Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN DAN PRAKTIK BK DI INDONESIA

Landasan Historis Bimbingan dan Konseling di Indonesia


Landasan Historis bimbingan dan konseling di Indonesia berbeda dengan di Amerika.
Perkembangan layanan bimbingan di Amerika dimulai dari usaha perorangan dan pihak
swasta, kemudian berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah. Sementara di Indonesia,
perkembangannya dimulai dengan kegiatan di sekolah dan usaha-usaha pemerintah.
Layanan bimbingan dan konseling di Indonesia telah mulai di bicarakan secara
terbuka sejak tahun 1962. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan system pendidikan di
SMA, yaitu terjadinya perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru, dan berubahnya waktu
penjurusan, yang awalnya di kelas I menjadi di kelas II. Program penjurusan ini merupakan
respon akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi dirinya
secara perorangan. Dalam rencana Pelajaran SMA Gaya Baru, diantaranya di tegaskan
sebagai berikut :
a) Di kelas I setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan minatnya,
dengan jalan menjelajahi segala jenis mata pelajaran yang ada di SMA, dan dengan
bimbingan penyuluhan yang teliti dari para guru maupun orang tua.
b) Dengan mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan dalam kartu
priba disetiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas II kelompok khusus : Budaya,
Sosial, Pasti dan Pengetahuan Alam.
c) Untuk kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan
seteliti-telitinya.
Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pembelajaran di SMA ini
disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling di
sekolah, seperti rapat kerja, penataran dan lokakarya. Puncak dari usaha ini adalah
didirikannya jurusan bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP (Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri. Salah satu yang membuka Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan adalah IKIP Bandung pada tahun 1963, yang sekarang berganti nama yaitu
Universitas Pendidikan Indonesia.
Peran bimbingan kembali mendapat perhatian setelah diperkenalkannya gagasan
sekolah pembangunan pada tahun 1970/ 1971. Gagasan pembangunan ini kemudian
dituangkan dalam program Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP), yang

berupa proyek percobaan dan peralihan dari system persekolahan lama menjadi sekolah
pembangunan. Pembentukan SMPP ini dimaktubkan dalam surat keputusan menteri
pendidikan dan kebudayaan Nomor 0199/0/1973. Dalam melaksanakan bimbingan dan
penyuluhan di SMPP ini badan pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan telah menyusun Program Bimbingan dan penyuluhan SMPP.
Usaha mewujudkan system sekolah pembangunan tersebut dilaksanakan melalui
proyek pembaharuan pendidikan, yang diberi nama Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP). PPSP ini diujicobakan di delapan IKIP, yang diantaranya adalah IKIP Bandung dan
Jakarta. Badan pengembangan pendidikan, melalui lokakarya-lokakarya telah berhasil
menyusun dua naskah penting dalam sejarah perkembangan layanan bimbingan dan
konseling, yaitu sebagai berikut:
a) Pola dasar rencana dan pengembangan program bimbingan dan penyuluhan melalui
proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
b) Pedoman operasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis sekolah
pembangunan.
Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak berlakunya
kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian
integral dalam pendidikan di sekolah. Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) di Malang. IPBI ini memberi pengaruh yang sangat berarti terhadap
perluasan program bimbingan di sekolah.
Setelah melalui upaya penataan, dalam dekade 80-an bimbingan diupayakan agar
lebih maju untuk mewujudkan layanan bimbingan yang professional, yang mana dalam
dekade ini lebih mengarah pada profesionalisasi yang lebih baik. Yaitu dengan cara
penyempurnaan kurikulum. Dari kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984 yang telah ditambah
bimbingan karir di dalamnya.
Usaha memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakunya UU No.
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Posisi bimbingan yang termaktub dalam undang-undang No.2 di atas diperkuat
dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No.29 Bab X pasal

