Anda di halaman 1dari 21

PERMAINAN BOLA VOLI PENDIDIKAN JASMANI

ADAPTIF BAGI TUNA DAKSA

Untuk Memenuhi Tugas Makalah Pendidikan Jasmani Adaptif


yang diampu oleh Bapak Dr. Eko Hariyanto, M.Pd

Disusun Oleh : KELOMPOK 10

Fino Pradana Putra 190611643335


Ilkhaido Ramazie 190611643283
Mario Bagus 190611643324
Muhammad Adam Alif 190611643403

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU


KEOLAHRAGAAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN

1
REKREASI
MARET 2022

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan Tuhan Yang Maha Esa,


Karena petunjuk dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Pendidikan Jasmani
Adaptif yang berjudul “Model Pembelajaran Jasmani Adaptif Bola
Voli untuk Anak Tuna Daksa”

Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan


terimakasih yang sebesar – besarnya. Terlepas dari semua
kekurangan penulisan makalah ini, baik dalam susunan dan
penulisanya yang salah, kami mohon maaf dan berharap semoga
tulisan makalah ini bermanfaat khususnya kepada kami selaku
penulis dan umumnya kepada para pembaca.

Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para


pembaca pada umumnya. Apabila ada kesalahan kami selaku penulis
mohon maaf.

Malang, 10 Maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna.


Diantara organisme yang lainnya, manusialah yang mempunyai
bentuk dan struktur yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia
adalah kesempurnaan dengan tolok ukur makhluk-makhluk Tuhan
lainnya. Kelebihan dan kekurangan masih tetap ada. Banyak manusia -
manusia berprestasi karena mereka dapat mengolah bakatnya secara
optimal. Ada juga manusia yang tidak menggunakan kelebihannya
dengan baik. Hal tersebut sungguh disayangkan, mengingat masih
banyaknya manusia yang tidak bisa berkarya karena keterbatasan -
keterbatasan yang dimiliki. Salah satu contoh adalah tuna daksa.

Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan


yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan
holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta
emosional. “Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah
kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggap sebagai
seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya” (Tejamukti,
2016) . Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang
kajian yang sangat luas. Titik perhatianya adalah peningkatan gerak
manusia. Lebih khusus lagi, pendidikan jasmani berkaitan dengan
hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainya yaitu
hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya.

Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi


anggota tubuh (anak tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak
berkelainan dalam konteks Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus)

4
masih dipermasalahkan. Munculnya permasalahan tersebutterkait
dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehialangan salah satu atau
lebih fungsianggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak
mengalami kesulitan untuk menititugas perkembangannya, tanpa harus
masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa(khususnya tunadaksa
ringan).

Ada manusia tuna daksa mulai dari lahir, ada pula yang menjadi
tuna daksa karena kecelakaan. Mereka tidak seperti manusia manusia
normal lainnya. Mereka memerlukan bantuan alat tambahan untuk
dapat beraktifitas normal, walau penggunaan alat tersebut hanya
sekedar membantu saja tidak menyembuhkan secara permanen.
Sehingga diperlukan berbagai modifikasi yang dapat membantu
meringankan aktivitas manusia tuna daksa. Dalam hal ini penulis
memilih untuk mengkaji lebih dalam mengenai modifikasi dalam
bidang pembelajaran pendidikan jasmani. Oleh karena itu dalam
makalah ini kami akan membahas model pembelajaran serta modifikasi
untuk anak berkebutuhan khusus tuna daksa dalam permainan bola
voli.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari anak Tuna Daksa?


2. Bagaimana Klasifikasi dari anak Tuna Daksa?
3. Bagaimana perkembangan kognitif dari anak Tuna Daksa?
4. Bagaiman model pembelajaran jasmani untuk Tuna Daksa?
5. Bagaimana model pembelajaran bolavoli untuk anak tuna daksa?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari anak Tuna Daksa.


2. Menguraikan klasifikasi anak Tuna Daksa.
3. Menjelaskan perkembangan kognitif anak Tuna Daksa.

5
4. Menjelaskan model pembelajaran jasmani untuk Tuna Daksa

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TUNA DAKSA

Anak tuna daksa anak yang mempunyai kelainan ortopedik atau salah satu
bentuk berupa gangguan adalah dari fungsi normal pada tulang, otot, dan persendian
yang mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila
mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu.

