Anda di halaman 1dari 15

Gangguan Fungsi Anggota Tubuh

Makalah

(Disusun untuk memenuhi tugas maka kuliah bimbingan anak berkebutuhan khusus)

Dosen pengampu:

Dr. Siti Masyithoh, M. Pd

Disusun oleh :

Arsyehiella Abyo Saputri 11190183000053

Annisa Millenia 11190183000055

Siti Zulhaida 11190183000058

Kelas 5B

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

202

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil’alamiin puji syulur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah bimbingan anak
berkebutuhan khusus dengan judul “Gangguan Fungsi Anggota Tubuh”.

Kami menyadari bahwa, dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus dan ikhlas memberikan saran, masukan, serta doanya sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.

Kami juga menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami berharap akan
saran dan masukan yang diberikan pembaca yang bersifat membangun agar makalah ini dapat
diperbaiki menjadi lebih bagus lagi.

Akhir kalam, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca.

Bojongsari, 22 Oktober 2021

Penulis

DAFTAR ISI
2
5
5
5
Klasifikasi Gangguan Intelektual.........................................................................6
C. Karakteristik anak yang memiliki gangguan intelektual...............................7
D. Sebab anak yang dengan gangguan intelektual...........................................11
E. Masalah anak yang memiliki gangguan intelektual (Tuna Grahita)...........13
F. Layanan pendidikan anak dengan gangguan intelektual.............................14
G. Petunjuk pendidikan anak di inklusi...........................................................16
H. Strategi pendidikan siswa Gangguan Intelektual.......................................19
24
24
24
B. SARAN.......................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada umumnya manusia terlahir di dunia dengan keadaan normal dan Sempurna.
Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dialami oleh semua Orang. Beberapa orang
terlahir di dunia dengan keadaan yang kurang normal dan Tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Hal itu menyebabkan adanya Keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang
sering disebut tunadaksa.

3
Tunadaksa yaitu berbagai macam bentuk kelainan yang mengakibatkan Kelainan
fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Penyandang
tunadaksa adalah penderita kelainan fisik, khususnya anggota badan, Seperti tangan, kaki
dan bentuk tubuh. Penyimpangan perkembangan terjadi pada Ukuran, bentuk atau kondisi
lainnya. Kaum tunadaksa di Indonesia sering kali Diposisikan sebagai kaum minoritas,
baik secara struktural maupun kultural. Lebih dari itu, mereka juga merupakan kelompok
yang selama ini terpinggirkan Di tengah kehidupan bermasyarakat dimulai dari segi
ekonomi, pendidikan, akses Pekerjaan, dan lainnya.

Secara umum gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami Ketunadaksaan


adalah mereka yang mengalami kelainan atau kecacatan pada Sistem otot, tulang, dan
persendian. Yang disebabkan karena kecelakaan atau Kerusakan otak yang dapat
mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, Komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku
dan adaptasi sehingga mereka memerlukan layanan informasi secara khusus. Metode dan
strategi belajar yang diberikan tentunya mempunyai beberapa tujuan di antaranya adalah
supaya anak dapat mengembangkan kreativitas yang dimiliki dan dapat bersosialisasi
dengan lingkungannya secara baik seperti orang normal pada umumnya.

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti ingin meneliti dan memahami siswa
dengan gangguan fungsi anggota tubuh serta Metode dan strategi pembelajaran siswa
tunadaksa di sekolah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tuna daksa?
2. Apa saja macam-macam klasifikasi pada Tuna daksa?
3. Bagaimana karakteristik anak Tuna daksa?
4. Apa saja faktor penyebab anak Tuna daksa?
5. Apa saja masalah anak yang mengalami Tuna daksa?
6. Bagaimana layanan pendidikan bagi anak Tuna daksa?
7. Bagaimana petunjuk pendidikan bagi anak Tuna daksa?
8. Bagaimana strategi pendidikan pada anak Tuna daksa?

4
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Tuna daksa.
2. Mengetahui macam-macam klasifikasi Tuna daksa.
3. Mengetahui karakteristik anak Tuna daksa.
4. Mengetahui faktor penyebab anak Tuna daksa.
5. Mengetahui masalah yang dialami anak Tuna daksa.
6. Mengetahui bagaimana layanan pendidikan bagi anak Tuna daksa.
7. Mengetahui petunjuk pendidikan bagi anak Tuna daksa.
8. Mengetahui strategi pendidikan pada anak Tuna daksa.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tuna Daksa


Menurut bahasa, tuna daksa adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya akibat dari adanya luka, penyakit,
pertumbuhan yang salah perlakuan, sehingga akibat dari adanya pengalaman tersebut
maka dapat menjadikan penurunan fungsi gerakan-gerakan tubuh. Tuna daksa dapat
dijelaskan sebagai bentuk kelainan atau adanya kecacatan pada sistem otot, tulang,
persendian, dan saraf yang timbul karena sebab adanya virus, penyakit, ataupun
5
kecelakaan baik yang terjadi sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah kelahiran. Dari
adanya gangguan-gangguan tersebut dapat mengakibatkan sistem koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan perkembangan pribadi menjadi terhambat.
Menurut (Suroyo, 1977), beliau menjelaskan bahwa pengertian dari kelainan fungsi
anggota tubuh (tuna daksa) ialah ketidakmampuan anggota tubuh dalam
melaksanakan fungsinya dengan sebab berkurangnya kemampuan fungsi anggota
tubuh secara normal akibat dari adanya luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak
sempurna.
Sebagaimana menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006), bahwa istilah
yang sering digunakan dalam menyebutkan tuna daksa adalah cacat fisik, cacat tubuh,
tuna tubuh, ataupun cacat ortopendi. Sedangkan dalam bahasa Inggrisnya dikenal
dengan istilah seperti crippled, physiccaly, handicapped, physically disabled,
nonambulatory, having organic problem, orthopedically, impairment, dan
orthopendically handicapped. Kata tuna daksa berasal dari dua kata, yakni “tuna” dan
“daksa”, tuna memiliki arti yaitu rugi, kurang dan daksa memiliki arti yaitu tubuh.
Oleh karena itu, tuna daksa ditujukan kepada mereka yang memiliki anggota tubuh
yang kurang atau tidak sempurna, seperti buntung atau cacat. Cacat yang dimaksud
tersebut adalah cacat tubuh atau cacat fisik, dimana mereka yang memiliki kecatatan
pada anggota tubuhnya bukan cacat pada anggota inderanya. Menurut Somantri
(2006) beliau menjelaskan bahwa tuna daksa merupakan suatu kondisi yang
menghambat kegiatan seseorang sebagai akibat dari adanya kerusakan atau gangguan
pada tulang dan otot, sehingga dapat mengurangi kemampuan nornal seseorang untuk
mengikuti pendidikan atau untuk berdiri sendiri. Menurut Soeharso (1982), bahwa
klasifikasi tuna daksa dapat dilihat dari segi sistem kelainannya yaitu: (a) kelainan
pada sistem ceberal merupakan suatu kelainan pada sistem gerak, postur, atau bentuk
tubuh, gangguan sistem koordinasi, dan tak sering pula dijumpai dengan gangguan
psikologis, dan sensoris yang disebabkan karena adanyan kerusakan pada saat
perkembangan otak; (b) kelainan pada sistem otot dan rangka ada beberapa macam,
diantaranya: Poliomyetilis, Muscle Dystrophy, Spina Bifida. Dan; (c) kelainan dari
ortopedi karena sebab bawaan.1

B. Klasifikasi Tuna Daksa


Secara umum karakteristik tuna daksa dapat dikelompokkan kedalam dua jenis
yaitu tuna daksa ortopedi (orthopedicallyhandicapped) dan tuna daksa syaraf
(neurogicallyhandicapped) (Hallahan dan Kauffman, 1991). Pada kedua jenis tuna
daksa tersebut tidak terdapat perbedaan yang begitu mencolok, karena secara fisiknya
kedua jenis ini memiliki kesamaan, terutama pada fungsi analogi anggota tubuhnya
yaitu untuk melakukan mobilitas. Tetepi, apabila dicermati secara seksama sumber
ketidakmampuan untuk menggunakan anggota tubuhnya untuk beraktivitas atau
1
Imelda Pratiwi dan Hartosujono, “Resiliensi Pada enyandang Tuna Daksa Non Bawaan”, Jurnal SPIRITS, Vol. 5, No.
1 (November, 2014), 51.

6
mobilitas akan terlihat perbedaannya. Anak tuna daksa dapat dibedakan berdasarkan
kelainan fungsi dan sebab yang melatar belakanginya, yaitu:
1) 1). Anak tuna daksa yang berhubungan dengan kerusakan sistem syaraf pusat
(otak dan sumsum tulang belakang). Maka disebut dengan tuna daksa
Cerebral Palsy (CP).
2) Anak tuna daksa yang berhubungan dengan kerusakan pada alat gerak
tubuhnya (tulang, sendi, dan otot).2

C. Karakteristik Anak Tuna daksa


1. Karakteristik akademik
Karakteristik Akademik Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat
mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai
dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa
45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35%
mempunyai tingkat kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan
sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, mengemukakan bahwa tidak ditemukan
hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak.
Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya
rendah.3
2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang
merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya.
Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari
masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang
tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya
problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang
dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi.
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat
tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi,
berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain.
Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral.
Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau
lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan
2
Onah, “Penongkatan Hasil Belajar Perkalian Melalui Penggunaan Sempoa Pada Siswa Tuna Daksa Kelas IV Di SDLB
PRI Pekalongan”, Jurnal Profesi Keguruan, JPK 3(1) (2017), 62.
3
Salim, A. Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.

7
diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya
ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan
aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya
melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan.

D. Faktor Penyebab Tuna Daksa


a. Faktor Prenatal (sebelum kelahiran)
Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi
lahir atau ketika dalam kandungan dikarenakan faktor genetik dan kerusakan
pada sistem saraf pusat. Faktor yang menyebabkan bayi mengalami kelainan
saat dalam kandungan adalah: Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan
bayi dari plasenta, penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, dan
percobaan pengguguran kandungan atau aborsi, gangguan metabolisme pada
ibu, bayi dalam kandungan terkena radiasi, radiasi langsung mempengaruhi
sistem syaraf pusat sehingga sehingga struktur maupun fungsinya terganggu,
ibu mengalami trauma (kecelakaan).
b. Faktor Neonatal (saat lahir)
Mengalami kendala saat melahirkan, seperti: Kesulitan melahirkan karena
posisi bayi sungsang atau bentuk pinggul ibu yang terlalu kecil, pendarahan
pada otak saat kelahiran, kelahiran prematur, penggunaan alat bantu kelahiran
berupa tang karena mengalami kesulitan kelahiran yang mengganggu fungsi
otak pada bayi, gangguan plasenta yang mengakibatkan kekurangan oksigen
yang dapat mengakibatkan terjadinya anoxia dan pemakaian anestasi yang
melebihi ketentuan adalah contoh faktor Neonatal penderita Tuna Daksa.
c. Postnatal (setelah kelahiran)
Walaupun proses melahirkan sudah berlalu, tidak ada jaminan seorang
individu untuk terbebas dari Tuna Daksa seumur hidupnya. Penyakit seperti
meningitis (radang selaput otak), enchepalitis (radang otak), influenza,
diphteria, dan partusis adalah beberapa penyakit yang dapat berdampak fatal
menyebabkan disfungsi otak. Selain itu, mengalami benturan keras di bagian
kepala, dan terjatuh dari tempat yang tinggi tanpa menggunakan pengaman
kepala juga merupakan faktor penyebab Tuna Daksa. 4

E. Masalah perkembangan anak Tuna daksa


a. Masalah perkembangan tuna daksa
Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa perkembangan kognitif anak tunadaksa
dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka dapat bersosialisasi. Keadaan
tunadaksa menyebabkan gangguan dan hambatan dalam keterampilan motorik
seseorang, makin besar hambatan yang dialami anak, maka makin besar hambatan

4
Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung : Refika Aditama, 2006).

8
kognitifnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sampai usia tertentu
ketunadaksaan akan mempengaruhi laju perkembangan seseorang.5
b. Perkembangan Bicara dan Emosi Anak Tunadaksa
perkembangan emosinya karena anak mereka pernah merasakan kehidupan
normal sebelumnya oleh karena itu dukungan dari orang-orang disekitarnya dapat
memberikan pengaruh yang baik untuk anak tunadaksa. Apabila orang tua yang
terlalu bersikap melindungi secara berlebihan maka akan menyebabkan anak
tunadaksa mengalami ketergantungan.
c. Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa
Kelainan pribadi dan emosi anak tunadaksa tidak secara langsung diakibatkan
karena ketunaannya, melainkan ditentukan oleh bagaimana seseorang itu
berinteraksi dengan lingkungannya. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya,
teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Hal-hal yang sebagaimana dijelaskan
ini, secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan sosial anak
tunadaksa mereka bisa saja merasakan ditolak, harga diri yang rendah, dan kurang
percaya diri serta menjauh dari lingkungannya.6

F. Layanan Pendidikan Anak Tuna Daksa


Tujuan pendidikan anak tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu:
1. Berhubungan dengan aspek rehabilitasi dan pengembangan fungsi fisik
Tujuannya adalah untuk mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat
langsung atau tidak langsung dari kecacatannya.
2. Berkaitan dengan pendidikan, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan
peserta didik agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan
keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta
dapat mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti
pendidikan lanjutan.

Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu


dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan,
yaitu:

5
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), h.125
6
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarata : Rineka Cipta, 2004),

9
a. pengembangan intelektual dan akademik
b. membantu perkembangan fisik
c. meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
d. mematangkan aspek sosial
e. mematangkan moral dan spiritual
f. meningkatkan ekspresi diri
g. mempersiapkan masa depan anak

1) Prinsip dasar program pendidikan anak tunadaksa meliputi:


 keseluruhan anak (all the children)
 kenyataan (reality)
 program yang dinamis (a dynamic program)
 kesempatan yang sama (equality of opportunity)
 kerjasama (cooperative)
2) Prinsip pendidikan anak tunadaksa yang berbeda dengan anak normal, yaitu:
• prinsip multisensori : adalah metode pembelajaran yang memanfaatkan fungsi dari
masing-masing alat indera. Metode multisensori didasarkan pada asumsi bahwa
peserta didik akan belajar lebih baik jika materi pelajaran disajikan dalam berbagai
modalitas7.
• prinsip individualisasi : Melaksanakan prinsip individualisasi diwujudkan dalam
bentuk mengajar hendaknya memperhatikan perbedaan antar individu siswa. Siswa
sebagai makhluk individu berbeda-beda, baik dari segi mental, misalnya perbedaan
intelegensi, bakat, minat dan sebagainya maupun berbeda dalam kecenderungan,
misalnya ada yang cenderung lebih baik pada bidang estetika, tetapi kurang baik
pada matematika. dan sebagainya. Perbedaan individu tersebut dapat dilakukan
dalam pemberian pelayanan belajar, seperti bimbingan belajar, tugas-tugas, dan
sebagainya.
3). Pembelajaran di sekolah
• Perencanaan kegiatan belajar mengajar: program pendidikan yang
diindividualisasikan

• Prinsip pembelajaran: prinsip multisensori dan individualisasi

• Penataan lingkungan belajar: bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan:


mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan
penyesuaian.

