Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP,

LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tunarungu

Tunarungu adalah keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan atau

kekurangan dalam hal kemampuan mendengar dan berbicara, sehingga alat

pendengarannya tidak berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat

terjadi baik sebagian atau seluruhnya, dan berdampak kompleks pada

kehidupan orang dengan keadaan tunarungu, terutama pada kemampuan

berbahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting (Winarsih, 2007).

Somad dan Herawati (1996) menyatakan bahwa tunarungu adalah

seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan

mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak

berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga tidak dapat

menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang

membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks.

Sardjono (2005) mengatakan bahwa tunarungu adalah kedaaan kehilangan

pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran pada saat

mulai belajar berbicara karena gangguan pendengaran, suara dan bahasa. Tuna

wicara adalah mereka yang menderita tunarungu sejak bayi atau sejak lahir

sehingga tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tidak


mampu mengembangkan kemampuan bicara meskipun tidak mengalami

gangguan pada alat suaranya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa penyandang tunarungu adalah mereka yang

mengalami kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun

seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat

pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga tidak mampu

mengembangkan kemampuan berbicara. Dalam melakukan komunikasi dengan

orang lain sangat membutuhkan bahasa dengan ucapan yang jelas sehingga

dalam menyampaikan pesan dapat mempunyai satu makna, sehingga tidak

ada salah tafsir makna yang dikomunikasikan.

Kemenkes RI(2010)menyatakan tunarungu dan atau tunawicara adalah

mereka yang berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat karena mengalami

gangguan komunikasi secara verbal yang diakibatkan hilangnya sebagian atau

seluruh pendengarannya. Hal ini mengakibatkan dalam pergaulannya

mengalami hambatan, sehingga sering terjadi kesalahpahaman dan

menimbulkan tekanan pada emosinya dan dapat menghambat keperibadian dan

cenderung menutup diri. Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam

menginterpretasikan kalimat, hal ini disebabkan oleh kemampuan yang

berdasar pada pengalaman bahasanya yang terbatas.

2.1.2 Klasifikasi Tunarungu

Ketunarunguan (hearing loss) adalah satu istilah umum yang

menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi tuli (deafness) terlepas dari

penyebabnya dan usia kejadiannya. Sejumlah variabel (derajat, jenis penyebab

dan usia kejadiannya berkombinasi kedalam diri siswa tunarungu yang


mengakubatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial,

intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan

mempengaruhi pilihan dan gaya hidup pada masa dewasanya terutama pada

kelompok sosial dan tingkat pekerjaannya. Akan tetapi ketunarunguan jika

tidak disertai dengan kecacatan lain pada dasarnya adalah permasalahan sosial.

Somad dan Herawati (1996) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis utama

ketunarunguan menurut penyebabnya yaitu.

a) Conductive loss,yaitu ketunarunguan yang tejadi bila terdapat gangguan

pada bagian luar atau tengah telinag yang menghambat dihantarkannya

gelombang bunyi ke dalam bagian telinga.

b) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang tejadi bila terdapat

kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang

mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.

c) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem

syaraf pusat, proses pendengaran yang mengakibatkan individu

mengalami kesulitan mengalami kesulitan memahami apa yang

didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada

telinganya itu sendiri. Mereka yang mengalami gangguan pusat

pemerosesan pendengaran ini mungkin memilki pendengaran yang

normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami

kesulitan memahami apa yang didengarnya.

Sastrawinata (1997) menyatakan bahwa klasifikasi tunarungu berdasarkan

tingkat gangguan dapat diuraikan sebagai berikut.


a) Ketunarunguan pada taraf 15-25 dB, yaitu ketunarunguan taraf ringan.

Penyandang tunarungu pada taraf ini masih dapat belajar bersama orang

normal pada umumnya dengan pemakaian alat bantu dengar,

penempatan yang tepat dan pemberian bantuan yang lain yang

menunjang aktifitas.

b) Ketunarunguan pada taraf 26-50 dB, yaitu ketunarunguan taraf sedang.

Penyandang tunarungu pada taraf ini sudah memerlukan pendidikan

khusus dengan latihan berbicara, membaca buku dan latihan mendengar

dengan memakai alat bantu dengar.

c) Ketunarunguan pada taraf 51-75 dB, yaitu ketunarunguan taraf berat.

Penyandang tunarungu pada taraf ini sudah harus mengikuti program

pendidikan di sekolah luar biasa dengan mengutamakan pelajaran

bahasa, mereka masih dapat mendengar bunyi klakson dijalan raya serta

suara bising lainnya

d) Ketunarunguan pada taraf 75 dB keatas, yaitu ketunarunguan taraf

sangat berat. Penyandang tunarungu pada taraf ini lebih memerlukan

program pendidikan kejuruan yang khusus, meskipun pelajaran bahasa

dan bicara masih dapat diberikan kepadanya. Penggunaan alat bantu

mendengar biasanya tidak memberikan manfaat bagi mereka.

Sardjono (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab

ketunarunguan adalah sebagai berikut.

a) Faktor sebelum anak dilahirkan, antara lain karena faktor keturunan,

salah satu atau kedua orang tua merupakan penyandang tunarungu.

Selain itu akibat penyakit yang diderita oleh ibu pada waktu kehamilan
sepeti penyakit campak, rubella, keracunan darah, penggunaan obat-

obatan ataupun membawa sifat ambnormal pada gen misalnya

dominant genes, recestivi gen.

b) Faktor pada saat anak dilahirkan, antara lain disebabkan karena faktor

perbedaan Rhesus pada ibu dan bayi yang sejenis, bayi yang dilahirkan

sebelum waktunya (pre matur), penggunaan alat bantu pada waktu

proses kelahiran seperti penggunaan vakum.

c) Faktor sesudah anak dilahirkan, antara lain disebabkan karena terjadi

infeksi otak, sehingga berpengaruh terhadap organ pendengaran,

pemakaian oabat yang berlebihan, selain itu kecelakaan juga dapat

menyebabkan mengalami ketunarunguan seperti terjatuh ataupun

terbentur benda keras.

2.1.3 Karakteristik Remaja Tunarungu

Karakteristik remaja tunarungu berbeda-beda dan terlihat sangat kompleks

satu sama lain. Secara fisik remaja dengan keadaan tunarungu tidak jauh

berbeda dengan remaja normal pada umumnya, tetapi remaja tunarungu

memiki karakteristik yang sedikit berbeda dalam segi bahasa dan cara bicara

dengan remaja normal.

Suparno (2001) menyatakan bahwa karakteristik remaja tunarungu sedikit

berbeda pada segi bicara dan bahasa seperti kosa kata yang minim, kesulitan

dalam mengerti kata-kata abstrak dan bahasa yang memiliki arti kiasan, kurang

menguasai irama dan gaya bahasa, pemahaman yang sulit pada kalimat yang

panjang, dan kompleks. Keterbatasan kosa kata mengakibatkan remaja

tunarungu kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.


Somad dan Herawati (1996) menyatakan bahwa karakteristik remaja

tunarungudapat dilihat dari intelegensia,emosi, sosial, bahasa dan bicara.

a) Karakteristik dari segi intelegensia, Seseorang dengan tunarungu

memiliki tingkat intelegensia yang tidak jauh berbeda dengan orang

normal pada umumnya yaitu ada yang memiliki intelegensia normal,

rata-rata,dan rendah. Pada umumnya penyandang tunarungumemiliki

tingkat integensia yang normal, tetapi prestasi belajar mereka lebih

rendah karena dipengaruhi oleh kemampuan remaja tunarungu itu

sendiri dalam memahami pelajaran sehingga mempengaruhi tingkat

prestasi mereka. Prestasi sekolah yang rendah bukan disebabkan oleh

integensia mereka yang rendah tetapi karena mereka kurang dapat

memaksimalkanintelegensia yang dimiliki. Aspek intelegensia yang

bersumber pada penglihatan dan motorik berkembang cukup cepat,

terapi aspek intelegensia yang bersumber pada verbal cenderung lebih

rendah.

b) Karakteristik dari segi emosi dan sosial, remaja tunarungu sering

merasa terasing dalam lingkungan mereka sendiri, sehingga ini

menyebabkan memiliki sifat egosentris yang lebih besar daripada anak

normal, takut pada lingkungan yang lebih luas, sering bergantung pada

orang lain, fokus terhadap hal yang sedang dilakukan, bersifat polos,

mudah marah dan cenderung cepat tersinggung, ini merupakan efek

yang ditimbulkan karena mereka seringkali terdiskriminasi oleh

lingkungan sekitar.
c) Karakteristik dari segi bahasa dan bicara, kemampuan

penyandangtunarunguberbeda dengan anak normal dalam berbahasa

dan berbicara, karena hal ini berkaitan erat dengan kemampuan dalam

mendengar, sehingga karakteristik anak tunarungudalam bahasa dan

berbicara dapat dilihat dengan cukup jelas. Dalam berkomunikasi,

bahasa merupakan alat dan sarana yang utama untuk kelacaran

berkomunikasi dengan seseorang. Penyandang tunarunguakan

tertinggal dalam proses berkomunikasi karena masalah utama ada pada

kesulitan untuk mendengar dan berbahasa, sehingga mereka

memerlukan penanganan yang khusus untuk dapat meningkatkan

kemampuan mereka dalam berbahasa. Hal ini akan terus berkembang

dengan sendirinya jika dilatih dan dibimbing secara khusus dan

professional, tetapi banyak dari mereka sulit untuk berbicara seperti

anak normal karena perbedaan tekanan suara dan irama yang didengar

terkesan monoton, tidak seperti yang didengar anak normal pada

umumnya.

