PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada umunya kita memiliki kecenderungan menerima begitu saja kemampuan
panca indera kita. Kita melakukan proses melihat, mendengar, mencium, merasakan,
dengan lidah, dan meraba. Namun, tidak sedikit diantara kita yang mengalami gangguan
pada panca indera kita.
Seperti yang akan dibahas pada makalah ini, adalah gangguan pada
pendengaran
(tunarungu).
Dalam
beberapa
hal,kehilangan
pendengaran
dapat
Kirk
(1970)
mengelompokkan
gangguan
pendengaran
(tunarungu)
Prelingual
Yaitu anak yang lahir dengan kelainan pendengarannya pada
masa kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk. Jenjang
ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa
kanak-kanak
sebelum
bahasa
dan
bicaranya
terbentuk,
ada
Postlingual
Yaitu anak lahir dengan pendengaran normal, namun setelah
mencapai usia di mana akan sudah memahami suatu percakapan tibatiba
mengalami
kehilangan
ketajaman
pendengaran.
Jenjang
diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa
yang didengarnya.
(psibkusd.2012.25 Maret)
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan
Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment)
Yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40
dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami
sedikit kesulitan dalam percakapan.
2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment)
Yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65
dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah
pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat
terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment)
Yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95
dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah
pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin
dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4) Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment)
Yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB
atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia
sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu
dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
(psibkusd.2012.25 Maret)
c. Karakteristik Anak Yang Mengalami Gangguan Pendengaran
1) Dari segi fisik:
a. Cara berjalan kaku dan anak membungkuk. Hal ini disebabkan terutama terhadap
pendengaran
b. Gerakan matanya cepat agak beringas. Hal ini menunjukkanbahwa ia ingin
menangkap keadaan yang ada disekelilingnya.
c. Gerakan kaki dan tangannya sangat cepat atau kidal. Hal tresbut tampak dalam
mengadakan komunikasi dengan gerakan isyarat.
d. Pernapasannya pendek agak terganggu
2) Dari segi intelegensi
Intelegensi merupakan factor yang sangat penting dalam belajar, meskipun
disamping ituada factor-faktor lain yang dapat diabaikan. Begitu saja seperti
kondisi kesulitan, factor lingkungan intelegensi merupakan motor dari
perkembangan siswa.
3) Dari segi sosial
a. Perasaan rendah diri dan merasa diasingkan oleh keluarga atau masyarakat.
b. Perasaan cemburu dan salah sangka diperlakukan tidak adil
c. Kurang menguasai irama gaya bahasa.
4) Dari segi emosi:
Emosi kekurangan lisan dan tulisan seringkali menyebabkan siswa tuna rungu akan
menafsirkan sesuatu negative atau salah dala hal pengertiannya. Hal ini karena
tekanan pada emosinya. (Nahwah.blogspot.2013.27 Maret)
Pembahasan mengenai karakteristik anak yang mengalami gangguan pendengaran
meliputi hal-hal berikut ini (suran & Rizzo, 1979; Jonhson, Christie, & Yawkey, 1999).
1. Faktor bahasa
Kerusakan pendengaran membawa akibat dalam perkembangan bahasa. suppes
(Suran & Rizzo, 1979) menyebutkan bahwa keterampilan bahasa yang berkurang
merupakan masalah yang menonjol terjadi pada anak dengan gangguan pendengaran yang
parah. secara historis, anak yang tuli mengalami kesulitan untuk memperoleh bahasa.
Power dan Quigley (Suran & Rizzo, 1979) menemukan adanya perbedaan dalam
struktur dan isi bahasa antara orang yang tuli dan orang yang dapat mendengar. Orang
yang tuli memiliki bahasa tertulis yang lebih kaku dan cenderung memiliki kesalahan yang
lebih banyak dalam tata bahasa.
2. Kemampuan konseptual dan prestasi pendidikan
Terdapat dua sudut pandang berkaitan dalam hal ini (Hallahan &Kauffman, 1988).
Sudut pandang yang pertama menilai bahwa kemampuan konseptual pada anak yang
mengalami gangguan pendengaran lebih rendah karena, menurut sudut pandang ini,
berpikir bergantung pada bahasa, dan bahwa anak yang mengalami gangguan pendengaran
mengalami hambatan dalam bahasa.sudut pandang yang kedua menilai bahwa berpikir
mungkin dilakukan tanpa bahasa sehingga, menurut sudut pandang ini, hanya konsep yang
berhubungan dengan bahasa saja yang sulit untuk dipahami oleh anak yang mengalami
gangguan pendengaran. dengan demikian, sudut pandang yang kedua lebih melihat bahwa
potensi intelektual anak yang tuli dan anak yang mendengar diperkirakan setara.
3. Kegiatan bermain
anak-anak dengan gangguan pendengaran, umumnya kurang terlibat dalam kegiatan
bermain pura-pura. (Jonhson & Christie & Yawkey, 1999). Kebanyakan dari mereka lebih
sering bermain pararel (pararllel play) (Hughes, 1999).
4. Faktor personal dan sosial
Perkembangan personal dan sosial pada anak tergantung pada seberapa baik anak
diterima oleh lingkungannya (Hoemann & Briga dalam hallahan & Kauffmann, 1988).
Kurangnya komunikasi dengan orang banyak dapat membuat anak tumbuh terisolasi.
mereka kadang-kadang mengalami kesulitan untuk berteman dan dipandang sangat
pemalu oleh guru, Loeb & Sarigiani (Hallahan &Kauffmann, 1988). kecenderungan
tersebut dapat mengarah pada perilaku menarik diri. Selanjutnya, hal itu dapat
menyulitkan mereka untuk membangun harga diri dan kepercayaan dalam berhubungan
dengan orang lain.
Kurangnya bahasa pada anak yang mengalami gangguan pendengaran membuat
mereka umumnya mengekspresikan frustasi secara fisik dengan tempertantrum dari pada
secara verbal (Mindel & Vernon dalam Suran & Rizzo, 1988). Gangguan pendengaran
yang berpengaruh pada kurangnya bahasa juga dapat menganggu hubungan interpersonal
dan mengarah pada berkurangnya perasaan harga diri dan kompetensi pribadi. Ketika anak
mulai memasuki lingkungan yang lebih luas, misalnya sekolah, masalah menjadi lebih
intensif.
Penyebab Gangguan Pendengaran
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal), ketika lahir
(natal), dan sesudah lahir (post natal). Banyak para ahli mengungkap tentang penyebab
ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan pandang yang berbeda dalam penjabarannya.
Trybus (1985) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak Amerika Serikat
yaitu :
a. Keturunan
b. Campak jerman dari pihak ibu
c. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
d. Radang selaput otak (meningitis)
2) Terjadi infeksi
a. Infeksi bakteri; antara lain berakibat kerusakan pada selaput gendang telinga,
otitis media (congean) dan infeksi tulang pendengaran.
b. Terjadi infeksi alat keseimbangan ditelinga dalam.
c. Keracunan, terjadi oleh ibu hamil meminum obat-obatan antibiotic dengan over
dosis, obat kimia terlalu banyak atau penggugur kehamilan.
d. Traumatis, terjadi akibat tusukan benda keras, atau akibat operasi tulang
temporal,
krusakan
tulang-tulang
lainnya
atau
kebisingan
keras
yang
Identitas Siswa
1. Nama
2. Kelas
: Laki-laki
5. Alamat
6. Nama Sekolah
: SLB Al-Chusnaini
7. Agama
: Islam
8. Anak Ke
9. Hobby
:2
: Menggambar dan mewarnai
: Kusno
2. Alamat
3. Pekerjaan
: Swasta
4. Agama
: Islam
5. Pendidikan terakhir
: SMA
6. Ibu
: Siti Lutfiah
7. Alamat
8. Pekerjaan
9. Agama
: Islam
10. Pendidikan
: SMA
D. Latar belakang
1. Riwayat pendidikan
a. Asal TK
b. Prestasi
berkebutuhan khusus
c. Tidak naik kelas
: -
2. Ekonomi
a. Penghasilan orang tua
b. Beban keluaga
: 3
c. Status ekonomi
: Keluarga menengah
2.3 Identifikasi Berkebutuhan Khusus siswa (bentuk ABK), bagaimana kondisi fisik
dan psikis anak.
Dalam penelitian ini kami mendapatkan subjek yaitu anak yang mengalami
gangguan tuna rungu (pendengaran) kategori berat sekali. Anak tersebut hanya
mendengar bunyi dengan intensitas 96 dB atau lebih keras, ia tidak dapat mendengar
percakapan normal sehingga tergantung pada komunikasi visual. Sejauh ini, anak yang
mengalami gangguan pendengaran dengan kategori berat sekali dapat dibantu dengan
menggunakan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi
(superpower). Kondisi fisik anak tersebut normal, tidak terdapat kecacatan fisik.
Sedangkan kondisi psikis dari anak tersebut terlihat manja dengan ingin selalu ditemani
oleh ibunya, ia selalu mengikuti ibunya pergi kemanapun. Selain itu, suasana hatinya
sering berubah-ubah terkadang giat belajar dan terkadang malas untuk belajar, serta ia
sedikit pemalu apabila berkomunikasi dengan orang yang baru ditemuinya.
2.4 Identifikasi masalah (wawancara dengan guru mapel, guru wali kelas, BK dan guru
Khusus)
2.5 Layanan Bimbingan Konseling apa yang diberikan (konseling individu dan
kelompok)
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kelainan pendengaran atau tunarungu adalah seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya
yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran,
sehingga alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak
terhadap kehidupan kompleks. Kelainan pendengaran merupakan hilangnya
kemampuan pendengaran seseorang, baik itu sebagian (hard of hearing) maupun
seluruhnya (deaf). Hal tersebut menyebabkan kemampuan pendengaran tidak
berfungsi.
3.2 DAFTAR PUSTAKA
3.3 LAMPIRAN-LAMPIRAN