Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang tuna rungu, pada umumnya sulit untuk berkomunikasi dengan

orang normal yang dapat mendengar. Dalam bidang kesehatan, penderita

tuna rungu mempunyai masalah khusus dalam aksesbilitas karena sistem

kesehatan tidak menyediakan kebutuhan khusus mereka dalam

berkomunikasi. Manifestasi dari kurangnya aksesbilitas kesehatan, dalam

hal ini kesehatan gigi dan mulut pada khususnya, orang tuna rungu memiliki

kesehatan gigi dan mulut yang lebih buruk dibandingakan dengan orang

yang tidak memiliki gangguan pendengaran (An Bernadino, 2006).

Banyak pasien tuna rungu mengeluh karena mereka tidak

mendapatkan informasi yang lengkap tentang penyakit, perawatan, dan

prognosis mereka. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

informasi yang lengkap sama seperti pasien yang lain (Champion, 2000).

Komunikasi yang tidak memadai, dapat menimbulkan masalah bagi

para professional kesehatan apabila pasien tidak mengikuti instruksi

perawatan secara tepat atau tidak melakukan perawatan karena kurangnya

motivasi dari pasien sendiri. Oleh sebab itu, para professional kesehatan,

termasuk dokter gigi dan dental hygienist juga harus menggunakan metode

yang berbeda pula dalam menangani pasien tuna rungu.

1
Dokter gigi dan dental hygienist harus mengatur penatalaksanaan

perawatan gigi dan mulut di klinik gigi sedemikian rupa, agar pasien tuna

rungu dapat menerima aksesbilitas perawatan gigi dan mulut yang sama

dengan pasien yang tidak memiliki gangguan pendengaran. Pelaksanaan

perawatan gigi dan mulut pasien tuna rungu mempunyai intensitas

komunikasi yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tidak

memiliki gangguan pendengaran.

Maka dari itu, para professional kesehatan, harus memahami dan

dapat mengaplikasikan berbagai metode yang dapat digunakan untuk

berkomunikasi dengan pasien tuna rungu di klinik gigi.

B. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain adalah :

1. Pengertian Anak Tunarungu

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

3. Karakteristik Anak Tunarungu

4. Mengetahui perbedaan kondisi kesehatan gigi dan mulut pada

pasien tuna rungu

5. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut

pada pasien tuna rungu di klinik gigi

6. Mengetahui peran dan tugas dari dental hygienist dalam

penanganan pasien tuna rungu di klinik gigi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANAK TUNARUNGU

1. Pengertian Anak Tunarungu

Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak

dapat mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dapat dimungkinkan

kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali. Secara fisik, anak

tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab

orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarun guan pada

saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau dengan suara

yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara

sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat. Agar dapat diperoleh

pengertian yang lebih jelas tentang anak tunarungu, berikut ini

dikemukakan definisi anak tunarungu oleh beberapa ahli.

Murni Winarsih (2007:23), menyatakan tunarungu adalah

seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan

mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak

fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak

tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam

kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak terhadap kehidupannya

secara kompleks terutama pada kemampuan berbahasa sebagai alat

komunikasi yang sangat penting. Gangguan mendengar yang dialami

anak tunarungu menyebabkan terhambatnya perkebangan bahasa anak,

karena perkembangan tersebut, sangat penting untuk berkomunikasi

3
dengan orang lain. Berkomunikasi dengan orang lain membutuhkan

bahasa dengan artikulasi atau ucapan yang jelas sehingga pesan yang

akan disampaikan dapat tersapaikan dengan baik dan mempunyai satu

makna, sehingga tidak ada salah tafsir makna yang dikomunikasikan.

Berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan

pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, dan sangat

berat yang dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua golongan

yaitu kurang dengar dan tuli, yang menyebabkan terganggunya proses

perolehan informasi atau bahasa sebagai alat komunikasi. Besar kecil

kehilangan pendengaran sangat berpengaruh terhadap kemampuan

komunikasinya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bicara dengan

artikulasi yang jelas dan benar. Bicara dengan artikulasi yang jelas

akan mempermudah orang lain memahami pasan yang disampaikan.

