PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi
pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam
kehidupannya. Anak tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila
diajak berkomunikasi barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan
pendengaran. Anak tunarungu tidak berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada
umumnya anak tunarungu mengalami ketunaan sekunder yaitu tunawicara.
Penyebab anak menjadi tunawicara adalah anak sangat sedikit memiliki kosakata
dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara.
Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah
hingga jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya
tingkat prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan
informasi dan pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibandingkan dengan anak
yang mampu dengar. Anak tunarungu mendapatkan informasi dari indra yang
masih berfungsi, seperti indra penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.
Anak tunarungu mendapatkan pendidikan khusus di lembaga informal dan
formal. Pendidikan formal yang menangani anak tunarungu yaitu LSM, organisasi
penyandang cacat, posyandu dan klinik-klinik anak berkebutuhan khusus.
Lembaga pendidikan formal yang menangani anak tunarungu adalah home
schooling, sekolah inklusi, dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Penyelenggaraan
pendidikan khusus tersebut termuat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional pasal 32 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendididkan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengkuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial
khusus
dilaksanakan
secara
sistematis.
Pelaksanaan
pembelajaran bagi anak tunarungu harus dimulai dari hal-hal yang dialami anak
dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu mulai
dari hal-hal yang mudah kemudian berangsur-angsur ke tingkat yang lebih sulit.
Pembelajaran bagi anak tunarungu dapat dilakukan dengan cara memberikan
pengalaman-pengalaman nyata dan berulang-ulang.
Anak tunarungu kurang memiliki pemahaman informasi verbal. Hal ini
menyebabkan anak sulit menerima materi yang bersifat abstrak, sehingga
dibutuhkan media dan metode yang tepat untuk memudahkan pemahaman suatu
konsep pada anak tunarungu.
Pemahaman terhadap anak tunarungu juga sangat diperlukan guna
memberikan pelayanan yang tepat bagi anak. Pemahaman pelayanan tidak hanya
harus diketahui oleh guru, akan tetapi juga wajib diketahui oleh orang tua. Guru
dan orang tua harus saling bekerjasama dalam membuat program pembelajaran
baik di sekolah maupun di rumah.
B. Rumusan Masalah
Untuk membantu anak tunarungu agar berkembang dengan optimal dan
maksimal, kita perlu mengenal lebih dekat anak tunarungu. Untuk itu
dirumuskanah beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah anak tunarungu itu?
2. Bagaimana ciri-ciri dan karakteristik anak tunarungu?
3. Bagaimana cara menditeksi dini anak yang mengalami ketunarunguan?
4. Apa pendidikan yang tepat bagi anak tunarungu?
5. Apa terapi yang tepat guna membantu anak tunarungu agar berkembang
dengan optimal?
6. Bagaimana meningkatkan rasa percaya diri anak tunarungu?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar kita sebagai orang tua maupun
sebagai pendidik dapat:
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan,
terutama melalui indra pendengarannya.
Andreas Dwidjosumarto (1990:1) mengemukakan bahwa Tunarungu adalah
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Mufti Salim (1984:8) menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak
yang
mengalami
kekurangan
atau
kehilangan
kemampuan
mendengar
yangdisebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya,
Memperhatikan batasan-batasan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard
of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya
tidak memiliki nilai fungsional didalam kehidupan sehari-hari.
B. Ciri-Ciri Tunarungu
1.
berjalan
anak
kaku
dan
membungkuk
disebabkan
cepat
atau
kidal
4.
Merasa rendah diri dan merasa diasingkan dari keluarga dan masyarakat.
Merasa diperlakukan tidak adil oleh orang-orang disekitarnya.
Pergaulan terbatas antara sesama tunarungu.
Memiliki sifat egosentris melebihi anak normal.
1.
c.
kerusakan
alat
2.
3.
Penyebab Tunarungu
Faktor Keturunan (Heredity)
Faktor Ibu yang terkena Rubella (Maternal Rubella)
Ketidaksesuaian anatara Darah Ibu dan Anak
Meningitis (Radang Selaput Otak)
Prematuritas
E. Deteksi Ketunaarunguan
Mendeteksi kehilangan pendengaran merupakan persoalan teknis dimana
mengenali anak tuli lebih mudah daripada mengenali anak kurang dengar. Gejala
umum anak kurang dengar ringan diantaranya yaitu;
Anak yang acuh tak acuh, kebingungan atau penurut,
Anak yang mengahayal secara berlebihan,
Anak yang prestasinya rendah,
Anak yang mengalami sedikit gangguan bicara,
Anak yang malas,
Anak yang nampak bodoh.
Akan tetapi ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mendeteksi
ketunarunguan yang lain, yaitu:
Tes dengan alat sederhana (tradisional); pada bayi yang mulai meraban dapat
dilakukan tes karena pendengaran anak sudah mulai memegang peran.
Dengan mengetukkan sendok pada piring atau dengan panggilan dari sisi
belakang atau samping anak. Jika anak merespon, maka pendengaran anak
normal
Tes dengan detik jam (watch tick test); pelaksanaan test dilakukan di ruang
sunyi, anak berdiri disamping tester dengan menutup telinga yang tidak di
tes, jam ditempatkan dekat dengan telinga dan sedikit demi sedikit dijauhkan
secara horizontal sampai anak tidak dapat mendengar. Menurut praktek jika
anak tidak dapat mendengar detik jam pada jarak 48 inci sampai 16 inci
maka ia dianggap kurang dengar.
F. Kebutuhan Pembelajaran Tunarungu
Kebutuhan pembelajaran anak tunarungu, secara umum tidak berbeda
dengan anak pada umumnya. Tetapi mereka memerlukan perhatian dalam
kegiatan pembelajaran antara lain:
Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.
Anak hendaknya ditempatkankan paling depan, sehingga memiliki peluang
untuk mudah membaca bibir guru.
Perhatikan postur anak yang
sering
memiringkan
kepala
untuk
mendengarkan
Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah dengan
anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar
dengan kepala anak. Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan
gerakan bibirnya yang harus jelas.
G. Inklusi Bagi Anak Tunarungu
Pendidikan inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan
pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan
khusus usia sekolah, mulai dari jenjang TK, SD, SLTP Sampai dengan SMA. Pada
kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model
terapi mendengar (Auditory Verbal Therapy) yang telah dilakukan pada anak
gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang
lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya
lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi
bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan
pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini
antara lain:
Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya
di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan
mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal
terhadap anak berkebutuhan khusus.
Penanganan terhadap anak gangguan pendengaran dapat dilakukan dengan
cara:
Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini,
diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan
Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi
anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam
berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada
sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
Memberikan assesment awal pada anak yang telah masuk pada sekolah
regular dengan pendampingan sebagai guru kunjung.
H. Metode Terapi Wicara
Orang tua dan guru harus berperan aktif dalam melatih anak untuk berbicara
secara terus menerus. Dalam melatih wicara pada anak tunarungu harus dilakukan
secara bertahap dari kosakata yang paling sederhana ke yang paling kompleks.
Pada prinsipnya peranana terbesar diambil oleh orang tua dan orang-orang
disekitar anak guna melatih kelancaran kemampuan wicara anak.
Adapun beberapa metode terapi wicara yang bisa diterapkan baik di rumah,
sekolah maupun klinik, diantaranya:
dalam membentuk bunyi bahasa melalui alat-alat bicara. Selain itu, agar
anak memiliki persepsi pendengaran, penglihatan, perabaam dan perasa.
Gerakan fungsi motorik yang meliputi latihan peniruan gerak, konsep gerak
yang benar, dan koordinasi gerakan dengan penglihatan. Tujuannya adalah
agar dapat mengajak anak untuk berinteraksi dengan lingkungan, sehingga
anak dapat mengembangkan fungsi motorik yang berhubungan dengan
pengertian, serta melaksanakan gerakan-gerakan secara aktif.
Usaha-usaha diatas dapat dilakukan dan dikembangkan oleh orang tua,
dalam hal ini peranan guru sangat diharapkan untuk memberikan saran. Kegiatankegiatan dan rangsangan tersebut hendaknya dapat menunjang perkembangan
anak, terutama kompetensi berbahasa anak. Pendidikan informal ini dapat
dilaksanakan sedini mungkin agar anak lebih terbiasa berkomunikasi dan dapat
berinteraksi secara normal dan tanpa ada rasa minder didalam lingkungan
masyarakat.
10
Bahasa
dikembangkan
melalui
peningkatan
pendengaran
dengan
11
dapat
menjawab
pertanyaan-pertanyaan,
bercerita
dan
12
13
14
Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang komprehensif
dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan pendekatan
terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai
bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka
mengarah pada sensitivitas yang inherent dan kapasitas merespon langsung
kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang dideskripsikan sebagai musik.
Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai sisi mempunyai efek pada
manusia. Musik merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan
pengalaman diri, sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa,
komunikasi dan pikiran, juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar.
Sehingga terapi musik dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan
perkembangan secara luas bagi ketuna runguan.
Bagi penderita tuna rungu, terapi musik dapat: meningkatkan auditory,
pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran. Auditory training,
merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi pada penderita
tunarungu. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti
suara, terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk
meningkatkan rate dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan
utama dari auditory training ini adalah untuk mengembakan sisa pendengaran
menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan mental yang
kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada
developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini
akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari
itu musik menjadi suatu alat yang memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.
Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada
percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara
perbedaan suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara
bisa berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada
kemampuan pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya.
Persamaan yang ada antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi
15
musik membuat suatu alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi
tehnik pelatihan auditory sebelumnya (Darrow, 1989). Prosedur terapi musik
dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan auditory. Perhatian
terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara, mengenali obyek dan
juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk menentukan jarak
dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada musik (Darrow
1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa dengan musik
yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan dibandingkan
dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi motivasi
alami pada sisa pendengaran.
Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk
mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara
musik, kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga
patron dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari
program tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk
seseorang yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu
program sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal.
Terutama level pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan
pelatihan dari subyek dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut.
Amir & Schuchman selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini
dikarenakan hal ini memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam
pengajaran yang positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran.
Meningkatkan perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara
dalam percakapan.
Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering
terdengar aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya
feedback
mekanisme
internal
yang
diperlukan
untuk
memonitor
dan
17
berkembang secara signifikan. Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada
pasien tunarungu, mengatakan bahwa kontribusi dari terapi musik untuk
memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran dan penggunaan percakapan,
vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki kualitas suara dan lebih
leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan
kemampuan berkomunikasi secara umum. Bagi anak-anak tuna rungu,
keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk
mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak
negatif
terhadap
perkembangan
bahasa
mereka
sendiri.
Keteraturan
dan,
setelahnya
penulisan
kata. Anak-anak
kecil
terutama
akhirnya juga terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event
musik dan sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model
penggunaan bahasa untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu
proses yang panjang dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting
untuk membuat aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam
terapi musik dapat juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep
bahasa dalam konteks yang berbeda.
Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan
sebagai bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow,
1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah
pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk
mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi contohnya, memberikan suatu
kesempatan untuk secara intensif menggunakan pendengaran dan beraktifitas
vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan dalam pembedaan auditori,
membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan suku-suku kata dan
pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga membantu
mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman dalam
belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu dapat juga
bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu patron
nada, menjadi tidak monoton.
Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik bahasa pada
pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi
dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu arti yang
diselaraskan/disampaikan melalui nada pada suara. Hal-hal penting didalam
berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah, body language, dan pitch
serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan terhadap style dari bahasa yang
diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain, dapat diberikan dengan berhasil
melalui penerapan terapi musik. Dengan menggayakan suatu lagu dan memberi
isyarat pada lagu dengan cara yang gaya baik/indah, seseorang dapat
mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa dalam berkomunikasi
19
dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga
memberikan suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi
sendiri, karena lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu
ekspresi jiwa dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan
meningkatkan kepercayaan diri. Didalam beberapa literatur mengkarakterkan
bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah diri dan
depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup (lihat ulasan
ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan kesadaran yang tidak
terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan tertutupnya rasa
sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada perasaan-perasaan ini.
Terapi musik dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki
masalah ini dan meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.
Brick (1973) menemukan eurhythmicsSeni dari keharmonisan dan gerak tubuh
yang ekspresifdan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman
yang menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien.
Hal ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa
bangga dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins
& Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat
memberikan contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki
yang didapat dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien
yang selalu melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak
fokus menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu
menyelesaikan pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain,
dapat menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik
ini.
