Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang
mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan
pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi
bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik
dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah
orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan
menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses
informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain.
Tunarungu Endogen
Tunarungu Eksogen
Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh:
tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan
Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain oleh
hal-hal berikut:
Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh
tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran
timpani) dan tulang pendengaran.
Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran yang
dibawa sejak lahir.
Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan rongga
mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.
Trauma akustik
Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau
pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling
genetika.
Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan
memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak
meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus.
Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat penyedot
dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka kelahiran
harus melalui operasi caesar.
Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar serta
imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza yang
terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.
Kegiatan Belajar 2
Karakteristik Anak Tunarungu
Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam
kemampuan berkomunikasi.
Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka
menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menye-suaikan diri,
serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan, harus selalu
dipenuhi.
Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada
orang lain serta kurang percaya diri.
Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau
pekerjaan tertentu.
Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena
sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami
pembicaraan orang lain.
Kegiatan Belajar 3
Kebutuan Pendidikan dan Layanan Anak Tunarungu
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk
mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan
layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada
anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum,
dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan
khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak
mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk
mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi
dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu
dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem sgregasi merupakan
sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak
mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah
khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan
intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak
tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem
ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan
kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas
biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran
yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam
pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan
siswa tunarungu.
Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama dengan
siswa mendengar atau normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, serta
untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu, harus memperhatikan
prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan pedagogis. Sedangkan alat
evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat evaluasi umum yang digunakan
dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi khusus yang digunakan dalam pembelajaran
di kelas khusus dan ruang bimbingan khusus.
Anak tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti anak normal tetapi bukan
berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada. Kebanyakan anak tunarungu masih
memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada rendah. Anak tunarungu yang
masih mempunyai banyak sisa pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya
tetapi untuk anak tunarungu yang sisa pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-
bunyian lewat perasaan vibrasinya.
Anak tunarungu total pun masih mampu mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar
akan adanya bunyi dengan secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu
mengalami pengamatan bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam perkembangan jiwa
mereka, suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih utuh dan harmonis sehingga mereka
akan tumbuh menjadi manusia yang lebih normal.
Berkat kemajuan teknologi derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia
yang sangat dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi ketunarunguan saat bayi
masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak tunarungu dapat digolongkan
menurut sisa pendengaran yang masih ada.
Kemajuan teknologi juga ditandai dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang dari
tahun ketahun semakin sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan anak. Penemuan
ABM ini dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama dengan latihan yang teratur
dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran latihan mendengar dimasukkan dalam
program khusus untuk anak tunarungu yaitu Bina Bicara dan Bina persepsi gerak, bunyi dan
irama (BPGBI).
1. Bina Bicara
Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis gangguan bicara yang dialami oleh anak atau
dari hasil asessment.
Keterlambatan dan gangguan dalam bicara bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi
suara yang “tidak normal” (sengau, serak), Sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau
menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk
bicara dan makan.
Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan satu kata
dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang
anak mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar
untuk menyatakan keinginannya.
· Dari dalam diri individu (internal) yaitu faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri
yang disebut juga faktor individual. Misalnya faktor kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan,
latihan, motivasi, dan faktor pribadi serta fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.
· Dari luar individu (eksternal) atau faktor sosial. Faktor sosial antara lain, faktor
keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam
belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.
a. Pengertian
Bina Persepsi Gerak Bunyi dan Irama (BPGBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang
dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan
vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi
dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.
b. Tujuan BPGBI
· Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada
daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
· Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang
lebih luas.
· Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik
sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
c. Sarana BPGBI
Pelaksanaan program BPGBI perlu didukung sarana yang memadai pula agar hasil yang dicapai
dapat maksimal, sarana BPGBI mencakup :
· Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan
pengantar bunyi (sistem looping).
d. Materi BPGBI
Materi pokok yang telah dituangkan dalam kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara lain
adalah:
· sifat bunyi
ü keras lembut
ü cepat lambat
ü tinggi rendah
· sumber bunyi
· arah bunyi
· notasi musik
e. Evaluasi BPGBI
Dalam menilai keberhasilan BPGBI hendaknya jangan tergesa-gesa. Biarkan kesadraan anak
berkembang sedikit demi sedikit, pengalaman dan penghayatan bunyi yang ditemukan sendiri
akan menumbuhkan kesadaran yang mendasari keterampilannya memanfaatkan sisa
pendengarannya secara aktif.
Tidak mudah untuk menentukan seberapa jauh latihan-latihan BPGBI telah mencapai
sasarannya. Dr. A. Van Uden mengatakan kalau seorang anak tunarungu merasa senang
menggunakan ABM nya secara terus menerus dan tanpa ada orang yang menyuruh, hal ini
berarti bahwa BPGBI telah mencapai sasarannya atau anak itu telah menikmati dunia bunyi,
tanpa ABMnya ia akan merasa kehilangan kebersamaannya dengan dunia sekelilingnya.
Keberhasilan BPGBI untuk setiap anak bergantung pada factor berikut:
o intelegensi anak
1. Minat
menghitung bunyi
membedakan sumber bunyi
mengikuti irama
ekspresi gerakan
BAB II
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan
bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger,
1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian
belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak
sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat
menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur
bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi”
itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang
lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu
tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus
bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat
diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat
gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar
yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat
sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri
dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai
oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan
dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang
untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik
pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat
dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi
bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali
tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat
mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan
individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat
bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
BAB III
KURIKULUM PEMBELAJARAN
Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi,
dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat
dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian
besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus
yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini
adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai
kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan
haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang
mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas
peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah
tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari
adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan
antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang
seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena
ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya
anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus
dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan
dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode
ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang
memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan
keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah
sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui
percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke
pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran
yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan
Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis
kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai
dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada
program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%.
Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut
berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi
lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain
pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut
jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA