Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi
pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam
kehidupannya. Anak tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila
diajak berkomunikasi barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan
pendengaran. Anak tunarungu tidak berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada
umumnya anak tunarungu mengalami ketunaan sekunder yaitu tunawicara.
Penyebab anak menjadi tunawicara adalah anak sangat sedikit memiliki kosakata
dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara.
Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah
hingga jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya
tingkat prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan
informasi dan pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibandingkan dengan anak
yang mampu dengar. Anak tunarungu mendapatkan informasi dari indra yang
masih berfungsi, seperti indra penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.
Anak tunarungu mendapatkan pendidikan khusus di lembaga informal dan
formal. Pendidikan formal yang menangani anak tunarungu yaitu LSM, organisasi
penyandang cacat, posyandu dan klinik-klinik anak berkebutuhan khusus.
Lembaga pendidikan formal yang menangani anak tunarungu adalah home
schooling, sekolah inklusi, dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Penyelenggaraan
pendidikan khusus tersebut termuat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional pasal 32 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendididkan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengkuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial

dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan khusus


yang dimaksud yaitu pemberian layanan sesuai kebutuhan anak tunarungu.
Pendidikan

khusus

dilaksanakan

secara

sistematis.

Pelaksanaan

pembelajaran bagi anak tunarungu harus dimulai dari hal-hal yang dialami anak
dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu mulai
dari hal-hal yang mudah kemudian berangsur-angsur ke tingkat yang lebih sulit.
Pembelajaran bagi anak tunarungu dapat dilakukan dengan cara memberikan
pengalaman-pengalaman nyata dan berulang-ulang.
Anak tunarungu kurang memiliki pemahaman informasi verbal. Hal ini
menyebabkan anak sulit menerima materi yang bersifat abstrak, sehingga
dibutuhkan media dan metode yang tepat untuk memudahkan pemahaman suatu
konsep pada anak tunarungu.
Pemahaman terhadap anak tunarungu juga sangat diperlukan guna
memberikan pelayanan yang tepat bagi anak. Pemahaman pelayanan tidak hanya
harus diketahui oleh guru, akan tetapi juga wajib diketahui oleh orang tua. Guru
dan orang tua harus saling bekerjasama dalam membuat program pembelajaran
baik di sekolah maupun di rumah.

B. Rumusan Masalah
Untuk membantu anak tunarungu agar berkembang dengan optimal dan
maksimal, kita perlu mengenal lebih dekat anak tunarungu. Untuk itu
dirumuskanah beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah anak tunarungu itu?
2. Bagaimana ciri-ciri dan karakteristik anak tunarungu?
3. Bagaimana cara menditeksi dini anak yang mengalami ketunarunguan?
4. Apa pendidikan yang tepat bagi anak tunarungu?
5. Apa terapi yang tepat guna membantu anak tunarungu agar berkembang
dengan optimal?
6. Bagaimana meningkatkan rasa percaya diri anak tunarungu?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar kita sebagai orang tua maupun
sebagai pendidik dapat:
2

1. Mengetahui siapa-siapa yang disebut sebagai anak tunarungu


2. mengetahui ciri-ciri dan karakteristik anak tunarungu sehingga dapat
membantu anak berkembang dengan optimal.
3. Mengetahui cara menditeksi dini anak yang mengalami ketunarunguan
sehingga dapat memberikan stimulasi dini dan pelayanan yang tepat bagi
anak.
4. Mengetahui pendidikan yang tepat bagi anak tunarungu agar anak
berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
5. Memberikan terapi yang tepat guna membantu anak tunarungu agar
berkembang dengan baik
6. Dapat meningkatkan rasa percaya diri anak tunarungu dalam pergaulan
sehari-hari di masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan,
terutama melalui indra pendengarannya.
Andreas Dwidjosumarto (1990:1) mengemukakan bahwa Tunarungu adalah
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Mufti Salim (1984:8) menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak
yang

mengalami

kekurangan

atau

kehilangan

kemampuan

mendengar

yangdisebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya,
Memperhatikan batasan-batasan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard
of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya
tidak memiliki nilai fungsional didalam kehidupan sehari-hari.

B. Ciri-Ciri Tunarungu
1.

Ciri-Ciri Fisik Anak Tunarungu


Cara

berjalan

anak

kaku

dan

membungkuk

disebabkan

karena terganggunya alat pendengaran.


Gerakan mata cepat dan agak beringas menunjukkan bahwa anak ingin
menangkap keadaan yang ada di sekitarnya.
Gerakan kaki dan tangannya sangat

cepat

atau

kidal

tampak pada saat berkomunikasi dengan gerak/bahasa isyarat.


Pernafasannya pendek dan agak terganggu.
2.

Ciri-Ciri Intelegensi Anak Tunarungu


Intelegensi anak tunarungu umumnya seperti anak normal namun karena

tingkat kemampuan bahasa, keterbatasan informasi dan daya abstraksi yang


mengakibatkan menghambatnya proses pencapaian yang lebih luas. Maksudya
karena memiliki keterbatasan dalam kemampuan berbahasa maka anak lebih sulit
untuk memahami sesuatu.
3.

Ciri-Ciri Sosial Anak Tunarungu

4.

Merasa rendah diri dan merasa diasingkan dari keluarga dan masyarakat.
Merasa diperlakukan tidak adil oleh orang-orang disekitarnya.
Pergaulan terbatas antara sesama tunarungu.
Memiliki sifat egosentris melebihi anak normal.

Ciri-Ciri Emosi Anak Tunarungu


Mudah marah dan mudah tersinggung.
Merasa takut pada lingkungan sekitar sehingga anak merasa was-was atau
kuatir.
C. Klasifikasi Anak Tunarungu

1.

Klasifikasi berdasarkan etiologis yaitu pembagian berdasarkan sebab- sebab,


tunarungu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
a. Faktor Sebelum Lahir (Prenatal) :
Salah satu atau kedua orang tua tunarungu sehingga memiliki gen
pembawa tunarungu.
Karena penyakit misalnya sewaktu ibu mengandung terserang suatu
penyakit, terutama penyakit- penyakit yang di derita pada saat
kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang
telinga. Penyakit itu ialah rubella, moribili, dan lain-lain
Karena keracunan obat- obatan : pada suatu kehamilan ibu meminum
obatan terlalu banyak, atau ibu meminum obat pengugur kandungan,
hal ini menyebabkan ketunarunguan pada anak yang lahir.
b.

Faktor Pada Saat Lahir (Natal) :


Prematuritas yaitu bayi yang lahir sebelum waktunya.
Proses Kelahiran yang sulit hingga persalinan dibantu dengan
penyedotan (tang) .

c.

Faktor Sesudah lahir (post natal) :


Karena kecelakaan yang mengakibatkan

kerusakan

alat

pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.


Ketulian yang terjadi karena infeksi , misalnya infeksi pada otak
(meningitis)atau infeksi umum seperti difteri , morbili, dan lain-lain.
Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.

2.

Klasifikasi berdasarkan Penyebabnya


Conductive loss
Sensorineural loss
Central auditory processing disorder

3.

Klasifikasi Berdasarkan Keberfungsian Pendengaran


Ketunarunguan ringan : masih mampu mendengar dengan intensitas 2040 dB
Ketunarunguan sedang : masih mampu mendengar dengan intensitas 4065 dB
Ketunarunguan berat : masih mampu mendengar dengan intensitas 65-95
dB
Ketunarunguan parah : masih mampu mendengar dengan intensitas
diatas 95 dB.
D.
1.
2.
3.
4.
5.

Penyebab Tunarungu
Faktor Keturunan (Heredity)
Faktor Ibu yang terkena Rubella (Maternal Rubella)
Ketidaksesuaian anatara Darah Ibu dan Anak
Meningitis (Radang Selaput Otak)
Prematuritas

E. Deteksi Ketunaarunguan
Mendeteksi kehilangan pendengaran merupakan persoalan teknis dimana
mengenali anak tuli lebih mudah daripada mengenali anak kurang dengar. Gejala
umum anak kurang dengar ringan diantaranya yaitu;
Anak yang acuh tak acuh, kebingungan atau penurut,
Anak yang mengahayal secara berlebihan,
Anak yang prestasinya rendah,
Anak yang mengalami sedikit gangguan bicara,
Anak yang malas,
Anak yang nampak bodoh.
Akan tetapi ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mendeteksi
ketunarunguan yang lain, yaitu:
Tes dengan alat sederhana (tradisional); pada bayi yang mulai meraban dapat
dilakukan tes karena pendengaran anak sudah mulai memegang peran.
Dengan mengetukkan sendok pada piring atau dengan panggilan dari sisi

belakang atau samping anak. Jika anak merespon, maka pendengaran anak
normal
Tes dengan detik jam (watch tick test); pelaksanaan test dilakukan di ruang
sunyi, anak berdiri disamping tester dengan menutup telinga yang tidak di
tes, jam ditempatkan dekat dengan telinga dan sedikit demi sedikit dijauhkan
secara horizontal sampai anak tidak dapat mendengar. Menurut praktek jika
anak tidak dapat mendengar detik jam pada jarak 48 inci sampai 16 inci
maka ia dianggap kurang dengar.
F. Kebutuhan Pembelajaran Tunarungu
Kebutuhan pembelajaran anak tunarungu, secara umum tidak berbeda
dengan anak pada umumnya. Tetapi mereka memerlukan perhatian dalam
kegiatan pembelajaran antara lain:
Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.
Anak hendaknya ditempatkankan paling depan, sehingga memiliki peluang
untuk mudah membaca bibir guru.
Perhatikan postur anak yang

sering

memiringkan

kepala

untuk

mendengarkan
Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah dengan
anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar
dengan kepala anak. Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan
gerakan bibirnya yang harus jelas.
G. Inklusi Bagi Anak Tunarungu
Pendidikan inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan
pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan
khusus usia sekolah, mulai dari jenjang TK, SD, SLTP Sampai dengan SMA. Pada
kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model
terapi mendengar (Auditory Verbal Therapy) yang telah dilakukan pada anak
gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang
lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya
lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi

bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan
pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini
antara lain:
Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya
di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan
mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal
terhadap anak berkebutuhan khusus.
Penanganan terhadap anak gangguan pendengaran dapat dilakukan dengan
cara:
Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini,
diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan
Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi
anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam
berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada
sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
Memberikan assesment awal pada anak yang telah masuk pada sekolah
regular dengan pendampingan sebagai guru kunjung.
H. Metode Terapi Wicara
Orang tua dan guru harus berperan aktif dalam melatih anak untuk berbicara
secara terus menerus. Dalam melatih wicara pada anak tunarungu harus dilakukan
secara bertahap dari kosakata yang paling sederhana ke yang paling kompleks.
Pada prinsipnya peranana terbesar diambil oleh orang tua dan orang-orang
disekitar anak guna melatih kelancaran kemampuan wicara anak.
Adapun beberapa metode terapi wicara yang bisa diterapkan baik di rumah,
sekolah maupun klinik, diantaranya:

Metode lips reading/membaca ujaran; penekanannya pada kemampuan anak


yang diharuskan dapat menangkap bunyi atau suara atau ungkapan
seseorang melalui penglihatannya dengan kata lain anak harus dapat
membaca gerak bibir.
Metode oral; cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara
lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Yaitu dengan cara
melibatkan anak tunarungu wicara berbicara secara lisan dalam setiap
kesempatan
Metode manual; cara mengajaar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi
dengan menggunakan isyarat atau ejaan jari.
Metode AVT (audiotory visual therapy); perpaduan antara penerapan suara,
mimik muka, dan bahasa bibir. Tujuannya yaitu dengan suara kita dapt
mengoptimalkan sisa pendengaran anak, dengan mimik muka dan bahasa
bibir diharapkan anak lebih mengerti atau lebih mudah memahami setiap
kata yang diucapkan secara visual.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam speech therapy/terapi wicara adaah
alat artikulasi anak (apakah terdapat kecacatan atau tidak adanya kecacatan),
pembentukan vokal dan konsonan yang dilakukan oleh anak, tingkat kurang
dengar yang dialami anak apakah dalam kategori ringan, sedang ataukah berat.
Dari beberapa hal diatas perlu mendapat perhatian khusus, karena hal
tersebut sangat berpengaruh pada penanganan awal atau apa saja konsep awal
yang akan diberikan kepada anak.
Saat ini, tentunya sudah banyak berbagai macam modifikasi terapi yang
lebih modern dan lebih detail, namun pada dasarnya semua itu tergantung dari
bagaimana cara penangan yang dilakukan terhadap anak. Hendaknya sedini
mungkin anak tunarungu wicara dilatih untuk berbicara dan melakukan
percakapan-percakan dengan orang normal, agar mereka merasa terbiasa dan
organ artikulasinya terlatih sejak dini.
Beberapa cara atau usaha dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu
menurut edja sajah & dardjo sukarja antara lain:

Perkembangan fungsi gerakan untuk kesiapan berbicara yang meliputi


latihan nafas dan latihan alat berbicara. Tujuannya adalah mengajak anak
menyadari adanya gerakan motorik bicara, anak akan mempunyai kesiapan
9

dalam membentuk bunyi bahasa melalui alat-alat bicara. Selain itu, agar
anak memiliki persepsi pendengaran, penglihatan, perabaam dan perasa.

Pengembangan fungsi pengertian dengan menggunakan latihan bahasa pasif


dan latihan perintah. Tujuannya adalah mengembangkan pengertian melalui
bahasa verbal agar anak memahami situasi yang dialami dan mampu
melaksanakan perintah verbal

Kemampuan berbahasa verbal dengan latihan pendengaran, latihan bahasa,


dan latihan berbicara. Tujuannya adalah untuk menanamkan pengertian
kepada anak, menstimulasikan anak kearah peniriuan secara sistematis,
menggunakan bicara dan bahasa, mengembangkan dan memfungsikan sisa
pendengaran yang dimiliki anak, serta vokalisasi dan ekspresi.

Gerakan fungsi motorik yang meliputi latihan peniruan gerak, konsep gerak
yang benar, dan koordinasi gerakan dengan penglihatan. Tujuannya adalah
agar dapat mengajak anak untuk berinteraksi dengan lingkungan, sehingga
anak dapat mengembangkan fungsi motorik yang berhubungan dengan
pengertian, serta melaksanakan gerakan-gerakan secara aktif.
Usaha-usaha diatas dapat dilakukan dan dikembangkan oleh orang tua,

dalam hal ini peranan guru sangat diharapkan untuk memberikan saran. Kegiatankegiatan dan rangsangan tersebut hendaknya dapat menunjang perkembangan
anak, terutama kompetensi berbahasa anak. Pendidikan informal ini dapat
dilaksanakan sedini mungkin agar anak lebih terbiasa berkomunikasi dan dapat
berinteraksi secara normal dan tanpa ada rasa minder didalam lingkungan
masyarakat.

I. Belajar Mendengar Bagi Anak Tunarungu


Aktivitas sehari-hari pada anak-anak dapat digunakan untuk meningkatkan
pendengaran, ujaran, bahasa dan berpikir. Perkembangan untuk meningkatkan
pendengaran, terbagi dalam 3 bagian:

diskriminasi fonem dalam suku kata,

diskriminasi perkataan dalam ungkapan, dan memori auditori.

10

Bahasa

dikembangkan

melalui

peningkatan

pendengaran

dengan

menggunakan wicaranya berulang-ulang dan dengan perbedaan akuistik yang


baik. Terapis harus mulai dari apa yang dipahami dan bermakna pada anak-anak
tersebut. Bahasa dan berpikir dibina bersama kemudian dikembangkan dalam
bahasa lisan, disesuaikan dengan cara berkomunikasi. Dalam meningkatkan
fungsi pendengaran, terdapat hubungan antara pendengaran, wicara, bahasa dan
pemikiran di dalam semua aktivitas sehari-hari, dimana sasaran itu digolongkan di
dalam 1 aktivitas. Belajar mendengar tidak berhubungan dengan umur.
Meningkatkan pendengaran dengan cara duduk bersebelahan dan dekat
dengan pengguna Alat Bantu Dengar.
Mengurangi bunyi bising di sekitarnya, seperti bunyi radio, televisi, AC dan
sebagainya.
Bantu anak-anak itu dengan cara menggunakan motherese agar wicaranya
lebih jelas.
Pilih aktivitas yang sesuai dengan minat dan umur anak-anak tersebut.
Dalam melatih anak tunarungu agar dapat meningkatan kemampuan
pendengaran dipertlukan tahap-tahap dan langkah-langkah tertentu, diantaranya;
1. Deteksi untuk mengetahui ada atau tidaknya bunyi dilakukan dalam
permainan, dimana anak-anak belajar memberi jawaban terhadap bunyi yang
ia dengar. Frekuensi vocal yang mudah seperti (oo), yang sedang (ah) dan
(brem-m-m), lebih mudah dideteksi oleh anak-anak, oleh karena mereka
sering mendengar bunyi-bunyi konsonan tersebut, kemudian dilanjutkan
dengan bunyi-bunyi konsonan (m-m-m), (b-b-b) dan bisikan (baa), maka
akan menambah pengenalan pendengaran.
2. Diskriminasi; membedakan bunyi dalam hal kualitas, intensitas, durasi dan
nada. Apabila anak-anak keliru dalam berkata, maka mereka harus belajar
membedakan bunyi dulu.

11

3. Identifikasi; bila anak-anak itu mulai menggunakan perkataan yang


bermakna, maka orang tua dapat menambah bagaimana pendengaran anak
tersebut dalam pembendaharaan katanya melalui permainan atau aktivitas
sehari-hari.
4. Pemahaman;

dapat

menjawab

pertanyaan-pertanyaan,

bercerita

dan

memberikan lawan kata.


Perkembangan kemampuan ujaran dan bahasa anak tunarungu berbeda-beda
bergantung kepada kemampuan anak terhadap:
1. Mengenal perbedaan fonem dalam suku kata
Menanggapi variasi vokal. Contoh: /u/, /a/, /i/ dan suara (br-r-r).
Menanggapi variasi konsonan. Contoh: (m-m-m), (b-b-b) dan (wa-wa).
Peniruan gerakan fisik (permulaan untuk bicara).
Mempergunakan peniruan ke tangan (untuk produksi fonem spontan).
Peniruan kualitas variasi suara supra segmental pada fonem atau
variasikan nada, irama dan durasi. Contoh: (ae-ae) (ae-ae), (ma) (ma),
(m-a-a-a).
Peniruan pertukaran vokal diftong. Contoh: (a-u) (u-i) (a-i).
Peniruan variasi konsonan pada friktatif (gesekan, mis: f-v), nasal
(sengau, mis: m-ng) dan posif (letusan, mis: p-t). Contoh: /h/ /h/
dengan /m/ /m/ /m/ dengan /b/ /b/.
Peniruan konsonan bersuara dan tidak bersuara, contoh: /b/ /b/ dengan
/p/ /p/, kemudian variasikan dengan vokal. Contoh: (bo-bo) (pae-pae).
Peniruan suku kata dengan konsonan-vokal. Contoh: (ba-bo), (mi-mu).
Ganti komponen yang berlainan dan variasikan dengan vokal. Contoh:
(ma-ma) (no-no); (bi-bi) (go-go).
Variasikan suku kata konsonan dengan vokal yang sama. Contoh: (bi-di),
ko-go).
2. Mengenal perbedaan perkataan dalam ungkapan
Memperkenalkan bunyi untuk kata yang bermakna. Contoh: ngungngung pesawat, ngeng-ngeng motor; tut-tut kereta api.
Memperkenalkan 2 suku kata berlainan pada kata yang bermakna.
Contoh: pisang, bunga.

12

Memperkenalkan kata yang bermakna konsonan awal sama dan vokal


yang bervariasi. Contoh: bola, botak, bonsai.
Memperkenalkan kata-kata yang bermakna dengan perbedaan konsonan
yang khas untuk p.o.a (point of articulation-penempatan alat ucap) dan
m.o.a (manner of articulation -caranya).
Memperkenalkan konsonan awal yang sama dan konsonan akhir yang
berlainan. Contoh: cap, cat.
3. Memori Pendengaran:
Mulailah dengan suara-suara yang berhubungan. Contoh: tik-tok dengan
moo-oo-oo.
Memahami dan melakukannya. Contoh: tutup pintu, buka pintu.
Memperkenalkan kalimat dan mengulang kata-kata terakhir, kemudian
kata-kata tengah. Contoh: Di mana bola kemudian lempar, lempar,
lempar.
Pegang hidung, hidung, hidung mancung.
Memperkenalkan kalimat, dimana kata akhir diletakkan di tengah.
Contoh: Ambil gelas kemudian letakkan gelas di atas meja.
Pilih 2 objek kata dalam 1 kalimat. Contoh: Beri saya bola dan sepatu.
Cuci kedua tanganmu.
Memperkenalkan obyek dengan cara mendengarkan uraian dalam
kalimat. Contoh: Bila engkau mempunyai sayap, engkau dapat
melakukan terbang ke atas langit.
Untuk melatih anak tunarungu, maka dapat dilakukan dengan beberapa
tahap, diantaranya yaitu dengan:
1. Pilihan 3 unit:
3 obyek. Contoh: saya mau buku, jeruk dan topi.
Kata benda, kata depan. Contoh: anjing itu di bawah kursi.
2 obyek dan penghubung. Contoh: beri saya apel bukan jus apel.
2 kata benda ditambah kata kerja. Contoh: kuda dan ayam sedang
minum, boneka dan kucing duduk di kursi.
1 kata kerja dan 2 obyek. Contoh: cuci tangan dan kaki.
2. Memperkenalkan 4 sampai 5 unit:
4 obyek. Contoh: beri saya apel, buku, pensil dan penghapus.
2 kata kerja. Contoh: bapak sedang tidur dan ibu sedang duduk.

13

Variasikan perbedaan kata penghubung, kata depan dan kata kerja.


Contoh: ambil apel atau nanas di samping gelas itu atau berikan ibu jam
bukan gelang.
Menambah keterangan waktu. Contoh: sebelum kamu tidur harus gosok
gigi dulu.
Menambah uraian dalam kalimat. Contoh: Bapak makan kue dan minum
teh kemudian duduk di depan televisi.
Melakukan percakapan dari topik yang telah diketahuinya.
Mendengarkan cerita dan menjawab pertanyaan.
Melakukan percakapan dengan topik yang diketahui oleh keluarganya.
J. Terapi Musik Bagi Anak Tunarungu
Kerusakan pendengaran ditengarai merupakan salah satu kecacatan syaraf
yang paling merusakkan. Dimana kecacatan penglihatan merupakan handicap kita
dengan sekeliling kita, sedangkan kecacatan pendengaran merupakan handicap
komunikasi dengan masyarakat (Darrow, 1989). Komunikasi merupakan dasar
dari kehidupan sosial kita dan aktivitas intelektual, dan tanpa itu kita terputus dari
dunia. Untuk alasan inilah, praktek klinik dalam terapi musik untuk tuna rungu di
fokuskan pada area yang berhubungan dengan komunikasi seperti: pelatihan
auditory, produksi suara (berbicara) dan perkembangan bahasa. Melalui penelitian
dalam kekurangan pada komunikasi ini, terapi musik menjadi suatu efek kedua
untuk memperbaiki rasa sosial dan kepercayaan diri.
Terapi musik masih dianggap tidak praktis. Dikarenakan sebagian besar
orang masih mempunyai konsep yang salah terhadap ketuna-runguan dalam
kapasitasnya untuk mendengar dan mengapresiasi stimulus musik. Seperti yang
telah Darrow (1989) katakan, hanya sebagian kecil persentasi dari ketunarunguan
yang tidak bisa mendengar sama sekali. Selanjutnya ia mengatakan bahwa,
dikarenakan variasi dari frekuensi dan intensitas pada musik, persepsi musik
malah lebih bisa terakses, dibandingkan dengan sinyal percakapan yang lebih
kompleks. Musik juga sangat fleksible dan dapat dimodifikasikan pada level
pendengaran pada setiap orang, level bahasa, kematangan dan preferensi musik.

14

Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang komprehensif
dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan pendekatan
terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai
bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka
mengarah pada sensitivitas yang inherent dan kapasitas merespon langsung
kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang dideskripsikan sebagai musik.
Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai sisi mempunyai efek pada
manusia. Musik merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan
pengalaman diri, sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa,
komunikasi dan pikiran, juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar.
Sehingga terapi musik dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan
perkembangan secara luas bagi ketuna runguan.
Bagi penderita tuna rungu, terapi musik dapat: meningkatkan auditory,
pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran. Auditory training,
merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi pada penderita
tunarungu. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti
suara, terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk
meningkatkan rate dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan
utama dari auditory training ini adalah untuk mengembakan sisa pendengaran
menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan mental yang
kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada
developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini
akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari
itu musik menjadi suatu alat yang memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.
Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada
percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara
perbedaan suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara
bisa berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada
kemampuan pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya.
Persamaan yang ada antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi

15

musik membuat suatu alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi
tehnik pelatihan auditory sebelumnya (Darrow, 1989). Prosedur terapi musik
dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan auditory. Perhatian
terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara, mengenali obyek dan
juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk menentukan jarak
dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada musik (Darrow
1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa dengan musik
yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan dibandingkan
dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi motivasi
alami pada sisa pendengaran.
Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk
mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara
musik, kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga
patron dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari
program tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk
seseorang yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu
program sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal.
Terutama level pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan
pelatihan dari subyek dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut.
Amir & Schuchman selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini
dikarenakan hal ini memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam
pengajaran yang positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran.
Meningkatkan perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara
dalam percakapan.
Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering
terdengar aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya
feedback

mekanisme

internal

yang

diperlukan

untuk

memonitor

dan

menyesuaikan, sebagai contoh, pelafalan kata-kata, perubahan tinggi rendah


(pitch) suara ataupun ritme suara. Sebagai konsekuensi produksi dari suara
percakapan mereka sering tidak jelas dan terdistorsi. Penderita tuna rungu ini juga
16

cenderung menunjukkan sedikit variasi pitch dan intonasi dibandingkan orang


dengan pendengaran normal, sehingga menghasilkan suara yang monoton.
Mereka sering memanjangkan suku kata dan atau kalimat dan juga sering
mengambil jeda pada posisi yang tidak tepat. Problem-problem dari ritme dan
intonasi ini berpengaruhi pada ketidak jelasan dalam bercakap.
Tehnik dari terapi dan aktivitas musik dapat membantu secara efektif pada
perkembangan percakapan dari segi ritme, intonasi, rate dan tekanan suara.
Darrow (1989) mendisikusikan penggunaan terapi musik dalam pengertian
berbahasa, intonasi vokal, kualitas vokal dan berbicara lancar. Proses bernafas,
ritme dan pengambilan waktu yang tepat, pitch dan artikulasi yang diperlukan
untuk bernyanyi, memberikan struktur dan motivasi yang penting pagi pasien.
Darrow juga menekankan pada pentingnya feedback yang konstan untuk si
terapis.
Darrow & Starmer (1986) mempelajari efek dari pelatihan vokal pada
frekuensi dasar, range frekuensi dan kecepatan percakapan pada suara anak-anak
tuna rungu. Anak-anak ini cenderung mempunyai frekuensi dasar yang tinggi dan
sedikit variasi pitch, memproduksi suatu permasalahan dalam kecakapan
berbicara. Hasil dari studi ini menyarankan bahwa dengan latihan pada vokal
tertentu dan menyanyikan lagu-lagu pada kunci nada rendah yang tepat dapat
membantu memodifikasian frekuensi dasar dan range frekuensi pada pasien. Studi
lain dari Darrow (1984) juga menunjukkan peran dari terapi musik adalah melatih
respons ritme, sehingga membuat respons pada ritme dari suara percakapan
menjadi lebih baik.
Staum (1987) telah sukses menggunakan notasi musik untuk mempengaruhi
dalam memperbaiki pengucapan bahasa pasien. Ia menggunakan sistem notasi
visual sebagai alat untuk membantu pasien dalam mencocokkan kata-kata atau
suara dari kata-kata baik yang lazim maupun tidak lazim, dengan ritme yang tepat
dan struktur yang dari pitch yang mudah. Hasil positif yang didapat adalah nada
pelafalan pengucapan lebih berkembang, juga penyamarataan dan transfer ilmu

17

berkembang secara signifikan. Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada
pasien tunarungu, mengatakan bahwa kontribusi dari terapi musik untuk
memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran dan penggunaan percakapan,
vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki kualitas suara dan lebih
leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan
kemampuan berkomunikasi secara umum. Bagi anak-anak tuna rungu,
keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk
mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak
negatif

terhadap

perkembangan

bahasa

mereka

sendiri.

Keteraturan

memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi penting


mengenai vocabulary, syntax (kalimat), semantics (arti kata) dan pragmatics, yang
mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan pendengaran normal.
Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan pendengaran terbatas
biasanya akan mempunyak banyak problem pada bahasa mereka. Kesulitan itu
biasanya terdapat pada kurangnya vocabulary, kesulitan dalam mengartikan kata,
menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang salah, dan lainnya.
Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahsa ini selanjutnya akan menghalangi
individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga berinteraksi.
Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan seperti
membaca, menulis dan pemahaman (Gfeller, & Baumann, 1988).
Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi pada kemampuan
untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu. Sebagai contoh
Gfeller (1990), mendiskusikan tentang pengayaan repertoire musik dan
pengalaman bergerak dalam terapi musik, yang dapat di gabungkan dengan
percakapan

dan,

setelahnya

penulisan

kata. Anak-anak

kecil

terutama

menggunakan setiap saat pergerakan motorik dan belajar sesuatu melalui


manipulasi dari lingkungannya. Instrument musik dan materialnya kaya akan
sumber-sumber keterlibatan pada sensorik dan motorik. Pengalaman pada Multi
sensory bahwa musik merupakan alat pembelajaran yang bernilai, yang pada
18

akhirnya juga terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event
musik dan sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model
penggunaan bahasa untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu
proses yang panjang dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting
untuk membuat aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam
terapi musik dapat juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep
bahasa dalam konteks yang berbeda.
Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan
sebagai bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow,
1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah
pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk
mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi contohnya, memberikan suatu
kesempatan untuk secara intensif menggunakan pendengaran dan beraktifitas
vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan dalam pembedaan auditori,
membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan suku-suku kata dan
pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga membantu
mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman dalam
belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu dapat juga
bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu patron
nada, menjadi tidak monoton.
Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik bahasa pada
pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi
dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu arti yang
diselaraskan/disampaikan melalui nada pada suara. Hal-hal penting didalam
berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah, body language, dan pitch
serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan terhadap style dari bahasa yang
diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain, dapat diberikan dengan berhasil
melalui penerapan terapi musik. Dengan menggayakan suatu lagu dan memberi
isyarat pada lagu dengan cara yang gaya baik/indah, seseorang dapat
mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa dalam berkomunikasi
19

dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga
memberikan suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi
sendiri, karena lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu
ekspresi jiwa dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan
meningkatkan kepercayaan diri. Didalam beberapa literatur mengkarakterkan
bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah diri dan
depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup (lihat ulasan
ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan kesadaran yang tidak
terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan tertutupnya rasa
sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada perasaan-perasaan ini.
Terapi musik dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki
masalah ini dan meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.
Brick (1973) menemukan eurhythmicsSeni dari keharmonisan dan gerak tubuh
yang ekspresifdan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman
yang menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien.
Hal ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa
bangga dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins
& Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat
memberikan contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki
yang didapat dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien
yang selalu melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak
fokus menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu
menyelesaikan pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain,
dapat menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik
ini.
Body-image dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini.
Galloway & Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan
gerakan pada musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan
pentingnya realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka menemukan juga bahwa
20

kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik dapat meningkatkan rasa
percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang
untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller &
Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang
dibuat sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan
atau mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit
untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur
terapi musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi
langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal. Melalui
suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih bisa dan
senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan dapat
bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu rasa
tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan sosial.

K. Meningkatkan Percaya Diri Anak Tunarungu


Ada hubungan yang kuat antara bagaimana perasaan seseorang terutama
bagi anak dengan tunarungu terhadap dirinya sendiri dan bagaimana cara ia
berperilaku. Oleh karena itu, anak tunarungu perlu dibantu untuk menumbuhkan
rasa percaya diri agar eksistensi mereka bisa disejajarkan dengan anak normal.
Beberapa cara untuk membantu anak tunarungu meningkatkan percaya diri:
1. Dilakukan attachment parenting; sikap orang tua yang responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhan anak, sehingga anak mengetahui apa yang diharapkan
dari diri mereka dan merasa memiliki kontrol terhadap lingkungan. Jika
tidak, anak akan merasa tidak berharga sehingga membuat mereka berpikir
tidak berharga, butuh dikasihani dan putus asa.
2. Memperbaiki kepercayaan diri orang tua; mengasuh anak adalah kegiatan
terapeutik. Jika ada problem masa lalu yang mempengaruhi pola asuh yang

21

sedang dilakukan orangtua, sebaiknya orang tua mencari pertolongan


psikologis dan mengkonfirmasikannya. Jika orang tua memiliki self image
yang buruk, khususnya jika ia merasa bahwa itu disebabkan karena pola
asuh orang tuanya dahulu, maka orang tua harus mencoba untuk
menghentikan pola asuh keluarga yang buruk itu.
3. Orang tua harus bisa menjadi cermin yang positif; khususnya pada anakanak prasekolah yang sedang belajar tentang dirinya sendiri, akan
bergantung terhadap reaksi-reaksi orang tua mereka. Apakah orang tua
merefleksikan gambaran yang positif/negatif pada anak-anak mereka.
Apakah orang tua memberikan pandangan pada anak bahwa ia
menyenangkan atau tidak. Pendapat dan keinginan anak apakah berharga
untuk orang tuanya. Pada saat orangtua memberikan refleksi positif terhadap
anaknya, maka anak tersebut akan berpikir positif tentang dirinya.
4. Orang tua harus dapat meluangkan waktu untuk anaknya dengan bermain
bersama; pada saat anak bermain, anak akan menerima pesan bahwa ia
berharga. Orang tua harus memandang bermain sebagai investasi dalam
perilaku anak, kesempatan kepada anak unuk merasa spesial, dan bisa
mengungkapkan inisiatif tentang permainan yang akan dilakukan.
5. Orang tua harus memanggil anak dengan namanya; memanggil anak dengan
namanya dan disertai dengan kontak mata akan memberikan pesan kepada
anak tersebut bahwa ia special. Anak belajar mengasosiasikan bagaimana
cara orang tua menggunakan namanya dengan perilaku yang diharapkan
darinya.
6. Harus ada berkelanjutan; pada saat anak bertambah besar, orang tua harus
dapat

mendorong

dan

mendukung

anak

dalam

mengembangkan

potensi/talenta (bakat) yang ia miliki. Bila anak menikmati suatu aktifitas, ia


akan memiliki citra diri (sel-image) yang lebih positif dan dapat berlanjut
pada aktifitas-aktifitas lain. Contohnya : meningkatkan kesenangannya dan

22

kenikmatan yang diperoleh anak dari kegiatan renang-nya sekaligus dengan


mendukungnya pada bidang akademis.
7. Bantu anak untuk mencapai kesuksesannya; mengenali kemampuan anak,
memberi semangat untuk mencoba mengembangkan kemampuan tersebut.
Jika orangtua tidak melindungi anaknya dari harapan-harapan yang tidak
realistis, maka rasa bersaingnya (kompetisi-nya) akan terancam. Pastikan
bahwa anak percaya bahwa orangtuanya menghargai-nya karena siapa dirinya, bukan karena penampilanya.
8. Melindungi anak dari orang-orang yang dapat merusak self-esteemnya;
dengan pola asuh ini selama 3 tahun pertama kehidupan anak telah dapat
dipertahankan hubungan yang erat dengan anak, maka orangtua telah
memberikan dasar yang kuat mengenai nilai-nilai tentang rumah, keluarga
dan

hubungan

interpersonal-nya.

Sebagai

hasilnya,

anak

dapat

mengembangkan hati nurani dan rasa hormat terhadap kebijaksanan


pengasuhan sehingga dimasa yang akan datang anak dapat memasuki
kehidupan nyata dengan aman tanpa harus terhanyut dengan pergaulan
yang negative.Hati-hati dengan pemilihan teman-teman baik disekolah
ataupun diluar sekolah, karena nilai-nilai (values) & konsep diri anak
dipengaruhi oleh orang-orang yang memiliki peran penting dalm hidupnya
seperti saudara, guru, teman-teman dll.
9. Memberikan tanggung jawab pada anak; dengan melibatkan anak pada

aktifitas dirumah maupun diluar rumah, memberikan tugas-tugas rumah


tangga, dapat membantu mereka merasa berharga,menyalurkan tenaga
mereka ke perilaku yang bermanfaat dan mengajarkan ketrampilanketrampilan.

