Anda di halaman 1dari 12

RANCANGAN PELAKSANAAN LAYANAN

BIMBINGAN KLASIKAL DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA UNTUK


MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI PADA ANAK TUNA DAKSA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu : Deasy Yunika Khairun, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Abdurrahman Hakim (2285160001)


2. Farina Meisyarah (2285180018)
3. Melin Fitriani (2285180019)
4. Mutia Saputri (2285180013)
5. Hani Nur Afifah (2285180017)
6. Husnul Chotimah (2285180046)
7. Tunjung Lintang Utami (2285180032)
8. Nurul Fathia (2285180039)
9. Ucha Sekar Rumalda (2285180036)
10. Matahari Citra P.N.A (2285180051)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak dengan gangguan fisik dapat dikatakan sebagai anak tuna daksa. Tuna daksa
adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan
neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan,
termasuk cerebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh. Anak penyandang tuna daksa
cenderung merasa malu, rendah diri (minder) dan sensitif, memisahkan diri dari
lingkungan, tertutup dan mengalami kekecewaan hidup. Adanya cacat tubuh, gangguan
pada indera, adanya penyakit yang mengganggu kelancaran belajar secara periodik
menjadikan salah satu faktor anak mengalami kesukaran belajar dan minimnya
kepercayaan diri pada dirinya. Keterbatasan kemampuan anak tuna daksa seringkali
menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi
yang jauh di luar jangkauannya. Dengan demikian peran orang di sekitarnya sangat
penting untuk memberikan motivasi serta bantuan untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan yang dialami anak tersebut. Tingkat gangguan pada penyandang tuna daksa
adalah memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, tetapi masih dapat
ditingkatkan melalui terapi dan memberikan pembelajaran-pembelajaran yang lainnya
dengan tujuan untuk melatih dan mengembangkan potensi yang dimiliki penyandang tuna
daksa. Penyandang tuna daksa juga memiliki hak seperti orang normal pada umumnya
yang mampu beraktivitas tanpa ada sesuatu yang menghalangi dan membatasi kegiatan
yang ingin dilakukannya. Dengan permasalahan-permasalahan yang sering dihadapi
penyandang tuna daksa adalah kurangnya rasa kepercayaan diri dalam dirinya, karena
anak akan melihat keadaan tubuhnya tidak normal, seperti anak-anak yang lain. Untuk
meningkatkan kepercayaan diri anak tuna daksa tersebut di perlukan layanan yang tepat
serta metode pengajaran yang dapat menunjang perkembangannya salah satunya
pemberian layanan bimbingan dan konseling yang tepat dan efektif bagi anak penyandang
tuna daksa sehingga dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tahap
perkembangannya dan dapat menjalankan segala aktivitasnya dengan baik.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Anak Tuna daksa


Menurut Hikmawati (2011), penyandang tuna daksa adalah seseorang yang
mempunyai kelainan tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot, dan persendian
baik dalam struktur atau fungsinya yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Sedangkan Karyana dan
Sri (2013), tuna daksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau
kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan
pribadi. Dan Mangunsong (2011) menyatakan bahwa tuna daksa mempunyai pengertian
yang luas dimana secara umum dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk
menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Dalam hal ini yang termasuk
gangguan fisik adalah lahir dengan tuna daksa bawaan seperti anggota tubuh yang tidak
lengkap, kehilangan anggota badan karena amputasi, terkena gangguan neuro muscular
seperti cerebral palsy, terkena gangguan sensomotorik (alat penginderaan) dan atau
menderita penyakit kronis.
Jadi secara umum gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami tuna daksa
adalah mereka yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan
persendian karena kecelakaan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan
gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku, dan adaptasi sehingga
mereka memerlukan layanan informasi secara khusus (Aziz, 2015).

