Anda di halaman 1dari 10

2023

KONSEP ANAK TUNARUNGU

I. Pengertian Anak Tunarungu


Menurut Delphie (2006:103) Anak Tunarungu adalah anak yang
memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga
mereka biasa disebut tunawicara. Anak Tunarungu mengalami
gangguan komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh atau
sebagian daya pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa
isyarat dalam berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan dengan orang
normal mengalami hambatan. Selain itu mereka memiliki sifat
ego-sentris yang melebihi anak normal, cepat marah dan mudah
tersinggung. Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan anak normal
lainnya (Fatma, 2013).

Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak


dapat mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dapat
dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali. Secara
fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak pada umumnya, sebab
orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada
saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau dengan suara
yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara
sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat (Atmaja, 2017).

Definisi

“Deafness” atau Ketulian berarti gangguan pendengaran yang sangat


parah sehingga anak mengalami gangguan pendengaran memproses
informasi linguistik melalui pendengaran, dengan atau tanpa
amplifikasi, [dan] yang berdampak buruk pada kinerja pendidikan anak
(IDEA, 2004).

“Hearing Loss” atau Gangguan Pendengaran berarti kehilangan


pendengaran, baik permanen maupun berfluktuasi, yang secara negatif
mempengaruhi kinerja pendidikan anak tetapi tidak termasuk dalam
definisi ketulian dalam IDEA (IDEA, 2004).

II. Penyebab Terjadinya Anak Tunarungu


Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum
lahir (prenatal), ketika lahir (natal), dan sesudah lahir (postnatal).
Banyak para ahli mengungkap tentang penyebab ketulian dan
ketunarunguan, tentu saja dengan pandangan yang berbeda dalam
penjabarannya. Menurut para ahli ada enam penyebab ketunarunguan
pada anak di Amerika Serikat, adalah sebagai berikut.
1. keturunan;
2. campak Jerman dari pihak ibu;
3. komplikasi selama kehamilan dan kelahiran;
4. radang selaput otak (meningitis);
5. otitis media (radang pada bagian telinga tengah);
6. penyakit anak-anak, radang dan luka-luka.
Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya 60% penyebab
dari kasus-kasus ketunarunguan pada masa anak-anak. Meskipun sudah
banyak alat-alat diagnosis yang canggih, alat-alat tersebut masih belum
dapat menentukan penyebab ketunarunguan yang 40% lagi. Dan
ternyata campak Jerman dari pihak ibu, keturunan komplikasi selama
kehamilan, dan kelahiran adalah penyebab yang lebih banyak. Untuk
lebih jelasnya faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
1. Faktor dalam Diri Anak
a. Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua
orang tuanya yang mengalami ketunarunguan.
b. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak
Jerman (rubella).
c. Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau
Toxaminia.
2. Faktor luar Diri Anak
a. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran.
Misalnya, anak terserang Herpes simplex.
b. Meningitis atau radang selaput otak.
c. Otitis Media (radang telinga bagian tengah).
d. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan
kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

III. Klasifikasi Anak Tunarungu


Klasifikasi Tunarungu berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran
yang biasanya ditunjukkan dengan satuan desibel (DB) klasifikasi dapat
dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu Atmajaya (2017: 66-67):
1. Tunarungu Sangat Ringan (27 - 40 DB)
Dimana anak mampu mendegar suara dalam jarak yang dekat.
Dalam proses belajar mengajar disekolah, kesulitan ini masih bisa
diatasi dengan menempatkan anak pada posisi strategis.
2. Tunarungu Ringan (42 - 55 DB)
Dimana anak mampu mengerti percakapan dalam jarak 3 kaki dan
harus dalam keadaan berhadap-hadapan. Anak dalam kondisi ini
sudah tidak dapat memahami percakapan dalam bentuk diskusi dan
biasanya sudah membutuhkan alat bantu dnegar dan terapi wicara.
3. Tunarungu Sedang (50 - 76 DB)
Dimana anak sudah membutuhkan bantuan alat bantu dengar
sepanjang waktu. Anak tunarungu pada kodisi tersebut masih dapat
belajar berbicara dengan mengandalkan bantuan pendengaran.
4. Tunarungu Berat (71 - 90 DB)
Pada tingkatan ini anak sudah tidak dapat belajar berkomunikasi
tanpa ada teknik-teknik khusus dan secara eduktif anak dalam
tingkatan ini sudah dianggap tuli. Kebutuhan untuk belajar Bahasa
isyarat juga sudah mulai mengemuka pada tingkatan kondisi
tersebut.
5. Tunarungu Sangat Berat (>90 DB)
Pada tingkatan ini cenderung untuk mengenali suara melalui
getarannya daripada pola suaranya jika dilihat berdasarkan
terjadinya dibedakan kedalam dua kondisi yaitu kondisi tunarungu
prabahasa kodisi tunarungu yang terjadi sebelum seseorang belajar
dan mengembangkan bahasanya dan pascabahasa ketika seseorang
kehilangan pendengarannya setelah belajar atau mempunyai
konsep berbahasa.