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

4
Kemampuan mendengar dari individu yang satu berbeda

dengan individu lainnya. Apabila kemampuan mendengar dari

sesorang ternyata sama dengan kebanyakan orang, berarti pendengaran

anak tersebut dapat dikatakan normal. Bagi tunarungu yang mengalami

hambatan dalam pendengaran itu pun masih dapat dikelompokkan

berdasarkan kemampuan anak yang mendengar. Lebih lanjut untuk

mengetahui pengelompokkannya, penulis memaparkan sebagai

berikut:

Klasifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel

A. Kirk (Permanarian Somad 1996: 29) adalah sebagai berikut :

0 dB menunjukkan pendengaran optimal

0-26 dB menunjukkan masih mempunyai pendengaran


normal

27-40 dB menunjukkan kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang


jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis
letaknya dan memerlukan terapi wicara (tergolong
tunarungu ringan).

asa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,


41-55 dB membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara
(tergolong tunarungu sedang).

56-70 dB hanya bisa mendengar suara dari arak yang dekat,


masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar
bahasa ekspresif ataupun reseptif dan bicara dengan
menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang
khusus (tergolong tunarunguagak berat).
71-90 dB hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang
dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang
intensif, membutuhkan alat bantu mendengar (ABM)
dan latihan bicara secara khusus
(tergolong tunarungu berat).

91 dB mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan


keatas getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada

5
pendengarannya untuk proses menerima informasi dan
yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu
barat sekali).

Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat

diklasifikasikan dari 0dB -91 dB ke atas. Setiap tingkatan kehilangan

pendengaran mempunyai pada kemampuan mendengar suara atau bunyi

yang berbeda -beda, sehingga mempengaruhi kemampauan komunikasi

anak tunarungu. Terutama, pada kemampuan anak berbicara dengan

artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggi kehilangan

pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya.

Berdasarkan tingkat kehilangan ketajaman pendengaran yang

diukur dengan satuan desiBell (dB), klasifikasi anak tunarungu menurut

Heri Purwanto (1998: 7) adalah seperti berikut :

Sangat ringan (light) 25 dB - 40 dB

Ringan (mild) 41 dB - 55 dB
Sedang (moderate) 56 dB - 70 dB

Berat (severe) 71 dB - 90 dB
Sangat berat (profound) 91 dB lebih

Tingkat kehilangan pendengaran dapat di bagi menjadi 5 tingkatan,

yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat. Semakin tinggi

kehilangan pendengaran, semakin lemah kemampuan mendengar suara

atau bunyi bahkan hanya merasakan getaran dari suara saja. Selain itu

juga, biasanya berdampak pada kemampuan komunikasi, terutama

kemampuan bicara dengan artikulasi yang jelas sehingga pesan yang

disampaikan dapat dipahami orang lain.

6
Klasifikasi anak tunarungu bermacam-macam dan dapat dilihat

dari beberapa sudut pandang. Klasifikasi subjek dalam penelitian ini

adalah satu anak tunarungu yang masih mempunyai sedikit sisa

pendengaran tetapi belum dioptimalkan fungsinya dan dua anak tunarungu

yang sudah tidak mempunyai sisa pendengaran atau tuli. Subjek belum

dapat mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang tepat dan jelas, anak

terbiasa berkomunikasi dengan isyarat dan oral tetapi tidak mengeluarkan

suara yang jelas. Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan

artikulasi anak tunarungu adalah metode drill. Metode drill disini anak

dituntut mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang, sehingga anak

terbiasa bicara dengan ucapan yang tepat dan jelas yang disertai suara.

3. Karakteristik Anak Tunarungu

Karakteristik anak tunarungu sangat kompleks dan berbeda-beda

satu sama lain. Secara kasat mata keadaan anak tunarungu sama seperti

anak normal pada umumnya. Apabila dilihat beberapa karakteristik yang

berbeda. Karakteristik bahasa dan bicara anak tunarungu.

Suparno (2001: 14), menyatakan karakteristik anak tunarungu dalam segi

bahasa dan bicara adalah sebagai berikut :

a. Miskin kosa kata

b. Mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan bahasa yang

mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak.

c. Kurang menguasai irama dan gaya bahasa.