Body-image dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini.
Galloway & Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan
gerakan pada musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan
pentingnya realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka menemukan juga bahwa
20
kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik dapat meningkatkan rasa
percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang
untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller &
Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang
dibuat sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan
atau mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit
untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur
terapi musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi
langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal. Melalui
suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih bisa dan
senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan dapat
bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu rasa
tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan sosial.
21
mendorong
dan
mendukung
anak
dalam
mengembangkan
22
hubungan
interpersonal-nya.
Sebagai
hasilnya,
anak
dapat
23
BAB III
KESIMPULAN
Setiap anak adalah istimewa dan memiliki potensi terpendam yang harus
digali dan dimaksikmalkan kemampuannya, walaupun dia dilahirkan dalam
keadaan kekurangan. Dengan mengetahui kekurangan dan keistimewaan sejak
dini, orangtua dan guru dapat memaksimalkan stimulasi dan latihan yang
diberikan kepada anak sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu baik guru maupun
orang tua harus mampu mengidentifikasi dini kekhususan yang dimiliki oleh
anak.
Anak tunarungu adalah yang cacat dengar maupun kurang dengar. Dalam
kehidupan sehari-hari, anak tunarungu sama seperti anak normal pada umumnya,
hanya saja mereka memiliki hambatan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Selain itu, anak tunarungu mengalami hambatan dalam memahami bahasa verbal,
sehingga mereka perlu dilatih dan di terapi. Terapi dan latihan selain dilakukan
disekolah dan klinik, dapat juga dilakukan oleh orang tua dan orang-orang
dilingkungan keluarganya.
24
Penerimaan terhadap keadaan anak oleh orang tua akan membantu anak
untuk dapat menerima keadaannya dan berusaha untuk berkembang seoptimal
mungkin seperti halnya anak yang normal.
Keadaan anak tunarungu kadang kala dilahirkan dalam keadaan normal,
akan tetapi akibat dari keadaan gizi dan faktor kesehatan anak, dapat
menyebabkan anak menjadi tunarungu.
Selain orang tua, peran serta guru dalam membimbing anak disekolah akan
menunjang kesuksesan belajar anak dan anak dapat berkembang dengan maksimal
sebagaimana anak kebanyakan
DAFTAR PUSTAKA
Tersedia
Online
di:
Waraswari, Fika. 2012. Mengenal Inklusi Bagi Anak Tunarungu. Tersedia Online
di:
25
http://bikabeleswaraswari.multiply.com/journal/item/1/Mengenal_Inklusi_
Bagi_Anak_Tuna_Rungu_. html. Diunduh 1 Juni 2014.
Bintang, Davin. 2008. Terapi Musik bagi Tunarungu. Tersedia online di:
http://davinbintang.wordpress.com/2008/06/04/terapi-musik-bagi-untuktuna-rungu/ html. Diunduh 1 Juni 2014.
Dini.
Tersedia
Online
di:
Kamila. Cahya. 2010. Belajar Mendengar Bagi Anak Tunarungu. Tersedia Online
di:
http://pendidikanabk.wordpress.com/category/tuna-rungu/html.
Gunawan,
Dudi.
2012.
Identifikasi
ABK.
(Online).
Tersedia
di:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196211211
984031-DUDI_GUNAWAN/IDENTIFIKASI_ABK-REVISI_FINAL.pdf.
Diunduh 4 Maret 2014
Aprilia, Imas Diana. 2012. Assesmen dan Penialaian Kegiatan Persepsi Bina
Musik.
(Online).
Tersedia
di:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197004171
994022-IMAS_DIANA_APRILIA/MAKALAH_2.pdf. Diunduh 4 Maret
2014.
26
http://nahwah-speduuns.blogspot.com/2012/10/anak-berkebutuhan-
27
DAFTAR ISI
Judul....
Daftar Isi.............
i
ii
BAB I
PENDAHULUAN...
A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan...
BAB II
PEMBAHASAN.
3
4
4
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
4
5
7
7
8
8
9
11
15
BAB III
KESIMPULAN...
Daftar Pustaka
23
26
27
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tunarungu
28
Disusun oleh:
ADHIMAH
NIM A1F113437
KELAS A-2
29