27/1990 yang menyatakan bahwa Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada
siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan
masa depan.
Penataan bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No.
84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam pasal 3 disebutkan
tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan,
evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut
dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada tahun yang sama juga keluar Surat Keputusan Bersama Mendikbud dengan
Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 26 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang tercantum pada Bab III Pasal 4 ayat 1,2,
dan 3 yaitu sebagai berikut:
a) Standar prestasi kerja guru pratama sampai guru dewasa tingkat I dalam melaksanakan
PBM atau Bimbingan meliputi hal berikut:
1) Persiapan program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling (BK).
2) Penyajian program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling.
3) Evaluasi program pengajaran atau praktik atau bim bimbingan dan konseling.
b) Standar prestasi kerja guru Pembina sampai guru utama selain tersebut pada ayat 1
ditambah dengan hal berikut:
1) Analisis hasil evaluasi pengajaran atau praktik atau BK.
2) Penyusunan program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan BK.
3) Pengembangan profesi dengan angka kredit sekurang-kurangnya 12 (dua belas).
c) Khusus standar prestasi kerja guru kelas, selain tersebut pada ayat 1 atau ayat 2, sesuai
dengan jenjang jabatannya ditambah melaksanakan program BK di kelas yang menjadi
tanggung jawab.
Pada tahun 2001 nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berubah
menjadi Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN), sehingga menjadikan
perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia menjadi semakin bagus (mantap).
Pemunculan nama ini dilandasi oleh pemkiran bahwa bimbingan dan konselingan harus
tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan public.
Berdasarkan penelaahan yang cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan
bimbingan dan konseling di Indonesia, Prayitno mengemukakan bahwa periodesasi
perkembangan gerakan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia melalui lima periode, yaitu:
periode prawacana, pengenalan, pemasyarakatan, konsolidasi, dan tinggal landas.

Periodesasi Pergerakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia


PERIODESASI

PERISTIWA

Periode I dan II:

Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah

Prawacana

dan

Pengenalan
(sebelum

1960-

1970-an)

dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya


diluar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung
(sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai dimulainya periode
kedua yang secara tidak langsung memperkenalakan pelayanan BP
pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in
ditandai dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah
sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan
pelayanan tersebut.

Periode III:
Pemasyarakatan
(1970-1990 an)

Pada periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk Sekolah Dasar


sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas. Kurikulum ini secara resmi
mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini
terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan
pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan
BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Dan pada periode ini
muncul

beberapa

permasalahan,

seperti:

(1)

berkembangnya

pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan karir dengan


Bimbingan Penyuluhan. (2) kerancuan dalam mengimlementasikan SK
Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan
bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua
guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya
pelayanan

BP

menjadi

kabur,

baik

pemahaman

maupun

implementasinya.
Periode IV:
Konsolidasi
(1990-2000)

Pada periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan


bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti
terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh
(1) diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling. (2)
pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing

yang secara khusus ditugasi untuk itu. (3) mulai diselenggarakan


penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing. (4)
mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing.
(5) pola pelayanan BK di sekolah dikemas dalam BK Pola 17, dan (6)
dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang
BK. (7) dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah
yang lebih operasional oleh IPBI.
Periode V:
Lepas Landas

Semula diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasilhasil yang memadai, sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di
Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan
bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang
berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM). Kelemahannya
berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para
pelaksana layanan. Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa
konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak
bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu:
(1) penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN
(Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (2) lahirnya undangundang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang
dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu
jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4). (3) kerjasama pengurus besar
ABKIN dengan dikti Depdiknas tentang standarisasi profesi konseling.
(4) kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan
kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus
memberikan pelatihan kepada mereka.

Dalam usaha untuk lebih memantapkan atau memajukan dan Konseling sebagai suatu
profesi, saat ini telah banyak kegiatan yang dilakukan baik yang berupa seminar, lokakarya
ataupun penerbitan buku dan jurnal. Pada bulan Desember 2003 ABKIN telah
menyelenggarakan Konvensi Nasional XIII yang diisi dengan kegiatan-kegiatan seminar dan
lokakarya (Semiloka) yang bertemakan Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia Menuju
ke arah Standar Internasional. Para pembicara pada seminar ini di samping berasal dari para
pengurus ABKIN dan para pakar Bimbingan dari Negeri juga berasal dari luar negeri. Yaitu

dari Jepang (Prof. Toshinori Ishikuma) dan Malaysia (Prof. Dr. Wan Kader Wan Ahmad).
Selain itu, di setiap kota atau kabupaten yang ada guru pembimbingnya telah dibentuk
organisasi MGBK yaitu Musyawaroh Guru Bimbingan dan konseling, baik di tingkat SLTP
ataupun SLTA.
Dalam penyelenggaraan program Bimbingan dan Konseling pada saat ini masih ada
beberapa persoalan, antara lain adalah:
a. Masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan jumlah sekolah
dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan, bahkan di sekolah dasar (SD) atau
Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada pengangkatan khusus seorang konselor.
b. Dampak dari kesenjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah, atau jumlah
peserta didik adalah:
1) Di sekolah tertentu tidak ada guru pembimbing.
2) Di sekolah-sekolah tertentu ada guru pembimbingnya meskipun tidak seimbang
dengan banyaknya siswa.
3) Untuk menutupi kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah
mengangkat guru-guru mata pelajaran(yang jam mengajarnya kurang) menjadi guru
pembimbing.
c. Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi memberikan
impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah, karena ada kepedulian
kepada sekolah terhadap program BK. Akan tetapi di sisi lain juga berdampak negative
bagi profesi pembimbing, yaitu melahirkan citra buruk bagi profesi bimbingan dan
konseling itu sendiri. Karena ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian
dalam bidang BK.
d. Walaupun bimbingan konseling dipandang sebagai kegiatan yang professional, akan
tetapi secara hokum belum terproteksi oleh standar kode etik yang kokoh, yang
memberikan jaminan bahwa hanya lulusan pendidikan konselor lah yang bisa
mengemban tugas atau memberikan layanan bimbingan dan konseling.
e. Popularitas Bimbingan dan Konseling masih terbatas di dalam kalangan tertentu, di
lingkungan (sekolah) yang sudah akrab dan apresiasi terhadap BK, akan tetapi ada juga di
kalangan sekolah yang belum memahami secara tepat dan bahkan menaruh citra negative
terhadap BK.
f. Masih ada juga kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program BK di
sekolah, sehingga mereka memberikan tugas kepada guru pembimbing (konselor) yang
mismatch, tidak profesiona, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya.
g. Citra BK semakin terpuruk dengan adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak
professional, dan mereka masih lemah dalam hal:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Memahami konsep-konsep bimbingan secara komperehensif.


Menyusun program bimbingan dan konseling
Mengimplementasikan teknik-teknik BK.
Kemampuan berkolaborasi dengan kepala sekolah atau guru mata pelajaran.
Mengelola BK.
Mengevaluasi BK dan melakukan tindak lanjut untuk perbaikan atau pengembangan

program.
7. 7)Penampilan kwalitas pribadinya, yaitu mereka masih dinilai kurang percaya diri,
kurang ramah, kurang kreati, kurang kooperatif dan kolaboratif
h. LPTK yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing masih belum
memiliki kurikulum yang bagus untuk melahirkan konselor-konselor professional.

PENUTUP

Kesimpulan
Upaya pengembangan potensi diri individu telah berkembang sejak Yunani Kuno,
yang di pelopori oleh Plato dan Aristoteles. Perkembangan gerakan bimbingan dan konseling
di Amerika bersifat buttom-up, yaitu dari pihak perorangan atau swasta kemudian menjadi
program pemerintah. Sedangkan di Indonesia, perkembangan gerakan bimbingan itu bersifat
top-down, yaitu dimulai oleh pihak pemeritah, melalui berbagai kebijakan, perundamgundangan, atau program-program eksperimentasi, kemudian program tersebut dikembangkan
oleh lembaga-lembaga swasta atau perorangan.

Tenaga pembimbing atau konselor di Amerika sudah mencapai standarisasi


professional yang mantap. Sedangkan di Indonesia masih berada dalam proses pengkajian,
validasi dan pemantapan dalam berbagai aspeknya.
Secara organisatoris atau yuridis formal, profesi bimbingan dan konseling
menunjukkan kondisi yang semakin mantap, namun dalam tataran implementasi masih
mengalami kelemahan dalam berbagai aspeknya, seperti menyangkut menajemen sumber
daya ( kualitas pribadi dan kemampuan professional), penempatan guru-guru mata pelajaran
sebagai guru pembimbing, pemberian tugas yang mismatch terhadap guru pembimbing, dan
sarana-prasarana.

KEPUSTAKAAN

Gibson, R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction of counseling and Guidance. New York:
MacMillan Publishing Company.
Muro, J.J., & Kottman, T. (1995). Guidance nad Counseling in the Elementary and middle
Schools. Madison: Wm C. Brown Com.Inc.
Rochman Natawidjaja, 1971.
Syamsu yusuf, landasan bimbingan & konseling. Bandung: PT rosdakarya, 2005.

Anda mungkin juga menyukai