IKIP SILIWANGI
Nim : 21060153
Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat mendengar. Tidak dapat
mendengar tersebut dapat dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali. Secara
fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan
mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, anak tersebut berbicara
tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak
berbicara sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa bahasa yang digunakan oleh anak tunarungu
adalah bahasa isyarat yang menitikberatkan pada indra penglihatan dan gerak tubuh untuk
menegaskan kata atau kalimat yang ingin mereka sampaikan. Seperti halnya dengan anak lain yang
tidak berkebutuhan khusus, pengenalan konsep bahasa yang tepat bagi anak tunarungu juga harus
dimulai sejak usia dini dan sangat bergantung pada peran aktif orang tua dalam perkembangan
bahasanya.
Ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran yang meliputi seluruh
gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu kurang dengar dan tuli, yang menyebabkan terganggunya proses perolehan
informasi atau bahasa sebagai alat komunikasi. Gangguan mendengar yang dialami anak tunarungu
menyebabkan terhambatnya perkembangan bahasa anak, karena perkembangan tersebut, sangat
penting untuk berkomunikasi dengan orang lain. Berkomunikasi dengan orang lain membutuhkan
bahasa dengan artikulasi atau ucapan yang jelas sehingga pesan yang akan disampaikan dapat
tersampaikan dengan baik dan mempunyai satu makna sehingga tidak ada salah tafsir makna yang
dikomunikasikan.
Pakar bidang medis, memiliki pandangan yang sama bahwa anak tunarungu dikategorikan
menjadi dua kelompok. Pertama, Hard of hearing adalah seseorang yang masih memiliki sisa
pendengaran sedemikian rupa sehingga masih cukup untuk digunakan sebagai alat penangkap
proses mendengar sebagai bekal primer penguasaan kemahiran bahasa dan komunikasi dengan
yang lain baik dengan maupun alat bantu dengar. Kedua, The Deaf adalah seseorang yang tidak
memiliki indra dengar sedemikian rendah sehingga tidak mampu berfungsi sebagai alat penguasaan
bahasa dan komunikasi, baik dengan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar.
B. KLASIFIKASI ANAK TUNARUNGU
Kalsifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk (permanarian Somad: 1996).
Klasifikasi tersebut bisa dibedakan menjadi beberapa. Jika kita melihat berdasarkan kondisi
tingkat kehilangan pendengaran yanng biasa ditunjukkan dengan ssatuan desibel (dB) klasifikasi
tunarungu dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
Klasifikasi tunarungu didasarkan pada letak anatominya dapat dibedakan menjadi kondisi
tunarungu tipe konduktif, sensorineural dan gabungan antara keduanya. Yang dimaksud dengan
tunarungu tipe konduktif adalah jika kerusakan pada pendengarannya terdapat pada telinga bagian
luar yang berfungsi sebagai alat pengantar suara. Adapun tipe sensorineural adalah kondisi
tunarungu yang disebabkan oleh rusaknya syaraf pendengaran. Tipe ketiga yang merupakan tipe
gabungan dari keduanya adalah klasifikasi tunarungu yang disebabkan oleh rusaknya pendengaran
bagian luar dan pada syaraf pendengarannya. Yang terakhir adalah berdasarkan asal usulnya, kondisi
tunarungu yang diklasifikasikan menjadi tunarungu endogen dan eksogen. Tipe endogen adalah
tunarungu karena keturunan dan eksogen karena faktor nogenens.
Setiap tingkatan kehilangan pendengaran mempunyai pada kemampuan mendengar suara atau
bunyi yang berbeda – beda sehingga mempengaruhi kemampuan komunikasi anak tunarungu.
Terutama pada kemampuan anak berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggi
kehilangan pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya. Berdasarkan tingkat
kehilangan ketajaman pendengaran yang diukur dengan satuan desiBel (dB).
Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan artikulasi anak tunarungu adalah metode
drill. Metode drill disini anak dituntut mengucapkan kata – kata secara berulang – ulang sehingga
anak terbiasa bicara dengan ucapan yang tepat dan jelas yang disertai suara.
Karakteristik anak tunarungu sangat kompleks dan berbeda – beda satu sama lain. Secara kasat
mata keadaan anak tunarungu sama seperti anak normal pada umumnya. Apabila dilihat ada
beberapa karakteristik yang berbeda. Karakteristik anak tunarungu dalam segi bahasa dan bicara
adalah sebagai berikut:
Moskin kosakata
Mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan
kata – kata abstrak.
Kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
Sulit memahami kalimat – kalimat yang kompleks atau kalimat – kalimat yang panjang serta
bentuk kiasan.