IV. Karakteristik Anak Tunarungu


Haenudin (2013:66) mengungkapkan bahwa tunarungu memiliki
karakteristik khas dari segi intelegensi, Bahasa bicara serta emosi dan
sosialnya:
1. Karakteristik dalam segi intelegensi
Tunarungu memiliki tingkat itelegensi yang normal dan potensi
yang tidak jauh berbeda dengan anak seusianya. Meskipun begitu,
kemampuan tunarungu masih berada dibawah kemampuan anak
normal secara fungsional. Kondisi ini merupakan pengaruh dari
hilangnya fungsi pendengaran yang dialami. Sunardi (2007:156)
mengungkapkan bahwa ketunarunguan yang dialami anak
menghambat proses pencapaian pengetahuan yang luas. Kehilangan
fungsi pendengaran pada memunculkan kesulitan anak dalam
memproses bahasa, keterbatasan dalam pemerolehan informasi,
dan lemahnya daya abstraksi anak sehingga prestasi anak terutama
yang berkaitan dengan informasi yang bersifat verbal cenderung
rendah.
2. Karakteristik dalam segi Bahasa dan bicara
Kemampuan bahasa dan bicara tunarungu tergolong rendah.
Rendahnya kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan
mendengar yang dimiliki tunarungu. Atmaja (2017:69) menjelaskan
bahwa karakteristik yang menonjol dari tunarungu adalah
keterbatasan kosakata yang menyebabkan tunarungu kesulitan
berkomunikasi dengan orang lain. Perkembangan bahasa dan
bicara berkaitan dengan kemampuan mendengar, sedangkan pada
tunarungu perkembangan ini berhenti setelah masa meraban. Hal
ini menjadikan tunarungu memaksimalkan kemampuan
penglihatannya yang terbatas pada visual berupa gerak dan isyarat.
Gangguan pendengaran yang dialami tunarungu menjadi faktor
yang secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan
bahasanya (Sobreia, 2015:308). Sejatinya bahasa merupakan alat
untuk berkomunikasi, sehingga hambatan pada kemampuan
tersebut berpengaruh pada kemampuan komunikasi. Suparno
(2001:14) menyebutkan bahwa karakteristik bahasa dan bicaranya
tunarungu yaitu memiliki kosakata yang terbatas, kesulitan
memahami bahasa yang bersifat abstrak dan kompleks, serta tidak
menguasai irama dan gaya bahasa karena kurangnya pengalaman.
3. Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
Komunikasi tunarungu terbatas karena hambatan yang dialaminya
sehingga menjadikannya kesulitan dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Komunikasi sangat penting untuk menjadi anggota
masyarakat, anak-anak yang memiliki kelainan bicara dan/atau
bahasa mengalami kesulitan dalam berinteraksi sehingga
berdampak pada kehidupannya. Selain itu, ketunarunguan yang
dialami anak sering memunculkan rasa terasing bagi anak dalam
pergaulan sehari-hari dilingkungan sosial. Rasa asing ini muncul
karena tunarungu dapat melihat hal disekitarnya namun tidak
dapat mengerti situasi yang sedang terjadi. Hal inilah yang
selanjutnya memunculkan rasa curiga, ketidakstabilan emosi, dan
kurangnya rasa percaya diri pada individu tunarungu.
Permasalahan yang dialami tunarungu menghambat perkembangan
kepribadiannya menuju proses kedewasaan sehingga sering
memunculkan perilaku dan sifat negatif.

