Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hambatan Pendengaran dan Bicara

1. Tunarungu

Tunarungu adalah suatu kondisi atau keadaan dari seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan indera pendengaran sehingga tidak mampu menangkap
rangsangan berupa bunyi, suara atau rangsangan lain melalui pendengaran. Sebagai akibat
dari terhambatnya perkembangan pendengarannya, sehingga seorang tunarungu juga
terhambat kemampuan bicara dan bahasanya, yang mengakibatkan seorang tunarungu akan
mengalami kelambatan dan kesulitan dalam hal-hal yang berhubungan dengan komunikasi.

Istilah tunarungu berasal dari kata tuna dan rungu, dimana tuna memiliki arti kurang
sedangkan rungu artinya pendengaran. Istilah lain yang menyebut mengenai kelainan
pendengaran, antara lain adalah tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang dengar atau
tunarungu. Seseorang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu atau kurang mampu
mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak
dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut
mengalami tunarunguan.

Secara medis ketunarunguan berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan


mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan non fungsi dari sebagian atau seluruh alat-
alat pendengaran. Sedangkan secara pedagogis, ketunarunguan ialah kekurangan atau
kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan sehingga
memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Hal yang perlu diperhatikan akibat dari
ketunarunguan ialah hambatan dalam berkomunikasi, sedangkan komunikasi merupakan hal
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak
dapat mendengar membuatnya mengalami kesulitan untuk memahami bahasa yang diucapkan
oleh orang lain, dank arena tidak dapat mengerti bahasa secara lisan atau oral. Berikut
definisi dan pengertian tunarungu dari beberapa sumber buku:
 Menurut Winarsih (2007), tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan
kurang dengar.

 Menurut Suharmini (2009), tunarungu adalah keadaan dari seorang individu yang
mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa
menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.

 Menurut Sutjihati (2006), tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran


yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya.

 Menurut Somad dan Hernawati (1995), tunarungu adalah seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya
yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran,
sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-
hari yang membawa dampak terhadap kehidupananya secara kompleks.

1. Tunawicara

Menurut Heri Purwanto Dalam buku Orto pedagogic Umum (1998) tunawicara
adalah apabila seseorang mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa
maupun suaranya dari bicara normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi
lisan dalam lingkungan.

Sedangkan menurut Menurut Frieda Mangunsong. Dkk dalam Psikologi dan


Pendidikan Anak Luar Biasa, tunawicara atau kelainan bicara adalah hambatan dalam
komunikas iverbal yang efektif .Kemudian menurut Dr.Muljono Abdur ranchman dan
Drs.SudjadiS dalam Pendidikan Luar Biasa Umum (1994) gangguan wicara atau
tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi
bicara,dan atau kelancaran berbicara.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan anak tunawicara adalah individu yang
mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam komunikasi verbal sehingga mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi.
A.Faktor Penyebab Tuna Wicara

Drs Sardjono mengutip (MohAmnidkk. 1979 .hal23) Anak tunawicara dapat terjadi karena
gangguan ketika:

 Sebelum anak dilahirkan masih dalam kandungan (prenatal)


 Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (umurneonatal)
 Setelah dilahirkan (posnatal)

B.Karakteristik Tunawicara

Menurut Her iPurwanto dalam Orto pedagogi kumum(1998) yang merupakan


karakterisktik anak tunawicara adalah Karakteristik bahasa dan wicara Pada umumnya anak
tunawicara memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan
dengan perkembangan bicara anak anak normal.

Kemampuan intelegensi Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan anak-


anak normal, hanya pada skor IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya
•Penyesuaian emosisosial dan perilaku Dalam melakukan interaksi sosia ldimasyarakat
banyak mengandalkan komunikas iverbal, halini yang menyebabkan tunawicara mengalami
kesulitan dalam penyesuaian sosialnya. Sehingga anak tunawicara terkesan agak eksklusif
atau terisolasi dari kehidupan masyarakat normal. Sedangkan yang merupakan ciri-ciri fisik
dan psikisana MUHA tunawicara adalah HA Berbicara keras dan tidak jelas,Suka melihat
gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya,Telinga mengeluarkan cairan. Bibir sumbing,
Suka melakukan gerakan tubuh Cenderung pendiam, Suara sengau Anak tunawicara
memiliki keterbatasan dalam berbicara atau komunikasi verbal,sehingga mereka memiliki
hambatan dan kesulitan dalam berkomunikasi dan menyampaikan apa yang ingin mereka
rasakan. Kesulitan dalam berkomunikasi akan semakin parah apabila anak tunawicara ini
menderita tungarungu juga.Adapun hambatan-hambatan yang sering ditemui pada anak
tunawicara:

 Sulit berkomunikasi dengan orang lain.


 Sulit bersosialisasi.
 Sulit mengutarakanapa yang diinginkannya.
 Perkembangan pskister ganggu karena merasa berbeda atau minder.
 Mengalami gangguan dalam perkembangan intelektual, kepribadian, dan kematangan
sosial.
1

B. Dampak dari Hambatan Pendengaran dan Bicara

1. Dalam bidang kognitif


Pada umumnya kognitif anak tunarungu sama dengan anak normal pada
umumnya. Namun, akibat keterbatasan kemampuan berbahasanya, keterbatasan
informasi dan daya abstraksi anak sebagaidampak dari kehilanagn pendengaran
menyebabkan proses pencapaianyang lebih luas menjadi terhambat.

2. Dalam bidang emosi


Kekurangan dalam pemahaman bahasa secara verbal menyebabkananak
tunarungu menjadi menafsirkan sesuatu secara negatif dan salah pemahaman sehingga
menyebabkan tekanan pada emosinya. Tekanan pada emosinya dapat menyebabkan
anak bertingkah laku agresif,menutup diri. Lingkungan yang tidak mendukung juga
mempengaruhiemosi anak tunarungu seperti anak menjadi bosan, kecewa,
sedih,kesepian, perasaan tidak berdaya, cemas dan takut.

3. Dampak bidang sosial


Kehilangan pendengaran menyebabkan anak miskin dalam kebahasaanatau
kosa kata. Akibatnya anak menjadi sulit dalam hal berkomunikasidan berinteraksi
sosial dengan lingkungannya

C. Jenis-jenis hambatan pendengaran dan bicara


Menurut Melinda (2013), terdapat tiga batasan dalam mengelompokkan tunarungu
berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan sisa pendengaran dengan atau
tanpa bantuan alat bantu mendengar, yaitu sebagai berikut:
1. Kurang dengar, namun masih bisa menggunakannya sebagai sarana/modalitas utama
untuk menyimak suara cakapan seseorang dan mengembangkan kemampuan bicara.

1
DewiEkasariKusumastuti,PengembanganStrategiPembelajaranMembacaPemahamanPadaAnakDenganHamb
atanPendengaranKelas4SDLB,hlm.10
2. Tuli (Deaf), yaitu mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai
sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat
difungsikan sebagai suplemen pada penglihatan dan perabaan.

3. Tuli total (Totally Deaf), yaitu mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki
pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak atau mempersepsi dan
mengembangkan bicara.
Sedangkan menurut Winarsih (2007), berdasarkan tingkat kemampuan pendengaran yang
dinyatakan dalam intensitas suara yang didengar dengan satuan dB (desibel), tunarungu
dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:

1. Kelompok I. Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.

2. Kelompok II. Kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau
ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.

3. Kelompok III. Kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau ketunarunguan berat;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
4. Kelompok IV. Kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan
sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

5. Kelompok V. Kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan
total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
Masih menurut Winarsih (2007), tunarungu juga dibagi berdasarkan tiga kriteria, yaitu saat
terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya dan
berdasar pada taraf penguasaan bahasa.
2

a. Berdasarkan sifat terjadinya


1. Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang
tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.

2
Dewi Ratih Rapisa, Sistem Komunikasi Anak Dengan Hambatan Pendengaran, Yogyakarta : Deepublish, Hlm.
12
2. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir
diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

b. Berdasarkan tempat kerusakan


1. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian
yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif.

2. Kerusakan pada telinga bagian dalam, sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara,
disebut Tuli Sensoris.
c. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
1. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum
dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal)
tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum
membentuk sistem lambang.

2. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah
menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang yang
berlaku di lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai