterbatasan di dalam
perkembangannya. Keterbatasan itu berakibat pada kemandirian mereka di dalam masyarakat
memiliki berbagai kendala.
Penyandang disabilitas intelektual secara kodrat memiliki hambatan dalam berfikir
abstrak, kritis, kreatif dan keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan
situasi kehidupan baru dalam lingkungannya. Namun pada penyandang disabilitas intelektual
ringan, terdapat kemampuan yang dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled dengan
sedikit pengawasan. Disabilitas menurut WHO 2011 merupakan istilah umum yang meliputi
gangguan, keterbatasan dalam beraktivitas, dan keterbatasan partisipasi. Gangguan yang
dimaksud adalah adanya masalah dalam struktur dan fungsi tubuh, keterbatasan beraktivitas
adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang dalam melaksanakan suatu tindakan, sementara
keterbatasan partisipasi adalah adalah masalah yang dialami oleh seseorang dalam
keterlibatannya dengan situasi kehidupan (WHO, 2011)
Disabilitas Intelektual memiliki kesulitan yang signifikan baik dalam fungsi intelektual
(misalnya berkomunikasi, belajar, pemecahan masalah) dan perilaku adaptif (misalnya
keterampilan sosial sehari-hari, rutinitas, kebersihan). Adapun beberapa ciri – ciri disabilitas
intelektual ialah :

a) Kegagalan untuk memenuhi tonggak intelektual


b) Duduk, merangkak, atau berjalan lebih lambat dari anak-anak lain
c) Masalah belajar berbicara atau kesulitan berbicara dengan jelas
d) Masalah memori
e) Ketidakmampuan untuk memahami konsekuensi dari tindakan
f) Ketidakmampuan untuk berpikir logis
g) Perilaku kekanak-kanakan yang tidak sesuai dengan usia anak
h) Kurangnya keingintahuan
i) Kesulitan belajar
j) IQ di bawah 70
k) Ketidakmampuan untuk menjalani kehidupan mandiri sepenuhnya karena tantangan
dalam berkomunikasi, menjaga diri sendiri, atau berinteraksi dengan orang lain.

2. Faktor yang Mempengaruhi Disabilitas Intelektual


Penyebab disablitas intelektual dibagi menjadi dua hal, yatiu secara primer dan
sekunder. Disabilitas intelektual primer disebabkan karena faktor keturunan (genetik).
Sedangkan penyebab sekunder disebabkan karena faktor dari luar yang diketahui dan faktor-
faktor ini mempengaruhi otak, baik pada waktu pranatal ataupun postnatal dan dapat juga
disebabkan oleh faktor-faktor yang lainnya.
a. Penyebab Primer
Penyebab primer merupakan akibat dari faktor keturunan, disebabkan karena
ketidaknormalan kromosom dan gen. Beberapa kelainan genetik yang menyebabkan
disabilitas intelektual adalah Sindrom down dan kerusakan kromosom X. Sindrom down
adalah penyebab paling umum terjadinya disabilitas intelektual. Kerusakan kromosom X
( Fragile X syndrome ) adalah faktor yang paling banyak menyebabkan terjadinya
disabilitas intelektual yang diwariskan.
b. Penyebab Sekunder
Akibat penyakit atau pengaruh postnatal yang keadaan ini sudah diketahui sejak
sebelum lahir tapi tidak diketahui etiologinya. Selain itu dapat juga disebabkan oleh
penyakit otak yang nyata (postnatal).
c. Penyebab Lainnya
Terdapat beberapa penyebab lain yang dapat menimbulkan gangguan pada
intelektual, yaitu sebaai berikut.
• Infeksi, dalam hal ini termasuk keadaan retardasi mental karena kerusakan jaringan
otak akibat infeksi intracranial, karena serum, obat atau zat toxid lainnya.
• Rudapaksa atau penyebab fisik, rudapaksa atau penyebab fisik sebelum lahir serta juga
karena trauma yang lain, seperti sinar X, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan
abortus, dapat menyebabkan kelainan dengan retardasi mental.
• Gangguan metabolisme pertumbuhan maupun gizi, semua retardasi mental yang
berlangsung disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti gangguan metabolisme zat
lipida, karbohidrat dan protein. Termasuk juga gangguan pertumbuhan dan gizi.
Gangguan gizi yang berat dan berlangsung sebelum usia 4 tahun sangat mempengaruhi
perkembangan pada otak. Meskipun telah dilakukan perbaikan gizi, namun tingkat
intelegensinya sulit untuk ditingkatkan.
• Kelainan kromosom, kelainan ini berada pada jumlah kromosom dan bentuk yang
berbeda, kelainan yang terdapat pada jumlah kromosom ini desebut juga dengan down
syndrom.
• Premeturitas, juga termasuk kedalam retardasi mental yang berhubungan dengan
keadaan bayi pada saat dilahirkan memiliki berat badang kurang dari 2500 gram atau
karena pada masa hamil kurang dari 38 minggu.
• Gangguan jiwa berat, retardasi mental mungkin juga disebabkan oleh suatu gangguan
jiwa berat pada masa kanak-kanak. Dalam gangguan jiwa tersebut tidak terdapat tanda-
tanda patologi otak (Sichern 1995).