2.1.4 Dampak Ketunarunguan

Penyandang tunarungu mengalami hambatan dalam pendengaran sehingga

mempengaruhi kehidupannya secara kompleks. Ketunarunguan tersebut

membawa dampak bagi penyandang tunarugu itu sendiri. Winarsih (2007)

menyatakan bahwadampak ketunarunguan dalam kehidupan sehari-hari dapat

diuraikan seperti berikut ini.

a) Perkembangan motorik dimana penyandang tunarungu mengalami

gangguan dalam keseimbangan dan koordinasi umum.


b) Perkembangan kognitifadalah dimana anak tunarungumengalami

keterlambatan kognitif yang disebabkan keterlambatan kemampuan

bahasa mereka.

c) Perkembangan emosional dan sosial yaitu anak tunarungutidak dapat

mendengar bunyi latar yang terjadi di sekitarnya, mereka sering

menghadapi suatu yangdisadari secara tiba-tiba. Perasaan ini bedampak

pada perkembangan emosi dan sosial dimana anak tunarungu memiliki

sifat egosentris. Anak tunarungusering mengalami perasaan dan pikiran

yang berlebihan sehingga mereka sulit melakukan adaptasi dengan

lingkungan sosial, memilki sifat impulsive dimana anak tunarungu

melakukan tindakan yang diinginkan tanpa mengantisipasi akibat dari

perbuatannya, sifat yang kaku, sifat yang dimiliki anak tunarungu

menunjukkan sifat yang kaku cepat marah dan mudah tersinggung,

dalam percakapan sehari-hari anak tunarunguberprasangka orang lain

sedang membicarakannya, sehingga anak tunarungumudah tersinggung.

Perasaan kurang percaya diri dan mudah khawatir.

Pendapat serupa juga dibenarkan oleh Delphie (2007) ketunarunguan

menimbulkan hambatan dalam kehidupan sehari-hari bagi penyandang

tunarungu, sehingga sangat mempengaruhi interaksi sosial sehari-hari.

Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang dengan

tunarungutidak hanya mengalami gangguan perdengaran, tetapi berdampak

kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Kehilangan pendengaran tersebut

mempengaruhi aspek intelegensia, emosi dan sosial, akademis, komunikasi dan

perkembangan bahasa, serta perkembangan fisiknya.


2.1.5 Bahasa Isyarat Sebagai Salah Satu Cara dalam Berkomunikasi
dengan Tunarungu

Para penyandang tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi

dengan orang normal karena perbedaaan metode komunikasi. Kekurangan pada

pendengaran pada tunarungu sangat berdampak pada kemampuan menerima

informasi yang berkembang di masyarakat, kekurangan dalam mendengar

berdampak pada kemampuan verbal sehingga dalam berkomunikasi dengan

sesama ataupun orang normal mereka lebih cenderung untuk menggunakan

bahasa non verbal seperti penekanan pada ekspresi wajah, gerakan tubuh,

ataupun yang lainnya. Bagi para penyandang tunarunguyang telah

menggunakan bahasa isyarat sebagai alat komunikasi maka terlihat bahwa

bahasa isyarat sangat umum dikalangan mereka tapi sangat asing terlihat oleh

orang normal. Orang dengan keterbatasan mendengar dan berbicara atau

tunarungusering juga terlihat menggunakan bahasa isyarat sebagai cara dalam

berkomunikasi. Beberapa orang normal yang tinggal dekat dengan atau sering

berinteraksi dengan penyandang tunarungumungkin terlihat bisa saja bahkan

seringkali mereka ikut menggunakan bahasa isyarat pada waktu berkomunikasi

dengan para penyandang tunarungu, sehingga banyak diantara mereka (orang

normal) memilih menjadi juru bahasa isyaratuntuk membantu kelancaran

komunikasi orang normal pada umumnya dengan para penyandang tunarungu

dengan bahasa isyarat yang biasa mereka gunakan sehari hari.

Bahasa isyarat adalah komunikasi non verbal karena merupakan bahasa

yang tidak menggunakan suara tetapi menggunakan bentuk dan arah tangan,

pergerakan tangan, bibir, badan serta ekspresi wajah untuk menyampaikan


maksud dan pikiran dari seorang penutur.Isyarat tangan kadang-kadang

menggantikan komunikasi verbal. Penyandang tunarungu sering kali

menggunakan suatu sistem isyarat tangan yang amat komprehensif sehingga

dapat menggantikan bahasa lisan secara harfiah (Tubbs dan Moss, 2008).

Bahasa isyarat nasional dan internasional sangat dipengaruhi oleh latar

belakang budaya dan kebiasaan dimana orang tersebut tinggal dan berasal

(Gerkatin, 2016). Sama seperti bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris

dan bahasa lainnya, bahasa isyarat juga merupakan bahasa ibu dengan fungsi

yang sama pentinganya yaitu sama-sama menjadi salah satu cara yang

digunakan dalam mengakses informasi.