Anak tunarungu juga mempunyai beberapa karakteristik, terutama keterbatasan kosakata. Hal
tersebut yang menyebabkan anak tunarungu kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Terlebih
lagi permasalahan tentang kejelasan dalam berbicara. Anak tunarungu biasanya mengalami masalah
dalam artikulasi, yaitu mengucapkan kata – kata yang tidak atau kurang jelas. Namun hal itu dapat
diatasi dengan metode drill, yaitu anak melakukan latihan mengucapkan kata – kata secara berulang
– ulang sampai anak terampil atau terbiasa berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas.
Heri Purwanto (1998) menyatakan karakteristik anak tunarungu wicara pada umumnya memiliki
kelambatan dalam perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara
anak – anak normal, bahkan anak tunarungu total (tuli) cenderung tidak dapat berbicara (bisu).
Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa anak tunarungu mempunyai
hambatan dalam perkembangan bahasa (mendapatkan bahasa). Bahasa sebagai alat komunikasi
dengan orang lain. Sedangkan anak tunarunngu mempunyai permasalahan dalam wicaranya untuk
berkomunikasi dengan orang lain karena wicara sebagai alat yang snagat penting dalam
berkomunikasi.
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal), ketika lahir
(natal),, dan sesudah lahir (postnatal). Banyak para ahli mengunggkap tentang penyebab ketulian
dan ketunarunguan, tentu saja dengan pandangan yang berbeda dalam penjabarannya. Trybus
(1985) mengemukakan ada enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika Serikat, adalah
sebagai berikut:
1. Keturunan
2. Campak Jerman dari pihak ibu
3. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
4. Radang selaput otak (meningitis)
5. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
6. Penyakit anak – anak, radang dan luka – luka
Dan hasil penelitian, kondisi – kondisi tersebut hanya 60% penyebab dari kasus – kasus
keturunan pada masa anak – anak. Meskipun sudah banyak alat – alat diagnosis yang canggih, alat –
alat tersebut masih belum dapat menentukan penyebab ketunarunguan yang 40% lagi. Dan ternyata
Campak Jerman dari pihak ibu, keturunan, komplikasi selama kehamilan, dan kelahiran adalah
penyebab yang lebih banyak. Untuk lebih jelasnya faktor – faktor penyebab ketunarunguan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Ada beberapa pendapat lain tentanng penyebab tetrjadinya anak berkebutuhan khusus
tunarungu, diantaranya sebagai berikut:
Anak yang mengalami kelainan pendengaran akan menanggung konsekuensi yang sangat
komples, terutama berkaitan dengan masalah kejiwaannya. Pada diri penderita sering kali dihinggapi
rasa keguncangan sebagai akibat tidak mampu mengontrol lingkungannya. Kondisi ini sangat tidak
menguntungkan bagi penderita anak tunarungu yang harus berjuang dalam meniti tugas
perkembangannya. Disebabkan oleh rentetan yang muncul akibat gangguan pendengaran ini,
penderitan akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya, terutama dalam
aspek bahasa, kecerdasan, dan penyesuaian sosial. Oleh karena itu untuk mengembangkan potensi
anak tunarungu secara optimal praktis memerlukan layanan atau bantuan secara khusus.
Proses internalisasi suara pada seseorang yang mengalami ketunarunguan mengalami masalah
sebab organ pendengaran di bagian luar, bagian tengah, dan bagian dalam yang menghubungkan ke
saraf pendengaran sebagai organ terakhir dari rangkaian proses pendengaran mengalami gangguan.
Terganggunya organ ini berpengaruh terhadap kepekaan penerima suara. Variasi kepekaan
menerima suara berupa kepekaan suara nada rendah dan tinggi.
Ada dua bagian penting mengikuti dampak terjadinya hambatan, antara lain sebagai berikut:
Intervensi pada anak berkebutuhan khusus tunarungu banyak hal yang harus dimengerti, yaitu
pada gangguan yang terjadi pada anak perlu dilakukan deteksi seawal mungkin mengingat peranan
pendengaran dalam proses perkembangan bicara sangatlah penting. Fungsi pendengaran dan juga
perkembangan bicara sudah termasuk ke dalam program evaluasi perkembangan anaksecara umum
yang biasa dilakukan mulai dari tingkatan Posyandu oleh profesi di bidang kesehatan.