7
fitria fajar setiawati, Efektivitas Metode Multisensori Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan
Pada Anak Tunagrahita Ringan. 2017 hal 32

10
• Personil: guru slb, guru reguler, dokter ahli anak, dokter ahli rehabilitasi medis,
dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru bimbingan dan penyuluhan,
social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan
prosthetic.

4). Program layanan rehabilitasi pendidikan bagi anak tunadaksa, lembaga pendidikannya
memiliki beberapa tenaga ahli yang tergabung dan bekerja sebagai suatu tim
rehabilitasi8.

G. Petunjuk Pendidikan Anak Tuna Daksa

Dapat dilihat dari akses pendidikan untuk tunadaksa, jika dulu disediakan TKLB
(Taman Kanak-kanak Luar Biasa), SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SLTPLB
(Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Luar Biasa), dan SMLB (Sekolah Menengah Luar
Biasa). Tapi, tidak disediakan ULB (Universitas Luar Biasa). Hal ini, mencerminkan
bahwa kebijakan tersebut memang masih setengah hati dalam memberikan hak-hak
di bidang pendidikan untuk anak-anak 14 Peter, Coleridge, Pembebasan dan
Pembangunan; Perjuangan Penyandang Cacat di Negara-negara Berkembang,
diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi (United Kingdom: Oxfam, 1997), h. 24. 15
Ibid, h. 4. Membebaskan Anak Tunadaksa Dalam Mewujudkan Masyarakat
Multikultural Demokratis Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 1 Januari-Juni 2018
180 tunadaksa. Terlepas dari sisi negatif menyekolahkan anak di Sekolah Luar Biasa
yaitu anak-anak akan cenderung tidak mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan
sosial karena mereka sudah terbiasa bertemu dengan anak-anak yang secara fisik
tidak berfungsi penuh, maka ketika bertemu dengan anak-anak yang secara fisik
berfungsi penuh anak-anak tunadaksa akan merasa teralienasi dan merasa bukan
bagian dari mereka. Melihat keadaan tersebut pemerintah mengambil langkah dengan
menyediakan sekolah inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus termasuk
tunadaksa. Sekali lagi langkah ini berhadapan dengan kendala seperti jumlah siswa
yang melebihi batas tampung, ketidaksiapan tenaga pendidik, dan terjadinya bullying
akibat ketidaksiapan dari teman sebaya dalam menerima anak atau siswa ABK. Dari
tindakan bullying tersebut sangat jelas bahwa masyarakat difabel belum diterima
secara penuh ditengah masyarakat bahkan di dalam sistem layanan pendidikan
inklusif.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Hermanto menyatakan bahwa penerimaan


terhadap pendidikan inklusif sesungguhnya adalah satu pilar sebagai pembaharuan
pendidikan khususnya untuk memberikan layanan kepada individu berkebutuhan

8
sri widati, Pendidikan bagi anak tunadaksa.

11
khusus, namun di balik itu sesungguhnya sistem di persekolahan juga harus berubah
guna mencari format. Di sinilah sesungguhnya konsep pembaharuan itu muncul
karena sekolah dituntut melakukan berbagai inovasi dan terobosan model
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tepat di sekolah. Harus disadari bahwa
konsep dan model inklusif yang dilakukan di sekolah lain belum tentu dapat
diterapkan secara sama persis di sekolah9.
Pendidikan inklusif bertujuan: (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2)
mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud bahwa
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/ atau
memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya.
Selanjutnya mengenai prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses
pembelajaran anak-anak tunadaksa adalah: 1) pelayanan medis, 2) pelayanan
pendidikan, dan 3) pelayanan sosial yang pada dasarnya juga tidak dapat lepas
dengan prinsip rehabilitasi dan habilitasi. Disamping itu, hal yang juga harus
diperhatikan adalah kondisi gedung sekolah karena akan mempengaruhi kegiatan
anak di sekolah.

H. Strategi Pendidikan Anak Tuna Daksa

Strategi yang biasa diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian
tempat pendidikan, sebagai berikut:

a) Pendidikan integrasi (terpadu): Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah


sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap

b) Pendidikan segregasi (terpisah) : Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem


pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Bentuk SLB merupakan
bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan
sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu
kepala sekolah.

9
fawziah zahrawati, Membebaskan Anak Tunadaksa Dalam Mewujudkan Masyarakat Multikultural Demokratis,
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 1 Januari-Juni 2018. Hal 180-182.

12
c) Penataan lingkungan belajar : Lingkungan belajar anak adalah dunia bermain mereka
baik di dalam (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor). Penataan lingkungan belajar
merupakan penataan lingkungan fisik, baik di dalam maupun di luar ruangan. Penataan
lingkungan termasuk seluruh asesoris yang digunakan , baik di dalam maupun di luar
ruangan, seperti: bentuk dan ukuran ruang, pola pemasangan lantai, warna dan hiasan
dinding, bahan dan ukuran mebeulair, bentuk, warna, ukuran, jumlah, dan bahan
berbagai alat main yang digunakan sesuai dengan perencanaan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuna daksa adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya akibat dari adanya luka, penyakit,
pertumbuhan yang salah perlakuan, sehingga akibat dari adanya pengalaman
tersebut maka dapat menjadikan penurunan fungsi gerakan-gerakan tubuh. Anak
tuna daksa dapat dibedakan berdasarkan kelainan fungsi dan sebab yang melatar
belakanginya, yaitu: 1). Anak tuna daksa yang berhubungan dengan kerusakan
sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Maka disebut dengan
tuna daksa Cerebral Palsy (CP). 2) Anak tuna daksa yang berhubungan dengan

13
kerusakan pada alat gerak tubuhnya (tulang, sendi, dan otot). Sedangkan
karakteristik anak tuna daksa terdiri dari: 1) karakteristik akademik, 2)
karakteristik sosial/emosional, dan 3) karakteristik fisik/kesehatan.

B. Saran
Tuna daksa adalah seseorang yang memiliki kesulitan dalam
memfungsikan anggota gerak tubuhnya. Oleh karena itu, kita sebagai seorang
calon guru harus mempersiapkan diri dengan banyak-banyak belajar tentang
bimbingan anak berkebutuhan khusus terutama dalam bidang tuna daksa demi
memenuhi kebutuhan belajarnya dan dalam hal pendidikan lainnya. Dan juga kita
sebagai seseorang yang telah diberi kesempurnaan anggota tubuh dengan segala
kemanfaatan anggota tubuh haruslah bersyukur atas anugerah dan kasih sayang
yang telah Allah SWT berikan dan itu semua haruslah kita jaga dengan sebaik-
baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Imelda Pratiwi dan Hartosujono, “Resiliensi Pada enyandang Tuna Daksa Non Bawaan”, Jurnal
SPIRITS, Vol. 5, No. 1 (November, 2014), 51.

Onah, “Penongkatan Hasil Belajar Perkalian Melalui Penggunaan Sempoa Pada Siswa Tuna
Daksa Kelas IV Di SDLB PRI Pekalongan”, Jurnal Profesi Keguruan, JPK 3(1) (2017), 62.

Salim, A. Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.

Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung : Refika Aditama, 2006).

Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta : Bumi Aksara,


2008), h.125

14
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarata : Rineka Cipta, 2004),

fitria fajar setiawati, Efektivitas Metode Multisensori Untuk Meningkatkan Kemampuan


Membaca Permulaan Pada Anak Tunagrahita Ringan. 2017 hal 32

Sri widati, Pendidikan bagi anak tunadaksa.

Fawziah zahrawati, Membebaskan Anak Tunadaksa Dalam Mewujudkan Masyarakat


Multikultural Demokratis, Jurnal Al-Maiyyah, Volume 11 No. 1 Januari-Juni 2018. Hal 180-182

15

Anda mungkin juga menyukai