Didalam Wikipedia, pengertian Tunadaksa adalah individu yang memiliki


gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang
yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral
palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan
yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat
ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan
mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total
dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

2.2 KLASIFIKASI TUNA DAKSA

Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya kelainan pada anak
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada
sistem serebral ( Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka
( Musculus Skeletal System)

a. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral system disorders)

Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem serebral ( cerebral)


didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat
(otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat
mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial karena otak dan sumsum tulang belakang
merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran,

7
pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya.
Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral
Palsy dapat diklasifikasikan menurut:

1) Penggolongan menurut derajat kecacatan

Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas: Golongan ringan,


golongan sedang, dan golongan berat.

• Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat,
berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka dapat hidup bersama-sama (dalam hal ini mengikuti aktivitas sehari-hari)
anak normal lainnya. Kelainan yang dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu
kehidupan dan pendidikannya.

• Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment atau latihan


khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri.  Golongan ini
memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk
membantu penyangga kaki, kruk atau tongkat sebagai penopang dalam berjalan.
Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat
mengurus dirinya sendiri.

• Golongan berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy. Golongan ini


yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan menolong
dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat.

2) Penggolongan menurut topografi

Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral


Palsy dapat digolongkan menjadi enam golongan, yaitu:

 Monoplegia

Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri.Sedangkan kaki
kanan dan kedua tangannya normal.

8
 Hemiplegia

Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan
kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.

 Paraplegia

Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.

 Diplegia

Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri
(paraplegia).

 Triplegia

Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua
kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.

 Quadriplegia

Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggotageraknya. Mereka


cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,quadriplegia disebutnya juga
tetraplegia.

3) Penggolongan menurut fisiologi

Dilihat dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat di otak dan fungsi
geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:

 Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada
sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika akan bergerak
sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional, kekakuan
atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang,

9
gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini
memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada
yang normal bahkan ada yang di atas normal.

• Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat
digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan.
Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi gerak.

• Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya
dapat terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada
tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak.
Akibatnya, anak tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan
ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan
mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung
mulut.

• Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan
terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran.
Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai, dan bibir.

• Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot – tidak seperti pada tipe spastik –
di mana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.

• Tipe campuran

Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP sehingga
akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu
tipe CP.

1
0
b. Kelainan pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel system)

Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka
didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan
yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak
dan rangka antara lain meliputi

a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil
dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini menyerang sumsum
tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai enam tahun.

b. Muscle Dystrophy

Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada


penderita muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin parah.
Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan saja atau
kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki. Penyebab terjadinya muscle
distrophy belum diketahui secara pasti. Gejala anak menderita muscle
dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan
yang lambat, di mana semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika
berjalan sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu
berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda

2.3 PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK TUNA DAKSA

Proses perkembangan kognitif banyak ditentukan dari pengalaman-


pengalaman individu sebagai hasil belajar. Proses perkembangan kognitif akan
berjalan dengan baik apabila ada dukungan atau dorongan dari lingkungan. Seperti
dikatakan Piaget bahwa setiap individu memiliki struktur kognitif dasar yang
disebut schema (misalnya kemampuan untuk melakukan gerakan refleks, seperti
menghisap, merangkak, dan gerakan refleks lainnya).schema ini akan berkembang
melalui belajar. Proses adaptasi yang didahulukan dengan adanya persepsi.

1
1
Anak tuna daksa yang mengalami kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah
secara fisiologis dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tuna daksa
mengalami hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan
dan mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga sedikit banyak masalah ini
mengakibatkan hambatan dalam perkembangan struktur  kognitif anak tuna daksa.
Dalam pengukuran intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka
intelegensi yang cukup tinggi. Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada
anak-anak tuna daksa ini belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan
mobilitas, masalah emosi, kepribadian akan mempengaruhi anak tuna daksa dalam
melakukan eksplorasi keluar.

2.4 Model Pembelajaran Jasmani untuk Tuna Daksa

Program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus tidaklah sama


dengan siswa lainnya, karena setiap siswa memiliki karakteristik dan kebutuhan
yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan program pembelajaran yang lebih khusus
disesuaikan dengan kebutuhan siswa tersebut. Walaupun saat pelaksanaan
pembelajaran bersama-sama dengan siswa lain, tetapi program yang harus
diterapkan berbeda dengan program pembelajaran bagi siswa lainnya. Untuk
memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal maka diperlukan pengembangan
maupun modifikasi pembelajaran dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan
setiap siswa.
Tarigan (2000;49) mengungkapkan bahwa ada beberapa tehnik modifikasi
yang dapat dilakukan pada saat pembelajaran jasmani bagi siswa berkebutuhan
khusus. diantaranya: modifikasi pembelajaran, dan ‘ modifikasi lingkungan
belajar’.

a. Modifikasi Pembelajaran

Tarigan (2000;49) mengungkapkan bahwa “ untuk memenuhi kebutuhan


para siswa berkebutuhan khusus dalam pembelajaran pendidikan jasmani maka para
guru seyogiyanya melakukan modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian dalam

1
2
pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa”.
Jenis modifikasi dalam pembelajaran ini berveriasi dan bermacam-macam
disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa berkebutuhan khusus, tetapi
tetap memiliki tujuan untuk memaksimalkan proses pembelajaran. Ada beberapa hal
menurut Tarigan (2000;50) yang dapat dimodifikasi untuk meningkatkan
pembelajaran diantaranya:

1. Penggunaan Bahasa

Bahasa merupakan dasar dalam melakukan komunikasi. Sebelum


pembelajaran dimulai, para siswa harus faham tentang apa yang harus dialakukan.
Pemahaman berlangsung melalui jalinan komunikasi yang baik antara guru
dengan siswa. Oleh karena itu, mutu komunikasai antara guru dan siswa perlu
ditingkatkan melalui modifikasi bahasa yang dipergunakan dalam pembelajaran.
Sasaran dari modifikasi bahasa bukan hanya ditujukan bagi siswa yang
mengalami hambatan berbahasa saja, tetapi bagi anak yang mengalami hambatan
dalam memproses informasi, gangguan perilaku, mental, dan jenis hambatan-
hambatan lainnya.
Contohnya pada siswa Autis, dia tidak bisa menerima dan merespon
instruksi yang di berikan apabila instruksi yang diberikan terlalu panjang. Oleh
karena itu instuksi yang diberikan kepada siswa autis harus singkat tetapi jelas,
Begitupula dengan siswa yang memiliki hambatan mental dengan tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata, mereka tidak dapat memproses sebuah instruksi
yang terlalu panjang sehingga instruksi yang diberikan kepada mereka haruslah
singkat dan jelas.
Berbeda dengan contoh di atas penggunaan bahasa bagi siswa tunanetra dan
siswa yang berkesulitan belajar harus lengkap dan jelas, karena siswa tunanetra
memiliki keterbatasan dalam menggambarkan lingkungan yang ada disekitarnya
sehingga mereka membutuhkan penjelasan yang jelas dan lengkap.
Sementara bagi beberapa siswa berkesulitan belajar, ada diantara mereka
yang memiliki hambatan saat menerima instruksi yang diberikan, contohnya
siswa berkesulitan belajar yang memiliki gangguan perkembangan motorik saat
dia diberikan instruksi untuk menggerakan tangan kanan tetapi tanpa disadari
dan disengaja tangan kiri yang dia gerakan. Seperti yang diungkapkan oleh

1
3
Learner dalam Abdurrahman (2003:146) bahwa “siswa berkesulitan belajar
memiliki gangguan perkembangan motorik antara lain kekurangan pemahaman
dalam hubungan keruangan dan arah, dan bingung lateralitas (confused
laterality)”. oleh karena itu dia memerlukan instruksi yang jelas bahkan kalau
bisa guru juga ikut memperagakan gerakan yang diinstruksikan agar siswa tidak
mengalami kesalahan dalam melakukan gerakan dan instruksi yang diberikan
harus berurutan dari tahapan awal sampai akhir karena apabila ada gerakan yang
runtutannya hilang kemungkinan besar dia akan bingung saat melakukan gerakan
selanjutnya.
Sedangkan bagi siswa yang memiliki hambatan pendengaran guru harus
menggunakan dua metode komunikasi yakni komunikasi verbal dan Isyarat yang
sering disebut dengan komunikasi total. Komunikasi total ini dapat lebih
memahami instruksi yang diberikan oleh guru, pada saat siswa tidak memahami
bahasa isyarat dia bisa membaca gerak bibir dan juga sebaliknya.

2. Membuat urutan tugas

Dalam melakukan tugas gerak yang diberikan oleh guru terkadang siswa
melakukan kesalahan dalam melakukannya, hal ini diasumsikan bahwa para
siswa memiliki kemampuan memahami dan membuat urutan gerakan-gerakan
secara baik, yang merupakan prasyarat dalam melaksanakan tugas gerak.
Seorang guru menyuruh siswa “ berjalan ke pintu” yang sedang dalam
keadaan duduk. Untuk melaksanakan tugas gerak yang diperintahkan oleh guru
tersebut, diperlukan langkah-langkah persiapan sebelum anak benar-benar
melangkahkan kakinya menuju pintu.
Jika seorang siswa mengalami kesulitan dalam membuat urutan-urutan
peristiwa yang dialami, maka pelaksanaan tugas yang diperintahkan guru tersebut
akan menjadi tantangan berat yang sangat berarti bagi dirinya. Oleh karena itu
guru harus tanggap dan memberikan bantuan sepenuhnya baik secara verbal
maupun manual pada setiap langkah secara beraturan.

3. Ketersediaan Waktu Belajar

Dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus perlu disediakan waktu


yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses
informasi. Sebab dalam kenyataan ada siswa berkebutuhan khusus yang mampu

1
4
menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan siswa-siswa lain pada
umumnya.
Namun pada sisi lain ada siswa yang membutuhkan waktu lebih banyak
untuk memproses informasi dan mempelajari suatu aktivitas gerak tertentu. Hal
ini berarti dibutuhkan pengulangan secara menyeluruh dan peninjauan kembali
semua aspek yang dipelajari. Demikian juga halnya dalam praktek atau berlatih,
sebaiknya diberikan waktu belajar yang berlebih untuk menguasai suatu
keterampilan atau melatih keterampilan yang telah dikuasai
Contohnya bagi siswa yang memiliki hambatan mental dengan tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata, dia tidak dapat memproses informasi atau perintah
yang diberikan dengan cepat, sehingga dia akan mengalami kesulitan dan sedikit
membutuhkan waktu lebih banyak dalam melakukan kegiatan tersebut. Begitu
pula dengan siswa yang memiliki hambatan motorik, mereka membutuhkan
waktu yang lebih saat melakukan sebuah aktivitas jasmani karena hambatan yang
dimilkinya.
Contoh kegiatannya, pada saat kegiatan berlari mengelilingi lapangan siswa
yang lain di berikan alokasi waktu 2 menit untuk dapat mengelilingi lapangan,
tetapi bagi siswa yang memiliki hambatan mental, motorik dan perilaku mungkin
membutuhkan alokasi waktu 4 sampai 5 menit untuk dapat mengelilingi lapangan
tersebut.
Jadi waktu yang diberikan kepada siswa yang memiliki hambatan harus
disesuaikan dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh siswa tersebut,
tetapi bukan erarti harus selalu lebih dari siswa lainnya karena pada kenyataanya
ada siswa yang memiliki hambatan dapat menguasai pelajaran waktu yang
dibutuhkannya sama dengan siswa lainnya. Sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh Tarigan (2000;56) bahwa: dalam menghadapi siswa cacat perlu disediakan
waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses
informasi. Sebab dalam kenyataannya ada siswa yang cacat mampu menguasai
pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan rata-rata anak normal.

4. Modifikasi Lingkungan Belajar

Dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa yang


berkebutuhan khusus maka suasana dan lingkungan belajar perlu dirubah sehingga
kebutuhan-kebutuhan pendidikan siswa dapat terpenuhi secara baik untuk

1
5
memperoleh hasil maksimal.
Adapun teknik-teknik memodifikasi lingkungan belajar siswa menurut
Tarigan dalam Penjas adaptif (2000: 58) sebagai berikut:

5. Modifikasi fasilitas dan peralatan

Memodifikasi fasilitas-fasilitas yang telah ada atau menciptakan fasilitas


baru merupakan keharusan agar program pendidikan jasmani bagi siswa
berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan sebagai mana mestinya.
Semua fasilitas dan peralatan tentunya harus disesuaikan dengan
kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu
diperlukan sebuah modifikasi dan penyesuaian pada fasilitas dan peralatan yang
akan digunakan oleh siswa berkebutuhan khusus. Ada beberapa modifikasi
tersebut meliputi:
a) Pengecatan, pengapuran atau memperjelas garis-garis pinggir atau batas
lapangan
b) Memperlebar lintasan agar dapat dilalui oleh kursi roda
c) Mengubah atau menyesuaikan ukuran bola dalam permainan sepak bola
dan voli ball
d) Memodifikasi bola menjadi bercahaya dan berbunyi bagi siswa
tunanetra.