V. Prinsip Khusus Pembelajaran Anak Tunarungu


Kegiatan pembelajaran dilaksanakan agar peserta didik dapat
mencapai capaian pembelajaran. Capaian pembelajaran dapat tercapai
secara efektif dan efisien jika guru memperhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran. Secara umum, prinsip pembelajaran di kelas inklusif
sama dengan prinsip pembelajaran yang berlaku bagi siswa reguler.
Namun, karena di dalam kelas inklusif terdapat anak berkebutuhan
khusus yang memiliki hambatan baik fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan/atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di
kelas inklusif harus menerapkan prinsip umum pembelajaran dan
mengimplementasikan prinsip khusus sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik anak berkebutuhan khusus. Menurut Sukadari (2019),
prinsip khusus pembelajaran anak tunarungu/gangguan komunikasi
adalah sebagai berikut:
1. Prinsip keterarahan wajah
Anak tunarungu memiliki gangguan pendengaran sehingga
membuatnya kurang mendengar atau bahkan tidak dapat
mendengar sama sekali. Bagi yang sudah terlatih, anak tunarungu
dapat berkomunikasi dengan cara melihat gerak bibir (lip reading)
lawan bicaranya. Prinsip keterarahan wajah menuntut guru ketika
memberi penjelasan agar menghadap ke anak (face to face) sehingga
anak dapat melihat gerak bibir guru. Anak yang mengalami
gangguan komunikasi karena organ bicaranya kurang berfungsi
sempurna sehingga bicaranya sulit dipahami juga dapat melakukan
pembelajaan face to face.

2. Prinsip keterarahan suara


Setiap suara/bunyi memiliki sumber suara/bunyinya. Melalui sisa
pendengaran yang dimiliki, anak hendaknya dibiasakan
mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber
suara/bunyi sehingga anak dapat merasakan adanya getaran suara.
Pada proses pembelajaran, guru hendaknya berbicara dengan
artikulasi yang jelas dan suara yang cukup keras sehingga arah
suaranya dapat dikenali anak. Anak dengan gangguan komunikasi
sebaiknya juga selalu berbicara menghadap ke arah lawan
bicaranya agar suaranya terarah dan dapat dipahami oleh lawan
bicaranya.
3. Prinsip Keperagaan
Anak tunarungu yang memiliki hambatan pada indra
pendengarannya cenderung lebih banyak menggunakan indra
penglihatannya dalam belajar. Oleh karena itu, proses pembelajaran
anak tunarungu sebaiknya menggunakan alat peraga atau
visualisasi agar lebih mudah dipahami dan menarik perhatian anak.

VI. Kebutuhan Belajar Anak Tunarungu


Anak tunarungu membutuhkan teknologi dan dukungan untuk
memenuhi kebutuhan belajarnya (Heward dkk., 2017). Teknologi yang
dapat digunakan oleh anak tunarungu adalah teknologi yang dapat
memperkuat atau menyediakan suara meliputi alat bantu dengar (ABD)
dan implan koklea. Teknologi dan dukungan yang dapat melengkapi
atau mengganti suara antara lain juru bahasa isyarat; penerjemah
speech-to-text; terjemahan pada televisi, video, dan film; dan text
telephones (TTYs); teknologi komputer; dan perangkat peringatan
(alerting devices).

VII. Pendekatan Pendidikan Anak Tunarungu


Selama bertahun-tahun, banyak filosofi, teori, dan metode serta
materi khusus telah dikembangkan untuk mengajar anak-anak
tunarungu. Sebagian besar dari pendekatan tersebut dipromosikan
dengan antusias oleh pendukung mereka namun juga menerima
kritikan dari orang lain. Selama lebih dari 100 tahun, masih terdapat
perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu
(Heward dkk., 2017). Sebagian besar program untuk siswa tunarungu
menekankan salah satu dari tiga pendekatan: pendekatan lisan/oral,
komunikasi total, atau pendekatan bilingual-bikultural (Estabrooks,
2006).

1. Pendekatan lisan/oral memandang bicara sebagai hal yang penting


jika siswa ingin berfungsi dalam dunia pendengaran; banyak
penekanan diberikan pada amplifikasi; pelatihan mendengar;
speech reading; penggunaan alat bantu teknologi; dan yang
terpenting adalah berbicara.
2. Komunikasi total menggunakan modalitas secara keseluruhan dari
spektrum bahasa, yaitu gerak-gerik (gestures), bahasa isyarat (sign
language), berbicara, membaca ujaran, membaca, menulis serta
pemanfaatan sisa pendengaran.
3. Pada pendekatan dwi bahasa - bikultural, ketulian dipandang
sebagai perbedaan budaya dan bahasa, bukan kecacatan, dan
bahasa isyarat digunakan sebagai bahasa pengantar.

