Anda di halaman 1dari 10

ANAK HAMBATAN PENDENGARAN

a. Pengertian Anak Hambatan Pendengaran

Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan


pendengaran yang dialami seseorang. Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan
seseorang yang mengalami kehilangan/gangguan pendengaran. Hambatan pendengaran
fungsional berkisar dari hambatan yang ringan hingga berat. Seringkali, individu dengan
hambatan pendengaran yang sangat ringan atau tidak memiliki fungsi sama sekali menyebut
diri mereka sebagai "tuli". Saat ini mereka yang dengan gangguan pendengaran yang lebih
ringan disebut sebagai "Hard Of Hearing Atau kesulitan mendengar", namun ketika kedua
kelompok ini digabungkan, mereka sering disebut sebagai individu dengan "Hearing
Impairment atau Kehilangan Pendengaran" atau "Tunarungu atau Deaf". Istilah tersebut
menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik. Akibat dari adanya
kerusakan atau hambatan tersebut mengakibatkan gangguan atau kesulitan pada perolehan
serta olah informasi yang bersifat auditif, sehingga menimbulkan hambatan dalam
melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal. Pengelompokkan (klasifikasi) bagi anak
yang mengalami hambatan pendengaran yang saat ini digunakan pada umumnya menurut
Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. 0 dB Menunjukkan pendengaran yang optimal.


2. 0 – 26 dB Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.
3. 27 – 40 dB Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan
tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong
tunarungu ringan).
4. 41 – 55 dB Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,
membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tunarungu sedang).
5. 56 – 70 dB Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai
sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu
mendengar serta dengan cara yang khusus (tunarungu agak berat).
6. 71- 90 dB Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang
dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat
bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tunarungu berat).
7. 91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak
bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi
dan yang bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali)

Moores (1982:6) menjelaskan “tuli” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan


mendengar dalam tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang
lain mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya
sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan memakai maupun tidak
memakai alat bantu dengar (hearing aid). Adapun orang yang “kurang dengar” adalah
mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat 35 sampai 69 dB. Terdapat
banyak faktor yang menyebabkan ketunarunguan, baik ditinjau dari waktu terjadinya
kerusakan ataupun tempat kerusakan indera pendengaran. Uden (dalam Murni Winarsih,
2007:26) membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya
ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar
pada taraf penguasaan bahasa.

(1) Berdasarkan sifat terjadinya


a. Ketunarunguan bawaan (Prenatal), artinya ketika lahir anak sudah
mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak
berfungsi lagi.
b. Ketunarunguan setelah lahir (Postnatal), artinya terjadinya tunarungu setelah anak
lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
(2) Berdasarkan tempat kerusakan
a. Tuli Konduktif (Conductive loss)
Jenis ini terjadi karena terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang
menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
b. Tuli Konduktif (Sensorineural Loss)
Jenis ini terjadi karena terdapat gangguan pada bagian dalam telinga atau syaraf
pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
c. Central Auditory Processing Disorder
Jenis ini terjadi karena terdapat gangguan pada sistem syaraf pusat dimana proses
pendengaran mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang
didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu
sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini
mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi
mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
(3) Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum
dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal)
tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum
membentuk system lambang.
b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah
menguasai bahasa. Mereka yang menjadi tuli pada jenis ini telah menerapkan dan
memahami system lambang yang berlaku di lingkungan

c. Penyebab Anak Hambatan Pendengaran Gangguan pendengaran dapat disebabkan


karena infeksi, trauma, atau kelainan bawaan serta dapat juga saat bayi bila terjadi
infeksi berat, infeksi otak, pemakaian obat obatan tertentu atau kuning yang berat.

5. 6. Karakteristik Anak Hambatan Pendengaran


a. Aspek Bahasa/Bicara
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak
tipikal perkembangan pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat
kaitannya dengan kemampuan mendengar. Mereka tidak dapat mendengar bahasa
dilingkungannya, sehingga mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa
merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi
terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga anak tunarungu akan tertinggal
dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu memerlukan penanganan khusus dan
lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya.
Kemampuan berbicara anak tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa
yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan
berkembang dengan sendirinya namun memerlukan upaya terus menerus serta latihan
dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang demikianpun banyak dari
mereka yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan
suara terdengar monoton berbeda dengan anak normal. agar siswa mampu
mengekspresikan perasaannya, kemauannya, idenya secara lisan.
b. Aspek Intelegensi
Myklebust mengungkapkan bahwa inteligensi peserta didik tunarungu secara potensial
pada umumnya sama dengan peserta didik normal, tetapi secara fungsional
perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa. Keterbatasan
informasi dan kurangnya daya abstraksi peserta didik akibat ketunarunguan
menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian
perkembangan inteligensi secara fungsional juga terhambat. Hal ini mengakibatkan
peserta didik tunarungu kadang-kadang menampakkan keterlambatan dalam belajar
dan menampakkan keterbelakangan mental.
Furth menyimpulkan bahwa keterlambatan peserta didik tunarungu dalam bidang
kognitif lebih disebabkan kurangnya pengalaman dalam dunia nyata dan bahwa hal ini
secara tidak langsung merupakan akibat kemiskinan bahasanya yang membatasi
mereka dala kesempatan mengembangkan interaksi dan dengan demikian membatasi
pengalamannya pula. Maka dapat dikatakan bahwa dalam mengerjakan tugas
(berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget), peserta didik tunarungu dapat
menunjukkan kesamaan prestasi dengan peserta didik mendengar bila tugas-tugas itu
menuntut perhatian visual dan persepsi. Namun bila tugas-tugas itu tidak menuntut
perhatian visual dan maka ketergantungan pada persepsi visual akan mengakibatkan
kurangnya konseptualisasi. Implikasinya adalah dengan mengadakan perubahan dalam
petunjuk tugas, memberikan lebih banyak keterangan daripada yang dilakukan
terhadap peserta didik mendengar, penampilan peserta didik tunarungu dapat
diperbaiki dalam arti memperkecil perbedaannya dengan prestasi peserta didik
mendengar.
b. Aspek Sosial, Emosi Dan Psikososial
Keterbatasan dalam berkomunikasi sering menimbulkan kesulitan sosial dan perilaku.
Peserta didik tunarungu menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tanpa
kontrol dalam diri, impulsif dan keras kepala. Sifat impulsif, yaitu tindakan yang tidak
didasarkan pada perencanaan yang jelas dan matang, serta tanpa mengantisipasi akibat
yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatannya.
Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Sifat kaku, menunjuk pada
sikap kaku atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas. Pikiran dan
perasaan mereka terbatas pada hal-hal konkret saja. Sifat lekas marah atau tersinggung,
karena kemiskinan bahasanya, peserta didik tunarungu tidak dapat menjelaskan atau
mengekspresikan keinginanya dengan baik dan sebaliknya kurang dapat memahami apa
yang dikatakan orang lain. Keadaan ini dapat menyebabkan kekecewaan dan frustrasi
yang diekspresikan secara aktif dan agresif tetapi kadang dapat diungkapkan dengan
sikap malu-malu, ragu-ragu dan menarik diri. Kedua sikap yang berlawanan ini banyak
bergantung dari reaksi orangtua/pendidik terhadap kemampuan peserta didik sehingga
terbentuknya konsep diri yang negatif pada peserta didik, pada akhirnya dapat
menghambat proses kegiatan belajar di kelas.
Meadow menjelaskan bahwa pembentukan konsep diri terjadi sejalan dengan
perkembangan sosial seorang peserta didik. Berdasarkan reaksi atau sikap orang lain
dalam lingkungannya terhadap diri dan tindakannya akan terbentuk pandangan terhadap
diri sendiri.
Hilangnya kemampuan mendengar dapat berdampak pada terhambatnya komunikasi.
Lebih berat lagi apabila seseorang mengalami ketunarunguan sejak lahir, maka akan sulit
mengembangkan kemampuan berbahasanya secara spontan, sehingga dalam usaha untuk
bermasyarakat akan timbul berbagai permasalahan seperti aspek sosial, emosional dan
mental.
Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan. Keterasingan
tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: egosentrisme yang melebihi
anak normal, mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas,
ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya
memiliki sifat yang polos dan tanpa banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat
tersinggung.
1) Egosentrisme yang melebihi anak normal
Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat interaksi
dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam
pendengaran, anak tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan.
Penglihatan hanya melihat apa yang didepannya saja, sedangkan pendengaran dapat
mendengar sekeliling lingkungan. Karena anak tunarungu mempelajari sekitarnya
dengan menggunakan penglihatannya, maka aka timbul sifat ingin tahu yang besar,
seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu semakin membesarkan
egosentrismenya.
2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas Perasaan takut yang
menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan oleh kurangnya penguasaan
terhadap lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan berbahasanya yang
rendah. Keadaan menjadi tidak jelas karena anak tunarungu tidak mampu menyatukan
dan menguasai situasi yang baik.
3) Ketergantungan terhadap orang lain Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau
terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka
sudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.
4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan\ Sempitnya kemampuan berbahasa pada anak
tunarungu menyebabkan sempitnya alam fikirannya. Alam fikirannya selamanya
terpaku pada hal-hal yang konkret. Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka
anak tunarungu akan sulit dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum
dimengerti ata belum dialaminya. Anak tunarungu lebih miskin akan fantasi.
5) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah Anak
tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Anak tunarungu akan
jujur dan apa adanya dalam mengungkapkan perasaannya. Perasaan anak tunarungu
biasanya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
6) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung Karena banyak merasakan kekecewaan
akibat tidak bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya, anak tunarungu akan
mengungkapkannya dengan kemarahan. Semakin luas bahasa yang mereka miliki
semakin mudah mereka mengerti perkataan orang lain, namun semakin sempit bahasa
yang mereka miliki akan semakin sulit untuk mengerti perkataan orang lain sehingga
anak tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan kemarahan.
c. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri
dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar
(Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki kesulitan
dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.
d. Aspek bicara dan bahasa
Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak
dipengaruhi oleh peserta didik hambatan pendengaran. Khususnya anak-anak yang
mengalami hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi
individu yang congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun
dengan menggunakan alat bantu dengar.

6. Prinsip pembelajaran Anak Hambatan Pendengaran


Intelegensi anak tunarungu umumnya berada pada tingkatan rata-rata atau bahkan tinggi,
namun prestasi belajare mereka terkadang lebih rendah karena pengaruh kemampuan
berbahasanya yang rendah. Maka dalam pembelajaran di sekolah anak tunarungu harus
mendapatkan penanganan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik
yang dimiliki. Anak tunarungu akan berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang
sudah dialaminya dan bersifat konkret bukan hanya hal yang diverbalkan. Anak tunarungu
membutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya yaitu
metode yang dapat menampilkan kekonkretan sesuai dengan apa yang sudah dialaminya.
Metode pembelajaran untuk anak tunarungu haruslah yang kaya akan bahasa konkret dan
tidak membiarkan anak untuk berfantasi mengenai hal yang belum diketahui
Anak dengan hambatan pendengaran kurang dapat menerima informasi melalui suara, tetapi
mereka sebaiknya belajar melalui visual baik dengan bahasa bibir maupun visualisasi materi
yang diwujudkan dalam media pembelajaran bersifat visual, gestur ataupun mimik dari guru
maupun orang sekitar. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan pendengaran
biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami kesulitan dalam
membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, serta tekanan suara. Kebutuhan pembelajaran
peserta didik hambatan pendengaran secara umum tidak berbeda dengan anak pada
umumnya (Gunawan 2011). Akan tetapi, mereka memerlukan perhatian dalam kegiatan
pembelajaran antara lain:
1) Tidak berkomunikasi dengan cara membelakanginya.
2) Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah
membaca bibir, gesture dan atau mimik guru.
3) Perhatikan postur dan arah anak pada saat memiringkan kepala untuk mendengarkan.
4) Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan artikulasi dan irama yang jelas serta
tidak terlalu terburu buru.
5) Penggunaan kata dan pengalaman belajar yang sederhana, kontekstual dan
bermakna
6) Memberikan pembelajaran dengan tahapan dari konkrit ke abstrak
Untuk mengakomodasi kebutuhan komunikasi bagi anak dengan hambatan pendengaran
dapat menggunakan beberapa metode yaitu :
1) Metode Oral dan Aural
Metode ini menggunakan komunikasi yang bersifat mengfungsikan indera pendengaran
serta tidak menggunakan isyarat terstruktur dalam komunikasinya. Prinsip
menggunakan metode ini adalah keterarah wajahan serta keterarah suaraan dalam proses
pelaksanaannya. Titik utama dalanm penggunakan metode ini adalah pada membaca
ujaran ( Speech Reading ), Lip Reading, dan Point Of Articulation. Pada komunikasi
dengan metode ini juga harus memperhatikan body language dan gesture serta mimik
untuk menekankan pragmatisme pemaknaan bahasa.
2) Metode Komunikasi Total
Metode melibatkan seluruh komponen komunikasi yang dapat dipergunakan, misalnya :
oral, audio, kosa kata, grafis, body language, gesture, dll. Metode penggunaan
kompone komunikasi yang dipilih dilakukan secara stimultan atau bersama sama.
Artinya metode ini menggunakan seluruh komponen komunikasi yang masih dapat
digunakan secara serempak bersamaan.
3) Metode Visual
Metode ini menggunakan penekanan komunikasi hanya pada isyarat dan atau yang
bersifat visual tanpa adanya campuran komunikasi lainnya. Komunikasi ini biasa
digunakan antar komunitas anak dengan hambatan pendengaran.
Pendekatan Proses pembelajaran yang dapat dipilih adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan Dikdaktik melalui pengulangan, layanan individual, terstruktur, terarah dan
dalam pengawasan orang dewasa
2) Pendekatan Milleu adat Lingkungan melalui hal hal yang bersifat natural dengan
memanfaatkan lingkungan sekitar dan kondisi real sehari hari untuk menjadi topik yang
diperbincangkan atau topik pembelajaran. Pendekatan ini memberikan pembelajaran
yang berpusat pada anak untuk kemudian digunakan dalam kehidupan nyata.zMasalah
dan Kebutuhan Anak Hambatan Pendengaran

7. Kajian Microsystem Anak hambatan Pendengatan

Dalam sistem ekologi, Microsystem adalah hal yang menyangkut individu yang sedang
berkembang dalam interaksi 'proksimal' yang dekat dan tatap muka dengan individu lain di
mereka di lingkungan mereka, seperti keluarga dekat dan teman sebaya. Perspektif
perkembangan ini menempatkan anak-anak secara terpusat di dalam berbagai ekosistem
seperti mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem yang memiliki
lingkaran pengaruh yang luas dan konsentris (Bronfenbrenner, 1986; Kazak,1989). Pengaruh
paling proksimal bagi anak didapatkan dari lingkungan Microsystem.

Microsystem anak, terdiri dari keluarga, lingkungan anak, sekolah, serta area lain di mana
anak sangat akrab. Microsystem adalah dimana anak-anak berkembang, serta berinteraksi
sosial membentuk dasar untuk perkembangan bahasa dan sosial (Guralnick, 2011). Bahkan,
biologi anak itu sendiri, juga dapat dikatakan sebagai bagian dari mikrosistem
(Bronfenbrenner, 2005). Pengkondisian dan modifikasi Microsystem menjadi pendukung
dalam membantu anak dengan hambatan pendengaran mencapai keterampilan bahasa yang
sesuai dengan usia. Model ini juga memandu pendekatan pengajaran dan penilaian dalam
pendidikan tunarungu dengan berbagai macam modifikasi lingkungan dan aktivitas
pembelajaran di dalam kelas. Pada tingkat mikrosistem di sekolah guru dengan peserta didik
hambatan pendengaran harus terlibat setiap hari dalam komunikasi tatap muka dengan peran
ini konstan dalam penggunaan bahasa dan pendekatan pengajaran untuk memastikan
kecocokan dengan kebutuhan belajar individu serta mempertimbangkan dampak hambatan
dan kompetensi bahasa individu. Hubungan positif dan komunikatif dengan guru dan teman
merupakan faktor penting dalam penyesuaian awal anak, pada kelas dan lingkungan sekolah.
Pada tingkat mikrosistem pula, guru harus mampu mengelola hubungan antara pelajar,
orang tua serta profesional lainnya.

Analisis tentang aspek struktural dan fungsional dari setiap lingkungan Microsystem
menggambarkan bahwa variabilitas lingkungan terdekat anak, sangat penting untuk dapat
dimodifikasi menjadi sebuah sarana pengembangan kemampuan komunikasi dan pendidikan
yang berorientasi tujuan pengembangan potensi. Dukungan dan pengayaan dalam hubungan
interaksi dalam Microsystem berkontribusi pada perkembangan psikososial dan
neurokognitif pada anak-anak termasuk anak dengan gangguan pendengaran. Model
kerangka pikir microsistem membantu untuk berpikir tentang pembelajar tunarungu dan
konteks pembelajaran, dengan cara yang mencakup pengaruh kontekstual lingkungan
keluarga, kelas dan lingkungan budaya yang lebih luas. Anak dengan hambatan pendengaran
memperoleh dan mempraktikkan keterampilan baru serta menggunakan bahasa dalam
Microsistem mereka. Namun, dampak hambatan pendengaran yang mereka miliki
menimbulkan masalah presepsi komunikasi dalam interaksi sehingga menyebabkan masalah
konsentrasi dan motivasi untuk belajar.

Anda mungkin juga menyukai