B. Teknik Forward Chaining


1. Pengertian Teknik Forward Chaining
Forward chaining merupakan teknik mengajarkan suatu rangkaian perilaku secara
bertahap, satu demi satu dimulai dari langkah awal hingga akhir secara berurutan Jaslinder,
2019 dalam (Kazdin, 2013). Forward chaining merupakan metode yang mengajarkan
mendahulukan langkah pertama pada sebuah rangkaian, kemudian dilanjutkan dengan
langkah kedua, ketiga dan selanjutnya sampai rantai perilaku yang ditargetkan terbentuk
secara keseluruhan Oki, 2021 dalam (Pear 2015). Artinya forward chaining mewujudkan
satu bentuk perilaku pada anak dengan mengajarkan langkah-langkah dari suatu rantai
perilaku dengan runtut. Selanjutnya dikuatkan dengan pendapat Slocum dan Tiger (2011),
yang menyatakan bahwa mengajarkan pembelajaran strategi forward chaining adalah
dengan mengajarkan langkah A, kemudian diikuti langkah B, C dan seterusnya hingga
akhir. Lalu biasanya guru atau instruktur selalu memberikan penguatan di setiap tahap serta
positive reinforcement. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan yaitu, metode forward
chaining adalah rangkaian aktivitas yang dikerjakan berurutan secara lengkap sampai
terbentuk suatu perilaku target. Pada metode forward chaining ini, subjek diminta untuk
menyelesaikan setiap tahap demi tahap rantai perilaku secara berurutan kemudian
mendapatkan penguatan di akhir setelah subjek menyelesaikan tahapan rantaian perilaku
tersebut. Penggunaan Teknik chaining sangat efektif pada anak dengan disabilitas
intelektual. Teknik chaining melibatkan stimulus dan respon yang bertahap secara
sistematis.

Metode ini akan sangat menolong anak dengan yang memiliki kesulitan untuk
mempelajari hal secara umum. Teknik ini dapat diterapkan pada tahapan menggunakan
kemeja. Teknik berurutan dimulai dari yang paing mudah diharapkan bisa memotivasi anak
untuk belajar menggunakan kemeja. Dengan metode forward chaining, diharapkan anak
dapat melatih kemandiriannya, terlebih dalam menggunakan pakaiannya.