7
d. Sulit memahami kalimat - kalimat yang kompleks atau kaliamat -

kalimat yang panjang serta bentuk kiasan. Anak tunarungu juga

mempunyai beberapa karakteristik, terutama keterbatasan kosa kata.

Hal tersebut yang menyebabkan anak tunarungu kesulitan

berkomunikasi dengan orang lain. Terlebih lagi permasalahan tentang

kejelasan dalam berbicara. Anak tunarungu biasanya mengalami masalah

dalam artikulasi, yaitu mengucapkan kata-kata yang tidak atau kurang

jelas.

Namun, hal itu dapat diatasi dengan metode drill, yaitu anak

melakukan latihan menucapkan kata-kata secara berulang-ulang sampai

anak terampil atau terbiasa berbicara dengan artikulasi yang tepat dan

jelas. Heri Purwanto (1998: 58-59) menyatakan karakteristik anak

tunarungu wicara pada umumnya memiliki kelambatan dalam

perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan dengan perkembangan

bicara anak-anak normal, bahkan anak tunarungu total (tuli) cenderung

tidak dapat berbicara (bisu).

Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa

anak tunarungu mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa

(mendapatkan bahasa). Bahasa sebagai alat komunikasi dengan orang lain.

Sedangkan, Anak tunarungu mempunyai permasalahan dalam wicaranya

untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena wicara sebagai alat yang

sangat penting dalam komunikasi. Dalam berbicara pun harus

menggunakan artikulasi yang jelas agar pesan mudah diterima oleh orang

8
lain, maka dari itu anak harus dilatih secara berulang-ulang sehingga anak

terampil mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang tepat dan jelas.

Mencermati beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa

seorang tunarungu memiliki keterbatasan dalam memperoleh bahasa dan

mengalami permasalahan dalam bicaranya. Kurang berfungsinya indera

pendengaran menyebabkan anak tidak dapat menirukan ucapan kata-kata

dengan tepat dan jelas. Oleh sebab itu, anak tunarungu untuk mendapatkan

bahasa atau kosa kata harus melalui proses belajar mengenal kosa kata dan

belajar mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas. Belajar

mengucapkan kata-kata tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang

agar anak menjadi terampil dan terbiasa mengucapkan kata-kata dengan

artikulasi yang tepat dan jelas.

Kelainan pada anak terjadi akibat perkembangan abnormal yang

dialami oleh anak tersebut dalam fase tumbuh kembangnya, fase ini tidak

hanya terbatas pada keadaan postnatal anak tersebut, tetapi kondisi

prenatal juga berpengaruh penting terhadap perkembangan abnormal yang

dialami oleh anak.

4. Layanan bagi anak tuna rungu

a. Jenis layanan

Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu

meliputi layanan umum dan khusus.

1) Layanan umum

Layanan umum merupakan layanan pendidikan yang biasa

diberikan kepada anak mendengar atau normal yang meliputi layanan

9
akademik, latihan dan bimbingan. Layanan akademik bagi anak

tunarungu pada dasarnya sama dengan layanan akademik bagi anak

mendengar, yaitu mencakup mata-mata pelajaran yang biasa

diberikan di SD biasa, tetapi terdapat hal-hal yang perlu

diperhatikan berkaitan dengan ciri khas layanan bagi anak tuna rungu.

Layanan bimbingn trutama diperlukan dalam mengatasi dampak

kelainan terhadap aspek psikologisnya, serta pengembangan sosialisai

siswa.

2) Layanan khusus

Layanan khusus merupakan layanan yang khusus diberikan

kepada anak tunarungu dalam mengurangi dampak ketunarunguannya

atau melatih kemampuan yang masih ada, yang meliputi layanan bina

bicara serta layanan bina persepsi bunyi dan irama.

3) Layanan bina bicara

Layanan bina bicara merupakan layanan upaya untuk

meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam mengucapkan

bunyi-bunyi bahasa dalam rangkaian kata-kata, agar dapat dimengerti

atau diinterpretasika oleh orang yang mengajak atau diajak

bicara.Latihan bina bicara bertujuan antara lain agar anak tuna rungu

memiliki dasar ucapan yang benar sehingga dapat dimengerti orang

lain, memberi keyakinan pada anak tuna rungu bahwa bunyi atau suara

yang yang diproduksi melalui organ bicaranya harus mempunyai

makna, membedakan ucapan yang satu dengan ucapan yang lainnya,

serta memfungsikan organ-organ bicaranya yang kaku.