Karakteristik Anak Tuna daksa


Karakteristik ketunadaksaan dapat dibagi menjadi lima karakteristik (Aziz, 2015),
yaitu :
1. Karakteristik Kognitif
Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif ada empat aspek yang turut
mewarnai yaitu : pertama, kematangan yang merupakan perkembangan susunan saraf
misalnya mendengar yang diakibatkan kematangan susunan saraf tersebut. Kedua,
pengalaman yaitu hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungan dan
dunianya. Ketiga, transmisi sosial yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya
dengan lingkungan sosial. Keempat, ekuilibrasi yaitu adanya kemampuan yang
mengatur dalam diri anak. Wujud konkrit dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan
(IQ). Kondisi ketunadaksaan sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan
perkembangan kognitif.
2. Karakteristik Inteligensi
Dijelaskan dalam Aziz (2015), untuk mengetahui tingkat inteligensi anak tuna
daksa dapat digunakan tes yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan anak tuna daksa.
Tes tersebut antara lain hausserman test (untuk tuna daksa ringan), illinois test, dan
peabody picture vocabulary test.
3. Karakteristik Kepribadian
Ada beberapa hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian
anak tuna daksa atau cacat fisik, diantaranya : pertama, terhambatnya aktivitas normal
sehingga menimbulkan perasaan frustasi. Kedua, timbulnya kekhawatiran orangtua
biasanya cenderung over protective. Ketiga, perlakuan orang sekitar yang
membedakan terhadap penyandang tuna daksa yang menyebabkan mereka merasa
bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Efek tidak langsung akibat ketunadaksaan
yang dialaminya menimbulkan sifat harga diri rendah, kurang percaya diri, kurang
memiliki inisiatif atau mematikan kreativitasnya. Selain itu yang menjadi problem
penyesuaian penyandang tuna daksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu
membesar-besarkan ketidakmampuannya.
4. Karakteristik Fisik
Selain potensi yang harus berkembang, aspek fisik juga merupakan potensi yang
harus dikembangkan oleh setiap individu. Akan tetapi bagi penyandang tuna daksa,
potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Secara umum
perkembangan fisik tuna daksa dapat dinyatakan hampir sama dengan orang normal
pada umumnya kecuali pada bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau
terpengaruh oleh kerusakan tersebut.
5. Karakteristik Bahasa atau Bicara
Setiap manusia memiliki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan
berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan
dengan kesiapan dan kematangan sensori motoriknya. Pada penyandang tuna daksa
jenis polio, perkembangan bahasa atau bicaranya tidak begitu normal, lain halnya
dengan penyandang cerebral palsy. Gangguan bicara pada penyandang cerebral palsy
biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.
2.2 Definisi Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek
kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut dirasa mampu untuk mencapai
berbagai tujuan di dalam hidupnya. Kepercayaan diri merupakan faktor yang sangat
penting bagi siswa, karena sikap percaya diri akan membuat individu merasa optimis dan
mampu untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Kepercayaan diri
didefinisikan berbeda-beda dalam literatur psikologi. Pengertian secara sederhana dapat
dikatakan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap gejala aspek kelebihan yang
dimiliki oleh individu dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa
mencapai berbagai tujuan hidupnya (Thursan, 2002).
Menurut Lauster kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau yakin atas
kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas,
merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas
perbuatannya, sopan dalam interaksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta
dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Lauster menggambarkan bahwa
orang yang mempunyai kepercayaan diri memiliki ciri-ciri tidak mementingkan diri
sendiri, tidak membutuhkan dorongan orang lain, optimis, dan gembira (Lauster, 2002).
Loekmono mengemukakan bahwa kepercayaan diri tidak terbentuk dengan sendirinya
melainkan berkaitan dengan kepribadian seseorang. Kepercayaan diri dipengaruhi oleh
factor-faktor yang berasal dari dalam diri individu sendiri, norma dan pengalaman
keluarga, tradisi, kebiasaan dan lingkungan sosial atau kelompok dimana itu berasal.
Dari berbagai definisi di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kepercayaan diri adalah sikap percaya dan yakin akan kemampuan yang dimiliki,
yang dapat membantu seseorang untuk memandang dirinya dengan positif dan realitis
sehingga ia mampu bersosialisasi secara baik dengan orang lain.

2.3 Kepercayaan Diri pada Anak Tuna Daksa


Perkembangan manusia mengisyaratkan perkembangan segenap potensi dan
kapasitasnya, baik fisik maupun psikis untuk menuju satu tahap dan tujuan tertentu.
Dinamika perkembangan manusia dari lahir sampai menginjak tahap-tahap tertentu dalam
hidupnya tidak lepas dari berbagai hambatan yang menuntut pemecahan. Hambatan atau
gangguan tersebut dapat berupa kecacatan, ketunasosialan, keterbelakangan atau
keterasingan, dan kondisi atau perubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang
mendukung atau menguntungkan. Musibah tentu bukan suatu hal yang diharapkan oleh
setiap orang, karena hal tersebut dapat memberikan akibat buruk bagi mereka yang
mengalaminya, terlebih apabila sampai menjadikan seseorang mengalami kecacatan
seumur hidup baik di bagian tangan, kaki, maupun bagian tubuh lainnya seperti yang
dialami anak penyandang tuna daksa. Beberapa individu ada yang mampu bertahan dan
pulih dari situasi negatif secara efektif dan ada yang tidak. Hal ini tergantung pada
seberapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan menyesuaikan diri terhadap situasi
yang mengancam kehidupannya. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa ketika seseorang
baru mengalami kecacatan, ia akan menunjukan reaksi menolak karena tidak dapat
disangkal bahwa keadaan fisik manusia sangat mempengaruhi seluruh kepribadiannya
dan menimbulkan tekanan dan memiliki rasa percaya yang sangat rendah (Pratiwi dan
Hartosujono, 2014).
Kepercayaan diri salah satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang. Tanpa
adanya kepercayaan diri maka banyak masalah pada diri seseorang. Kepercayaan diri
merupakan atribut yang paling berharga pada diri seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat. Dikarenakan dengan kepercayaan diri seseorang mampu
mengaktualisasikan segala potensi dirinya. Kepercayaan diri diperlukan baik oleh seorang
anak maupun orang tua, secara individu maupun kelompok. Beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan kepercayaan diri, antara lain adalah interaksi di
dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Interaksi dalam keluarga salah satunya terwujud
dalam bentuk proses pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Kepercayaan diri terbentuk melalui dukungan sosial dari dukungan orang tua dan
dukungan orang sekitarnya. Dukungan keluarga khususnya orang tua sangat dibutuhkan,
orang tua menjadi hal yang mendasar dari pembentukan kepercayaan diri seorang
individu, dimana dengan peran orang tua individu akan tumbuh menjadi individu yang
mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri–
seperti orang tuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya, dengan adanya
komunikasi dan hubungan yang hangat antara orang tua dengan anak akan membantu
anak dalam memupuk kepercayaan dirinya salah satunya pada anak penyandang tuna
daksa itu sendiri.
BAB III
RANCANGAN

3.1 Pemberian Layanan Bimbingan untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri bagi Anak
Tuna Daksa
Bimbingan Klasikal dengan Teknik Sosiodrama
Layanan bimbingan klasikal memanfaatkan situasi untuk langsung bertatap muka
untuk mencapai tujuan layanan bimbingan. Sedangkan teknik sosiodrama merupakan
pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antar manusia
seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain
sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan
akan masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk
memecahkannya. Adapun kepercayaan diri sebagai suatu sikap atau perasaan yakin akan
kemampuan diri sendiri, sehingga seseorang tidak terpengaruh oleh orang lain.
Layanan bimbingan klasikal dengan teknik sosiodrama umumnya dilakukan dalam
beberapa siklus untuk melihat perubahan atau perkembangan dari peserta didik.
Menurut Wahab (2009) mengemukakan secara rinci tentang teknik sosiodrama dalam
proses pembelajaran di kelas bagi guru dan siswa, yaitu :
a. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan melalui metode ini. Dan tujuan
tersebut diupayakan tidak terlalu sulit atau berbelit-belit, akan tetapi akan lebih jelas
dan mudah di laksanakan.
b. Melatar belakangi cerita sosiodrama dan bermain peran tersebut.
c. Guru menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan sosiodrama dan bermain peran yang
harus siswa lakukan atau mainkan.
d. Menetapkan siapa-siapa siswa yang pantas memainkan jalan suatu cerita. Dalam hal
ini termasuk peran penonton.
e. Guru dapat menghentikan jalan permainan apabila telah sampai titik klimaks. Hal ini
dimaksud agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan
secara seksama.
f. Sebaiknya diadakan latihan-latihan secara matang, kemudiaan diadakan uji coba
terlebih dahulu, sebelum sosiodrama di pentaskan dalam bentuk yang sebenarnya.
3.2 Rancangan Pelaksanaan Layanan

RENCANA PELAKSANAAN LAYANAN


BIMBINGAN KLASIKAL TEKNIK SOSIODRAMA
SEMESTER GANJIL TAHUN PELAJARAN 2019/2020

A Komponen layanan Layanan dasar


B Bidang layanan Pribadi-Sosial
C Topik layanan Meningkatkan kepercayaan diri bagi anak tuna daksa
D Fungsi layanan Pemberian Informasi, pemahaman dan pengembangan
E Tujuan umum Dapat meningkatkan kepercayaan diri
F Tujuan khusus Siswa mampu melatih penerimaan serta kepercayaan terhadap diri
sendiri
G Sasaran Anak tuna daksa
H Materi layanan Meningkatkan kemampuan kepercayaan diri bagi anak tuna daksa
I Waktu 1 x 45 menit
J Sumber Internet
K Metode / teknik Sosiodrama
L Media / alat Audio Visual, Proyektor, Laptop
M Pelaksanaan
1.Tahap awal /
Pendahuluan
a. Pernyataan tujuan 1) Pada tahap ini, konselor melakukan jalinan rapport dengan beberapa
sikap attending yang baik guna menambah keakraban antara guru BK
dan siswa sehingga dapat meningkatkan kepercayaan peserta didik.
Hal ini dapat dilakukan dengan menanyakan kabar siswa, dan lain-
lain.
2) Guru BK mengucapkan terimakasih kepada siswa atas kedatangannya
3) Guru BK mengecek kehadiran siswa
4) Guru BK memimpin doa
5) Guru BK memberikan ice breaking/game sederhana
b. Penjelasan tentang Guru BK menjelaskan :
langkah-langkah 1) Pengertian dan tujuan khusus
kegiatan 2) Langkah-langkah kegiatan
3) Tugas dan tanggung jawab siswa dalam kegiatan layanan bimbingan
klasikal melalui teknik Sosiodrama
4) Serta bagaimana agar layanan itu bisa efektif ketika dilaksanakan
c. Mengarahkan kegiatan Guru BK atau konselor memberikan penjelasan secara singkat tentang
(konsolidasi) bagaimana meningkatkan kepercayaan diri pada anak tuna daksa
dengan mensimulasikannya secara langsung
2. Tahap peralihan Guru BK menanyakan kesiapan siswa melaksanakan kegiatan dengan
(transisi) teknik Sosiodrama dan memulai ke tahap inti.
3. Tahap inti (kegiatan) a. Konselor menjelaskan tujuan dan materi diskusi berjudul “self
confidance”
b. Masing-masing siswa mengungkapkan pemikiran dan perasaannya
mengenai self confidence.
c. Guru BK menjelaskan mengenai teknik sosiodrama dan langkah-
langkah teknik sosiodrama
d. Guru BK bersama siswa menyusun atau menyiapkan skenario
yang akan ditampilkan.
e. Tiap siswa menentukan drama atau peranan apa yang akan
dibawakan dan membagi peran.
f. Siswa diberikan waktu selama 5 - 15 menit untuk bermain peran
4. Tahap penutup a. Masing-masing konseli mengungkapkan pengalamannya selama
proses bimbingan yang berlangsung.
b. Masing-masing konseli mengungkapkan kritik dan tanggapan
setelah melakukan simulasi.
c. Guru BK melakukan evaluasi terhadap proses bimbingan dengan
mempersilahkan masing-masing konseli mengungkapkan
pertemuannya, serta menyatakan perasaan puas mengenai hal-hal
apa dan perasaan tidak puas tentang hal-hal apa.
d. Konselor memberi sanjungan dan menumbuhkan semangat kepada
siswa untuk berani bertindak.
e. Konselor menutup konseling dan bersama-sama bernyanyi
f. Salam penutup
Evaluasi
1. Evaluasi proses Guru bimbingan dan konseling atau konselor melakukan evaluasi
dengan memperhatikan segala proses pemberian layanan dasar
dengan strategi bimbingan klasikal teknik sosiodrama yang telah
berlangsung.
2. Evaluasi hasil Guru BK menanyakan pada siswa terkait simulasi yang dilaksanakan
tujuannya untuk mengetahui suasana selama bimbingan klasikal
berlangsung, pemahaman baru siswa, perasaan siswa ketika
mengikuti kegiatan bimbingan klasikal dengan teknik sosiodrama dan
tindakan apa yang akan dilakukan siswa setelah kegiatan dilakukan.

Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri pada Anak Tuna Daksa


Permasalahan yang terjadi pada penyandang tuna daksa tersebut dapat diatasi dengan
dimiliki kepercayaan diri pada setiap individu. Ketika individu dalam hal ini yaitu
penyandang tuna daksa mengalami kondisi yang kurang sempurna tersebut, faktor
kepribadian dari individu tersebut sangat berperan.
Dari beberapa kondisi yang ditampakkan oleh individu tersebut, hal itu sangat
membutuhkan adanya dukungan sosial yang diberikan dari lingkungan sekitar. Dukungan
sosial ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan diri individu dengan semua keadaan
yang dimilikinya. Kepercayaan diri bagi penyandang tuna daksa memegang peranan yang
sangat penting, hal ini disebabkan karena kepercayaan diri dapat menentukan penyesuaian
diri penyandang tuna daksa di lingkungannya. Kepercayaan diri yang dimiliki oleh individu
disamping mampu untuk mengendalikan dan menjaga keyakinan dirinya juga akan mampu
membuat perubahan lingkungannya. Penyandang tuna daksa juga tidak terlepas dari dinamika
kehidupan yang bergejolak. Penyandang tuna daksa ini akan mengalami kesulitan yang lebih
besar dalam menjalani kehidupan sosialnya dibandingkan dengan individu lain yang tidak
mengalami cacat fisik. Hal ini dikarenakan penyandang tuna daksa mengalami hambatan
dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Dengan keadaan yang terjadi pada penyandang
tuna daksa, dukungan sosial dari lingkungan dimana individu tersebut berada sangat
dibutuhkan. Dukungan yang sangat diharapkan oleh penyandang tuna daksa ini dalam
menghadapi krisis percaya diri ini adalah dukungan dari keluarganya terutama dukungan dari
orang tuanya.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setiap individu penyandang tuna daksa diharapkan mampu menumbuhkan rasa
percaya diri, dengan kepercayaan diri seseorang akan mampu menyalurkan potensinya
secara maksimal, optimis dalam menjalani hidup dan terhindar dari perasaan-perasaan
rendah diri yang bisa menghambat potensi diri. Karena kepercayaan diri salah satu
aspek kepribadian yang penting pada seseorang. Tanpa adanya kepercayaan diri maka
banyak masalah pada diri seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang paling
berharga pada diri seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Dikarenakan dengan
kepercayaan diri seseorang mampu mengaktualisasikan segala potensi dirinya.
Adanya keterbatasan yang dimiliki anak dengan penyandang tuna daksa seringkali
menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi
yang jauh di luar jangkauannya. Dengan demikian peran orang di sekitarnya sangat
penting untuk memberikan motivasi serta bantuan untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan yang dialami anak tersebut. Dengan permasalahan-permasalahan yang
sering dihadapi penyandang tuna daksa adalah kurangnya rasa kepercayaan diri dalam
dirinya, karena anak akan melihat keadaan tubuhnya tidak normal, seperti anak-anak
yang lain. Untuk meningkatkan kepercayaan diri anak tuna daksa tersebut di perlukan
layanan yang tepat serta metode pengajaran yang dapat menunjang perkembangannya
salah satunya pemberian layanan bimbingan dan konseling yang tepat dan efektif bagi
anak penyandang tuna daksa sehingga dapat berkembang secara optimal sesuai dengan
tahap perkembangannya dan dapat menjalankan segala aktivitasnya dengan baik. Salah
satunya dengan pemberian layanan bimbingan klasikal dengan teknik sosiodrama yang
dapat membantu dalam peningkatan kepercayaan diri pada anak penyandang tuna daksa
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, S. 2015. Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta : Gava


Media.

Hikmawati, F. 2011. Bimbingan Konseling. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Karyana, A dan Sri W. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa.


Jakarta : Luxima.

Lauster, P. 2002. Tes Kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara.

Mangunsong, F. 2011. Psikologi Dan Pendidikan Anak berkebutuhan Khusus : Jilid 2.


Jakarta : LPSP3UI.

Pratiwi, I dan Hartosujono. 2014. Resiliensi pada penyandang tuna daksa non
bawaan. Jurnal SPIRITS. 5(1), 48-54.

Thursan, H. 2002. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta : Puspa Swara.

Wahab, A. 2009. Metode dan Model-Model Mengajar limu Pengetuhuan Sosial (IPS).
Bandung : Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai