PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik,
dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata tuna yang berarti rugi
atau kurang dan daksaberarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki
anggota tubuh tidak sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik
dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat
indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa inggris
orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan
dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya
terletak pada aspek otot tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat
adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur system otot, tulang dan
persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan
atau kecacatan pada system otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan
koordinasi,
komunikasi,
adaptasi,
mobilisasi,
dan
gangguan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik,
dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata tuna yang berarti rugi
atau kurang dan daksaberarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki
anggota tubuh tidak sempurna. Sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik
dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat
indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa inggris
orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan
dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya
terletak pada aspek otot tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat
adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur system otot, tulang dan
persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan
atau kecacatan pada system otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan
koordinasi,
komunikasi,
adaptasi,
mobilisasi,
dan
gangguan
Golongan anak tunadaksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama
dengan anak
didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi
akademiknya.
2. Karakteristik Sosial/Emosiaonal
Karakteristik social/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak
yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suailainnya.
Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari
masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang
tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya
problem emosi, seperti mudah tersingggung, mudah marah, rendah diri, kurang
dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi serperti itu,
banyak ditemukan pada anak tunadaksa gangguan system cerebral. Oleh sebab itu,
tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat
tubuh adalah kecendrungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi,
berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain.
Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa system ceberal.
Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motoric alat bicara (kaku atau
lumpuh), seperti lidah, bibir, rahang sehingga mengganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya bicaranya tidak dapat dipahami oleh orang lain
dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris
artinya ketidak mampuan bicara dengan organ reseptor anak terganggu fungsinya,
dan aphasia motoric, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan
kekakuan,
gangguan
keseimbangan,
gerakan
tidak
dapat
10
11
12
13
belajar
mengajar,
rehabilitasi,
pelaksanaan
bimbingan,
pengembangan
bahasa,
daya
pikir,
daya
cipta,
keterampilan dan pendidikan jasmani, usia anak yang diterima kurangkurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung kurang-kurangnya enam
tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi
kurikulum terdiri atas, program umum, meliputi mata pelajaran pendidikan
14
15
BAB III
LAPORAN OBSERVASI
16
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau
kecacatan pada system otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan
koordinasi,
komunikasi,
adaptasi,
mobilisasi,
dan
gangguan
17
2. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap atau tidak sempurna
atau lebih kecil dari biasa
3. Kesulitan dalam gerakan (tidak lentur atau tidak terkendali, bergetar)
4. Terdapat cacat pada anggota gerak
5. Anggota gerak layu, kaku, lemah atau lumpuh
Faktor penyebab anak tunadaksa
Kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada
saat sebelum anak lahir (prenatal), saat lahir (neonatal), dan setelah anak
lahir(postnatal). Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi
sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan, di antaranya dikarenakan faktor
genetik dan kerusakan apada sistem syaraf pusat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Calk. B. (1983). Growing Up Gifted. Columbus: Charles E. Merrill Company.
Herry Widyastono, dkk. (1996). Laporan Penelitian Profil Siswa Sekolah Dasar
(SD) yang Memerlukan Perhatian / Pelayanan Khusus dan yang Berkesulitan
Belajar. Jakarta : pusbangkurrandik Balitbang Dikbud.
McLoughlin, J. A. & Lewis, R. B. (1985). Assessing Special Student. Strategis
and Procedure. Columbus: Charles E. Merrill Publising Company.
Marcer & Marceres. (1985). Teaching Student With Learning Problem. Columbus:
Charles E. Merrill Publising Company.
Sunardi, M. Sc., Dr. (1997). Menangani Kesulitan Belajar Membaca. Jakarta:
Pusbangkurrandik, Balitbang-Dikbud.
Villa, R. A. & Thousant, J. S. (Eds,) (1996). Creating an Inclusive School .
Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
Wardani, I G. A. K. (1996). Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Anak
Berkesulitan Belajar. Jakarta: P2 TK, Dikjen Diktil.
Willis, S. (1994). Making School More Inclusive. Teaching Children with
Disabilities in Regular Classroom. ASCD Curriculum Update. October 1994.
http://blogspot.com/2010/12/tuna-daksa.html(diunduh 26 November2013)
http://blogspot.com/p/tuna-daksa-adalah-anak-yang-mengalami.html?m=1
(diunduh 26 November 2013)
19