Pada anak berkebutuhan khusus tunarungu, gangguan pendengaran dapat dikurangi dengan
memanfaatkan sisa pendengaran dan menggunakan alat bantu dengar meskipun hasilnya tidak
sempurna. Selain itu anak tunarungu juga perlu mendapatkan terapi wicara untuk memperbaiki
gangguan berbahasa sehingga anak tunarungu bisa menjadi produktif dan dapat memperbaiki
kualitas hidupnya. Terapi wicara diberikan kepada anak tunarungu atau mereka yang mengalami
gangguan komunikasi termasuk dalam gangguan berbicara, berbahasa, serta gangguan menelan.
Terapi wicara juga bermanfaat untuk membangun kembali kognisi serta produktivitas anak
tunarungu. Adapun beberapa metode terapi wicara untuk anak berkebutuhan khusus dengan
ganguan pendengaran, di antaranya sebagai berikut:
1. Alat artikulasi anak untuk mengetahui apakah terdapat kecacatan atau tidak.
2. Pembentukan vokal dan konsonan.
3. Mengetahui tingkat kekurangan pendengaran anak. Ringan, sedang, berat, atau bahkan
sangat berat.
4. Tingkat kelainan anak.
Jika anak mengalami beberapa kelainan yang telah disebutkan diatas, maka mereka perlu
mendapatkan perhatian khusus, karena hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penanganan
awal atau konsep awal seperti apa yang akan diberikan kepada anak tunarungu.
Menurut A. Van Den Uden; seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan
bahwa anak tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi, diajak dan dilatih untuk
berkomunikasi secara bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketrtinggalan perkebnangan
bahasanya yang amat jauhdari anak dengar seusianya. Maka A. Van Den Uden kemudian
mengembangkan suatu metode atau model pengajaran bahsa untuk anak tunarungu yang
menggunakan dasar tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.
1. Aliran Oral; ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural
(memanfaatkan sisa pendengarannya)
2. Aliran Manual; ada juga dengan isyarat / gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku +
abjad jari
3. Aliran Campuran; secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam
komunikasi total
4. Aliran Auditory Verbal / AVT; mengandalkan kemampuan dengar saja tana membaca ujaran,
sedangkan pendekatan pemerolehan/pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi,
pertama aliran konstruktif / struktural/ gramatikal, yaitu pengajaran bahasa secara formal,
kedua aliran natural yaitu, pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan
percakapan atau menggunakan bahsa ibu.
Pada pertengahan abad ke 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang
menggabungkan antara pendekatan informal dengan formal menjadi semi formal, yang terkenal
dengan metode maternal reflektif atau metode pengajaran bahasa ibu yang reflektif.
Metode maternal reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjeng dengan pelaksanaan Bina
Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama yang terdiri dari: Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi, Bina Irama
Musik maupun Bahasa, serta Bina Isyarat, secara terprogram, kontinu, dan berkesinambungan.
Cara menerangkan media visual kepada anak tunarungu , yaitu dengan bahasa bibir atau dengan
gerakan bibir. Berikut ini adalah beberapa media pembelajaran yang bisa digunakan untuk anak
tunarungu:
1. Media Stimulasi Visual
2. Cermin Artikulasi, media ini digunakan sebagai pengembaangan feedback visual, dengan
cara melihat atau mengontrol gerakan dari organ artikulasi diri siswa itu sendiri.
3. Menggunakan benda asli maupun tiruan
4. Media gambar, baik gambar lepas maupunn gambar kolektif
5. Pias kata atau kolom kata
6. Menggunakan media gambar yang disertai dengan tulisan atau keterangan dan sebagainya
7. Media Stimulasi Auditorys
8. Speech Trainer, yaitu media pembelajaran yang merupakan alat elektronik yang bermanfaat
untuk melatih bicara anak dengan hambatan sensori pendengaran.
9. Alat musik, seperti gong, suling, drum, piani, organ harmonika, terompet, rebana dan
berbagai macam alat musik lainnya.
10. Tape recorder, yang digunakan untuk mendengarkan rekaman bunyi – bunyi latar belakang,
misalnya saja seperti suara deru motor, deru mobil, klakson mobil atau motor, gonggongan
anjing dan suara – suara lainnya.
11. Berbagai sumber bunyi lainnya, diantaranya sebagai berikut:
a. Suara alam; gemercik air hujan, angin menderu, suara petir
b. Suara binatang; gonggongan anjing, kicauan burung, ringkikan kuda, auman harimau
c. Suara yang dibuat oleh manusia; batuk, tertawa, percakapan, bel, tepuk tangan, peluit,
lonceng
d. Sound system, adalah suatu alat yang berfungsi untuk memperkeras suara
e. Media dengan sistem amplikasi pendengaran yang diantaranya adalah ABM, loop
system, dan cochlear implant.