Anda di halaman 1dari 18

Pengertian dan Klasifikasi, Penyebab serta Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu

Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang
mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan
pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi
bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik
dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah
orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan
menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses
informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain.

Ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai


berikut.

Tunarungu Ringan (Mild Hearing Loss)

Tunarungu Sedang (Moderate Hearing Loss).

Tunarungu Agak Berat (Moderately Severe Hearing Loss)

Tunarungu Berat (Severe Hearing Loss)

Tunarungu Berat Sekali (Profound Hearing Loss)

Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Ketunarunguan Prabahasa (Prelingual Deafness)

Ketunarunguan Pasca Bahasa (Post Lingual Deafness)

Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat di-


klasifikasikan sebagai berikut.

Tunarungu Tipe Konduktif


Tunarungu Tipe Sensorineural

Tunarungu Tipe Campuran

Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut.

Tunarungu Endogen

Tunarungu Eksogen

Penyebab Terjadinya Tunarungu

Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif:

Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh:

tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan

terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).

Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain oleh
hal-hal berikut:

Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh
tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.

Terjadinya peradangan/inpeksi pada telinga tengah (otitis media).

Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes.

Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran
timpani) dan tulang pendengaran.

Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran yang
dibawa sejak lahir.
Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan rongga
mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.

Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural

Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan),

Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain:

Rubena (Campak Jerman)

Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak.

Meningitis (radang selaput otak )

Trauma akustik

Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu

Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau
pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling
genetika.

Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan
memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak
meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus.

Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat penyedot
dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka kelahiran
harus melalui operasi caesar.

Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar serta
imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza yang
terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.

Kegiatan Belajar 2
Karakteristik Anak Tunarungu

Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik


Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu
cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan
cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya.

Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:

Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam
kemampuan berkomunikasi.

Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka
menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menye-suaikan diri,
serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan, harus selalu
dipenuhi.

Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada
orang lain serta kurang percaya diri.

Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau
pekerjaan tertentu.

Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.

Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena
sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami
pembicaraan orang lain.

Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai berikut.


Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian
dalam terganggu); gerak matanya lebih cepat; gerakan tangannya cepat/lincah; dan
pernafasannya pendek; sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama dengan orang
yang normal lainnya.

Kegiatan Belajar 3
Kebutuan Pendidikan dan Layanan Anak Tunarungu

Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk
mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan
layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada
anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum,
dan pedagogis.

Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan
khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak
mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk
mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi
dan irama.

Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu
dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem sgregasi merupakan
sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak
mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah
khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan
intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak
tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem
ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan
kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas
biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.

Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran
yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam
pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan
siswa tunarungu.

Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama dengan
siswa mendengar atau normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, serta
untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu, harus memperhatikan
prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan pedagogis. Sedangkan alat
evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat evaluasi umum yang digunakan
dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi khusus yang digunakan dalam pembelajaran
di kelas khusus dan ruang bimbingan khusus.
Anak tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti anak normal tetapi bukan
berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada. Kebanyakan anak tunarungu masih
memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada rendah. Anak tunarungu yang
masih mempunyai banyak sisa pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya
tetapi untuk anak tunarungu yang sisa pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-
bunyian lewat perasaan vibrasinya.

Anak tunarungu total pun masih mampu mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar
akan adanya bunyi dengan secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu
mengalami pengamatan bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam perkembangan jiwa
mereka, suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih utuh dan harmonis sehingga mereka
akan tumbuh menjadi manusia yang lebih normal.

Berkat kemajuan teknologi derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia
yang sangat dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi ketunarunguan saat bayi
masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak tunarungu dapat digolongkan
menurut sisa pendengaran yang masih ada.

Kemajuan teknologi juga ditandai dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang dari
tahun ketahun semakin sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan anak. Penemuan
ABM ini dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama dengan latihan yang teratur
dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran latihan mendengar dimasukkan dalam
program khusus untuk anak tunarungu yaitu Bina Bicara dan Bina persepsi gerak, bunyi dan
irama (BPGBI).

1.      Bina Bicara
Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis gangguan bicara yang dialami oleh anak atau
dari hasil asessment.

Keterlambatan dan gangguan dalam bicara bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi
suara yang “tidak normal” (sengau, serak), Sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau
menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk
bicara dan makan.

Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan satu kata
dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang
anak mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar
untuk menyatakan keinginannya.

Faktor utama yang mempengaruhi bicara seseorang ialah:

·         Dari dalam diri individu (internal) yaitu faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri
yang disebut juga faktor individual. Misalnya faktor kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan,
latihan, motivasi, dan faktor pribadi serta fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.

·         Dari luar individu (eksternal) atau faktor sosial. Faktor sosial antara lain, faktor
keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam
belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.

2.      Bina Persepsi Bunyi, Gerak, dan Irama (BPBGI)

a.       Pengertian

Bina Persepsi Gerak Bunyi dan Irama (BPGBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang
dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan
vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi
dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.

b.      Tujuan BPGBI
·         Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada
daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.

·         Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.

·         Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang
lebih luas.

·         Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.

·         Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik
sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.

Dalam hal kemampuan berbicara, BPGBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat


membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas.

c.       Sarana BPGBI

Pelaksanaan program BPGBI perlu didukung sarana yang memadai pula agar hasil yang dicapai
dapat maksimal, sarana BPGBI mencakup :

·         Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan
pengantar bunyi (sistem looping).

·         Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.

·         Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.

·         Tenaga khusus pelaksana BPGBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain


memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang
musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.

d.      Materi BPGBI
Materi pokok yang telah dituangkan dalam kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara lain
adalah:

·         bunyi-bunyi latar belakang

·         sifat bunyi

ü  ada tidak ada bunyi

ü  panjang pendek bunyi

ü  keras lembut

ü  cepat lambat

ü  tinggi rendah

·         sumber bunyi

·         bunyi yang dapat dihitung

·         arah bunyi

·         macam-macam gerak dasar

·         macam-macam gerak berirama

·         lambang-lambang sifat bunyi

·         lambang-lambang titik nada dalam notasi musik

·         tanda-tanda notasi musik

·         pengenalan macm-macam alt musik

·         cara memainkan macam-macam alat musik

·         notasi musik

·         persepsi bunyi bahasa

e.       Evaluasi BPGBI
Dalam menilai keberhasilan BPGBI hendaknya jangan tergesa-gesa. Biarkan kesadraan anak
berkembang sedikit demi sedikit, pengalaman dan penghayatan  bunyi yang ditemukan sendiri
akan menumbuhkan kesadaran yang mendasari keterampilannya memanfaatkan sisa
pendengarannya secara aktif.

Tidak mudah untuk menentukan seberapa jauh latihan-latihan BPGBI telah mencapai
sasarannya. Dr. A. Van Uden mengatakan kalau seorang anak tunarungu merasa senang
menggunakan ABM  nya secara terus menerus dan tanpa ada orang yang menyuruh, hal ini
berarti bahwa BPGBI telah mencapai sasarannya atau anak itu telah menikmati dunia bunyi,
tanpa ABMnya ia akan merasa kehilangan kebersamaannya dengan dunia sekelilingnya.
Keberhasilan BPGBI untuk setiap anak bergantung pada factor berikut:

o   derajat sisa pendengaran anak

o   intelegensi anak

o   metode dan pendekatan

o   kualifikasi guru latihan BPGBI

Aspek yang dapat dievaluasi dalam kegiatan BPGBI adalah:

No. Aspek yang dievaluasi Penilaian

1. Minat

minat terhadap bunyi latar belakang

minat terhadap latihan bina persepsi bunyi dan irama

minat terhadap penggunaan alat bantu dengar

2. Persepsi bunyi dan irama

membedakan ada dan tak ada bunyi

mengenal sumber bunyi

menghitung bunyi
membedakan sumber bunyi

membedakan bunyi panjang-pendek

membedakan bunyi keras-lembut

membedakan bunyi tinggi-rendah

membedakan bunyi cepat-lambat

mengetahui arah bunyi

mengikuti irama

memainkan alat musik

ekspresi gerakan

3. Persepsi bunyi bahasa

membedakan ada dan tak ada suara

membedakan panjang-pendek suara

memnbedakan keras-lembut suara

mengetahui arah suara

BAB II

METODE PENGAJARAN BAHASA

BAGI ANAK TUNARUNGU


Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran,
melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara
tersebut.

1.      Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan
bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger,
1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian
belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak
sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat
menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur
bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi”
itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang
lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu
tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus
bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat
diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat
gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).

Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada


empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan
dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi
lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di
Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap
laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di
kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat
ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka
fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued
Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini
adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan
segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak
tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis
setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell,
1997).

2.      Belajar Bahasa Melalui Pendengaran

Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar
yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat
sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri
dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai
oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan
dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang
untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik
pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).

Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat
dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi
bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali
tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat
mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan
individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat
bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

3.      Belajar Bahasa secara Manual


Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau
bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat
yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi
manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada
tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa
isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

BAB III

KURIKULUM PEMBELAJARAN

BAGI ANAK TUNARUNGU

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi,
dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat
dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian
besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus
yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini
adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).

Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai
kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan
haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang
mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas
peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah
tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari
adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan
antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang
seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena
ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya
anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus
dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan
dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode
ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang
memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan
keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah
sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui
percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke
pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran
yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.

Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan
Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis
kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai
dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada
program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%.
Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut
berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi
lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:

1.      Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain
pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut
jaring, jala dan sebagainya;

2.      Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.

3.      Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan,


sablon, mengukir atau membatik.
Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan
Pengembangan; Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman
Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB,
SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk
mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin dan untuk mendapatkan
pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat bersaing di era global.
Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai dengan bakat dan
minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan khusus, dengan
komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.

DAFTAR PUSTAKA

Dari Armaini diambil pada tanggal 15 Mei 2011 dari http://armainieducati.wordpress.com/

Sadjaah Ejah dan Darjo Sukarja.1995.Bina Bicara, Persepsibunyi Dan


Irama.Bandung:Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Dari SLB YAPENAS diambil pada tanggal 21 Juni 2010 dari


http://slbyapenas.blogspot.com/2010/06/anak-tunarungu.html

Dari Fera diambil pada tanggal 06 Mei 2012 dari http://11-037fera.blogspot.com/2012/05/tugas-


slb-b-pendidikan-bagi-tunarungu.html

Dari Kurnaeni diambil pada bulan Agustus 2007 dari


http://11-037fera.blogspot.com/2012/05/tugas-slb-b-pendidikan-bagi-tunarungu.html
Pembelajaran tari bagi kita sebagai orang normal merupakan hal yang biasa. Namun,
pembelajaran tari bagi anak-anak yang menyandang tuna rungu menjadi suatu hal yang luar
biasa. Pembelajaran tari di SLB memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi apabila
dibandingkan dengan pembelajaran tari di sekolah-sekolah biasa. Hal ini disebabkan karena daya
dengar siswa yang kurang. Para siswa kurang maksimal dalam menangkap instruksi dari guru.
Walaupun memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, SLB Bagaskara dapat melaksanakan
pembelajaran tari dengan cukup efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembelajaran
seni tari pada SLB Bagaskara Sragen serta hambatan yang dialami dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar seni tari. Selain itu juga supaya anak senang dalam menerima pelajaran dan
dapat menumbuhkan minat si anak dalam bidang tari serta mengetahui kesulitan-kesulitan yang
diperoleh guru dalam mengajar seni tari. Manfaatnya anak dapat menambah pengalaman dalam
bidang kesenian khususnya seni tari, dan dapat melatih keberanian dan percaya diri melalui olah
gerak (tari). Subyek penelitian ini adalah anak tuna rungu SLB Bagaskara Sragen. Metode
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini
dilakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data. Alat dan
teknik pencatatan data pada penelitian ini adalah : catatan harian, wawancara, foto. Teknik
analisis data dalam penelitian ini adalah reduksi data, klasifikasi data, interpretasi data, penyajian
data, serta penarikan simpulan atau verifikasi. Hasil penelitian ialah deskripsi pembelajaran seni
tari pada SLB Bagaskara. Pembelajaran seni tari bagi anak cacat tuna rungu di SLB Bagaskara
Sragen meliputi tujuan, materi dan bahan, metode, media, dan evaluasi. Beberapa kesulitan yang
dialami dalam pembelajaran tari ialah (a) siswa tidak memperhatikan pelajaran karena daya
dengar siswa yang kurang, (b) para siswa juga tidak mempunyai bakat menari sehingga mereka
kurang berminat untuk belajar tari, (c) jumlah siswa yang mengikuti tari tidak tetap, serta (d)
media pembelajaran yang ada hanyalah tape recorder, di SLB Bagaskara tidak tersedia VCD
player. Selain itu, ruang yang digunakan untuk pembelajaran tari adalah ruang serba guna yang
juga digunakan untuk belajar sablon dan tenis meja. Saran-saran yang dapat penulis kemukakan
ialah (a) penggunaan metode dalam pembelajaran di SLB Bagaskara pada khususnya dan di SLB
yang lain pada umumnya ini hendaknya lebih mengefektifkan metode demonstrasi, metode
latihan dan metode tugas, (b) jumlah siswa yang mengikuti tari hendaknya ditetapkan, (c) sarana
dan prasarana di SLB Bagaskara hendaknya dapat ditambah, serta (d) guru dapat meningkatkan
minat siswa dengan cara memperlihatkan CD tari pada saat pembelajaran. Sehingga
pembelajaran tari tidak hanya cukup dengan menggunakan tape recorder saja.

Anda mungkin juga menyukai