23

BAB III
KESIMPULAN

Setiap anak adalah istimewa dan memiliki potensi terpendam yang harus
digali dan dimaksikmalkan kemampuannya, walaupun dia dilahirkan dalam
keadaan kekurangan. Dengan mengetahui kekurangan dan keistimewaan sejak
dini, orangtua dan guru dapat memaksimalkan stimulasi dan latihan yang
diberikan kepada anak sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu baik guru maupun
orang tua harus mampu mengidentifikasi dini kekhususan yang dimiliki oleh
anak.
Anak tunarungu adalah yang cacat dengar maupun kurang dengar. Dalam
kehidupan sehari-hari, anak tunarungu sama seperti anak normal pada umumnya,
hanya saja mereka memiliki hambatan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Selain itu, anak tunarungu mengalami hambatan dalam memahami bahasa verbal,
sehingga mereka perlu dilatih dan di terapi. Terapi dan latihan selain dilakukan
disekolah dan klinik, dapat juga dilakukan oleh orang tua dan orang-orang
dilingkungan keluarganya.

24

Penerimaan terhadap keadaan anak oleh orang tua akan membantu anak
untuk dapat menerima keadaannya dan berusaha untuk berkembang seoptimal
mungkin seperti halnya anak yang normal.
Keadaan anak tunarungu kadang kala dilahirkan dalam keadaan normal,
akan tetapi akibat dari keadaan gizi dan faktor kesehatan anak, dapat
menyebabkan anak menjadi tunarungu.
Selain orang tua, peran serta guru dalam membimbing anak disekolah akan
menunjang kesuksesan belajar anak dan anak dapat berkembang dengan maksimal
sebagaimana anak kebanyakan

DAFTAR PUSTAKA

Haenudin. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus : Tunarungu. Jakarta :


Luxima
Somantri, Sutjihati, H.T. (1996) Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Yulianti, Katrina. 2011. Pentingnya Penerapan Terapi Wicara Bagi Anak
Tunarungu.

Tersedia

Online

di:

http://ykatrin.blogspot.com/2011/05/pentingnya-penerapan-terapi-wicarabagi.htmlhttp://ykatrin.blogspot.com/2011/05/pentingnya-penerapanterapi-wicara-bagi.html. Diunduh 1 Juni 2014.

Waraswari, Fika. 2012. Mengenal Inklusi Bagi Anak Tunarungu. Tersedia Online
di:

25

http://bikabeleswaraswari.multiply.com/journal/item/1/Mengenal_Inklusi_
Bagi_Anak_Tuna_Rungu_. html. Diunduh 1 Juni 2014.

Bintang, Davin. 2008. Terapi Musik bagi Tunarungu. Tersedia online di:
http://davinbintang.wordpress.com/2008/06/04/terapi-musik-bagi-untuktuna-rungu/ html. Diunduh 1 Juni 2014.

Daneshvara, Dian. 2011. Mengembangkan rasa Percaya Diri Anak Tunarungu


Sejak

Dini.

Tersedia

Online

di:

http://daneshvara.multiply.com/journal/item/8. html. Diunduh 1 Juni 2014.

Kamila. Cahya. 2010. Belajar Mendengar Bagi Anak Tunarungu. Tersedia Online
di:

http://pendidikanabk.wordpress.com/category/tuna-rungu/html.

Diunduh 1 Juni 2014.

Gunawan,

Dudi.

2012.

Identifikasi

ABK.

(Online).

Tersedia

di:

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196211211
984031-DUDI_GUNAWAN/IDENTIFIKASI_ABK-REVISI_FINAL.pdf.
Diunduh 4 Maret 2014

Aprilia, Imas Diana. 2012. Assesmen dan Penialaian Kegiatan Persepsi Bina
Musik.

(Online).

Tersedia

di:

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197004171
994022-IMAS_DIANA_APRILIA/MAKALAH_2.pdf. Diunduh 4 Maret
2014.

26

Ekasari, Dyah. 2011. Karakteristik Anak Tunarungu. (Online). Tersedia di:


http://blog.elearning.unesa.ac.id/dyah-ekasari/karakteristik-anaktunarungu. Diunduh 4 maret 2013.
Nahwah, Fauzi. 2011. Anak Berkebutuhan Khusus: Tunarungu. (Online). Tersedia
di:

http://nahwah-speduuns.blogspot.com/2012/10/anak-berkebutuhan-

khusus-tunarungu.html. Diunduh 4 maret 2014.

27

DAFTAR ISI
Judul....
Daftar Isi.............

i
ii

BAB I

PENDAHULUAN...

A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan...

BAB II

PEMBAHASAN.

3
4

4
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.

Pengertian Anak Tunarungu


Ciri-Ciri Tunarungu.
Klasifikasi Anak Tunarungu....
Penyebab Tunarungu....
Deteksi Ketunarunguan
Kebutuhan Pembelajaran Tunarungu...
Inklusi Bagi Anak Tunarungu..
Metode Terapi Wicara.
Belajar Mendengar Bagi Anak Tunarungu..
Terapi Musik Bagi Anak Tunarungu...
Meningkatkan Percaya Diri Anak Tunarungu.

4
5
7
7
8
8
9
11
15

BAB III

KESIMPULAN...

Daftar Pustaka

23
26
27

MENGENAL LEBIH DEKAT ANAK TUNARUNGU


i
i

Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tunarungu
28

Dosen pengampuh : Bpk. Mahmud Fauzi, M. Pd.

Disusun oleh:
ADHIMAH
NIM A1F113437
KELAS A-2

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI PENDIDIKAN LUAR BIASA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014

29

Anda mungkin juga menyukai