2. Pedoman Impelentasi Chaining


Anak dengan disabilitas intelektual (ID) memiliki keterbatasan dalam kemampuan
bina diri, sehingga dalam melatih kemandirian pada anak yang berkebutuhan khusus
seringkali harus dijabarkan dalam beberapa tahapan kecil. Menurut Webster (2017) dalam
(Jaslinder & Hildayani, 2019) hal pertama yang harus dilakukan untuk melatih
kemandirian pada anak yang berkebutuhan khusus adalah task analysis. Task analysis
menurut Kazdin (2013) dalam (Juandi & Tirta, 2018) adalah pembagian perilaku spesifik
yang menjadi target modifikasi perilaku ke dalam tahap-tahap konkrit yang berurutan.
Salah satu bentuk Task analysis berikut dibuat berdasarkan tahapan berpakaian atau
dressing skills. Tahapan yang akan dilatih dalam penelitian ini adalah
a) Tahap 1 : Mengambil kemeja dari dalam lemari
b) Tahap 2 : Membentangkan kemeja di meja, sofa, atau kasur
c) Tahap 3 : Membuka kancing satu per satu
d) Tahap 4 : Mengangkat kemeja dan menghadapkan bagian kemeja yang terbuka kepada
anak
e) Tahap 5 : Memasukkan tangan kanan ke lubang kemeja bagian kiri
f) Tahap 6 : Memasukkan tangan kiri ke lubang kemeja bagian kanan
g) Tahap 7 : Mengancingkan kemeja

3. Faktor Yang Mempengaruhi Chaining


a) Analisis tugas (task analysis) yang lengkap
Semakin lengkap dan akurat analisa tugasnya, semakin besar kemungkinan
anak memiliki kemajuan dan cepat belajar keterampilan baru
b) Panjang dan kompleksitas
Semakin panjang dan kompleks keterampilan yang diajarkan, semakin lama
mencapai kemahiran
c) Reinforcer dan jadwal pemberian reinforcers yang cocok
Karena terapis juga harus memperhitungkan motivasi anak dan juga jumlah
responsnya dari sebuah rantai.
d) Variasi dari stimulus
Terapis harus memperhitungkan kemungkinan adanya variasi dari stimulis.
Misalnya ingin mengajarkan proses cuci tangan. Adakah kemungkinan tidak
ditemukannya tissue/handuk di toilet umum, tetapi kemudian anak diajarkan
mengeringkan dengan hand dryer.
e) Variasi dari respons
Terapis harus memperhitungkan kemungkinan adanya variasi dalam respons.
Misalnya dalam proses pembuatan kue misalnya, ada adonan yang langsung di
bakar di oven ada adonan yang harus ditambahkan kacang, dll. Kemudian
sampai mana tingkat kematangan dari masing-masing adonan yang tentu
berbeda.

C. Dinamika Masalah

Anak yang memiliki disabilitas intelektual memiliki keterbatasan dalam aspek kognitif
dan juga memiliki fungsi adaptif (keterampilan bina diri, perilaku sosial, kemampuan
komunikasi, kemampuan akademis dan perilaku dalam bekerja) yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak seusianya (American Psychiatrist Association, 2013).

Pada anak dan remaja dengan disabilitas intelektual, penguasaan keterampilan bina diri
merupakan komponen penting yang harus dikuasai oleh anak (Beirne-Smith, et. al., dalam
Wick-Nelson & Israel, 2015). Anak yang tidak dapat memperhatikan kebutuhan dasarnya
sendiri akan sulit untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial secara mandiri. Kebutuhan dasar
umumnya berupa kebutuhan untuk makan dan memakai pakaiannya tanpa bantuan orang
disekitarnya (WickNelson & Israel, 2015).

Kemampuan memakai pakaian merupakan kemampuan penting yang bagi anak-anak,


terutama pada anak dengan disabilitas intelektual. Umumnya seorang anak membutuhkan
waktu empat tahun untuk belajar memakai pakaiannya secara mandiri (Shepherd, dalam
Weichman, 2012). Weichman (2012) juga mengungkapkan bahwa anak mempelajari
kemampuan mengenakan dan melepas pakaian secara bertahap sejak usia satu tahun.

Metode yang tepat diperlukan agar anak dengan disabilitas intelektual dapat menguasai
kemampuan mengenakan pakaian secara mandiri. Weber (dalam Lee, et. al., 2014)
mengatakan bahwa chaining merupakan teknik yang efektif dalam mengajar anak dengan
disabilitas intelektual.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode eksperimen
kuasi. Penelitian eksperimen kuasi ini merupakan salah satu jenis penelitian kuantitatif
yang sangat kuat dalam mengukur hubungan sebab akibat antara variabel tergantung dan
terikat. Penelitian ini dilaksanakan untuk mencari pengaruh metode forward chaining,
dalam meningkatkan keterampilan anak down syndrome dalam mengancingkan baju.
B. Rancangan Pelaksanaan
1. Tempat Pelaksanaann : SLB Negeri 1 Padang
2. Waktu Penelitian
a. Intake : Selasa, 31 mei 2002
b. Baseline : Selasa, 31 Mei 2022
c. Treatment : Kamis, 2 Juni 2022
3. Subjek Penelitian :
Berikut karakteristik subjek: pertama, diagnosis klinis pada subjek berdasarkan
rekomendasi psikolog. Kedua, Anak tunagrahita sedang, atau penyandang down
syndrom, atau penyandang cerebral palsy, dengan rentang nilai inteligensi 30-55 dan
belum mampu mengancingkan pakaian (kemeja sekolah) secara mandiri. Ketiga,
Orangtua dan sekolah mengizinkan peneliti untuk melakukan observasi, pencatatan,
perekaman selama penelitian berlangsung.
Penelitian ini dilakukan pada seorang siswa SLB Negeri 1 Padang kelas 1 SD
berinisial A, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun. Ia mendapatkan diagnose down
syndrome. Ibunya bercerita bahwa A masih mengalami kesulitan dalam melakukan
aktivitas bina diri sehari-hari, salah satunya adalah kesulitan untuk mengenakan
pakaian sendiri. Hal ini dikarenakan A mengalami kesulitan dalam memusatkan
perhatian pada dirinya. Jari – jari tangannya yang tidak bisa memegang kancing baju
dengan benar dan kuat. A masih belum bisa menentukan bagian kiri dan kanan, depan
dan belakang. Semuanya masih butuh bimbingan dari orangtua.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Observasi
Observasi adalah proses mengumpulkan data dengan mengamati subjek secara
sistematis dan sengaja. Peneliti menggunakan observasi non-partisipan, dimana
observer tidak ikut dalam kehidupan observe dan secara terpisah berkedudukan
sebagai pengamat. Di dalam hal ini observer sudah mengamati perilaku anak yang
memiliki disabilitas intelektual yang menjadi sasaran sebagai subjek penelitian
ini.
b. Metode Wawancara
Wawancara adalah perbincangan yang menjadi sarana untuk mendapatkan
informasi tentang subjek penelitian dan bertujuan mendapatkan penjelasan
terhadap subjek tersebut. Wawancara pada penelitian ini menggunakan metode
wawancara langsung (autoanamnesa) terhadap subjek penelitian. Serta melakukan
wawancara kepada kerabat subjek menggunakan pertanyaan yang terstruktur
dengan pedoman blueprint berupa aspek – aspek yang berkaitan dan mengarah
pada judul penelitian untuk mendapatkan informasi secara mendalam.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah informasi yang berasal dari catatan penting baik dari
lembaga atau organisasi maupun dari perorangan. Dokumentasi penelitian ini
merupakan pengambilan gambar oleh peneliti untuk memperkuat hasil penelitian.
Menurut Sugiyono (2013:240), dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau
karya-karya monumentel dari subjek.
5. Pengembangan Instrumen Penelitian
a. Pedoman Observasi

Pedoman observasi kegiatan menggunakan kemeja berkancing ini


diadaptasi dari instrumen

Variabel Sub Variabel Indikator Cara


Pengambilan
Data
0 1 2
Kemampuan Kemampuan 1. Mengambil kemeja dalam lemari
menggunakan melaksanakan 2. Membentangkan kemeja di atas
kemeja langkah- meja
langkah dalam 3. Membuka kancing kemeja satu per
menggunakan satu
kemeja 4. Mengangkat kemeja dan
berkancing menghadapkan bagian kemeja
yang terbuka kepada anak
5. Memasukkan tangan kanan ke
lubang kemeja bagian kanan
6. Memasukkan tangan kiri ke lubang
kemeja bagian kiri
7. Mengancingkan kemeja