6. Pemanfaatan ruang secara maksimal


Pembelajaran pendidikan jasmani identik diselenggarakan di lapangan
yang luas dimana semua siswa dapat berlari-lari kesana kemari, sampai – sampai
terkadang guru akan kesulitan apabila lapangan yang luas tersebut tidak bisa
digunakan dan mungkin akan mengganti program pembelajaran yang awalnya
akan diselenggarakan di lapangan menjadi pembelajaran materi di dalam kelas.
Padahal sebetulnya pembelajaran pendidikan dapat dilaksanakan dimana saja
asalkan tidak membahayakan pembelajaran tersebut.
Pembelajaran pendidikan jasmani dapat dilakukan di dalam maupun di luar
ruangan hal tersebut tergantung kreatifitas guru dalam merancang pembelajaran

1
6
tersebut dengan baik. Seperti yang disampaikan oleh Tarigan (2000;60) bahwa ‘
Seorang guru pendidikan jasmani harus selalu kreatif dan menemukan cara–cara
yang tepat untuk memanfaatkan sarana yang teredia, sehingga menjadi suatu
lingkungan belajar yang layak’.

7. Menghindari gangguan dan pemusatan konsentrasi

Segala bentuk gangguan saat pembelajaran pendidikan jasmani dapat


datang dari mana saja baik dari dalam pembelajaran maupun luar pembelajaran.
Gangguan tersebut dapat berupa kebisingan suara yang mengganggu konsentrasi,
orang lain yang tidak berkepentingan berada di dalam lapangan, benda-benda
yang dapat mengganggu jalannya pembelajaran, dan lain sebagainya.
Khusus bagi siswa yang mengalami gangguan belajar, hiperaktif dan tidak
bisa berkonsentrasi lama, faktor-faktor tersebut merupakan gangguan yang
sangat berarti, namun bagi siswa siswa lainnya tidak terlalu mengganggu.
Semua faktor – faktor di atas, perlu dihilangkan atau dihindari semaksimal
mungkin, agar para siswa dapat memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada
tugas-tugas yang diberikan. Tarigan (2000:61) mengungkapkan bahwa
Konsentrasi dan perhatian siswa dapat dialihkan dengan berbagai cara
antara lain: pemberian instruksi dengan jelas dan lancar, dan guru harus memiliki
antusiasme yang tinggi serta selalu ikut berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
Seperti apa yang diungkapkan oleh Tarigan di atas bahwa konsentrasi dan
perhatian siswa dapat dialihkan dengan beberapa cara diantaranya pemberian
instruksi dengan jelas dan lancar. Instruksi yang diberikan oleh guru kepada siswa
harus jelas tanpa ada singkatan ataupun kata-kata yang dapat membuat siswa
menjadi bingung, dan instruksi yang diberikan harus utuh dan lancar jangan
tersendat-sendat atau terputus-putus karena hal tersebut dapat menciptakan ruang
bagi siswa untuk memalingkan perhatiannya.

Cara yang kedua adalah guru harus memiliki antusiasme yang tinggi serta
selalu ikut berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Pada saat pembelajaran
berlangsung guru harus dapat berperan aktif dalam setiap kegiatan yang
dilakukan bersama-sama dengan siswa. Guru dengan siswa bersama-sama

1
7
melakukan kegiatan jasmani dengan menunjukan semangat dan keceriaan yang
dapat menarik perhatian siswa agar mau mengikuti kegiatan yang dilakuan.

2.5 Model Pembelajaran Bolavoli untuk Anak Tuna Daksa

Pembelajaran permainan dengan menggunakan peraturan sebenarnya


seringkali menyebabkan siswa susah untuk menerimanya karena belum siap dan
pengalaman lapangan masih relatif kurang. Untuk itu pembelajaran dapat
dimodifikasi dengan cara mengurangi struktur permainan yang sebenarnya hingga
pembelajaran strategi dasar bermain dapat diterima relatif mudah oleh siswanya.
Pengurangan struktur permainan ini dapat dilakukan terhadap faktor : (1) ukuran
lapangan, (2) bentuk, ukuran dan jumlah peralatan yang digunakan, (3) jenis
skillyang digunakan, (4) aturan, (5) jumlah pemain, (6) organisasi pemain, serta (7)
tujuan permainan (Yoyo Bahagia dan Adang Suherman, 2000:31-32).
Permainan bola voli untuk tuna daksa menggunakan net dan lapangan
badminton agar lebih sederhana. Net yang rendah ± 100 cm dengan menggunakan
net badminton akan lebih mempermudah serangan, pertahanan, dan juga saat
menerima servis, dengan demikian maka akan terjadi reli – reli yang panjang.
Bola yang digunakan untuk permainan bola voli pada anak tuna daksa
menggunakan bola voli sesungguhnya atau bisa disesuaikan dengan tingkatan
usianya. Untuk kategori usia remaja hingga dewasa dapat menggunakan bola voli
standart karena pada usia ini power lengan dapat dikatakan relatif kuat dan bola
akan lebih stabil bila menggunakan bola voli standart. Namun untuk anak usia dini
bisa menggunakan bola yang lebih kecil atau bola plastik.
Lapangan dibentuk lebih kecil dengan menggunakan lapangan
badminton agar siswa merasakan suasana lapangan yang berbeda dengan lapangan
bola voli sesungguhnya. Dengan dibentuk lebih kecil ini diharapkan agar siswa
yang bermain merasa senang sehingga selama permainan siswa lebih aktif
bergerak .
1) Sarana dan prasarana

1
8
 Lapangan yang telah dimodifikasi yaitu dengan lapangan badminton.
 Bola voli standart untuk dewasa dan bola plastik untuk anak - anak.
 Net dalam model permainan ini menggunakan net standar yang biasa
digunakan dalam badminton dengan ketinggian ± 100 cm.

2) Perlengkapan Pemain

 Memakai pakaian atau seragam olahraga.


 Memakai kaos kaki

3) Jumlah pemain

 Dalam permainan ini terdiri dari 2 team


 Masing – masing team terdiri dari 6 pemain

4) Wasit

 Permainan ini dipimpin oleh satu wasit


 Wasit memiliki wewenang untuk mengawasi jalan nya
pertandingan
 Wasit bertugas mengawasi bola yang sedang dimainkan

1
9
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Tuna daksa adalah suatu kelainan fisik atau tubuh yang diperoleh sejak
lahir maupun karena trauma, penyakit, atau kecelakaan. Kelainan atau
keterbatasan tersebut dapat menimbulkan gangguan koordinasi, komunikasi,
adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Maka dari itu
anak tuna daksa mebutuhkan alat, perhatian, dan fasilitas khusus untuk membantu
mereka untuk dapat beraktifitas dengan baik.

Permainan bola voli untuk tuna daksa dengan menggunakan peraturan


sesungguhnya tentu masih sulit untuk dilakukan, maka dari itu perlu adanya
modifikasi dengan memperkecil lapangan yang digunakan dan menggunakan net
yang lebih pendek disbanding dengan ukuran standart.

2
0
DAFTAR RUJUKAN

Adhi, Sarwo. (2013). Model Pembelajaran Penjasorkes Melalui permainan


Bola Voli Kids pada Anak Berkebutuhan Khusus sd Negeri 07 Jebed
Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang Tahun 2012. Skripsi.
Fakultas Ilmu Keolahragaan. Universitas Negeri Semarang.
Bahagia,Yoyo dan Suherman, Adang. (2000). Prinsip-prinsip Pengembangan
danModifikasi Cabang Olahraga. Departemen Pendidikan dan
KebudayaanDirektorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Bagian ProyekPenataran Guru SLTP Setara D-III.
Hikmawati, Fenti. (2011). Bimbingan Konseling. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 2011
Karyana, A. & Widati, S. (2013). Pendidikan anak berkebutuhan khusus
tunadaksa. Jakarta: Luxima Metro Media.
Mangunsong, Frieda. (2011). Psikologi Dan Pendidikan Anak berkebutuhan
Khusus Jilid 2. Jakarta : LPSP3UI
Somantri, T. Sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa, Jakarta: Refika Aditama,
2006
Tarigan, B. (2000). Pendidikan Jasmani Adaptif. Departemen Pendidikan
Nasional Dasar dan Menengah. Jakarta

2
1

Anda mungkin juga menyukai