10
4) Layanan bina persepsi bunyi dan irama

Layanan bina persepsi bunyi dan irama merupakan layanan

untuk melatih kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui sisa

pendengaran atau merasakan vibrasi (getaran bunyi) bagi siswa yang

hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.

b. Tempat atau sistem layanan

1) Tempat khusus atau sistem segregasi

Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah

dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak tunarungu melalui

sistem segregasi, maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan tersebut

dilaksanakan di tempat khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan

untk anak mendengar atau anak normal dengan memiliki kurikulum sendiri.

Tempat pendidikan melalui sistem segregasi dapat dikemukakan sebagai

berikut:

Sekolah khusus

Sekolah khusus bagi anak tunarungu disebut Sekolah Luar Biasa

Bagian B ( SLB-B ).

Sekolah Dasar Luar Biasa ( SDLB )

SDLB adalah sekolah pada tingkat dasar yang menampung

berbagai jenis kelainan, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan

tuna daksa dalam satu sekolah.

11
Kelas jauh atau kelas kunjung

Kelas jauh adalah kelas yang dibentuk atau disediakan untuk

memberi pelayanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak

tunarungu yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.

2) Sekolah umum atau sistem integrasi

Sistem pendidikan integrasi merupakan sistem pendidikan yang

memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama-sama

dengan anak mendengar atau normal di sekolah umum atau sekolah biasa.

Depdiknas ( 1986 ) mengelompokkan bentuk-bentuk keterpaduan tersebut

menjadi :

Bentuk kelas biasa

Bentuk kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus

Bentuk kelas khusus

5. Strategi dan media pembelajaran

a. Strategi Pembelajaran

Strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak tunarungu,

yaitu meliputi:

1) Strategi individualisasi

Merupakan strategi pembelajaran dengan mempergunakan suatu

program yang disesuaikan dengan perbedaan individu, baik karakteristik,

kebutuhan maupun kemampuannya secara perorangan.

12
2) Strategi kooperatif

Merupakan strategi pembelajaran yang menekankan unsur gotong

royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan

pembelajaran.

3) Strategi modifikasi perilaku.

Strategi ini bertujuan untuk mengubah perilku siswa ke arah yang

lebih positif melalui conditioning ( pengondisian ) dan membantunya

agar lebih produktif sehingga menjadi individu yang mandiri.

6. Media pembelajaran

Media yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak tunarungu,

lebih menekankan pada media yang bersifat visual. Bagi anak tunarungu

yang tergolong kurang dengar, dapat digunakan pula media audio dan

audiovisual, tetapi keterserapan pada unsur audionya terbatas.

Anak Tuna Rungu memiliki keterbatasan dalam berbicara dan

mendengar, media pembelajaran yang cocok untuk Anak Tuna Rungu adalah

media visual dan cara menerangkannyadengan bahasa bibir/gerak bibir.

Media pembelajaran yang dapat digunakan untuk Anak Tuna Rungu dalam

sebuah makalah yang berjudul Media Pembelajaran Bina Komunikasi

Persepsi Bunyi Dan Irama ( BKPBI) adalah sebagai berikut :

a. Media Stimulasi Visual

Cermin artikulasi, yang digunakan untuk mengembangkan

feed back visual, dengan melihat atau mengontrol gerakan organ

artikulasi diri siswa itu sendiri, maupun dengan menyamakan

13
gerakan/posisi organ artikulasi dirinya dengan posisi organ artikulasi

guru.

b. Benda asli maupun tiruan

c. Gambar,baik gambar lepas maupun gambar kolektif

d. Pias kata

e. Gambar disertai tulisa.

2. Media Stimulasi Auditoris

a. Speech Trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih

bicaraanak dengan hambatan sensori pendengaran

b. Alat musik, seperti: drum, gong, suling, piano/organ/ harmonika,

rebana,terompet.

c. Tape recorder untuk memperdengarkan rekaman bunyi- bunyi

latar belakang, seperti : deru mobil, deru motor, bunyi klakson

mobilmaupun motor, gonggongan anjing dsb.

d. Berbagai sumber suara lainnya, antara lain :

Suara alam : angin menderu, gemercik air hujan, suara

petir,dsb.