b. Pedoman Wawancara

Variabel Sub Variabel Indikator Cara


Pengambilan
Data
Orang Tua Kondisi Anak 1. Bagaimana kemampuan motorik
anak?
2. Bagaimana kemampuan sensorik
anak?
3. Bagaimana kemampuan
koordinasi anak?
4. Bagaimana kemampuan
komunikasi anak?
Kebiasaan anak 1. Bagaimana biasanya cara anak
saat dalam mengunakan pakaian?
menggunakan
pakaian
dirumah
Kemampuan 1. Mengambil kemeja dalam lemari
anak dalam 2. Membentangkan kemeja di atas
melakukan meja
langkah- 3. Membuka kancing kemeja satu
langkah dalam per satu
menggunakan 4. Mengangkat kemeja dan
kemeja menghadapkan bagian kemeja
berkancing yang terbuka kepada anak
5. Memasukkan tangan kanan ke
lubang kemeja bagian kanan
6. Memasukkan tangan kiri ke
lubang kemeja bagian kiri
7. Mengancingkan kemeja
Faktor-faktor 1. Pembelajaran tentang cara
yang menggunakan kemeja berkancing
berpengaruh 2. Jenis pakaian yang biasa
terhadap digunakan
kemampuan 3. Kemampuan motorik anak
dalam 4. Kemampuan koordinasi anak
menggunakan
kemeja
berkancing
Kesulitan yang 1. Langkah-langkah menggunakan
dihadapi anak kemeja berkancing
dalam
menggunakan
kemeja
berkancing
Upaya orang 1. Upaya yang dilakukan orangtua
tua untuk untuk mengatasi kesulitan dalam
mengatasi menggunakan kemeja berkancing
kesulitan pada anak
tersebut

Program modifikasi perilaku pada penelitian ini dirancang ke dalam dua sesi dan
terdiri dari tujuh tahapan memakai kemeja. Pada masing-masing sesi, anak akan dilatih
untuk melakukan seluruh tahapan memakai kemeja. Akan tetapi, terdapat beberapa tahap
yang menjadi target penguasaan di setiap sesi. Contohnya, sesi satu memiliki tiga target
(tahap satu, dua, tiga dan empat) tahapan perilaku memakai kemeja yang harus dikuasai
anak.

Tahapan Sesi Pelaksanaan Target Penguasaan Perilaku


Sesi 1 Tahap 1, 2, 3, 4
Sesi 2 Tahap 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

Pada tiap sesi pelaksanaan, anak memiliki kesempatan sebanyak tiga kali
percobaan. Secara umum pelaksanaan intervensi pada penelitian ini akan memberikan
kedua prompting (physical prompt dan verbal prompt) pada percobaan pertama atau pada
percobaan kedua serta pada percobaan ketiga saat anak merasa kesulitan dan mulai
menunjukkan distress. Anak dikatakan berhasil pada satu sesi, apabila anak tersebut
mampu menunjukkan tahapan perilaku memakai kemeja sesuai dengan target setiap sesi
sebanyak dua kali secara berurutan tanpa physical prompt dari total tiga kali percobaan
yang diberikan.

Percobaan pada setiap langkah akan dianggap gagal jika perilaku yang diharapkan
belum juga munculkan setelah 10 menit percobaan. Saat anak gagal mencapai target pada
satu sesi, maka sesi tersebut harus diulang kembali hingga anak berhasil dan maju ke sesi
selanjutnya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengukuran Baseline


1. Hari ke 1 : Selasa, 31 Mei 2022

Pada hari ini, peneliti melakukan observasi terhadap perilaku memasang


kemeja berkancing pada subjek. Dari hasil observasi subjek masih memerlukan
bimbingan dari orangtua untuk menentukan kanan – kiri, depan – belakang, dan
mengancing kemeja.

Cara Pengambilan

Variabel Sub Variabel Indikator Data

0 1 2

Kemampuan Kemampuan Mengambil kemeja √


dalam lemari
menggunakan melaksanakan
Membentangkan
kemeja langkah-langkah √
kemeja di atas meja
dalam
Membuka kancing
menggunakan √
kemeja satu per satu
kemeja
Mengangkat kemeja
berkancing
dan menghadapkan

bagian kemeja yang
terbuka kepada anak

Memasukkan tangan
kanan ke lubang kemeja √
bagian kanan

Memasukkan tangan
kiri ke lubang kemeja √
bagian kiri
Mengancingkan

kemeja
Keterangan:

0: Anak belum bisa


1: Anak sudah bisa, namun masih dibantu
2: Anak sudah bisa secara mandiri tanpa diberikan bantuan
2. Hari ke-2 : Kamis, 2 Juni 2022
Pada hari ini, dari hasil observasi terhadap subjek dan wawancara terhadap ibu
subjek, subjek memunculkan peningkatan terhadap perilaku sebelumnya, yaitu
mampu mencapai skor 2 pada langkah 1,2, dan 4. Perkembangan Langkah 3, 5, 6,
dan 7 walaupun A masih memerlukan bimbingan, namun A sudah mulai kuat dalam
memegang kancing kemeja.

Cara Pengambilan
Variabel Sub Variabel Indikator Data

0 1 2

Kemampuan Kemampuan Mengambil kemeja



menggunakan melaksanakan dalam lemari
kemeja langkah-langkah
Membentangkan
dalam √
kemeja di atas meja
menggunakan
kemeja Membuka kancing

berkancing kemeja satu per satu

Mengangkat kemeja
dan menghadapkan

bagian kemeja yang
terbuka kepada anak

Memasukkan tangan
kanan ke lubang √
kemeja bagian kanan

Memasukkan tangan
kiri ke lubang kemeja √
bagian kiri
Mengancingkan

kemeja

Keterangan:
0: Anak belum bisa
1: Anak sudah bisa, namun masih dibantu
2: Anak sudah bisa secara mandiri tanpa diberikan bantuan

B. Hasil Program Intervensi


1. Hari ke-1 : Selasa, 31 Mei 2022

Pada hari ini, treatmen yang diberikan pada saat pelaksanaan intervensi
yaitu memberikan kedua prompting (phsycal prompting dan verbal prompting)
pada percobaan pertama atau pada percobaan kedua serta ketiga saat anak merasa
kesulitan dan mulai menunjukkan distress. Dari hasil observasi terhadap subjek,
subjek memunculkan perilaku yaitu mampu mencapai skor 1 dengan masih
membutuhkan bimbingan dari orangtuanya.

Cara Pengambilan

Variabel Sub Variabel Indikator Data

0 1 2

Kemampuan Kemampuan Mengambil kemeja √


dalam lemari
menggunakan melaksanakan
Membentangkan
kemeja langkah-langkah √
kemeja di atas meja
dalam
Membuka kancing
menggunakan √
kemeja satu per satu
kemeja
Mengangkat kemeja
berkancing
dan menghadapkan

bagian kemeja yang
terbuka kepada anak

Memasukkan tangan √
kanan ke lubang kemeja
bagian kanan

Memasukkan tangan
kiri ke lubang kemeja √
bagian kiri
Mengancingkan

kemeja
Keterangan:
0: Anak belum bisa
1: Anak sudah bisa, namun masih dibantu
2: Anak sudah bisa secara mandiri tanpa diberikan bantuan

2. Hari ke-2 : Kamis, 2 Juni 2022

Pada hari ini, treatment yang diberikan pada subjek pada saat intervensi
dilakukan hampir sama seperti sebelumnya, yaitu memberikan prompting (phsycal
prompting dan verbal prompting) pada percobaan pertama atau pada percobaan
kedua serta ketiga saat anak merasa kesulitan dan mulai menunjukkan distress. Dari
hasil observasi terhadap subjek, subjek memunculkan perilaku yaitu mampu
mencapai skor 2 pada langkah 1,2, dan 4 namun pada langkah 3, 5, 6, dan 7 subjek
masih mendapat skor 1, karena subjek masih diberikan bantuan.

Cara Pengambilan
Variabel Sub Variabel Indikator Data

0 1 2

Kemampuan Kemampuan Mengambil kemeja



menggunakan melaksanakan dalam lemari
kemeja langkah-langkah
Membentangkan
dalam √
kemeja di atas meja
menggunakan
kemeja Membuka kancing

berkancing kemeja satu per satu
Mengangkat kemeja
dan menghadapkan

bagian kemeja yang
terbuka kepada anak

Memasukkan tangan
kanan ke lubang √
kemeja bagian kanan

Memasukkan tangan
kiri ke lubang kemeja √
bagian kiri

Mengancingkan

kemeja

Keterangan:
0: Anak belum bisa
1: Anak sudah bisa, namun masih dibantu
2: Anak sudah bisa secara mandiri tanpa diberikan bantuan

C. Pembahasan

Hal pertama yang dilakukan sebelum melakukan intervensi kepada anak adalah
melakukan proses intake dimana peneliti meminta informasi mengenai subjek kepada
orang tuanya, dalam hal ini ibu subjek, karena ibu subjek juga menajar disekolah yang
sama dengan si subjek. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan ibu subjek
sehingga didapat informasi bahwa subjek sudah bisa memasang kemeja, namun masih
terkendala dalam mengancingkan kemeja yang akan digunakan. Selain melakukan
wawancara dan observasi, peneliti juga berkenalan dan membangun raport dengan
subjek. Pada proses ini diketahui dari orang tua dan dari hasil observasi dari peneliti
bahwa subjek memiliki kendala, yaitu kurang fokus ketika jam makan/istirahatnya
diganggu. Oleh karena itu pada hari pertama kami menghentikan intervensi setelah 30
menit melakukan intervensi kepada subjek.

Prosedur selanjutnya yang dilakukan adalah proses baseline untuk mengetahui


gambaran mengenai kemampuan subjek dalam menggunakan kemeja berkancing.
Proses baseline pertama dilakukan pada tanggal 31 Mei 2022 di ruang kelas
SLB Negeri 1 Padang. Prosedur yang dilakukan antara lain:

Pada hari pertama baseline, dari hasil observasi subjek sudah dapat melakukan
langkah-langkah menggunakan kemeja berkancing namun masih harus dibimbing
setiap langkahnya. Subjek juga masih terkendala dalam menentukan bagian depan
– belakang dan kanan – kiri pada kemeja.

Prosedur berikutnya adalah treatmen dimana peneliti mulai mengurangi bantuan


yang diberikan kepada subjek dengan tujuan subjek bisa melakukan langkah-langkah
dalam menggunakan kemeja berkancing. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:

1. Pada hari pertama peneliti memberikan prompting (phsycal prompting dan verbal
prompting) namun peneliti tidak lagi memberikan phsycal prompting pada hari ke 2
pada saat subjek melakukan langkah ke 5-6.

2. Pada hari pertama peneliti memberikan prompting (phsycal prompting dan verbal
prompting) pada langkah ke 7, namun pada hari kedua peneliti hanya memberikan
phsycal prompting kepada subjek, karena subjek terlihat kesulitan ketika
mengancingkan kemeja.

Pada hari kedua treatment, 2 Juni 2022, subjek sudah bisa melakukan Langkah 1,2,
dan 4. Perkembangan Langkah 3, 5, 6, dan 7 walaupun A masih memerlukan bimbingan,
namun A sudah mulai kuat dalam memegang kancing kemeja.

Berdasarkan data yang didapatkan dari lembar observasi dapat diketahui bahwa
metode chaining dengan promp terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku berpakaian
(memakai kemeja). Jika dibandingkan dengan data baseline kondisi saat anak belum
mampu melakukan tahapan memakai baju dengan benar, hingga saat intervensi sesi ke 2
dilakukan anak sudah mampu melakukan tahapan memakai baju secara mandiri dengan
benar dimulai dari tahap awal mengambil baju hingga pada akhirnya mampu
mengancingkannya meskipun harus diberikan bantuan karena tenaga yang dimiliki subjek
kurang kuat untuk mengancingkan baju tersebut.

