Anda di halaman 1dari 12

Anak Yang Mengalami Hambatan Fisik dan Motorik Berdasarkan Kondisi

Fisik
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas
kelompok pada mata kuliah Pendidikan Inklusi

Disusun Oleh Kelompok 11 :

1. Ilmi Khairo 2030111061


2. Nova lisa 2030111098
3. Novi Sapitri 2030111099

PGMI 6C

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Mega Adyna Movitaria, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UIN MAHMUD YUNUS

BATUSANGKAR 2023 M/1444 H


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa juga shalawat dan salam
tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Tidak lupa juga terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Mega Adyna Movitaria, M.Pd selaku
dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Makalah yang berjudul “Anak Yang Mengalami Hambatan Fisik dan Motorik
Berdasarkan Kondisi Fisik” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Pendidikan Inklusi. Pada makalah ini akan membahas Anak Yang Mengalami Hambatan
Fisik dan Motorik Berdasarkan Kondisi Fisik

Jika ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, izinkan penulis menghaturkan
permohonan maaf. Sebab, makalah ini tiada sempurna dan masih mimiliki banyak
kekurangan. Penulis juga berharap pembaca makalah ini dapat memberikan kritik dan
sarannya kepada penulis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk menambah
wawasan, ilmu pengetahuan, dan menjadi acuan untuk menulis makalah lainnya.

Batusangkar, 04 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................2

A. Hambatan Pelinghatan (Tunanetra).........................................................................2


B. Hambatan Pendengaran ( Tunarungu).....................................................................4
C. Hambatan Fisik (Tunadaksa)...................................................................................6

BAB III PENUTUP............................................................................................................8

A. Kesimpulan..............................................................................................................8
B. Saran........................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lebih lambat daripada anak
normal. Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik
diperlukan adanya koordinasi antara neuromuscular system, dan fungsi psikis, serta
kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Secara fisik mungkin anak dapat
mencapai kematangan seperti pada anak normal, tetapi karena fungsi psikisnya
(seperti: pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya
bahaya dan cara menghadapinya, keterampilan gerak yang terbatas) mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara optimal dalam melakukan
aktivitas gerak motori.
Tunarungu adalah istilah yang majemuk pada kondisi ketidak fungsian organ
pendengaran atau telinga seorang anak, Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya.
anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik
yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain
mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan
mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang.
Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.
B. Rumuan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kita rumuskan permasalahannya
yaitu:
1. Apa itu hambatan penglihatan (tunanetra)?
2. Apa itu hambatan pendengaran (tunarungu)?
3. Apa itu hambatan fisik (tunadaksa)?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas dapat kita temui tujuan dari
penulisan makalah ialah
1. Untuk mengetahui hambatan penglihatan (tunanetra)
2. Untuk mengetahui hambatan pendengaran (tunarungu)
3. Untuk mengetahui hambatan fisik (tunadaksa)

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anak dengan Hambatan Sensorik - Penglihatan (Tunanetra)


Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan
dalam perspektif pendidikan dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind)
a. Low Vision
Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat
dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari
jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21
meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal
bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.
b. Hambatan penglihatan total
Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang
tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau
pun mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan
malam tanpa mengetahui sumber cahayanya. Akibat dari adanya hambatan ini
peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca dan menulis
braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan
daily activities.

Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lebih lambat daripada anak


normal. Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik
diperlukan adanya koordinasi antara neuromuscular system, dan fungsi psikis, serta
kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Secara fisik mungkin anak dapat
mencapai kematangan seperti pada anak normal, tetapi karena fungsi psikisnya
(seperti: pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya
bahaya dan cara menghadapinya, keterampilan gerak yang terbatas) mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara optimal dalam melakukan
aktivitas gerak motori.(Somantri, Dra. Hj. T. Sutjihati. (2012). n.d.)

Perkembangan motorik juga mengikuti prinsip perkembangan yaitu


berlangsung dari yang sederhana menuju yang kompleks, secara berurutan. Bagi anak
tunanetra, penguasaan perilaku motoric dasar seperti berjalan, memegang benda

2
sudah merupakan masalah yang tidak mudah dikuasai, sehingga dapat menghambat
keterampilan motorik lainnya.

Suatu penelitian singkat tentang perkembangan bayi normal membuktikan


bahwa fungsi mata memegang peranan yang cukup berarti dalam memberikan
rangsangan terhadap perkembangan perilaku motorik anak. Oleh karena itu pada bayi
tunanetra perlu diperhatikan upaya untuk melengkapi kekurangan ransangan visual.

Intervensi pendidikan untuk siswa tunanetra dan low vision di Indonesia


berkisar dari bentuk kelas biasa sampai pada suatu institusi khusus.

a. Kelas regular: guru kelas dibantu konsultan/ Guru khusus untuk menyiapkan
materi dan pengajaran bagi siswa tunanetra.
b. Program guru kunjung: siswa tunanetra berada dalam kelas biasa, tetapi juga
mendapat latihan untuk pelajaran khusus seperti keterampilan untuk mendengar
atau menggunakan optacon.
c. Program ruang sumber: siswa tunanetra bersama teman sekelasnya menerima
suatu pelajaran tetapi pada saat tertentu menerima program tertentu dalam ruang
khusus.

Untuk tujuan administrative, dikenal pula kelas-kelas khusus seperti:

a. Kerjasama atau kelas khusus paruh waktu: siswa tunanetra turut berpartisipasi
dengan siswa lain dalam kelas biasa untuk menerima pelajaran tertentu.
b. Kelas khusus penuh waktu: siswa berada di kelas khusus untuk menerima
pelajaran.
c. Sekolah berasrama: siswa berada dalam kelas dan sekolah khusus namun ada
kemungkinan bagi mereka untuk berpartisipasi dengan masyarakat setempat atau
mengikuti program sekolah privat yang ada di sekitarnya.

Walau bagaimanapun, untuk menetapkan program pendidikan yang sesuai


bagi siswa tunanetra, berikut ini hal-hal yang harus dipertimbangkan:

a. Derajat fungsi visual: diperoleh dari pemeriksaan atau pendataan bagaimana


penglihatan anak di kelas atau keadaan lain di sekolah, seperti saat bermain atau
saat di kantin. Faktor lain yang dapat mempengaruhi fungsi visual adalah usia
terjadinya gangguan, usia kronologis, dll.

3
b. Pemeriksaan fisik: untuk mengetahui apakah ada gangguan lain, misal; gangguan
pada jantung
c. Evaluasi psikologik: untuk melihat tingkat inteligensi, hasil tes kemampuan, dan
tes prestatifnya. Berikan tes secara verbal.
d. Observasi dan laporan guru yang memenuhi syarat yaitu: dari guru kelas biasa
dan guru kelas khusus
e. Persetujuan dari orangtua: untuk keputusan mengenai perawatan anak dalam
institusi khusus.

Meskipun kehilangan fungsi penglihatan sangat mengganggu anak untuk


mendapatkan pengalaman, sebagian besar ahli setuju bahwa anak yang memiliki
gangguan penglihatan harus dididik dengan cara umum seperti mendidik anak normal,
namun diperlukan beberapa modifikasi. Berikut ini beberapa isu utama yang perlu
mendapat perhatian khusus dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
tunanetra:

a. Braille
b. Pemanfaatan sisa penglihatan
c. Pemanfaatan kemampuan mendengar

B. Anak dengan Hambatan Sensorik – Pendengaran (Tunarungu)


Tunarungu adalah istilah yang majemuk pada kondisi ketidak fungsian organ
pendengaran atau telinga seorang anak, Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya.
(Boothroyd (1982) n.d.) menjelaskan, bahwa istilah tunarungu (hearing impairment)
menunjuk pada semun gangguan dalam daya dengar, terlepas dari sifat, factor
penyebab, dan tingkat/derajat tunarungu. Secara umum tunarungu (Blackhurst, A.E &
Berdine,H.W (1981) n.d.) terdiri alas dua tingkatan kemampuan mendengar, yaitu tuli
(the deal), yaitu penyandang tunarungu berat don sangat berat dengan tingkat ketulian
di atas 90 dB, dan kurang dengar (hard of hearing), yaitu penyandang tunarungu
ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.

Karakteristik Anak Tunarungu

a. Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian


25-45 dis. Yaitu seorang yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana ia

4
mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh. Padu
kondisi yang demikian, seseorang anak secara pedagogis sudali memerlukan
perhatian khusus dalam belajar di sekolah, misalnya dengan menempatkan tempat
duduk di bagian depan, yang dekat dengan guru.
b. Tunarungu sedang yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
46-70 dB. Yaitu seorang yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana ia
hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara berhadapan, tetapi
tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anal yang mengalami
ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat Bantu dengar (hearing aid) dan
memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.
c. Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian
71-90 dB. Yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya
dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa
dengan kategori ini juga memerlukan alat Bantu dengar dalam mengikuti
pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau
latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.
d. Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami
tingkat ketulian 90 dB ke atas. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak
dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui
getaran-getaran suara yang ada. Untuk kegintun pendidikan dan aktifitas lainnya,
penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan kemampuan visual atau
penglihatannya.
Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka
yang tidak mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang
terganggu fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar
maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan
pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek
berikut:
a. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak
yang mendengar. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak
dengan hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan

5
koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan
kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.
b. Aspek bicara dan bahasa
Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling
banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan
hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Bagi anak dengan hambatan
pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya
meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar. Individu tersebut tidak dapat
menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir.
Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran biasanya sering
sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-
bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

C. Anak dengan Hambatan Fisik – Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)


Gangguan gerak (Tunadaksa) adalah:
a. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami
kesulitan yang berat atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam
kehidupan sehari-hari seperti berjalan dan menulis meskipun dengan
memgunakan alat-alat bantu pendukung.
b. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang
selalu memerlukan observasi dan bimbingan medis.

Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu:

a. Kelainan pada sistem serebral (cerebral system)


b. Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi jenis
spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran. Sedangkan yang termasuk
pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan spina bifida. Sedangkan
anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang
sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan
gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada
sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah

6
tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu
memenuhi kebutuhan gerak.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tunarungu adalah istilah yang majemuk pada kondisi ketidak fungsian organ
pendengaran atau telinga seorang anak, Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya.
Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang
tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun
mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa
mengetahui sumber cahayanya.
B. Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini menjadi sarana untuk
menambah wawasan bagi para pembaca. Mohon maaf jika dalam penulisan makalah
ini terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan sarannya kamai harapkan.

8
DAFTAR PUSTAKA

“Blackhurst, A.E & Berdine,H.W (1981), An Introduction to Special Education, Boston:


Little, Brown & Co.”

“Boothroyd (1982), Hearing Impairment in Young Children, Englewood Cliffs, New York:
Prentice-Hall, Inc.”

“Somantri, Dra. Hj. T. Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung PT Refika
Aditama.Docx.”

Anda mungkin juga menyukai