Suara binatang : kicauan burung, gongongan anjing, auman

harimau, ringkikan kuda,dsb.

Suara yang dibuat manusia: tertawa, batuk, tepukan tangan,

percakapan, bel, lonceng, peluit,dsb.

Sound System, yaitu suatu alat untuk memperkeras suara.

Media dengan sistem amplifikasi pendengaran, antara lain

ABM, Cochlear Implant dan loop system.

14
B. KONDISI KESEHATAN GIGI dan MULUT PASIEN TUNARUNGU
Orang yang tuna rungu biasanya memiliki kebiasaan bernafas

melalui mulut (Anonim, 2010). Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat

menyebabkan xerostomia. Xerostomia merupakan kekeringan pada mulut

akibat disfungsi kelenjar saliva. Mulut kering dapat meningkatkan

terjadinya kerusakan gigi. Penurunan saliva merupakan faktor predisposisi

pada peningkatan insidensi karies, penyakit periodontal, dan infeksi oral,

terutama kandidiasis (Fox,2008)


Masalah dan penanganan pasien tuna rungu di klinik gigi
1. Penggunaan instrumen tambahan
Dari sudut pandang kedokteran gigi, bahwa penderita tuna

rungu mempunyai hambatan karena kurangnya kemampuan

mendengar dan berbicara, termasuk perawatan oleh dokter gigi.

Kebutuhan perawatan gigi dari penderita cacat ini tidak banyak

berbeda dari perawatan penderita normal yang lainnya, tetapi tata

pelaksanaan perawatan biasanya lebih sulit. Kesulitan yang dialami

oleh para dokter gigi dan dental hygienist dalam menangani pasien

tuna rungu di klinik gigi terletak pada tingkat emosi dari pasien tuna

rungu yang pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pasien

bukan tuna rungu. Oleh sebab itu, perawatan gigi dan mulut pada

penderita tuna rungu memrlukan beberapa instrument tambahan.

Beberapa insrumen tambahan yang biasanya digunakan yaitu :

a. Papoose Board

Papoose Board adalah suatu alat pengendali fisik yang

berupa papan penahan tubuh dengan ikatan dimana pasien dapat

15
diatur posisi tubuhnya. Keuntungan alat ini adalah mudah

disimpan, ukuran bervariasi dan memiliki srabilisier kepala.

Sedangkan kerugiannya, apabila alat ini digunakan terlalu lama

akan menyebabkan hipertemia

b. Triangular Sheet
Alat bantu yang dikaitkan pada tubuh dan ekstremitas untuk

mempertahankan posisi tubuh. Keuntungan : pasien dapat duduk

tegak pada kursi gigi. Kerugiannya adalah banyak ikatan, dapat

membuat pasien sesak nafaslah dan hipertemia.


c. Posey Strap
Alat bantu yang digunakan untuk mengendalikan

ekstrimitas yang dapat merangsang relaksasi dan mencegah refleks

yang tidak terkendali.

1. Metode komunikasi dengan pasien tuna rungu di klinik gigi


Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk

mengembangkan kualitas komunikasi dengan pasien tuna rungu kaitannya

dengan perawatan gigi dan mulut. Pertama, kita harus tahu bagaimana

pasien tuna rungu biasanya berkomunikasi. Jika pasien adalah anak-anak,

16
kita dapat bertanya kepada orang tua atau kerabat. Kita juga dapat menulis

bagaimana pasien berkomunikasi dengan orang tua atau keluarganya.

Apabila pasien yang dihadapi adalah orang dewasa, kita dapat

memberikan pertanyaan langsung kepadanya atau kepada orang yang

terdekat pasien yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Kedua, adalah

metode gerakan bibir. Salah satu persyaratan penggunaan metode lips

reading (gerakan bibir) ini adalah visibilatas (penglihatan yang baik).

Apabila kita mencoba lisp reading, ini merupakan sesuatu yang tidak

mudah untuk dilakukan .


