Menurut Delphie (2006:103) Anak Tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Anak Tunarungu mengalami gangguan komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan dengan orang normal mengalami hambatan. Selain itu mereka memiliki sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, cepat marah dan mudah tersinggung. Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan anak normal lainnya (Fatma, 2013).
Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak
dapat mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dapat dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat (Atmaja, 2017).
Definisi
“Deafness” atau Ketulian berarti gangguan pendengaran yang sangat
parah sehingga anak mengalami gangguan pendengaran memproses informasi linguistik melalui pendengaran, dengan atau tanpa amplifikasi, [dan] yang berdampak buruk pada kinerja pendidikan anak (IDEA, 2004).
“Hearing Loss” atau Gangguan Pendengaran berarti kehilangan
pendengaran, baik permanen maupun berfluktuasi, yang secara negatif mempengaruhi kinerja pendidikan anak tetapi tidak termasuk dalam definisi ketulian dalam IDEA (IDEA, 2004).
II. Penyebab Terjadinya Anak Tunarungu
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal), ketika lahir (natal), dan sesudah lahir (postnatal). Banyak para ahli mengungkap tentang penyebab ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan pandangan yang berbeda dalam penjabarannya. Menurut para ahli ada enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika Serikat, adalah sebagai berikut. 1. keturunan; 2. campak Jerman dari pihak ibu; 3. komplikasi selama kehamilan dan kelahiran; 4. radang selaput otak (meningitis); 5. otitis media (radang pada bagian telinga tengah); 6. penyakit anak-anak, radang dan luka-luka. Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya 60% penyebab dari kasus-kasus ketunarunguan pada masa anak-anak. Meskipun sudah banyak alat-alat diagnosis yang canggih, alat-alat tersebut masih belum dapat menentukan penyebab ketunarunguan yang 40% lagi. Dan ternyata campak Jerman dari pihak ibu, keturunan komplikasi selama kehamilan, dan kelahiran adalah penyebab yang lebih banyak. Untuk lebih jelasnya faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1. Faktor dalam Diri Anak a. Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tuanya yang mengalami ketunarunguan. b. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (rubella). c. Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia. 2. Faktor luar Diri Anak a. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misalnya, anak terserang Herpes simplex. b. Meningitis atau radang selaput otak. c. Otitis Media (radang telinga bagian tengah). d. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
III. Klasifikasi Anak Tunarungu
Klasifikasi Tunarungu berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang biasanya ditunjukkan dengan satuan desibel (DB) klasifikasi dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu Atmajaya (2017: 66-67): 1. Tunarungu Sangat Ringan (27 - 40 DB) Dimana anak mampu mendegar suara dalam jarak yang dekat. Dalam proses belajar mengajar disekolah, kesulitan ini masih bisa diatasi dengan menempatkan anak pada posisi strategis. 2. Tunarungu Ringan (42 - 55 DB) Dimana anak mampu mengerti percakapan dalam jarak 3 kaki dan harus dalam keadaan berhadap-hadapan. Anak dalam kondisi ini sudah tidak dapat memahami percakapan dalam bentuk diskusi dan biasanya sudah membutuhkan alat bantu dnegar dan terapi wicara. 3. Tunarungu Sedang (50 - 76 DB) Dimana anak sudah membutuhkan bantuan alat bantu dengar sepanjang waktu. Anak tunarungu pada kodisi tersebut masih dapat belajar berbicara dengan mengandalkan bantuan pendengaran. 4. Tunarungu Berat (71 - 90 DB) Pada tingkatan ini anak sudah tidak dapat belajar berkomunikasi tanpa ada teknik-teknik khusus dan secara eduktif anak dalam tingkatan ini sudah dianggap tuli. Kebutuhan untuk belajar Bahasa isyarat juga sudah mulai mengemuka pada tingkatan kondisi tersebut. 5. Tunarungu Sangat Berat (>90 DB) Pada tingkatan ini cenderung untuk mengenali suara melalui getarannya daripada pola suaranya jika dilihat berdasarkan terjadinya dibedakan kedalam dua kondisi yaitu kondisi tunarungu prabahasa kodisi tunarungu yang terjadi sebelum seseorang belajar dan mengembangkan bahasanya dan pascabahasa ketika seseorang kehilangan pendengarannya setelah belajar atau mempunyai konsep berbahasa.
IV. Karakteristik Anak Tunarungu
Haenudin (2013:66) mengungkapkan bahwa tunarungu memiliki karakteristik khas dari segi intelegensi, Bahasa bicara serta emosi dan sosialnya: 1. Karakteristik dalam segi intelegensi Tunarungu memiliki tingkat itelegensi yang normal dan potensi yang tidak jauh berbeda dengan anak seusianya. Meskipun begitu, kemampuan tunarungu masih berada dibawah kemampuan anak normal secara fungsional. Kondisi ini merupakan pengaruh dari hilangnya fungsi pendengaran yang dialami. Sunardi (2007:156) mengungkapkan bahwa ketunarunguan yang dialami anak menghambat proses pencapaian pengetahuan yang luas. Kehilangan fungsi pendengaran pada memunculkan kesulitan anak dalam memproses bahasa, keterbatasan dalam pemerolehan informasi, dan lemahnya daya abstraksi anak sehingga prestasi anak terutama yang berkaitan dengan informasi yang bersifat verbal cenderung rendah. 2. Karakteristik dalam segi Bahasa dan bicara Kemampuan bahasa dan bicara tunarungu tergolong rendah. Rendahnya kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan mendengar yang dimiliki tunarungu. Atmaja (2017:69) menjelaskan bahwa karakteristik yang menonjol dari tunarungu adalah keterbatasan kosakata yang menyebabkan tunarungu kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan dengan kemampuan mendengar, sedangkan pada tunarungu perkembangan ini berhenti setelah masa meraban. Hal ini menjadikan tunarungu memaksimalkan kemampuan penglihatannya yang terbatas pada visual berupa gerak dan isyarat. Gangguan pendengaran yang dialami tunarungu menjadi faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan bahasanya (Sobreia, 2015:308). Sejatinya bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi, sehingga hambatan pada kemampuan tersebut berpengaruh pada kemampuan komunikasi. Suparno (2001:14) menyebutkan bahwa karakteristik bahasa dan bicaranya tunarungu yaitu memiliki kosakata yang terbatas, kesulitan memahami bahasa yang bersifat abstrak dan kompleks, serta tidak menguasai irama dan gaya bahasa karena kurangnya pengalaman. 3. Karakteristik dalam segi emosi dan sosial Komunikasi tunarungu terbatas karena hambatan yang dialaminya sehingga menjadikannya kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Komunikasi sangat penting untuk menjadi anggota masyarakat, anak-anak yang memiliki kelainan bicara dan/atau bahasa mengalami kesulitan dalam berinteraksi sehingga berdampak pada kehidupannya. Selain itu, ketunarunguan yang dialami anak sering memunculkan rasa terasing bagi anak dalam pergaulan sehari-hari dilingkungan sosial. Rasa asing ini muncul karena tunarungu dapat melihat hal disekitarnya namun tidak dapat mengerti situasi yang sedang terjadi. Hal inilah yang selanjutnya memunculkan rasa curiga, ketidakstabilan emosi, dan kurangnya rasa percaya diri pada individu tunarungu. Permasalahan yang dialami tunarungu menghambat perkembangan kepribadiannya menuju proses kedewasaan sehingga sering memunculkan perilaku dan sifat negatif.
V. Prinsip Khusus Pembelajaran Anak Tunarungu
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan agar peserta didik dapat mencapai capaian pembelajaran. Capaian pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien jika guru memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Secara umum, prinsip pembelajaran di kelas inklusif sama dengan prinsip pembelajaran yang berlaku bagi siswa reguler. Namun, karena di dalam kelas inklusif terdapat anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif harus menerapkan prinsip umum pembelajaran dan mengimplementasikan prinsip khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus. Menurut Sukadari (2019), prinsip khusus pembelajaran anak tunarungu/gangguan komunikasi adalah sebagai berikut: 1. Prinsip keterarahan wajah Anak tunarungu memiliki gangguan pendengaran sehingga membuatnya kurang mendengar atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali. Bagi yang sudah terlatih, anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Prinsip keterarahan wajah menuntut guru ketika memberi penjelasan agar menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru. Anak yang mengalami gangguan komunikasi karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna sehingga bicaranya sulit dipahami juga dapat melakukan pembelajaan face to face.
2. Prinsip keterarahan suara
Setiap suara/bunyi memiliki sumber suara/bunyinya. Melalui sisa pendengaran yang dimiliki, anak hendaknya dibiasakan mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi sehingga anak dapat merasakan adanya getaran suara. Pada proses pembelajaran, guru hendaknya berbicara dengan artikulasi yang jelas dan suara yang cukup keras sehingga arah suaranya dapat dikenali anak. Anak dengan gangguan komunikasi sebaiknya juga selalu berbicara menghadap ke arah lawan bicaranya agar suaranya terarah dan dapat dipahami oleh lawan bicaranya. 3. Prinsip Keperagaan Anak tunarungu yang memiliki hambatan pada indra pendengarannya cenderung lebih banyak menggunakan indra penglihatannya dalam belajar. Oleh karena itu, proses pembelajaran anak tunarungu sebaiknya menggunakan alat peraga atau visualisasi agar lebih mudah dipahami dan menarik perhatian anak.
VI. Kebutuhan Belajar Anak Tunarungu
Anak tunarungu membutuhkan teknologi dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan belajarnya (Heward dkk., 2017). Teknologi yang dapat digunakan oleh anak tunarungu adalah teknologi yang dapat memperkuat atau menyediakan suara meliputi alat bantu dengar (ABD) dan implan koklea. Teknologi dan dukungan yang dapat melengkapi atau mengganti suara antara lain juru bahasa isyarat; penerjemah speech-to-text; terjemahan pada televisi, video, dan film; dan text telephones (TTYs); teknologi komputer; dan perangkat peringatan (alerting devices).