XI. Asesmen Anak Tunarungu

1. Asesmen Ketunarunguan
● Asesmen fungsi pendengaran

Suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan


informasi, data-data yang berkaitan dengan kemampuan
pendengaran seseorang sehingga dapat membantu dalam
mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan masalah
pendidikan.

● Asesmen psikologis

Tes untuk anak < 4 th

Form board terdiri dari FB 3, 4, 6, 8, 10, dan 12.

Form orang, besar dan kecil

Puzzle

Menara bundar, persegi, segi enam, dll.


Tes untuk anak > 4 th, terdiri dari :

Tes Hiskey Nebraska untuk anak tunarungu yang belum dapat


berkomunikasi secara verbal (batas usia 3;6-15;11)

Tes WISC (Weshler Intellegence Scale for Children) terdiri dari


verbal dan performance scale (untuk anak tuli hanya
performance scale saja)

Tes WB (Weshler Belleve) juga terdiri dua bagian yaitu verbal


dan performance scale (batas usia 10; 0 th sampai dewasa).

Asesmen bahasa dan bicara (persepsi bunyi bahasa)

Asesmen yang dilakukan pada anak tunarungu bertujuan


untuk mengidentifikasi adanya gangguan atau hambatan
terutama pada hal komunikasi ( bicara / bahasa ) dalam
perkembangannya.

Asesmen fungsi kognitif dan perseptual

Tes Kecerdasan Nonverbal Universal (UNIT) – (Bracken &


McCallum)- ini adalah kumpulan dari tugas-tugas khusus yang
dikelola secara individual. Tugas-tugas ini dirancang untuk
mengukur secara adil kecerdasan umum dan kemampuan
kognitif anak-anak dan remaja dari usia 5-17 tahun yang
mungkin dirugikan oleh muatan verbal dan bahasa tradisional
pengukuran.

Skala Kecerdasan Wechsler untuk Anak-Anak –Edisi Keempat


(WISC-IV) – (David Wechsler) – instrumen klinis yang diberikan
secara individual untuk menilai kemampuan intelektual anak
usia 6 tahun sampai dengan 16 tahun 11 bulan.

Assesmen sensomotorik

Dalam menyusun instrumen asesmen perlu memperhatikan


beberapa komponen, yaitu: a. Membuat batasan atau definisi
atau menetapkan perilaku yang akan diasesmen b. Menyusun
kisi-kisi instrumen asesmen c. Mengembangkan butir-butir
instrumen d. Menyusun lembar kerja siswa/LKS (adaptasi dari
Soendari, Mulyati: 2015 : 17-18)

Pendidikan anak tunarungu merupakan proses yang kompleks.


Penempatan yang tepat, cara belajar terbaik bagi masing-masing anak
(auditori, visual, atau manual), kurikulum, amplifikasi, dan keputusan
tentang transisi dari satu lembaga layanan ke lembaga layanan lainnya
yang diambil oleh keluarga, sekolah, dan individu, bergantung pada
informasi yang dapat dipercaya. Informasi semacam ini hanya dapat
diperoleh dari hasil asesmen yang baik yang memperhatikan kekuatan
dan kebutuhan anak dalam bidang komunikasi, akademik, intelektual,
medis, dan karakteristik audiologis anak, yang harus diterjemahkan
oleh orang tua dan guru menjadi tujuan pembelajarannya. Bila
perencanaan program pendidikan anak sehari-hari sudah didasarkan
atas informasi hasil asesmen tersebut, maka asesmen itu sudah
mencapai tujuan utamanya.

Tujuan asesmen anak tunarungu antara lain:

1. Menetapkan baseline level kinerja anak.


2. Menentukan penempatan yang tepat atau mengubah penempatan.
3. Mengukur kemajuan anak.
4. Merumuskan saran-saran untuk pemecahan masalah yang timbul,
seperti masalah perilaku, kesulitan perhatian, atau lambatnya
kemajuan anak.
5. Mengembangkan tujuan dan sasaran program yang sedang
diimplementasikan.

Anda mungkin juga menyukai