Bahasa isyarat yang ditetapkan diIndonesia ada dua yaitu Bahasa Isyarat

Indonesia (Bisindo) dan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI). Bisindo

adalah sistem komunikasi yang praktis dan efektif untuk penyandang

tunarungu Indonesia yang telah dikembangkan oleh kaum tunarungu,

sedangkan SIBI adalah sistem hasil rekayasa dan ciptaan orang normal untuk

berkomunikasi dengan penyandang tunarungu dan bukan berasal dari

penyandang tunarungu (Febrina, 2015).

Juru bahasa isyaratmemiliki peran penting dalam kelancaran komunikasi

orang tunarungu dengan orang dengar, karena peran juru bahasa isyaratadalah

menerjemahkan dari atau ke bahasa verbal dari atau ke bahasa isyarat untuk

memenuhi hak kaum tunarungu. Juru bahasa isyarattelah banyak membantu

dalam menjelaskan maksud atau pemikiran para penyandang tunarungu agar

dapat dimengerti oleh orang normal pada ummnya, seperti pada pengungkapan

kasus di pengadilan juru bahasa isyarat juga terlibat dalam penyampaian


maksud yang ingin disampaikan oleh penyandang tunarungu. Beberapa

penelitian yang dilakukan dengan subyek penelitian adalah penyandang

tunarungu banyak menggunakan jasa para juru bahasa isyaratuntuk

memperlancar komunikasi dengan penyandang tunarungu.

2.1.6 Kesehatan Reproduksi

International Conference on Population and Development (ICPD) Cairo,

1994 menyepakati bahwa kesehatan reproduksi (kespro) merupakan keadaan

kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, tidak adanya penyakit dan

kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan

fungsi serta prosesnya. Kesehatan reproduksi menurut pengertian WHO

merupakan keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan

hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang

berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya (Budiarini,

2012).

Program kesehatan reproduksi memiliki tujuan antara lain untuk

meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan memenuhi hak-

hak reproduksi secara terpadu serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan

gender sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup setiap individu,

meningkatkan kemandirian dalam pengaturan fungsi dan proses reproduksidan

kehidupan seksualnya, dengan demikian hak-hak dalam reproduksi dapat

terpenuhi. Tujuan khusus lain dari program kesehatan reproduksi adalah

meningkatkan kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi

reproduksinya, peningkatan hak dan tanggung jawabsosial para wanita dalam

penentuan waktu untuk hamil, jumlah anak yang diinginkan, dan mengatur
jarak kelahiran, peningkatan peran dan tanggung jawab laki-laki akibat

perilaku seksualnya, mendukung wanita dalam membuat keputusannya pada

proses reproduksinya (Budiarini, 2012).

Outlook (2000) menyatakan bahwa sasaran dari kesehatan reproduksi ada

tiga kelompok seperti diuraikan dibawah ini.

a) Remaja yang sedang mengalami masa pubertas, pemberian

pengetahuan tentang reproduksi sehingga dapat membantu remaja

dalam menghadapi menarche bagi remaja perempuan maupun mimpi

basah bagi remaja laki-laki, perubahan secara fisik, mental, sosial dan

carahygiene sanitasinya.

b) Wanita, dimana pada wanita usia subur (WUS) dan pasangan usia subur

(PUS), dengan penurunan 33% prevalensi anemia, meningkatkan

jumlah yang bebas dari kecacatan sebesar 15%, terpenuhinya

kebutuhan nutrisi dengan baik, dan penurunan angka kematian ibu

hingga 50% serta semua pasangan dan individu memperoleh informasi

dalam mencegah kehamilan yang terlalu dini, terlalu dekat jaraknya,

terlalu tua dan terlalu banyak anak.

c) Lansia, diberikan penyuluhan dan pengetahuan untuk persiapan masa

menopause, meningkatkan jumlah lansia yang mendapatkan layanan

kesehatan untuk pemeriksaan dan pengobatan penyakit menular seksual

dan pemberian makanan yang mengandung kalsium untuk mencegah

osteoporosis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi pada remaja

menurut Outlook (2000) adalah seperti diuraikan sebagai berikut.

a) Status kesehatan (Gizi dan Kesakitan).

b) Tingkat pengetahuan(pendidikan orang tua dan remaja tentang

kesehatan reproduksi).

c) Perkawinan usia muda, kehamilan dan jumlah anak.

d) Fasilitas kesehatan.

e) Pelayanan Kesehatan.

Kesehatan reproduksi selain dipengaruhi oleh lima faktor tersebut

kesehatan reproduksi faktor lain yang apat memepengaruhi kesehatan

reproduksi adalah faktor psikologis, ekonomi, dan ketidaksetaraan gender yang

menyulitkan remaja putri menghindari hubungan seks yang dipaksakan atau

seks komersial (Outlook, 2000).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2001 menyatakan bahwa

ruang lingkup kesehatan reproduksi sebenarnya sangat luas, sesuai dengan

pendekatan siklus hidup manusia yang antara lain, kesehatan ibu dan bayi baru

lahir, keluaga berencana, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran

reproduksi termasik PMS-HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan

komplikasi aborsi, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan

infertilitas, kanker pada usia lanjut dan osteoporosis, dan beragai aspek

kesehatan reproduksi lain misalnya kanker serviks, mutilasi genetalia, fistula

dan yang lainnya.

Kebijakan pemerintah sangat diperlukan dalam mewujudkan kesehatan

reproduksi bagi seluruh warga negara, dimana kebijakan tersebut mencakup


beberapa hal antara lain, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi remaja,

setiap remaja berhak mendapat layanan kesehatan reproduksi remaja berupa

informasi yang berkualitas termasuk memperhatikan keadilan dan kesetaraan

gender, kesehatan reproduksi remaja diupayakan untuk meningkatkan derajat

kesehatan remaja, pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja diupayakan

melalui jalur formal dan non formal, dengan cara memberdayakan pendidik

dan pengelola pendidikan, dan semua dilaksanakan secara terkoordinasi dan

berkesinambungan melalui prinsip kemitraan, dan mampu membangkitkan dan

mendorong keterlibatan dan kemandirian remaja. Sedangkan komponen

prioritas dari kesehatan reproduksi remaja adalah Keluarga Berencana,

kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan

penanganan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS (BKKBN, 2010)

Pada masa remaja terjadi kematangan fisik yang menyebabkan

berkembangnya dorongan seksual, selain perkembangan fisik yang dapat

dilihat dari luar, pada masa remaja juga terjadi perkembangan pada aspek

sosial, psikologis, intelektual, maupun tingkah laku seksual yang dikaitkan

dengan mulai terjadinya pubertas (Anita 2007).Masa remaja merupakan

periode transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Remaja cenderung berani

mengambil risiko tanpa mempertimbangan hal secara matang, karena

umumnya remaja memiliki keingitahuan yang besar terhadap apa yang

dirasakanya (Hangstrome 2006).

Banyaknya masalah yang ada pada remaja dipengaruhi oleh berbagai hal

dalam kehidupan mereka, baik dalam diri sendiri, biologi, psikologis, moral

dan kognitif serta pengaruh dari lingkungan sekitar, termasuk masalah


kesehatan reproduksi. WHO (2012) menyatakan semakin berkembanganya

rmasalahkesehatan reproduksi pada remaja, antara lain seks bebas, penyakit

menular seksual, kehamilan tidak diinginkan, pernikahan usia muda dan aborsi.

Permasalahan yang timbul di kalangan remaja dapat dibagi ke dalam dua

kelompok masalah yaitu masalah kesehatan fisik dan masalah perilaku.

Beberapa kesehatan fisik seperti mulai gangguan pada mata, pendengaran,

munculnya jerawat, dan masalah gizi (Jackson,2009). Sedangkan masalah

perilaku remaja disebabkan oleh karakteristik remaja itu sendiri, seperti emosi

yang belum stabil, kaku dalam pergaulan, kecendrungan membentuk kelompok

dalam kegiatan berkelompok, sikap menentang orang tua, senang

bereksperimen, dan bereksplorasi (Moreno, 2008). Perilaku tersebut dapat

berakibat negatif, dimana akibat faktor perilaku sebanyak 75% kematian pada

remaja.Akibat faktor perilaku remaja ada beberapa penyakit yang timbul antara

lain kecelakaan, kehamilan remaja, penyakit menular seksual, gangguan makan

dan penyalahgunaan obat dan alkohol (Soetjiningsih, 2004).

Anas (2010) menyatakan bahwa upaya meningkatkan kesehatan

reproduksi remaja antara lain dengan menyediakan informasi tentang kesehatan

reproduksi. Hal ini bisa dilakukan melalui media cetak seperti koran, majalah

dan lainnya. Pemberian informasi kesehatan reproduksi juga dapat dilakukan

melalui media elektronik yaitu radio, televisi dan internet. Sumber informasi

yang tidak tersedia dengan cukup menyebabkan remaja melakukan ekplorasi

sendiri, baik melalui media cetak, elektronik maupun teman sebaya yang

salah.Pengaruh akses informasi terhadap pengetahuan remaja tentang

kesehatan reproduksi memberikan dampak pada perilaku seksualnya.


Kemudahan aksesteknologi informasi dapat mempengaruhi potensi perilaku

berisiko yang dilakukan seseorang (Rokhmah, 2014). Akses terhadap media

informasi bernilai signifikan dalam mempengaruhi perilaku berisiko pada

remaja (Lestary dan Sugiharti, 2011). Akses informasi kesehatan reproduksi

yang baik akan diikuti oleh pengetahuan kesehatan reproduksi dan praktik

menjaga organ reproduksi yang baik, nilai–nilai psikologis yang positif

terhadap seksualitas di dalam dirinya serta perilaku seksual yang aman

(Mahda, 2015).