Banyak sekali faktor yang mana dapat menghambat pemahaman

pasien tuna rungu, antara lain pencahayaan, posisi dokter gigi maupun

dental hygienist, cepat lambatnya pengucapan, suara asing, homofon,

penggunaan masker, posisi pasien tuna rungu yang terlentang, kecemasan,

dan sebagainya. Dokter gigi dan dental hygienist harus mencoba berbicara

dengan kondisi yang sebaik mungkin, agar pasien tuna rungu dapat

mengerti apa yang sedang dibicarakan (An Bernadino, 2006)

Menurut An Bernadino (2006) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan oleh dokter gigi maupun dental hygienist sebelum dan selama

percakapan dengan pasien tuna rungu antara lain adalah sebagai berikut :

a. Sebelum percakapan

Jangan pernah mulai berbicara jika pasien tidak melihat


Tunjukkan perhatian anda dengan sentuhan ringan sebelum

memulai berbicara
Posisikan wajah pasien pada ketinggian yang sama (terutama untuk

anak-anak)

17
Jika Anda ingin menjelaskan sesuatu atau menghentikan prosedur

maka cobalah untuk tetap pada posisi berlawanan dengan pasien

tersebut
Jangan melihat ke bawah
Jangan bergerak terlalu jauh dari atau terlalu dekat dengan pasien
Anda harus berada dalam posisi yang nyaman untuk pasien dan

anda benar-benar terlihat oleh pasien.


Pastikan wajah terkena sinar yang cukup
Jangan pernah berdiri di depan jendela atau cahaya agar wajah

tetap terlihat oleh pasien berbicara dengan tenang, perlahan dan

menyenangkan. Kesabaran dari dokter gigi maupun dental

hygienist akan meningkatakan ketenangan, konsentrasi, dan

kepercayaan dari peasien

b. Selama percakapan
Tidak ada sesuatu di bibir maupun mulut (rokok, pena, permen

karet, permen)
Menghindari meletakkan tangan atau benda di depan mulut .

Masker wajah merupakan hambatan untuk lips reading


Setiap prosedur gigi harus dijelaskan sebelum dokter gigi

menggunakan masker
Jika ada sesuatu yang dijelaskan di tengah prosedur perawatan,

dokter gigi harus melepas masker


Mengucapkan setiap kata dengan jelas, tanpa berteriak. Berbicara

jelas jauh lebih efektif daripada berbicara keras.


Selalu berbicara dengan suara anda sendiri, tidak meniru-niri suara

orang lain
Pengucapan tidak terlalu cepat atau lambat
Jangan berbicara dengan cara yang terlalu konvensional atau

dalam bahasa yang terlalu gaul. Pasien tuna rungu tidak seperti

18
pasien yang mendengar yang mana dapat terus-menerus menerima

informasi dan belajar kosakata atau bahasa gaul.


Dokter gigi harus mengajari pasien tuna rungu kata-kata baru yang

berkaitan

dengan kesehatan gigi contohnya karies.


Hindari istilah teknis atau obrolan yang berlebihan karena lips

reading melelahkan
Gunakan bahasa yang sederhana
Ada beberapa kata yang homofon sehingga mungkin membuat

pasien kurang paham.Ulangi pesan apabila pasien belum paham.

Jika pasien belun juga paham, bisa dilakukan rekonstruksi kalimat

dengan cara penggunaan sinonim


Bahasa tubuh (postur dan gerakan) dan ekspresi wajah memainkan

peran yang sangat penting dalam berkomunikasi dengan pasien

gangguan pendengaran di klinik gigi. Dokter gigi maupun dental

hygienist disarankan agar dapat menggunakan wajah dan tubuhnya

untuk mengungkapkan perasaan kebahagiaan, kesedihan, marah,

takut, dan lain-lain untuk memudahkan pemahaman pasien

gangguan pendengaran.

Metode ketiga yang dapat digunakan oleh dokter gigi maupun

dental hygienist dalam menangani pasien tuna rungu di klinik gigi adalah

bahasa isyarat. Bahasa isyarat adalah bentuk komunikasi dengan

menggunakan tanda-tanda yang diakui secara nasional dan regional (tetapi

tidak secara internasional), dan memiliki struktur sendiri Di Spanyol

memiliki bahasa isyarat yang disebut LSE. Kata-kata yang ingin

19
disampaikan secara lisan, disampaikan dalam bentuk gerakan tangan.