VII. Pendekatan Pendidikan Anak Tunarungu
Selama bertahun-tahun, banyak filosofi, teori, dan metode serta materi khusus telah dikembangkan untuk mengajar anak-anak tunarungu. Sebagian besar dari pendekatan tersebut dipromosikan dengan antusias oleh pendukung mereka namun juga menerima kritikan dari orang lain. Selama lebih dari 100 tahun, masih terdapat perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu (Heward dkk., 2017). Sebagian besar program untuk siswa tunarungu menekankan salah satu dari tiga pendekatan: pendekatan lisan/oral, komunikasi total, atau pendekatan bilingual-bikultural (Estabrooks, 2006).
1. Pendekatan lisan/oral memandang bicara sebagai hal yang penting
jika siswa ingin berfungsi dalam dunia pendengaran; banyak penekanan diberikan pada amplifikasi; pelatihan mendengar; speech reading; penggunaan alat bantu teknologi; dan yang terpenting adalah berbicara. 2. Komunikasi total menggunakan modalitas secara keseluruhan dari spektrum bahasa, yaitu gerak-gerik (gestures), bahasa isyarat (sign language), berbicara, membaca ujaran, membaca, menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran. 3. Pada pendekatan dwi bahasa - bikultural, ketulian dipandang sebagai perbedaan budaya dan bahasa, bukan kecacatan, dan bahasa isyarat digunakan sebagai bahasa pengantar.
XI. Asesmen Anak Tunarungu
1. Asesmen Ketunarunguan ● Asesmen fungsi pendengaran
Suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan
informasi, data-data yang berkaitan dengan kemampuan pendengaran seseorang sehingga dapat membantu dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan masalah pendidikan.
● Asesmen psikologis
Tes untuk anak < 4 th
Form board terdiri dari FB 3, 4, 6, 8, 10, dan 12.
Form orang, besar dan kecil
Puzzle
Menara bundar, persegi, segi enam, dll.
Tes untuk anak > 4 th, terdiri dari :
Tes Hiskey Nebraska untuk anak tunarungu yang belum dapat
berkomunikasi secara verbal (batas usia 3;6-15;11)
Tes WISC (Weshler Intellegence Scale for Children) terdiri dari
verbal dan performance scale (untuk anak tuli hanya performance scale saja)
Tes WB (Weshler Belleve) juga terdiri dua bagian yaitu verbal
dan performance scale (batas usia 10; 0 th sampai dewasa).
Asesmen bahasa dan bicara (persepsi bunyi bahasa)
Asesmen yang dilakukan pada anak tunarungu bertujuan
untuk mengidentifikasi adanya gangguan atau hambatan terutama pada hal komunikasi ( bicara / bahasa ) dalam perkembangannya.
McCallum)- ini adalah kumpulan dari tugas-tugas khusus yang dikelola secara individual. Tugas-tugas ini dirancang untuk mengukur secara adil kecerdasan umum dan kemampuan kognitif anak-anak dan remaja dari usia 5-17 tahun yang mungkin dirugikan oleh muatan verbal dan bahasa tradisional pengukuran.
Skala Kecerdasan Wechsler untuk Anak-Anak –Edisi Keempat
(WISC-IV) – (David Wechsler) – instrumen klinis yang diberikan secara individual untuk menilai kemampuan intelektual anak usia 6 tahun sampai dengan 16 tahun 11 bulan.
Assesmen sensomotorik
Dalam menyusun instrumen asesmen perlu memperhatikan
beberapa komponen, yaitu: a. Membuat batasan atau definisi atau menetapkan perilaku yang akan diasesmen b. Menyusun kisi-kisi instrumen asesmen c. Mengembangkan butir-butir instrumen d. Menyusun lembar kerja siswa/LKS (adaptasi dari Soendari, Mulyati: 2015 : 17-18)
Pendidikan anak tunarungu merupakan proses yang kompleks.
Penempatan yang tepat, cara belajar terbaik bagi masing-masing anak (auditori, visual, atau manual), kurikulum, amplifikasi, dan keputusan tentang transisi dari satu lembaga layanan ke lembaga layanan lainnya yang diambil oleh keluarga, sekolah, dan individu, bergantung pada informasi yang dapat dipercaya. Informasi semacam ini hanya dapat diperoleh dari hasil asesmen yang baik yang memperhatikan kekuatan dan kebutuhan anak dalam bidang komunikasi, akademik, intelektual, medis, dan karakteristik audiologis anak, yang harus diterjemahkan oleh orang tua dan guru menjadi tujuan pembelajarannya. Bila perencanaan program pendidikan anak sehari-hari sudah didasarkan atas informasi hasil asesmen tersebut, maka asesmen itu sudah mencapai tujuan utamanya.
Tujuan asesmen anak tunarungu antara lain:
1. Menetapkan baseline level kinerja anak.
2. Menentukan penempatan yang tepat atau mengubah penempatan. 3. Mengukur kemajuan anak. 4. Merumuskan saran-saran untuk pemecahan masalah yang timbul, seperti masalah perilaku, kesulitan perhatian, atau lambatnya kemajuan anak. 5. Mengembangkan tujuan dan sasaran program yang sedang diimplementasikan.
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pengertian Anak Tunarungu Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama seka.docx