Remaja memerlukan pengetahuan dasar yang baik agar terhindar dari

perilaku seks berisiko dan memiliki kesehatan reproduksi yang baik,

pengetahuan dasar tersebut antara lain, memperkenalkan alat, sistem, fungsi,

dan proses reproduksi, mengendalikan perilaku yang berakibat pada turunnya

derajat kesehatan reproduksi remaja seperti kehamilan tidak diinginkan,

penyebaran penyakit menular seksual (PMS), dan HIV/AIDS, memberikan

informasi dasar yang tepat dan akurat mengenai berbagai risiko berhubungan

seks yang tidak terlindungi atau tidak aman, menunda hubungan seksual dan

cara penggunaan kontrasepsi, lingkungan, sosial dan media yang dapat

mempengaruhi perilaku remaja, mengembangkan rasa percaya diri termasuk

didalamnya keterampilan berkomunikasi, mencegah pelecehan seksual dan

pornografi yang berkaitan dengan perilaku seksual, keadilan gender dan

masalah kesehatan lainnya dan tanggung jawab remaja terhadap keluarga

(Wilopo, 2005).

Temuan dari beberapa penelitian menujukkan bahwa meningkatnya

aktifitas seksual pada remaja, tidak diiringi dengan meningkatnya pengetahuan


tentang kesehatan reproduksi/ seksual termasuk HIV/AIDS, penyakit menular

seksual dan alat-alat kontrasepsi (Suryoputro, 1996). Remaja yang berkualitas

dan sehat tentu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan kesehatan

reproduksi dirinya. Penelitian Guliamo-Ramos, dkk (2007) menyatakan bahwa

remaja dengan perilaku seksual beresiko dapat terkena penyakit kelamin,

termasuk HIV, yang tentu dapat merusak sistem dan kesehatan organ

reproduksi, terganggu kesehatan fisik, mental dan berinteraksi dengan

lingkungan, cenderung menarik diri, cemas, merasa dirinya tidak berharga

sehingga memunculkan rasa rendah diri, merasa dirinya pantas menjadi obyek

seksual dan depresi. Pemahaman kesehatan reproduksi secara tepat dapat

meningkatkan kualitas kesehatan mental dan mengurangi perilaku seksual

beresiko.

2.1.7 Remaja Tunarungudan Kesehatan Reproduksi

Remaja tunarungu merupakan remaja yang mengalami hambatan dalam

pendengaran baik sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan

keterbatasan terhadap komunikasi, tetapi dalam hal pertumbuhan dan

perkembangan tidak berbeda dengan remaja normal pada umumnya.

Soetjiningsih (2002) mengatakan bahwa secara biologis tidak terjadi gangguan

tumbuh kembang yang berhubungan dengan sistem dan fungsi reproduksi sama

antara remaja dengan keterbatasan mendengar dan berbicara dengan remaja

normal pada umummnya, sehingga ketertarikan terhadap lawan jenis juga

dialami oleh remaja tunarungu, dimana remaja tunarung wicara juga memiliki

perilaku seksual aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang

dipengaruhi hormon. Remaja tunarungu juga sama seperti remaja normal yang
dapat bergaul dengan teman sebaya baik sesama tunarunggu ataupun dengan

remaja normal. Dengan melihat pertimbangan inilah maka pendidikan tentang

kesehatan reproduksi yang tepat untuk remaja tunarungudan sesuai dengan

kebutuan mereka sangat diperlukan sehingga dapat bermanfaat bagi

perkembagan kemandirian hidup bagi mereka.

2.1.8 Teori Kebutuhan

Kebutuhan merupakansalah satu aspek psikologis yang menggerakkan

mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) bagi

setiap individu untuk berusaha. Maslow (1984) menyatakan bahwa perilaku

manusia karena adanya kebutuhan, tingkat kebutuhan hidup manusia ada lima

dimana manusia akan selalu berusaha untuk dapat memenuhinya sepanjang

masa hidupnya. Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak

hingga yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah

dipenuhi.Herarki Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan manusia dimulai dari

kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang,

kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.

BKKBN (2004) menyatakan bahwa remaja sebagai seorang individu

memiliki berbagai kebutuhan dimana kebutuhan tersebut dikelompokkan

menjadi yaitu.

a). Kebutuhan Biologis, kebutuhan biologi sering juga disebut

“physiological drive” atau “biological motivation”. Kebutuhan atau

motif ialah segala alasan yang mendorong mahluk hidup untuk

bertingkah laku atau mencapai sesuatu yang diinginkan atau dituju.


Kebutuhan biologi ialah kebutuhan yang berasal dari dorongan-dorongan

biologis. Kebutuhan ini sudah dibawa sejak lahir, jadi tanpa dipelajari,

kebutuhan biologi bersifat universal dan dimiliki oleh setiap individu baik

manusia ataupun hewan. Kebutuhan biologis dapat berupa kebutuhan

minum, makan, bernafas, dan beristirahat. Selain itu dorongan seks

bertujuan untuk mengembangkan jenis keturunan. Remaja pada

umumnya memiliki dorongan seks lebih menonjol, sehingga akan

mempengaruhi tingkah lakunya, misalnya terlihat pada remaja perempuan

suka berdandan, tertarik pada remaja laki-laki dan begitu juga remaja

laki-laki terlihat tertarik pada remaja perempuan, dan ingin mengetahui

masalah hubungan seks, dan lain-lain. Hal ini berdampak pada masalah

seksual yang menjurus pada perilaku negatif seperti melakukan perbuatan

asusila, seks pranikah sehingga dapat tertular penyakit menular seksual

dan bahwan HIV/AIDS.

b). Kebutuhan Psikologis, kebutuhan psikologis adalah segala bentuk

dorongan kejiwaan yang bersifat psikologis dan menyebabkan orang

berindak mencapai tujuannya. Kebutuhan ini bersifat individual, sehingga

akan berbeda antar individu. Penelitian mengenai kebutuhan layanan

kesehatan reproduksi di 12 kota di Indonesia pada tahun 1993,

menunjukkan bahwa pemahaman mereka akan seksualitas sangat

terbatas.

Pada penelitian ini kebutuhan kesehatan reproduksi merupakan kebutuhan

yang dimiliki oleh setiap individu, kebutuhan tersebut dapat berupa akses

informasi dan pelayanan tentang kesehatan reproduksi untuk pemenuhan


kebutuhan kesehatan reproduksi bagi individu itu sendiri. Akses informasi

dapat berupa media yang digunakan, metode penyampaian informasi, cara

mendapatkan informasi tersebut. Sedangkan pelayanan kesehatan reproduksi

adalah salah satu bentuk layanan khusus bagi remaja tunarungu.

2.2 Konsep Penelitian

Konsep penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kosep

remaja tunarungu, kesehatan reproduksi remaja, dan konsep pendidikan

kesehatan reproduksi. Berbagai uraian mengenai konsep penelitian dapat

dilihat seperti dibawah ini.

2.2.1 Remaja Tunarungu

Remaja tunarungu adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam

mendengar dan berbicara, sehingga mereka berkomunikasi dengan menafsirkan

apa yang dilihatnya, dikatakan remaja jika mereka berusia 13-22 tahun. Karena

keterbatasan mereka dalam bahasa, remaja tunarungu mengalami kesulitan

dalam menafsirkan kata-kata yang masih asing baginya. Namun tidak menutup

kemungkinan bahwa remaja tunarungu juga dapat bergaul dengan remaja

normal.

Remaja tunarungu pada penelitian ini adalah siswa SMPLB dan SMALB

di SLB B Negeri Singaraja dengan usia rata-rata 13-22 tahun.

2.2.2 Kesehatan Reproduksi Remaja

Dalam kesehatan reproduksi salah satu fokus utama adalah kesehatan

reproduksi remaja, karena remaja merupakan masa yang sangat rentan terhadap
segala jenis masalah yang dapat merusak masa depan generasi penerus,

sehingga salah satu fokus dalam kesehatan reproduksi adalah bagaimana

membuat remaja mengetahui tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam

masa remaja sampai dewasa yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi

dengan baik dan benar dari sumber yang benar dan terpercaya.Dalam penelitian

ini konsep kesehatan reproduksi remaja adalah mengenai pengetahuan,

pengenalan dan kebersihan organ reproduksi, penyakit menular seksual

(HIV/AIDS) dan kekerasan dan pelecehan seksual.

2.2.3 Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Pada konsep pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa tunarunguyaitu

mengenai materi, metode dan media pendidikan/pembelajaran kesehatan

reproduksi.Hal ini sangat pentingdalam proses penyampaian informasi terkait

kesehatan reproduksi bagi remaja tunarungu, hal penting lainnya adalah siapa

yang diharapkan oleh siswa untuk memberikan pendidikan kesehatan

reproduksi itu sendiri, karena pendidikan kesehatan reproduksi merupakan isu

yang sangat sensitif dikalangan remaja yang memiliki keterbatasan seperti

remaja tunarungu. Materi pendidikan/pembelajaran adalah bahan yang akan

diajarkan kepada siswa yang pemeilihannya telah disesuaikan dengan

kemampuan yang ada pada siswa. Bahan ajar adalah seperangkat materi yang

disusun secara sistematis baik tertulis amupun tidak tertulis sehingga tercipta

lingkungan/ suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar

(Susilawati, 2016). Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip dan prosedur

yang relevan dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan

indikator pencapaian kompetensi. Metode Pendidikan/pembelajaran adalah


suatu cara yang dipakai oleh seorang guu untuk menyampaikan materi

pelajaran. Susilawati (2016) menyatakan metode pembelajaran adalah cara-

cara yang digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar yang disesuaikan

dengan materi pembelajaran, sehingga memudahkan siswa mencapai tujuan

pembelajaran. Metode yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran dalam

bidang pendidikan kesehatan adalah ceramah, demontrasi, studi kasus, bermain

peran, diskusi, simulasi, metode anatomi dan lain-lain. Media

pendidikan/pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang

pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sehingga terjadi proses belajar.

Media pembelajaran adalah sarana atau alat bantu pendidikan yang dapat

digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi

efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pengajaran (Susilawati, 2016).

Untuk mendukung keberhasilan pencapaian tujuan, maka harus dilibatkan

seluruh pancaindera dari mulai audio, visual, audiovisual, dan multimedia.

Menyiapkan alat bantu sesuai topik yang akan disampaikan, seperti alat peraga,

kliping koran, contoh kasus dan lain-lain, sehingga dapat membangkitkan

motivasidan minat siswa dalam belajar khususnya untuk anak berkebutuhan

khusus. Selain itu juga agar siswa dapat lebih mudah memahami materi yang

dijelaskan oleh guru.


2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Precede- Proceed

Pada penelitian ini peneliti mengacu pada teori precede-proceed sebagai

framework dalam analisa kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi pada

remaja tunarungu. Teori ini digunakan karena dapat memberikan gambaran

yang cukup lengkap dan terpadu untuk melihat dan mengukur kualitas hidup

serta masalah-masalah kesehatan, dan juga dapat digunakan untuk merancang,

melaksanakan, dan mengevaluasi program promosi kesehatan dan kesehatan

masyarakat lainnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dalam hal ini

adalah kebutuhan kesehatan reproduksi pada remaja tunarungu di SLB B

Negeri Singaraja.

Menurut Teori Precede-Proceed yang dikemukakan oleh Green (1980),

ada dua faktor yang dapat digunakan dalam membedakan masalah kesehatan

adalah yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku, dimana faktor perilaku

mempunyai tujuan untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku pada setiap

individu. Dalam hal ini Green membagi faktor perilaku menjadi tiga utama

yaitu faktor predisposisi(predisposing), faktorpemungkin(enabling)dan faktor

penguat(reinforcing).

Faktor predisposisi(predisposing) merupakan faktor yang memotivasi

suatu perilaku atau mempermudah terjadinya perilaku pada seseorang, yang

termasuk dalam faktor predisposisi ini adalah pengetahuan, status reproduksi,

harapan, motivasi dan persepsi serta faktor demografi dari remaja

tunarungu.Faktor pemungkin(enabling) merupakan faktor kelanjutan dari


faktor predisposisi, dimana faktor ini menjadi motivasi untuk terjadinya

perubahan perilaku. Fasilitas, akses, media informasi dan biaya pelayanan

kesehatan reproduksi dapat menjadi faktor pemungkin untuk setiap individu

untuk dapat berperilaku. Faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor

pemungkin yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku, karena lingkungan

dapat memfasilitasi tindakan seseorang dalam mencari informasi kesehatan.

Faktor penguat (reinforcing) yaitu faktor yang dapat memperkuat perilaku

ataupun perubahan perilaku, dapat berupa regulasi, dukungan sosial dari orang

terdekat sehingga dapat memperkuat perilaku seseorang. Dengan adanya

dukungan dari pihak terdekat ditambah dengan regulasi maka akan mendorong

kearah perubahan perilaku. Pada remaja tunarunguuntuk faktor penguat

kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi dapat berupa dukungan orang tua

dan guru disekolah yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan

kesehatan reproduksi remaja.


2.4 MODEL PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian yakni mengidentifikasi kebutuhan kesehatan

reproduksi bagi siswa tunarungu di SLB B Negeri Singaraja dan mengacu pada

teori yang telah disusun maka model dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

PREDISPOSISI

- Pengetahuan
- Motivasi
- Harapan
- Sikap

Kebutuhan
PEMUNGKIN PendidikanKesehata
n Reproduksi Siswa
- Sarana /
prasarana Tunarungu
- Akses Informasi

PENGUAT

- Dukungan
sekolah
- Peran Keluarga
- Peran Guru

Gambar 2.1

Model Penelitian Identifikasi Kebutuhan Pendidikan Kesehatan


Reproduksi pada Siswa Tunarungu

Dari gambar 2.1 peneliti ingin menggali lebih mendalam tentang

kebutuhan pendidikan kesehatan reproduksi pada siswatunarungu di SLB B

Negeri Singaraja, dimana untuk faktor predisposisi peneliti akan

mengidentifikasi dari pengetahuan, status reproduksi, harapan, dan motivasi

dari siswa tunarungu terkait kebutuhan kesehatan reproduksi. Untuk faktor

pemungkin peneliti ingin mengetahui kebutuhan remaja tunarungu terkait

kesehatan reproduksi berdasarkan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber


informasi yang dibutuhkan remaja tunarungu. sedangkan untuk faktor penguat

peneliti ingin mengetahui terkait dukungan yang diberikan oleh sekolah,

keluarga, maupun teman sebaya baik yang normal maupun yang sesama

tunarungu.

Anda mungkin juga menyukai