Setiap bentuk gerakan tangan mewakili huruf yang berbeda dari alfabet.

Hal ini membutuhkan banyak praktik dan keterampilan.

Anggota keluarga atau teman yang dapat menggunakan bahasa isyarat

dapat menemani pasien dan membantu memberikan penjelasan atau

mengajukan pertanyaan. Jika diperlukan, dapat menggunakan penerjemah

yang professional. Alternatif lain untuk meningkatkan komunikasi dengan

pasien tuna rungu yang menggunakan bahasa isyarat antara lain adalah :

Bila menggunakan juru tanda (profesional, anggota keluarga atau

teman), penting untuk memusatkan perhatian kita pada pasien

bukan pada penerjemah. Anda harus berbicara langsung kepada

pasien menggunakan orang kedua dan memperhatikan ketika

pasien memberikan jawaban.


Penafsir harus hadir di semua janji
Menghadiri kursus bahasa isyarat sehingga kita setidaknya dapat

menggunakan bahasa isyarat yang sederhana.


Berbicaralah perlahan dan jelas
Menggunakan bahasa tubuh dan ekspresi wajah
Ekspresi wajah merupakan bagian dari bahasa isyarat. Mereka

dapat digunakan untuk mengekspresikan kebahagiaan, kesedihan,

kemarahan, ragu, kekecewaan, dan lain-lain.

20
C. PENANGANAN PASIEN TUNARUNGU ANAK-ANAK DI KLINIK

GIGI
Menurut Champion (2000) ada banyak informasi mengenai cara-

cara menangani pasien tuna rungu dewasa dalam perawatan kesehatan,

namun tidak dengan pasien anak. Informasi mengenai penanganan pasien

anak tuna rungu di bidang kesehatan masih sangat sedikit. Berikut ini

adalah rekomendasi rekomendasi yang dapat diterapkan untuk pasien

anak tuna rungu :


a. Pasien anak tuna rungu harus ditangani di klinik gigi secara

individu.
Perawatan secara individu ini harus dilengkapi dengan rekam

medis yang lengkap untuk melihat terjadinya penurunan fungsi

pendengaran, bagaimana tingkat keparahannya, pengobatan apa

yang sudah di terima, bagaimana pendidikan dan komunikasi yang

dilakukan, faktor keluarga, dan masalah masalah lain yang

terkait. Yang paling penting adalah mengetahui bagaimana pasien

tersebut berkomunikasi. Informasi tersebut sebaiknya sudah

dilengkapi sebelum pertemuan pertama. Selain itu, sebaiknya

diadakan pertemuan terlebih dahulu dengan orang tua untuk

menjelaskan prosedur yang nantinya akan dilakukan supaya orang

tua mempersiapkan anaknya pada kunjungan berikutnya.


b. Kunjungan harus dijadwalkan dengan baik agar anak tidak harus

menunggu terlalu lama di ruang tunggu sehingga tidak mengalami

kecemasan dan ketakutan yang berlebihan

21
c. Setelah anak berada di kursi gigi, dokter, asisten, dan orang tua

harus berada dalam jangkauan penglihatan anak. Selama

kunjungan pertama, orang tua mendampingi anaknya di dalam

klinik agar anak merasa aman dan nyaman.


d. Tim tenaga kesehatan harus mampu menggunakan komunikasi non

verbal melalui bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Hal ini penting

agar anak merasa nyaman dan percaya kepada tim.


e. Memahami bagaimana orang tua berbicara dengan anak dan dokter

gigi maupun dental hygienist melakukannya semirip mungkin.


f. Apabila sudah timbul kepercayaan dari orang tua dan anak, secara

bertahap orang tua dapat meninggalkan anak di ruang praktek agar

anak menjadi lebih mandiri.


g. Lepaskan masker ketika berbicara dengan anak dan jangan berada

diluar jangkauan pandang anak karena dapat menimbulkan

ketakutan.
h. Anak tuna rungu takut akan hal-hal yang baru sehingga

memerlukan banyak penjelasan dan kegiatan melihat. Semua

instrumen yang digunakan harus diperlihatkan terlebih dahulu

termasuk alat-alat yang penggunaannya akan menimbulkan getaran

agar anak tidak terkejut ketika peralatan tersebut digunakan

sehingga dapat mempersiapkan dirinya


i. Teknik tell show do dapat diubah menjadi show - do dengan

memperhatikan usia pasien, tingkat keparahan, keterampilan

komunikasi yang dimiliki


j. Teknik modeling dapat berguna bagi perawatan anak tuna rungu,

hal ini dilakukan dengan menonton video atau mempraktikkan

anak lain di kursi gigi agar anak dapat mengamati proses yang

berlangsung.

22
k. Apabila anak terbiasa menggunakan bahasa isyarat, orang tua dapat

membantu dokter menjadi penerjemah bahasa apabila dokter tidak

menguasai bahasa isyarat tersebut


l. Tidak mudah untuk menjelaskan prosedur anastesi pada anak tuna

rungu, namun dengan bantuan orang tua mungkin akan sedikit

lebih berguna.

Perjanjian kunjungan perawatan gigi dan mulut

Selain alat tambahan yang diperlukan, hal yang perlu diperhatikan

adalah dalam menentukan perjanjian kunjungan perawatan gigi pada penderita

tuna rungu. Kunjungan pertama perawatan gigi pada penderita harus baik

untuk menilai rasa kooperatifnya oleh dokter gigi dengan bantuan penuh dari

orangtua. Hal yang perlu diperhatikan adalah :


a. Pada kunjungan pertama dilakukan pemeriksaan lengkap terhadap

riwayat medisnya, pentingnya riwayat medis yang memperhatikan

pengalaman kesehatan yang lalu dapat memberi jawaban terhadap

ketidakjelasan keadaan saat tersebut. Orangtua sering tidak dapat

memberi penjelasan keadaan medis dan kesehatan mulut anaknya,

misalnya : Keadaan alergi terhadap antibiotik Penicillin. Ini dapat

berakibat fatal bagi dokter gigi, jika sampai diberikan. Jika perlu dapat

berkonsultasi dengan dokter umum/spesialis si penderita tersebut.


b. Hubungan komunikasi penderita-dokter gigi-orangtua harus dijaga

dengan baik. Orangtua akan melindungi dan cenderung menjadikan

pasien lebih manja dan kurang disiplin sehingga menyulitkan kerjasama

pada perawatan giginya. Dokter gigi perlu bertindak tegas dan berani

dalam bertindak, supaya tercapai hasil yang baik. Sebaiknya dengan

23
banyak melakukan diskusi masalah tingkah laku penderita dengan

orangtua, sebelum tindakan perawatan, supaya dapat dipahami tindak-

tanduk, aksi reaksi penderita cacat terhadap teknik penanganan kerja

dokter giginya

BAB III

KESIMPULAN

Penderita tuna rungu mempunyai masalah khusus dalam aksesbilitas

perawatan gigi dan mulut karena masih minimnya pengaplikasian metode

komunikasi khusus di klinik gigi oleh para dokter gigi dan dental hygienist
Para dokter gigi dan dental hygienist perlu menggunakan metode

komunikasi khusus bagi para pasien tuna rungu seperti lips reading dan

bahasa isyarat
Pasien tuna rungu memiliki tingkat emosi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien bukan tuna rungu, sehingga perlu penggunaan instrumen

tambahan oleh dokter gigi dan dental hygienist di klinik gigi seperti

papoose board, triangular sheet, dan posey strap.

24
DAFTAR PUSTAKA

An Bernadino Silvia, et al, 2006, How to Improve Communication with Deaf

Children in The Dental Clinic, Med Oral Patol Oral Cir Bucal, 1;12 (8) : E576-

81.
Champion, J., 2000, Dental Care for Children and Young People Who Have a

Hearing Impairment, British Dental Journal, 189 : 155.

Avasthi, Kanika., 2011, Oral Health Status of Sensory Impaired Children in Delhi

and Gurgaon, International Journal of Dental Clinics, 3 (2) : 21-23

Jain Manish, et .al, 2008, Dentition Status and Treatment Needs Among Children

With Impaired Hearing Attending a Special School for The Deaf and Mute in

Udaipur India, Journal of Oral Sciences, 50 : 161-165.

25
26

Anda mungkin juga menyukai