Kendala yang dialami selama intervensi yaitu ketika hari pertama ketika menemui
subjek, ternyata peneliti datang berdekatan dengan waktu istirahat makan dan pulang
subjek, sehingga subjek kurang fokus saat diberikan intervensi. Selama proses treatment
subjek beberapa kali tidak mau bekerja sama karena sedang berada dalam suasana hati yang
tidak baik dan sama sekali tidak mau ditemui oleh peneliti, hal ini menyebabkan kurang
efektifnya intervensi yang diberikan peneliti dan harus menunggu hingga suasana hati
subjek membaik baru peneliti bisa memberikan intervensi kepada subjek.
BAB 5

KESIMPULAN DAN HASIL


A. Kesimpulan
Intervensi modifikasi perilaku dengan teknik forward chaining yang disertai
dengan pemberian prompt dan penguatan positif dapat meningkatkan kemampuan
memakai baju kemeja pada anak dengan disabilitas intelektual sedang. Setelah diberikan
intervensi, kemampuan A dalam memakai baju kemeja mengalami peningkatan, walaupun
belum semua tahapan dapat dikuasai oleh A. Terutama pada tahap memasangkan kancing
baju belum dapat dilakukan karena keterbatasan motorik halus A.
B. Saran
Penelitian ini juga masih memiliki beberapa keterbatasan, sehingga peneliti
memberikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya. Pertama, mengingat keterbatasan
anak dengan disabilitas intelektual sedang dalam mempelajari hal baru, sebaiknya
pemberian intervensi dapat dilakukan dengan sesi yang lebih banyak. Kedua, lebih
memperhatikan jenis penguatan yang diberikan, sebaiknya penguatan tidak hanya
diberikan dalam bentuk penguatan sosial namun juga diberikan dalam bentuk nyata (seperti
hadiah kecil atau gambar tempel). Penguatan sosial jika diberikan secara bersamaan
dengan tangible reinforcement akan memberikan efek penguat yang lebih besar (O’Leary,
Poulos, & Devine, 1971). Ketiga, untuk dapat menggeneralisasi hasil penelitian ini pada
populasi anak dengan disabilitas intelektual, penelitian selanjutnya diharapkan
menggunakan jumlah sampel yang lebih besar.
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Desriyani,Ikeu,Yusi, Nurhidayah & Fanny Adistie.2019. BURDEN OF PARENTS IN


CHILDREN WITH DISABILITY AT SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI CILEUNYI.
NurseLine Journal.4(1),21-30
Dr. Mumpuniarti, M.Pd,Tin Suharmini, M.Si & N. Praptiningrum, M.Pd.2014. EFEKTIVITAS
PROGRAM PASCA-SEKOLAH BAGI KEMANDIRIAN PENYANDANG DISABILITAS
INTELEKTUAL. JURNAL P3LB.1(2),97-104
Jaslinder & Riani. 2019. Efektivitas Teknik Forward Chaining Pada Kemampuan Menggunakan
Kemeja Pada Anak Dengan Disabilitas Intelektual. Jurnal Psikologenesis, 7(1), 20
Natasya & Stella Tirta. 2018. PENERAPAN FORWARD CHAINING UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MEMAKAI BAJU PADA ANAK PENYANDANG DISABILITAS
INTELEKTUAL SEDANG. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. 2(1), 303.
Nur’aeni,Ani & N. Dede Khoeriah.2019. Perlindungan Hak Sosial Kewarganegaraan bagi
Penyandang Disabilitas Intelektual dalam Lapangan Kerja. Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan.4(2),30-39.
Panji, Oki Asmara. 2021. PENGGUNAAN METODE FORWARD CHAINING TERHADAP
KETERAMPILAN BERPAKAIAN PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG. Jurnal
Pendidikan Khusus, 2 – 3
Soebroto, M. J. A., & Djuwita, E. (2021). Penerapan backward chaining untuk meningkatkan
keterampilan berpakaian pada anak dengan disabilitas intelektual. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 9(1), 1-13.
Jaslinder, J., & Hildayani, R. (2019). Efektivitas teknik forward chaining pada kemampuan
menggunakan kemeja pada anak dengan disabilitas intelektual. Jurnal Psikogenesis, 7(1), 18-
27.
Hasanah, U. BAB III. STRATEGI PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS,
47.
Soeriawinata, Rury. (2019, 28 Januari). Mandiri Dengan Chaining. Tulisan pada
https://www.rurysoeriawinata.com
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai