Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN INTERAKSI dan DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP REMAJA

TUNADAKSA DALAM LINGKUNGAN SOSIALNYA


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Tuna daksa merupakan salah satu bagian dari anak berkebutuhan khusus. Secara
umum orang mengartikan anak tuna daksa adalah anak yang mengalami kecacatan
dalam fisik. Istilah tuna daksa ditujukan kepada anak yang memiliki anggota
tubuh yang tidak sempurna, misalnya buntung atau cacat. Kelainan atau cacat
yang mereka miliki sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot)
sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Suriani,
2012).

Keterbatasan fisik yang dialami anak tuna daksa secara langsung maupun tidak
langsung akan menyebabkan munculnya berbagai masalah psikologis, diantaranya
anak tuna daksa cenderung menarik diri dari pergaulan, bersikap apatis dan
menjadi tergantung dengan orang lain (Kusuma, 2005 dalam Solikhah, 2014).
Anak tuna daksa memerlukan perlakuan yang wajar, bimbingan, pengarahan,
belajar bersosialisasi dan bermain dengan teman seusianya untuk belajar tentang
pola-pola perilaku yang dapat diterima sehingga tidak menghambat
perkembangannya. Perkembangan anak (termasuk anak tuna daksa) dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya melalui kemampuan dia bersosialisasi dan berinteraksi
dengan orang lain (Dayakisni, 2009).

Berkaitan mengenai interaksi akan menjadi lain dan sulit apabila di alami oleh
anak yang tidak normal seperti pada umumnya yaitu anak cacat, sebuah kondisi
yang dirasa sulit bagi yang mengalaminya karena anak cacat mempunyai kelainan
baik dari segi fisik ataupun mental kondisi yang demikian membuat anak sulit
untuk berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungan sekitar (Nadiyah, 2014).
Interaksi anak tuna daksa dengan orang lain, yaitu di lingkungan sekitar rumah
atau dengan tetangga dan juga sekolah. Sekolah merupakan lingkungan kedua
setelah keluarga. Sekolah mengharuskan anak-anak untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan baik di dalam maupun di luar kelas, tetapi tidak semua anak
mampu berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak yang demikian dapat
mengalami gangguan dalam perkembangan sosialnya (Surivina, 2005 dalam
Latifah, 2012).

Alasan penulis memilih judul tersebut agar mengetahui bagaimana cara interaksi
sosial anak tuna daksa dengan orang lain sangat berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri anak tuna daksa. Selain itu untuk mengetahui dukungan
sosial yang diberikan kepada anak tuna daksa. Jika anak tuna daksa kurang
berinteraksi dengan orang lain dapat mempengaruhi perkembangan sosial anak
tuna daksa tersebut, anak tuna daksa bisa saja merasa harga diri rendah dan
kurang percaya diri serta menjauh dari lingkungannya (Efendi, 2008).
BAB II

PERMASALAHAN

2.1 Apa pengertian anak tunadaksa?

2.2 Apa saja klasifikasi mengenai anak tunadaksa?

2.3 Apa saja faktor penyebab anak tunadaksa?

2.4 Apa yang dimaksud interaksi sosial dan bentuk bentuk interaksi sosial?

2.5 Bagaimana cara interaksi sosial anak tunadaksa dengan lingkungan sosialnya?

2.6 Apa yang dimaksud dengan dukungan sosial dan sumber-sumber dukungan
sosial?

2.7 Dukungan sosial seperti apa yang tepat diberikan oleh remaja anak tunadaksa?
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Anak Tunadaksa

Anak tunadaksa atau disebut juga dengan anak gangguan fisik dan motorik
sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh. Dalam banyak buku berbahasa
Inggris sering disebutkan dengan istilah physical' and 'health impairment, yaitu
kerusakan tubuh dan kesehatan. Anak-anak semacam ini masih dapat belajar
dengan menggunakan semua indranya tetapi akan menemui kesulitan apabila
mereka harus belajar dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan
kelerampilan fisik seperti memegang pensil untuk menulis, bermain, berolah raga,
melakukan mobilitas, dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat mengikuti
pendidikan di sekolah-sekolah biasa pada umumnya.

Tunadaksa dapat diartikan sebagai cacat tubuh. Dalam banyak literatur


gangguan fisik dan motorik atau kerusakan tubuh tidak dilepaskan dari
pembahasan tentang kesehatan, sehingga sering dijumpai judul, "Physical and
Health Imppairments" (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini
disebabkan karena seringkali gangguan atau kerusakan fisik ada kaitannya dengan
gangguan kesehatan. Sebagai contoh, otak adalah pusat control seluruh tubuh
manusia, apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi ) dapat
mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi, atau terhadap fungsi-fungsi
mental .

3.2 Klasifikasi Anak Tunadaksa atau Anak dengan Hambatan Fisik dan Motorik
(Physical Disability)

Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan


menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada system serebral (cerebral system)
dan kelainan pada system otot dan rangka (musuculoskletal system). Peserta didik
tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik sehingga mengalami gangguan pada
keoordinasi gerak, persepsi, dan kognisi, di samping adanya kerusakan saraf
tertentu. Dengan demikian, dalam memberikan layanan di sekolah memerlukan
modifikasi dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu
kerusakan saraf, kerusakan tulang, dan anak dengan gangguan kesehatan lainnya.
Keruskan saraf disebabkan kerana pertumbuhan sel saraf yang kurang atau adanya
luka pada system saraf pusat. Kelainan saraf utama menyebabkan adanya cerebral
palsy, epilepsy, spinabifidam dan kerusakan otak lainnya.

Cerebral palsy merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan gerak


berasal dari fungsi otak. Ada juga kelainan gerak atau palsy yang diakibatkan oleh
kerusakan otot (dystrophy muscular). Karena adanya disfungsi otak, maka peserta
didik penyandang cerebral palsy mempunyai kelainan dalam bahasa, bicara,
menulis, emosi, belajar, dan gangguan psikologis. Cerebral palsy dapat
didefinisikan sebagai “laterasi perpindahan yang abnormal atau fungsi otak yang
muncul karena kerusakan, luka, atau penyakit pada jaringan saraf yang
terkandung dalam rongga tengkorak.”

Definisi lainnya menyatakan bahwa “Cerebral palsy merupakan kondisi


yang bersifat klinis yang disebabkan oleh cedera pada otak. Salah satu
komponennya merupakan gangguan otak. Dengan demikian Cerebral palsy dapat
digambarkan kondisi ketidakfungsian gerak, bermula saat anak-anak, dicirikan
dengan paralysis, kelemahan, kurang koordinasi, atau penyimpangan fungsi gerak
lainnya yang disebabkan kelainan funhsi gerak pusat pegendali pada otak. Di
samping disfungsi gerak tersebut, cerebral palsy bisa menyebabkan terjadinya
kesulitan belajar gangguan psikologis, kerusakan sensori, penyait kejang, dan
behavioral pada origin organic.”

Cerebral palsy dikalisifikasikan sebagai kelainan yang berbeda dengan


kelainan neuromuscular, maka cerebral palsy meliputi kelainan spastic, athediot,
ataksia, tremor dan rigid. Pada kasus-kasus yang ringan, anak spastic biasa
mengembangkan keseimbangan tangannya untuk sedikit mengendalikan gaya
berjalan. Pada kasus kasus tingkat sedang, peserta didik spastik dalpat memegang
lengan untuk diarahkan ke tubuhnya, membengkokkan sikunya dengan
membengkokkan tangannya, dengan kaki yang diputar secara berhati hati paa
lutut, dan menghasilkan jalan gaya gunting. Adapun pada kasus-kasus tingkat
berat mereka memiliki pengendalian yang emah pada tubuhnya, tidak mampu
duduk, berdiri atau berjalan tanpa bantuan alat penguat. Ciri utama peserta didik
ataksia, gerakannya kurang kuat, berjalan dengan langkah yang penjang dan
mudah jatuh, terkadang mata tidak terkoordinasi serta gerakan mata tertegun-
tegun (nystamus). Pada termor dan rigid umumnya mereka mempuyai gagguan
pada keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelaian pada postural
dengan akibat hambatan otot yang berlawanan.

Hambatan kondisi fisik merupakan ketidakmampuan secara fisik untuk


melakukan gerak. Ketidakmampuan seorang anak dengan adanya keterbatasan
fisik non sensori (fisik motorik), menyebabkan ia mempunyai permasalahan untuk
hadir ke sekolah dan belajar di kelas. Ketidakmampuan secara fisik motorik pada
anak untuk melakukan gerakan tubuh menyebabkan ia membutuhkan layanan-
layanan khusus, latihan dengan pola tertentu, peralatan-peralatan yang sesuai, dan
fasilitas pendukung lainnya. Selain itu, anak yang mempunyai hendaya kondisi
fisik, juga mempunyai hendaya penyerta lain seperti hendya perkembangan
fusngsional, kesulitan belajar, gangguan emosional, kelainan berbicara dan
berbahasa, atau mempunyai keberbakatan tertentu.

Anak dengan hambatan kondisi fisik memerlukan penanganan secara


medis guna memperbaiki dan mengobati kelainan tubuhnya. Tetapi bila hendaya
fisik tersebut mempunyai masalah pendidikan, maka pembelajaran khusus perlu
penanganan oleh guru khusus di sekolah. Penanganan khusus oleh guru khusus
memerlukan suatu metode pembelajaran yang bersifat khusus sesuai kelainan
anak yang bersangkutan. Untuk hal ini gerak irama dapat diaplikasikan dalam
program pembelajaran. Tujuannya yakni untuk mengembangkan keterampilan
gerak siswa dengan hendaya kondisi fisik motorik.

Umunya masalah utama pada gerak yang dihadapi oleh anak spina bifida
adalah kelumpuhan dan kurangnya control gerak. Pada anak hydro-cephallus
masalah yang dihadapi ialah mobilitas gerak. Anak dengan cerebral palsy
mempunyai masalah dengan persepsi visual, meliputi gerakan-gerakan untuk
menggapai, menjangkau dan menggemgam benda, serta hambatan dalam
memperkirakan jarak dan arah (Lewis, V., 2003:157). Cerebral palsy merupakan
kelainan koordinasi dan control otot disebabkan oleh luka (mendapatkan cedera)
di otak sebelum dan sesudah dilahirkan atau pada awal masa anakanak (Hallahan
& Kauffman, 1991:345).

3.3 Faktor Penyebab

Anak dengan hambatan fisik dan motorik atau tunadaksa mengalami


hambatan atau kesulitan dalam melakukakan aktivitas sehari-hari yang berkaitan
dengan gerak seperti makan, minum, bermain, berpakaian, dan lainnya. Kondisi
ini dpaat disebbakakn karena penyakit, kecelekaan atau dapat juga karena faktor
bawaan dari lahir. Adanya keragaman jenis tunadaksa dan msaing-masing
kerusakan timbulnya yang berbeda-beda.

Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada


anak hingga mengalami hambatan fisik dan motorik. Keruksakan tersebut yang
terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem
musculus sklektal. Dilihat dari saat terjadinya kerusakaan dapat terjadi masa
sebulum lahir, sat lahir, dan sesudah lahir.

1. Masa Sebelum Lahir (Fase Prenatal)

Kerusakan terjadi pada sat bayi masih dalam kandungan yang disebabkan oleh:

a. Infeksi atau penyakit


Ketika mengandung ibu terinfeksi penyakit sehingga menyerang otak bayi
yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, syphilis, rubella dan tyhupus
abdominals.
b. Kelainan kandungan
Menyebabkan peredaraan darah terganggu, tali pusat tertekan, sehingga
merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi.
Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehiungga struktur
maupun fugsinya terganggu.
d. Trauma
Ibu yang sedang mengadung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat
mengakibatkannya ternganggu pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya
ibu jatuh kemudian perutnya terbentur cukup keras. Kejadian tersebut
dapat menimbulkan luka diotak janin dan merusak sistem syaraf pusat.

2. Masa Pada Saat Lahir (Fase Natal)

Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan
antara lain:

a. Proses kelahiran yang terlalu lama


Karena tulang panggul ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan
oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem
metebolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami
kerusakan.
b. Pemakaian Alat
Pemakain alat bantu ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan
sehingga dpaat merusak jaringan syaraf pusat (otak) pada bayi.
c. Pemakaian Anatesi yang Melebihi Ketentuan
Ibu yang melahirkan karena opreasi dan menggunakan anastesi yang
melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyaratan otak bayi,
sehingga otak mengalami kelaianan struktur ataupun fungsinya.

3. Masa Setelah Proses Kelahiran (Post Natal)

Fase setelah kelahiran adalah masa bayi dilahirkan sampai masa perkembangan
otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan
kecelakaan setelah bayi lahir adalah :

a) Kecelakaan/trauma pada kepala


b) Amputasi
c) Infeksi/penyakit yang menyerang otak
d) Malnutrisi
3.4 Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan suatau hubungan antara individu satu dengan


individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang
lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik menurut Bimo
Walgito (1990 dalam Dayakisni, 2009).

Sementara Soekanto (1997 dalam Dayakisni, 2009) mendefinisikan


interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok
manusia. Interaksi sosial tak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat, yaitu 1) adanya kontak sosial, dan 2) adanya komunikasi. Kontak sosial
dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok,
dan antara kelompok dengan kelompok. Sementara komunikasi baik verbal
ataupun nonverbal merupakan saluran untuk menyampaikan perasaan ataupun
ide/pikiran dan sekaligus sebagai media untuk dapat menafsirkan atau memahami
pikiran atau perasaan orang lain.

3.5 Bentuk- bentuk interaksi sosial adalah

Asosiatif dan Disasosiatif

a. Asosiatif
Asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi (accomodation).
Kerjasama disini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan
pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak
kehilangan kepribadiannya.
a. Disasosiatif
Disasosiatif terdiri dari persaingan (competition), dan kontravensi
(contravention), dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan sebagai
suatu proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok manusia
yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang
pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik
perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian
publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan. Kontravensi merupakan sikap
mental yang tersembunyi terhadap orang- orang lain atau terhadap unsur-
unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Pertentangan merupakan suatu
proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang sering disertai
dengan ancaman dan/atau kekerasan.

3.6 Interaksi Sosial Remaja Anak Tunadaksa terhadap Lingkungan Sosialnya.

Tuna daksa dapat terjadi pada semua kalangan usia, salah satunya adalah
remaja. Batasan umum yang sering digunakan oleh para ahli adalah 12 hingga 21
tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: 10-14
tahun masa remaja awal, 15- 17 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun
masa remaja akhir (Sriati, 2008). Flavo (2014) mengemukakan bahwa individu
yang berada pada masa remaja akhir atau dewasa awal mulai membangun
indetitasnya sebagai anggota yang produktif dalam lingkungan masyarakat,
membangun tujuan dalam pekerjaan, mengembangkan kapasitas untuk hubungan
dengan lawan jenis, dan menerima tanggung jawab sosial.

Namun kondisi tertentu, dalam hal ini gangguan kesehatan ataupun


disabilitas, dapat berpengaruh terhadap aspek sosial, vokasional, dan tujuan
pekerjaan seseorang. Harga diri adalah salah satu aspek sosial yang terpengaruh
karena kondisi tunadaksa. Harga diri merupakan salah satu aspek yang
menentukan keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana
individu melakukan penyesuaian sosial akan dipengaruhi oleh bagaimana individu
tersebut menilai keberhargaan dirinya. Individu yang menilai tinggi keberhargaan
dirinya merasa puas atas kemampuan diri dan merasa menerima penghargaan
positif dari lingkungan. Hal ini akan menumbuhkan perasaan aman dalam diri
individu sehingga dia mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya
( Knapp dalam Widodo, 2013)
3.7 Dukungan Sosial

Definisi dukungan sosial dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan,


seseorang membutuhkan dukungan sosial. Menurut Dimatteo (1991), dukungan
sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman,
keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain. Sarason, Sarason & Pierce (dalam
Baron & Byrne, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan fisik
dan psikologis yang diberikan oleh temanteman dan anggota keluarga. Dukungan
sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk
lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok
(Sarafino, 2002).

3.8 Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang kita terima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn &
Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial
menjadi 3 kategori, yaitu:

a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada
sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya.
Misalnya: orang tua, keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau
teman dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit
berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai
dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga,
dan teman sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang
memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah.
Meliputi dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.

3.9 Dukungan Sosial bagi Remaja Tuna Daksa

Penelitian yang dilakukan oleh (Balimulia, 2003) menunjukkan bahwa


dengan adanya dukungan yang diberikan dari lingkungan sosial penyandang
tunadaksa dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja. Walaupun
dengankondisiremaja yang mengalami cacat fisik, mereka berusaha untuk mampu
dalam menyelesaikan tugasnya dan dengan tingginya kepercayaan pada remaja
maka akan memiliki konsep diri yang positif.

Monks (2002) mengatakan kualitas dari hubungan dengan orang tua


memiliki peranan yang cukup penting. Ketika mengadakan hubungan yang positif
antara anak dan orangtua akan mewujudkan sebuah kedekatan yang positif antara
keduanya. Santrock (2007) mengungkapkan bahwa orangtua yang mengikuti
perkembangan anaknya, mengenali bagaimana karakter anak, dan memenuhi
kebutuhan anak, merupakan salah satu dukungan sosial yang utama untuk anak.
Dengan kata lain pemberian dukungan sosial orangtua dapat berupa suatu
bantuan, perhatian yang bersifat emosional, bahkan pemberian informasi yang
diberikan kepada anak dalam mendukung setiap aktivitas anak sehingga anak
merasa nyaman dan aman bahwa orang disekitarnya mempedulikannya.

Hartub, dkk (Desmita, 2010) mengatakan bahwa remaja yang masih


berusia sekolah, sebagai teman sebaya (peer) mereka memiliki fungsi yang hampir
setara dengan orang tua. Hal ini dikarenakan bahwa teman sebaya dapat
memberikan pengaruh yang lebih pada perilaku remaja, baik dari sikap yang
positi maupun negatif. Interaksi yang dilakukan dengan teman sebaya dengan
baik, maka akan berpengaruh pada peningkatan pada hubungan dengan
lingkungan sosialnya.

Remaja maupun anak-anak biasanya akan lebih sering menghabiskan


waktu kebersamaan dengan teman baik di sekolah maupun di lingkungan tempat
tinggal (Santrock, 2003), sehingga hal ini dapat dilihat bahwa dengan adanya
peran teman sebaya dapat berpengaruh pada kehidupan sosial anak. Teman sebaya
dapat memberikan pengaruh baik yang positif maupun yang negatif. Apabila
seseorang telah memiliki teman baik, maka mereka akan memberikan dukungan
terhadap suatu hal yang dapat berpengaruh pada hal yang menciptakan stres.

Dukungan yang diberikan teman sebaya dapat berpengaruh terhadap


remaja tuna daksa, seperti penelitian yang dilakukan oleh (Hasan, 2014)
menunjukkan bahwa dukungan yang diberikan oleh teman sebaya pada remaja
tunarungu dapat berpengaruh positif pada penyesuaian diri anak di sekolah
inklusi. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Dennis, dkk (2005) bahwa
dukungan yang didapatkan dari teman merupakan suatu prediktor yang kuat pada
mahasiswa yang melakukan penyesuaian di lingkungan sosial daripada dukungan
yang didapat dari keluarga.

Kenyamanan, kepedulian seseorang, penghargaan yang diberikan oleh


seseorang maupun kelompok merupakan salah satu bentuk dari dukungan sosial
yang didapat (Sarafino, 2008). Pengalaman di keluarga adalah sebuah dasar yang
dapat membentuk konsep diri seseorang, karena di dalam keluarga mereka akan
memberikan perasaan yang mampu maupun tidak mampu, rasa akan diterima
maupun penolakan, serta di dalam keluarga akan memiliki kesempatan untuk
meniru oranglain baik perilaku maupun penampilan seseorang sesuai apa yang
diinginkan individu.
BAB IV

KESIMPULAN & SARAN

4.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai