Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KERANGKA TEORITIS,KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A.KERANGKA TEORITIS

1. Anak Tunarungu
a. Pengertian Anak Tunarungu
Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan
pendengaran yang mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah
orang yang mengalam ikehilangan pendengaran (lebih dari 70 dB) yang
mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain
baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar.Orang yang
kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan
pendengaran(sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan
alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses
informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain.
Anak tunarungu adalah anak yang dalam proses mendengar terdapat
satu atau lebih organ telinga mengalami gangguan atau kerusakan
disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak
diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalakan fungsinya
dengan baik (Efendi, 2006: 57).
Santoso (2010: 129) memberikan pengertian: Anak tunarungu adalah
individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun
temporer (tidak permanen). Menurut Geniofam (2010:20) menyatakan
bahwa: “penderita tunarungu adalah mereka yang memiliki hambatan
perkembangan indra pendengar”.
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap
berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Ditambahkan lagi bahwa anak tunarungu adalah yang kehilangan
pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya
(deaf) yang menyebabkan pendengaran tidak memiliki nilai
fungsional dalam kehidupan sehari-hari sehingga pengalaman dari
alam sekitar diperoleh dari indera penglihatan (Sumantri, 2006:74).

7
8

Kesimpulan dari beberapa pengertian di atas, bahwa anak tunarungu


kehilangan sebagian pendengaran atau seluruh pendengarannya sehingga
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi yang akhirnya mengakibatkan
hambatan dalam perkembangannya, pendengaran tidak memiliki nilai
fungsional dalam kehidupan sehari-hari sehingga pengalaman dari alam
sekitar diperoleh dari indera penglihatan, sehingga anak tunarungu
memerlukan bantuan atau pendidikan secara khusus.
b. Klasifikasi Anak Tunarungu
Ketunarunguandapatdiklasifikasikan sebagai berikut:
1) Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan
dapatdiklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tunarungu Ringan (Mild Hearing Loss)
b) Tunarungu Sedang (Moderate Hearing Loss).
c) Tunarungu Agak Berat (Moderately Severe Hearing Loss)
d) Tunarungu Berat (Severe Hearing Loss)
e) Tunarungu Berat Sekali (Profound Hearing Loss).
2) Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagaiberikut:
a) Ketunarunguan Prabahasa (Prelingual Deafness)
b) Ketunarunguan Pasca Bahasa (Post Lingual Deafness).
3) Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis,
ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tunarungu Tipe Konduktif
b) Tunarungu Tipe Sensorineura
c) Tunarungu Tipe Campuran (Mangunsong, 2009:3).
Sedangkan menurut Hallahan & Kaufman (1991) orang tuli adalah
seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat
proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai atau tidak
memakai alat bantu dengar. Sedangkan seseorang yang kurang dengar
adalah seseorang yang bisasanya dengan menggunakan alat bantu
mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses
informasi bahasa melalui pendengaran.
9

Dari pendapat di atas jika kita analisis dapat menghasilkan


persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah mereka sama-sama
menggunakan istilah tuli dan kurang dengar sebagai bagian dari
ketunarunguan. Kemudian keduanya mengartikan bahwa orang tuli adalah
seseorang yang tidak dapat mendengar baik dengan atau tidak menggunakan
alat bantu dengar. Sedangkan orang yang kurang dengar adalah mereka
masih mampu mendengar walaupun dengan menggunakan sisa pendengaran
ataupun dengan alat bantu dengar. Perbedaan dari kedua pendapat tersebut
adalah jika Moores menggunakan tingkat dB untuk mengklasifikasikan
ketunarunguan.
Menurut Santoso (2010: 129), tunarungu diklasifikasikan
berdasarkan tingkat pendengaran sangat ringan (27-40 dB), gangguan
pendengaran ringan (41-55 dB), gangguan pendengaran sedang (56-70 dB),
gangguan pendengaran berat (71-90 dB), dan gangguan pendengaran
ekstrem/tuli (di atas 91 dB). Anak tunarungu wicara terdiri dari beberapa
klasifikasi menurut tingkat ketunaan yang dimiliki anak tersebut. Menurut
Efendi (2006:59-61) klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari kepentingan
pendidikannya, secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight
losses).
2) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild
losses).
3) Anak runa rungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB
(moderate losses).
4) Anak runarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe
losses).
5) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas (profoundly
losses).
Menurut Boothroyd yang dikutip Winarsih, dkk. (2010: 7) klasifikasi
ketunarunguan didasarkan pada :
Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketuna-
runguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia normal.
10

Kelompok II : Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau


ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap
terhadap suara percakapan manusia hanya sebagaian.
Kelompok III : Kehilangan 61-90 dB: severehearing losses atau ke-
tunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia tidak ada.
Kelompok IV : Kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau
ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara
percakapan manusia tidak ada sama sekali.
Kelompok V : Kehilangan lebih dari 120 dB : total hearing losses atau
ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara
cakapan manusia tidak ada sama sekali.
Klasifikasi ketunarunguan berdasarkan atas tingkat gangguan
pendengaran, waktu terjadinya ketunarunguan dan tempat terjadinya
kerusakan pendengaran sehingga menunjukkan bahwa semakin besar
jumlah kehilangan pendengaran maka semakin parah atau semakin buruk
kemampuan berbicara dan makin sulit berkomunikasi.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi,
ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori (Somad dan
Tarsidi, 2008: 2), yaitu:
1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana
orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB
(desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara,
mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di
mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB.
Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan
wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana
gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana
orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka
sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah
pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak
mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
11

4) Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di


mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau
lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat
terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada
komunikasi visual
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
secara fisiologi anak yang tersebut di atas mengalami gangguan pada indera
pendengaran yang bervariasi antara 27 dB – 40 dB dikatakan sangat ringan,
41 dB – 55 dB dikatakan ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan sedang, 71dB –
95 dB dikatakan berat, dan 95 ke atas dikatakan tuli. Gangguan ini
diterjemahkan sebagai organ yang tidak normal atau tidak lengkap, bisa juga
organnya normal atau lengkap namun mengalami kerusakan. Kemudian
sebagai akibat berikutnya perkembangannya terganggu.

2. Keterampilan Vokasional (Life Skill)


a. Pengertian Life Skill
Sementara itu Team Broad-Based Education Depdiknas menafsirkan
kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan
berani menghadapi problem hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa
tertekan (Depdiknas, 2002; 9).
Pengertian kecakapan hidup atau life skill lebih luas dari
keterampilan untuk bekerja. Orang yang tidak bekerja misalnya ibu
rumah tangga atau orang yang sudah pensiun tetap memerlukan
kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja mereka
menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang
sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup,
karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri
(Depdiknas, 2002; 10).
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat Keterampilan/Kejuruan (butir i) dan
muatan lokal (butir j). Berdasarkan pada kenyataan tersebut menurut Anwar
(2006:4) menyatakan bahwa muncul sebuah kebijakan tentang penerapan
konsep pendidikan kecakapan hidup (life skill education) di semua jenjang
12

pendidikan dengan harapan para lulusan pendidikan dapat menguasai


keterampilan dasar minimal sesuai dengan standar kewenangannya.
Pendidikan yang berorientasi pada kecakapn hidup merupakan suatu proses
pengajaran kompetensi yang memberikan bekal bagi peserta didik dalam
menghadapi dan memecahkan permasalhan dan problema kehidupan, baik
sebagai pribadi anggota masyarakat maupun warga Negara. Apabila hal
tersebut dapat tercapai ,maka ketergantungan terhadap ketersediaan
lapangan pekerjaan, yang mengakibatkan meningkatnya angka
pengangguran akan dapat ditekan. Hal ini akan berimplikasi pada
peningkatan produktifitas nasional secara bertahap. Kecakapan hidup
disekolah-sekolah menengah mengarah pada lima kecakapan: (1) kecakapan
mengenal diri (self awareness), (2) kecakapan berfikir rasional (thingking
skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan academic (academic
skill), dan (5) kecakapan provokasional (prevacasional skill) (Atmono,
2008:53).
Sedangkan life skill oleh IOWA State University (2003 : 1), diartikan
sebagai, are abilities individuals can lear that will help them to be
successful in living a produktive and satisfying life. Kecakapan hidup
dimengerti sebagai kemampuan individual untuk dapat belajar sehingga
seseorang memperoleh kesuksesan dalam hidupnya, produktif dan mampu
memperoleh kepuasan hidup. Indikator seseorang telah memperoleh life
skill dengan demikian dapat dilihat dari sejauhmana ia mampu eksis dalam
kehidupnya di tengah-tengah masyarakat. Apabila seseorang mampu
produktif dan membuat berbagai kesuksesan, maka dapat dikatakan orang
tersebut memiliki life skill yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian life skill adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi
problema kehidupan kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan
menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi life skill
bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan
problema hidup dan kehidupan, baik sebagai kehidupan pribadi yang
13

mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara.dengan hasil


yang dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
b. Tujuan Life Skill
Soemantri (2012) mengungkapkan tujuan pendidikan kecakapan
hidup adalah sebagai berikut :
1) Menyajikan kecakapan berkomunikasi dengan menggunakan berbagai
teknik yang memadai bagi peserta didik.
2) Mengembangkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan masyarakat
masa kini dan memenuhi kebutuhan dimasa mendatang
3) Mengembangkan kemampuan membantu diri dan kecakapan hidup agar
setiap peserta didik mampu mandiri.
4) Memperluas pengetahuan dan kesadaran peserta didik mengenai sumber-
sumber dalam masyarakat.
5) Mengembangkan kecakapan akademik yang akan mendukung
kemandirian setiap peserta didik.
6) Mengembangkan kecakapan prevokasional dengan memfasilitasi latihan
kerja dan pengalaman di masyarakat.
7) Mengembangkan kecakapan untuk memanfaatkan waktu senggang dan
melakukan rekreasi
8) Mengembangkan kecakapan memecahkan masalah untuk membantu
peserta didik melakukan pengambilan keputusan.
Anak-anak berkebutuhan khusus tunarungu dengan anak-anak yang
lain di dunia ini pada hakekatnya sama. Mereka mempunyai kebutuhan-
kebutuhan yang sama, hanya saja bagi anak berkebutuhan khusus dalam
pemenuhannya tentu saja berbeda. Bagi anak berkebutuhan khsusus
termasuk anak tunarungu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut
dibutuhkan latihan dan pengarahan secara khusus dan kontinu dengan
bimbingan dari orang-orang di sekitarnya.
Oleh karena itu anak-anak tunarungu melalui pendidikan di SLB
memerlukanlayanan pendidikan yang mampu membentuk rasa percaya diri
dan mengantar mereka sebagai manusia yang sama dengan manusia pada
14

umunya serta mampu memandirikan mereka kelak dalam hidup di


masyarakat. Kemandirian bagi anak tunarungu akan memberikan harapan
bagi keluarga maupun masyarakat dan ini akan terwujud apabila diberikan
layanan pendidikan yang tepat guna. Salah satu layanan pendidikan yang
dapat membentuk sikap kemandirian bagi anak tunarungu adalah
pendidikan ketrampilan yang efektif.
Dengan melihat pentingnya pendidikan keterampilan untuk
membentuk sikap kemandirian tersebut maka di sekolah-sekolah SLB
harus menyelenggarakan pendidikan keterampilan dengan berbagai jenis
keterampilan. Akan tetapi dalam penyelenggaraan pendidikan
keterampilan kadang-kadang jenis keterampilannya kurang sesuai dengan
yang dibutuhkan anak didik, maupun dukungan masyarakat. Keadaan ini
tentu saja akan menyebabkan pendidikan keterampilan yang
diselenggarakan kurang efektif dan tidak dapat mengarahkan anak untuk
memiliki sikap mandiri. Untuk itu dalam penelitian ini akan menjawab
masalah bagaimana efektifitas pendidikan keterampilan dalam membentuk
sikap kemandirian bagi anak berkebutuhan khusus tunarungu di SLB
Dalam pendidikan keterampilan efektifitas merupakan faktor
penting. Pendidikan keterampilan dikatakan efektif apabila ada kesesuaian
antara siswa yang melaksanakan pendidikan keterampilan dengan sasaran
atau tujuan pendidikan keterampilan yang akan dicapai. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2002:584) kata efektif didefinisikan dengan “ada
efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya)” atau “dapat membawa hasil,
berhasil guna (usaha, tindakan)” dan efektivitas diartikan “keadaan
berpengaruh; hal berkesan” atau ” keberhasilan (usaha, tindakan)”.
Efektivitas merupakan suatu kemampuan untuk memiliki tujuan yang tepat
atau mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam memahami efektifitas Steers dalam Jurnal Administrasi
Publik (vol 1, no.3) mengemukakan adanya tiga pendekatan yaitu :
15

a. Pendekatan Tujuan. Suatu program dikatakan efektif jika tujuan akhir


program tercapai. Dengan perkataan lain, pencapaian tujuan merupakan
indikator utama dalam menilai efektivitas
b. Pendekatan Sistem.Pendekatan ini memandang efektivitas diukur
dengan meninjau sejauh mana berfungsinya unsur-unsur dalam sistem
untuk mencapai tujuan.
c. Pendekatan Kepuasan Partisipasi.Dalam pendekatan ini, individu
partisipan ditempatkan sebagai acuan utama dalam menilai efektivitas.
Sehingga kepuasan individu menjadi hal yang penting dalam mengukur
efektivitas organisasi.
Menurut Faustini Cardoso Gomes (2000:209), untuk mengukur
efektivitas suatu program pelatihan dapat dievaluasi berdasarkan informasi yang
diperoleh pada lima tingkatan:
a. Reactions, yaitu untuk mengetahui opini dari para peserta mengenai
program pelatihan, dengan menggunakan kuesioner pada akhir
pelatihan mengenai seberapa (ruangan, waktu istirahat, makanan, suhu
udara).
b. Learning, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh para peserta menguasai
konsep-konsep,pengetahuan dan keterampilan - keterampilan yang
diberikan selama pelatihan. Biasanya dilakukan dengan mengadakan
test tertulis (essay atau multiple choice), test performansi dan latihan-
latihan simulasi
c. Behaviors, menilai dari para peserta sebelum dan sesudah pelatihan,
dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan
terhadap perubahan performansi mereka.
d. Organizational result, yaitu utuk menguji dampak pelatihan terhadap
kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan. Data bisa
dikumpulkan sebelum dan sesudah pelatihan atas dasar kriteria
produktivitas, pergantian, absen, kecelakaan-kecelakaan, keluhan-
keluhan, perbaikan kualitas, kepuasan klien dan sejenis lainnya.
16

e. Cost effectivity, dimaksudkan untuk mengetahui besarnya biaya yang


dihabiskan bagi program pelatihan, dan apakah besarnya biaya untuk
pelatihan tersebut terhitung kecil atau besar dibandingkan biaya yang
timbul dari permasalahan yang dialami oleh organisasi.
Berdasarkan pendekatan dan pengukuran suatu efektifitas maka dapat
disimpulkan bahwa efektifitas suatu pendidikan keterampilan dapat diketahui
melalui:
a. Pendapat para siswa, orang tua dan para guru mengenai program
pendidikan keterampilan yang diselenggarakan oleh sekolah.
b. Penguasaan konsep-konsep, pengetahuan dan keterampilan- keterampilan
yang diberikan selama penyelenggaraan pendidikan keterampilan.
c. Pengaruh dan dampak pendidikan keterampilan terhadap perubahan para
siswa
d. Besarnya biaya yang dihabiskan bagi program pendidikan keterampilan
e. Terlaksananya seluruh program pendidikan keterampilan sesuai dengan
jadwal waktu yang telah ditetapkan
f. Efisiensi dalam penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia
g. Tercapainya sasaran yang telah ditetapkan bagi penyelenggaraan
pendidikan keterampilan.
Keterampilan mengandung pengertian kecakapan untuk
menyelesaikan tugas Selain sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas,
ketrampilan (skill) dapat diartikan sebagai kemampuan yang diperoleh
melalui latihan. Sehingga dengan kata lain ketrampilan merupakan
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan tugas yang
diperoleh secara terus menerus.
Pendidikan keterampilan sering dikenal dengan istilah life skill yaitu
pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan kecakapan hidup menurut
Sugianto (2011:7) adalah proses membantu peserta didik mengembangkan
kemampuan, kesangggupan dan keterampilan yang diperlukan untuk
menjalankan kehidupan.
17

Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta


didik yang bersangkutan mampu, sanggup dan terampil menjaga
kelangsungan hidup, dan perkembangannya di masa datang. Adapun
menurut Syarifatul Marwiyah (2012 : 82) pendidikan kecakapan hidup
adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan
secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari
agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan
kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan
perkembangannya.
Dari pengertian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
pendidikan keterampilan (kecakapan hidup) adalah kecakapan yang dimiliki
seseorang untuk memenuhi tuntutan dalam hidup agar dapat mencapai
kehidupan yang bahagia dan sejahtera, kecakapan tersebut tentu saja
berbagai macam tidak hanya tergantung pada satu aspek kecakapan saja.
Pendidikan vokasional sangat cocok untuk memgembangkan
keterampilan anak tunarungu. Pendidikan keterampilan ini meliputi tingkat
dasar, tingkat terampil dan tingkat mahir. Jenis keterampilan yang akan
dikembangkan anak tunarungu diserahkan kepada satuan pendidikan sesuai
dengan minat, potensi, kemampuan, dan kebutuhan peserta didik serta
satuan pendidikan. Kompetensi dari pelajaran keterampilan ini adalah
membuat karya kerajinan dan kompetensi dasarnya. Membuat karya
kerajinan sesuai dengan penghasilan daerah setempat, sedangkan indikator
sesuai dengan jenis kerajinan dan keterampilan yang akan dibuat.
Secara umum tujuan pendidikan life skill yaitu untuk memfungsikan
pendidikan sesuai dengan fitrahnya yaitu untuk mengembangkan potensi
manusiawi (peserta didik) untuk menghadapi peranannya dimasa yang akan
datang (Sumarni, 2002: 175).
Tujuan dari orientasi life skill adalah untuk memberikan pengalaman
belajar yang berarti bagi peserta didik yang sesuai dengan apa yang
dibutuhkan di dalam kehidupan sehari-hari. (Mukti, 2004: 15) adapun tujuan
pendidikan life skill secara khusus bila dirinci adalah sebagai berikut:
18

1) Melaksanakan program-program pendidikan dan pelatihan yang mampu


mengembangkan ketrampilan, keahlian dan kecakapan serta nilai-nilai
keprofesian untuk mendorong produktivitas sebagai tenaga kerja yang
handal atau kemandirian berusaha.
2) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti program
khusus berbasis kompetensi, serta fasilitasi penempatan kerja pada dunia
usaha / industri dan / atau berusaha mandiri.
c. Jenis-jenis Life Skill
Broling (1989) dalam pedoman penyelenggaraan program kecakapan
hidup pendidikan non formal mengelompokkan life skill menjadi tiga
kelompok, yaitu: (1) Kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), antara
lain meliputi; pengelolahan rumah pribadi, kesadaran kesehatan, kesadaran
keamanan, pengelolahan makanan-gizi, pengelolahan pakaian, kesadaran
pribadi warga negara, pengelolahan waktu luang, rekreasi, dan kesadaran
lingkungan. (2) kecakapan hidup sosial/pribadi (personal/social skill), antara
lain meliputi; kesadaran diri (minat, bakat, sikap, kecakapan), percaya diri,
komunikasi dengan orang lain, tenggang rasa dan kepedulian pada sesama,
hubungan antar personal, pemahaman masalah, menemukan dan
mengembangkan kebiasaan fositif, kemandirian dan kepemimpinan. (3)
kecakapan hidup bekerja (vocational skill), meliputi: kecakapan memilih
pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan keterampilan kerja, latihan
keterampilan, pengusahaan kompetensi, menjalankan suatu profesi,
kesadaran untuk menguasai berbagai keterampilan, kemampuan menguasai
dan menerapkan teknologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan,
dan menghasilkan produk barang dan jasa.
WHO (World Health Organization) mengelompokkan kecakapan
hidup kedalam lima kelompok, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self
awareness) atau kecakapan pribadi (personal skill), (2) kecakapan sosial
(sosial skill), (3) kecakapan berpikir (thinking skill), (4) kecakapan
akademik (academic skill), dan (5) kecakapan kejuruan (vocational skill).
19

Dirjen PLS dan pemuda mengelompokkan life skill secara


operasional kedalam empat jenis, yaitu: (1) kecakapan pribadi (personal
skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri sendiri, kecakapan berpikir
rasional, dan percaya diri. (2) kecakapan sosial (social skill) seperti
kecakapan melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan tanggung jawab
sosial (3) kecakapan akademik (academik skill), seperti kecakapan dalam
berfikir secara ilmiah, melakukan penelitian, dan percobaan-percobaan
dengan pendekatan ilmiah (4) kecakapan vokasional (vocational skill)
berupa kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang
terdapat di masyarakat, seperti di bidang jasa (perbengkelan, jahit-menjahit,
dan produksi barang tertentu (peternakan, pertanian, perkebunan).
Direktorat kepemudaan mengelompokkan life skill ke dalam tiga
kelompok, yaitu: (1) kecakapan personal, (2) kecakapan sosial, (3)
kecakapan vocasional. Kecakapan personal terbagi dua bagian, yaitu ; (a)
kecakapan berpikir rasional, yang meliputi: menggali / menemukan info,
mengelolah info, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara
kreatif (b) kecakapan akademik, yang meliputi kemampuan
mengidentifikasi variabel, kemampuan menjelaskan hubungan variabel
dengan gejala, kemampuan merumuskan hipotesis, kemampuan merancang
penelitian, dan kemampuan melaksanakan penelitian. kecakapan sosial,
meliputi: kemampuan komunikasi, kemampuan bekerja sama, dan
kemampuan membuat harmonisasi, kecakapan vocasional meliputi;
kecakapan kejuruan, kecakapan sehari-hari, dan kecakapan kerja.
Slameto (2002: 126) membagi life skill menjadi dua bagian yaitu:
kecakapan dasar dan kecakapan instrumental. life skill yang bersifat dasar
adalah kecakapan universal dan berlaku sepanjang zaman, tidak tergantung
pada perubahan waktu dan ruang yang merupakan fondasi bagi peserta didik
baik di jalur pendidikan persekolahan maupun pendidikan non formal agar
bisa mengembangkan keterampilan yang bersifat instrumental. life skill
yang bersifat instrumental adalah kecakapan yang bersifat relatif,
kondisional, dan dapat berubah-rubah sesuai dengan perubahan ruang,
20

waktu, situasi, dan harus diperbaharui secara terus-menerus sesuai dengan


drap perubahan.
Jenis-jenis kecakapan hidup yang telah dijelaskan di atas, pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat jenis kecakapan hidup, yakni
(1) kecakapan pribadi (personal skill), (2) kecakapan sosial (sosial skill), (3)
kecakapan akademik (academic skill), dan (4) kecakapankerja (vocational
skill).

3. Magang Home Industri


Magang atau praktek kerja lapangan adalah merupakan salah satu
bentuk pendidikan dan pelatihan yang akan membentuk kompetensi peserta
didik. Sejak tahun 2010 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah
melaksanakan program penyelarasan pendidikan dengan dunia industri.
Ketidakselarasan antara pendidikan dengan dunia industri tersebut didasari
beberapa faktor. Ada Sembilan faktor yang bisa dijadikan solusi kerja sama
tersebut yaitu :
a. Kemampuan pengajar dalam hard skill dan soft skill.
b. Metode pembelajaran yang masih tradisional
c. Kurangnya sarana dan prasarana ,terutama fasilitas dan peralatan praktek
yang masih kurang menjadi salah satu kendala.
d. Ketidaksesuaian kurikulum. Disebutkan bahwa hasil survey yang dilakukan,
pendidikan formal belum sepenuhnya memberikan bekal bagi lulusannya
untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang keahliannya. Diharapkan DUDI
(Dunia Industri) dapat berpartisipasi dalam penyusunan kurikulum sehingga
didapat hasil yang sesuia dengan yang dibutuhkan
e. Kurangnya info DUDI untuk pendidikan. Selama ini terasa ada kesenjangan
anatara dunia pendidikan dengan dunia industri,dunia industri diharapkan
dapat bisa memberikan kesempatan bagi para pelajar untuk magangdi
industri sebagai bahan pembelajaran dan sebagai informasi lowongan
pekerjaan yang dibutuhkan untuk peserta didik mereka.
21

f. Minimnya kesempatan magang.Sistem pengajaran yang masih banyak


berfokus terhadap teori-teori yang mengakibatkan minimnya pengetahuan
pelajar terhadap dunia kerja sesungguhnya. Kerjasama dengan dunia
industry memberikan kesempatan terhadap pelajar untuk magang akan
menjadi penyeimbang antara teori yang didapatkan pada dunai pendidikan
untuk dapat diaplikasikan kedalam dunia industri.
g. Bimbingan Karir. Banyak pencari kerja yang tidak mengetahui layanan
bimbingan karir yang telah disediakan oleh Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Dinas Tenaga Kerja.
h. Kurangnya Kewirausahaan. Karakter untuk lebih tertarik mencari pekerjaan
daripada menciptakan lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor
timbulnya banyak pengangguran.
i. Kurangnya soft skill dari lulusan. Rendahnya soft skill yang dimiliki lulusan
menjadi penyebab lulusan tidak bisa menghadapi tantangan yang ada dalam
dunia kerja. Kelemahan lulusan dalam bidang soft skill diantaranya,
motivasi, komunikasi, kerja keras dan kepercayaan diri. (Muslih, 2014: 65).
Berdasarkan acuan tersebut di atas maka program magang pada dunia
kerja bagi anak tunarunggu jenjang pendidikan SMALB sangat diperlukan.
Pendidikan magang atau sering disebut Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
memiliki manfaat sebagai berikut :
a. Menumbuhkan sikap kerja yang tinggi;
b. Siswa mendapatkan kompetensi yang tidak di dapatkan di sekolah;
c. Siswa dapat memberikan kontribusi tenaga kerja di perusahaan;
d. Memberi motivasi dan meningkatkan etos kerja siswa;
e. Mempererat hubungan kerjasama antara sekolah dan dengan institusi
pasanganya;
f. Memungkinkan untuk industry memberikan bantuan kepada
sekolah ,misalnya magang guru,bantuan praktek; dan
g. Sebagai promosi tamatan sekolah.
Keahlian yang dikembangkan dalam keterampilan vokasional dengan
model magang dalam beberapa laporan terbaru yang dipublikakasikan oleh
22

lembaga-lembaga internasional seperti National Association of Colleges and


Emplyeer USA 2002 (Rizal dalam Rino 2002) menyebutkan bahawa dari 20
keahlian yang diteliti menyangkut harapan dunia industri terhadap kualitas
siswa adalah 18 diantaranya kemampuan soft skill yaitu: (1) kemampuan
komunikasi, (2) kejujuran/integirtas, (3) interpersonal, (4) etika, (5) motivasi,
(6) kemampuan beradaptasi, (7) daya analitik, (8) berorganisasi, (9)
berorientasi pada detail, (10) kemampuan beradaptasi, (11) kepemimpinan,
(12) kepercayaan diri, (13) ramah, (14) sopan, (15) bijaksana, (16) kreatif, (17)
humoris, dan (18) kewirausahaan. Hasil survey yang dilakukan di Amerika,
Canada dan Inggris tentang 23 atribut soft skill yang dominan dibutuhkan
dilapangan kerja terdiri atas (a) Inisiatif, (b) etika/integritas, (c) berpikir kritis,
(d) kemauan belajar, (e) komitmen, (f) motivasi, (g) bersemangat, (h) dapat
diandalkan, (i) komunikasi lisan, (j) kreatif, (k) kemampuan analitis, (l) dapat
mengatasi stress, (m) manajemen diri, (n) menyelesaikan persoalan, (o) dapat
meringkas, (p) berkooperasi, (q) fleksibel, (r) kerjasama dalam tim, (s)
mendengarkan, (t) mandiri, (u) tangguh, (v) beragumen logis, (w) manajemen
waktu (Rizal dalam Rino, 2010).
Pada dasarnya kemampuan soft skill yang di kembangkan baik di
Amerika maupun di Negara-negara Eropa tersebut banyak memilki kesamaan.
Untuk itu penulis akan merujuk kepada soft skill yang diperkembangkan di
Amerika dengan alasan lebih sederhana kemampuan yang akan dikembangkan.
Penulis akan membuat lembar observasi dalam bentuk cek list yang akan
digunakan mengetahui perkembangan kemampuan soft skill anak dalam proses
magang. Dalam penilaian ini menggunakan skala penilaian satu sampai seratus
sebagai penilaian etos kerja standar nilai Depdiknas, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Pokja SMK Mandiri, Bapak Harianto, SE. Skala penilaian
tersebut adalah sebagai berikut: 80-100 kategori A (sangat baik) dengan bobot
nilai 4, nilai 70-79 kategori B (baik) dengan bobot 3, Nilai 60-69 kategori C
(cukup baik) dengan bobot 2, nilai 50-59 kategori D (kurang baik) dengan
bobot nilai 1 dn nilai 00-49 kategori E (tidak baik) dengan bobot 0.
23

4. Kemandirian Siswa
Sikap kemadirian atau sering disebut dengan berdiri di atas kaki sendiri
merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta
bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Menurut Ryan & Lynch dalam
Handayani (2004) kemandirian merupakan suatu kemampuan untuk mengatur
tingkah laku, menseleksi dan membimbing keputusandan tindakan seseorang
tanpa adanya kontrol dari orng tua atau tanpa tergantung pada orang tua.Masih
dalam Handayani Lammon dkk memberikan pengertian kemandirian sebagai
suatu sikap mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat bimbingan dari
orang tua atau orang dewasa lainnya.
Dari beberapa pengertian kemandirian dapat disimpulkan bahwa
kemadirian adalah suatu kemampuan untuk mengontrol tindakan sendiri, bebas
dari kontrol orang lain, dapat mengatur diri sendiri, mampu mengambil
keputusan sendiri tanpa harus mendapat bimbingan dari orang tua atau orang
dewasa lainnya dan mampu mengarahkan perasaan tanpa pengaruh dari orang
lain.
Kemandirian dalam konteks individu memeliki beberapa aspek.Menurut
Havinghurst dalam Mu’tadin (2007) aspek-aspek kemandirian meliputi aspek
emosi, aspek ekonomi, aspek intelektual dan aspek sosial. Aspek-aspek
kemandirian juga diungkapkan Steinberg dalam Sri Wahyuni (2012) bahwa
aspek kemandirian terdiri dari:
a. Kemandirian emosi (Emotional Autonomy) . Aspek emosional
menekankan pada kemampuan untuk melepaskan diri dari ketergantungan
orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.

b.Kemandirian bertindak (Behavioral Autonomy). Aspek kemandirian


bertindak (behavioral autonomy) merupakan kemampuan untuk melakukan
aktivitas, sebagai manifestasi dari berfungsinya kebebasan, menyangkut
peraturan-peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan
keputusan.; dan
24

c.Kemandirian nilai (value autonomy) yakni kebebasan untuk memaknai


seperangkat prinsip tentang benar dan salah, yang wajib dan yang hak,
yang penting dan yang tidak penting.
Berdasarkan aspek-aspek di atas dapatlah dikatakan bahwa seseorang disebut
mandiri apabila melakukan apa yang ia yakini benar meskipun orang lain
mengkritik ataupun mengejek bahkan mengancam, mau mengambil risiko
dan mau berupaya keras untuk meraih prestasi, mau mengakui kesalahan
secara terbuka dan berupaya belajar dari kesalahan itu, memandang tantangan
sebagai kesempatan, memiliki antusiasme & inisiatif yang tinggi, mampu
mengambil keputusan ketika dihadapkan pada pilihan yang agak pelik setelah
mempertimbangkannya dan siap mengambil resiko yang mungkin mucul.
Sebaliknya seseorang dikatakan tidak mandiri apabila memiliki rasa
ketakutan atau kekhawatiran melakukan kesalahan, sikap dan tingkah lakunya
didasarkan pada apa yang dikatakan orang lain, ada perasaan malu, senang
berada di dalam suasana yang menyenangkan, lebih suka menghindari risiko dan
selalu minta pendapat, berusaha menutupi kesalahan maupun kelemahan, cepat
putus asa ketika hasilnya tidak sesuai dengan yang direncanakan, suka mencari
jalan pintas untuk mencapai tujuan, tidak memiliki inisiatif.
Anak sekolah menengah atas atau yang sederajat sering disebut juga anak
remaja. Usia remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa dan merupakan masa perkembangan sikap
ketergantungan(dependence ) terhadap orang tua ke arah
kemandirian(independence),perenungan diri,dan perhatian terhadap nilai nila
estetika dan isu moral.Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada
upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha
untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun
tugas lain dari perkembangan masa remaja antara lain, mencapai kemandirian
baik emosional, ekonomi, mengembangkan konsep dan ketrampilan
intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota
masyarakat. Seiring dengan berlalunya waktu dan perkembangan selanjutnya,
25

seorang remaja perlahan-lahan akan melepaskan diri dari ketergantungan


pada orangtua atau orang lain disekitarnya dan belajar untuk mandiri.
Kemandirian dalam konteks individu yaitu memiliki aspek yang lebih luas
dari sekedar aspek fisik. Aspek-aspek kemandirian menurut Havinghurst
(dalam Mu’tadin, 2007), antara lain: aspek emosi yaitu ditunjukkan dengan
kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari
orangtua, aspek ekonomi yaitu ditunjukkan dengan kemampuan mengatur
ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua, aspek
sosial yaitu ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi, dan aspek intelektual yaitu ditunjukkan dengan
kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak
tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Keterbatasan para remaja tunarungu untuk berkomunikasi menyebabkan
mereka sulit untuk mencapai aspek-aspek tersebut. Dalam perkembangan
sosial remaja tunarungu, umumnya mengalami hambatan komunikasi dan
juga hambatan belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan intelektual,
kurang mandiri, toleransi terhadap frustasi rendah, sangat egosentris
(termasuk sukar menyesuaikan diri) karena komunikasi umumnya hanya
dapat dilakukan dengan diri sendiri, menjadi penuntut dan bersikap acting-out
(melebih-lebihkan) (Prabowo dan Puspitawati, 1997).
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa untuk
mengekspresikan kemandirian, maka seseorang memerlukan adanya suatu
komunikasi sebagai bentuk sarana untuk mencapai hal tersebut. Adapun
menurut Sarwono (1997), komunikasi adalah sebagian hubungan atau hal
yang membentuk hubungan antarpribadi. Dalam komunikasi salah satu pihak
menyampaikan pesan (pengirim atau komunikator) kemudian pihak lain yang
menerimanya (penerima atau komunikan). Untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dibutuhkan kemampuan komunikasi yaitu kemampuan individu
dalam mengolah kata-kata, berbicara secara baik dan dapat dipahami oleh
lawan bicara (Evans &Russel, 1992), sedangkan pada tunarungu hal tersebut
sulit dicapai.
26

Menurut Gracinia (2004), kemandirian adalah kemampuan untuk dapat


menjalani kehidupan tanpa adanya ketergantungan kepada orang lain. Dapat
melakukan kegiatan sehari-hari, mengambil keputusan, serta mengatasi
masalah. Dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri, setiap anak perlu
dilatih untuk mengembangkan kemandirian sesuai kapasitas dan tahapan
perkembangannya .
Defenisi lain menurut Sulistyorini dkk (2006), kemandirian dapat diartikan
sebagai suatu kemampuan untuk memikirkan, merasakan, serta melakukan
sesuatu sendiri atau tidak tergantung pada orang lain. Adapun menurut Ryan
& Lynch (dalam Handayani, 2004), kemandirian sebagai suatu kemampuan
untuk mengatur tingkah laku, menseleksi dan membimbing keputusan dan
tindakan seseorang tanpa adanya kontrol dari orangtua atau tanpa tergantung
pada orangtua.
Ditambahkan oleh Schaefer (dalam Yuniati, 2003), kemandirian adalah
suatu kemampuan untuk mengontrol tindakan sendiri, bebas dari kontrol
orang lain, dapat mengatur diri sendiri dan mampu mengarahkan perasaan
tanpa pengaruh dari orang lain. Sedangkan menurut Lammon, Frank & Avery
(dalam Handayani, 2004), kemandirian adalah suatu sikap mampu mengambil
suatu keputusan sendiri tanpa harus mendapat bimbingan dari orangtua atau
orang dewasa lainnya.
Dari beberapa definisi kemandirian di atas dapat disimpulkan bahwa

kemandirian adalah suatu kemampuan untuk mengontrol tindakan sendiri,

bebas dari kontrol orang lain, dapat mengatur diri sendiri, mampu mengambil

keputusan sendiri tanpa harus mendapat bimbingan dari orangtua atau orang

dewasa lainnya dan mampu mengarahkan perasaan tanpa pengaruh dari orang

lain.
27

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian-penelitian yang relevan yang membahas tentang pengembangan


keterampilan vokasional dan pemagangan di dunia industry untuk anak tunarungu
yang dapat memberikan wawasan lebih luas lagi dalam penelitian ini antara lain:
Penelitian Suparno, Haryanto dan Purwanto(2009) yang berjudul
“Pengembangan Keterampilan Vokasional Produktif Bagi Penyandang Tunarungu
Pasca Sekolah Melalui Model Sheltered Workshop Berbasis Masyarakat”. Hasil
penelitian menunjukkan: 1) pada tahap pertama diketahui bahwa subyek sangat
membutuhkan latihan keterampilan, sebagian besar dari mereka (80%) belum
memiliki pekerjaan dan belum memiliki keterampilan yang memadai, 2) model
yang diujicobakan, ternyata memberikan dampak yang positif dan adaptable
terhadap subjek dalam pengembangan keterampilan, 3) hasil evaluasi dan
sosialisasi menunjukkan adanya respon positif trerhadap model sheltered
workshop yang berbasis masyarakat, 4) terbentuknya rintisan implementasi model
sheltered workshop yang berbasis masyarakat tingkat kabupaten, sebagai basis
pendidikan dan advokasi keterampilan vokasional produktif untuk menyandang
tunarungu pasca sekolah (SLB) dan dapat digunakan sebagai percontohan bagi
daerah-daerah sekitarnya, 5) tersusunnya buku petunjuk teknis pelaksanaan
model, serta 6) terakomodasinya sebagian kebutuhan fasilitas dan
penyelenggaraan pendidikan keterampilan vokasional bagi para penyandang
tunarungu di daerah.
Penelitian Fitri, Martias, dan Ardial (2014) yang berjudul “Profil
Penyelenggaraan Keterampilan Kecakapan Hidup (Life Skill) Bagi Anak
Tunagrahita (Studi Deskriptif Kualitatif Di Slbn 2 Padang)”. Berdasarkan hasil
penelitian disimpulkan bahwa profil penyelenggaraan keterampilan kecakapan
hidup (life skill) bagi anaktunagrahita di SLBN 2 Padang berjalan dengan baik. Ini
dibuktikan dengan adanya hasil produk yang dihasilkan oleh siswa. Dalam
kegiatanpembelajaran di tataboga model pembelajarannya siswa dibagi
berdasarkan tingkatan, tingkat dasar dan tingkat lanjut. Kegiatan di bengkel
keterampilan tata boga, tidak memakai kurikulum tertentu. Dalam kegiatan ini
guru juga sangat berperan penting dalam proses pembelajaran, untuk
28

mendampingi siswa saat dalam ruang pembelajaran. Saat proses pembelajaran


tidak ditemukan kendala dalam pelaksanaan kegiatan ini.
Penelitian Cahyono (2015) yang berjudul “Penerapan Metode Life Skill
Education Untuk Meningkatkan Kemampuan Vokasional Pada Anak Tunagrahita
Ringan Kelas X Sekolah Luar Biasa”. Berdasarkan data hasil penelitian tentang
pengaruh metode life skill educational terhadap keterampilan vokasional siswa
tunagrahita ringan, menunjukkan bahwa: 1. Penerapan metode life skill education
dapat diterapkan bagi siswa tunagrahita ringan dalam rangka peningkatan, tingkat
kemampuan ketrampilan vokacional dalam membuat kripik pisang berbagai rasa.
2. Dalam menerapkan metode life skill education, dalam penelitian tindakan kelas
ini perlu diperhatikan: (a) Perlu adanya perencanaan program pengajaran yang
sistematis praktis, dan sederhana serta mudah dilaksanakan di lapangan; (b)
Dalam pelaksanaan penerapan metode life skill education harus dilakukan secara
serius dan hati-hati; (c) Dalam observasi penerapan metode life skill education
perlu diperhatikan (1) Melihat aktifitas selama siswa berkerja melakukan kegiatan
vokasional membuat kripik pisang berbagai rasa, obserfer harus ekstra hati-hati
dalam memberikan perlakuan, (2) Selama observasi perlu dilakukan perlakuan
koreksi terhadap prilaku siswa selama menjalan tugas vokasional membuat kripik,
(3) Perlu adanya perbaikan prilaku siswa; (d) Refleksi merupakan tindakan
mengevaluasi program kegiatan dan tingkat kemampuab siswa dalam pembuatan
kripik pisang sampai mencapai KKM 70; (e) Perlu dibuatkan program rencana
program baru untuk rencana siklis berikutnya pada pembelajaran berikutnya.
Penelitian Grossman dan Salas yang berjudul “The Transfer of Training:
What Really Matters” menyatakan bahwa faktor yang berkaitan dengan
karakteristik trainee adalah (kemampuan kognitif, self efficacy, motivasi, desain
pelatihan (modeling pelaku, managemen kesalahan, lingkungan yang realistis,
iklim lingkungan transfer kerja, dukungan, kesempatan melakukan, tindak lanjut
yang ditunjukan yang berhubungan dengan konsistensi dengan transfer pelatihan.
Penelitian Mukuni dan Price (2013) yang berjudul “Portability of
Technical Skills Across Ooccupations: Acase for Demolition of Disciplinary
Silos?” mengemukakan bahwa dalam pemgembangan karir dan pengembangan
29

soft skill anakdapat dikolaborasikan dengan disiplin ilmu yang lain,karena wilayah
program memiliki kesamaan seperti managemen waktu pemecahan masalah dan
penggunaan teknologi merupakan bagian dari soft skill yang harus dikembangkan
oleh anak.
Penelitian Movalli, Ashori,S Jalil Abkenar dan Z.Salehy(2014) yang
berjudul “Effect of Life Skills training On Social of Hearing Impaired”
mengemukakan bahwa pelatihan ketrampilan hidup memiliki dampak yang yang
signifikan terhadap ketrampilan social dansub skala ( kerjasama,ketegasan dan
control diri) pada kelompok eksperimen,sedangkan kelompok control tidak ada
perubahan yang diamati pelatihan,ketrampilan hidup dapat meningkatkan
ketrampilan social siswa yang terganggu pendengaranya.Oleh karena itu
ketrampilan hidup memiliki peran yang penting dalam meningkatkan ketrampilan
social siswa yang terganggu pendengarannya,dan layak untuk diberikan perhatian
lebih.
Menurut Lincoln Hlatywayo (2015) dalam “ Challenges faced by School
when Imparting Prevocational Skills to Learns With Hearing “mengemukakan
bahwa tantangan yang dihadapi sekolah menyampaikan ketrampilan kejuruan
untuk peserta didik tunarungu adalah tantangan utama yang dihadapi termasuk
omunikasi yang buruk dan kemampuan bahasa,kurangnya kemampuan bahasa
isyarat,kurangnya bahan sumber dayauntuk menggunakan dan sikap negative oleh
guru.Untuk perbaikan itu menyarankan bahwa guru dan siswa semua perlu belajar
isyarat seperti sekarang salah satu bahasa resmi di Zimbabwe. Ada juga perlu
spesialis guru untuk bertindak sebagai interpreter bahasa ketika diperlukan.Selain
itu siswa perlu disediakan alat bantu dengar untuk meningkatkan pendengaran
mereka dan meningkatkan partisipasi mereka di kelas. Ahirnya dianjurkan bahwa
akustik pengaturan ruang kelas ditingkatkan sehingga dapat meminimalkan suara
lingkungan yang dapat mengganggu aplikasi suara.
Penelitian yang dilakukan oleh Oussama El Ghoul dan Mohamed Jemni
(2009) dalam “ Multimedia Courses Generator For Deaf Children “
mengemukakan bahwa lingkungan yang dikembangkan dilaboratorium penelitian
tehnologi informasi dan komunikasi dari Universitas Tunisia untuk membantu
orang-orang tuli dalam meningkatkan integrasi social dan kemampuan
komunikasi . Membuktikan bahwa bahasa isyarat tidak bawaan pada anak-anak
30

tunarungu dan oleh karena itu perlu metodik dan latihan yang spesipik.Dalam
konteks ini, lingkungan kita adalah Content Belajar Sistem Manajemen khusus
yang menghasilkan multimedia kursus untuk mengajar dan belajar bahasa isyarat.
Menurut survei kami, kami tidak menemukan Content Management System
Learning mentor dapat membantu guru untuk menghasilkan program untuk orang
dengan gangguan cacat. Selain itu alat kami adalah asli dalam kasus bahwa tanda
animasi yang dihasilkan secara otomatis dari deskripsi tekstual. Program yang
dihasilkan dapat digunakan baik oleh siswa tunarungu belajar (atau e-belajar)
bahasa isyarat atau juga dengan mendengar orang untuk dapat berkomunikasi
dengan orang-orang tuli. ini pendidikan lingkungan menggunakan terutama juru
berbasis web bahasa isyarat dikembangkan di laboratorium penelitian kami dan
disebut websign[2, 6]. Ini adalah alat yang memungkinkan untuk menafsirkan
teks-teks otomatis ditulis dalam bahasa visual-isyarat-spasial menggunakan
avatarteknologi
Penelitian di atas sangat berkaitan dengan penelitian yang sedang diteliti
bahwa anak tunarungu pada dasarnya memiliki kecerdasan yang rata-rata normal
sehingga mereka bisa berkembang dengan baik apabila mendapatkan suatu
pelatihan yang memadahi. Anak tunarungu memiliki kendala dalam melakukan
komunikasi secara verbal sehingga mereka membutuhkan suatu sistem bahasa
isyarat yang bisa dimengerti oleh anak tunarungu .Sistem isyarat bahasa yang
dikembangkan di Indonesia selama ini cukup mampu memberikan pemecahan
permasalahan komunikasi bagi anak tunarungu. Sehingga dengan pengembangan
bahasa isyarat bagi anak tunarungu diharapkan dapat membantu anak –anak
tunarungu dalam mengatasi permasalahan komunikasi dengan orang lain sehingga
dapat melakukan suatu pekerjaan dengan baik dan benar.
Menurut penelitian Noraini Abdullah, Mohd Hanafi Mohd Yasin,Abang
Adam Abang Deli dan Nur Aishah Abdullah (2015) dalam” Vocational
Education as a Career Pathway for Students with Learning Disabilitas
“mengemukakan bahwa Kurikulum pendidikan kejuruan khusus adalah kurikulum
alternatif untuk menyediakan kesempatan baru bagi siswa dengan kebutuhan
khusus. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi isu-isu dan
tantangan pendidikan kejuruan bagi siswa dengan ketidakmampuan belajar
terhadap persiapan karir mereka . Penelitian ini menggunakan pendekatan
31

kualitatif dengan rancangan studi kasus. Data yang dikumpulkan dengan


menggunakan wawancara yang melibatkan 6 guru dari SMK di Program
Pendidikan Khusus Integrasi dengan Learning Disabilities (SEPILD) Suatu data
dianalisis menggunakan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga tantangan
utama, yaitu kesulitan dalam menerapkan pengajaran dan pembelajaran dalam
kurikulum pendidikan kejuruan, bekerja sama dan tantangan dalam penyediaan
pengalaman karir bagi siswa. Diharapkan ini Penelitian akan mengidentifikasi
masalah dalam pelaksanaan pendidikan kejuruan bagi siswa dengan
ketidakmampuan belajar sejalan dengan kemampuan mereka dan memenuhi
kebutuhan pengusaha
Penelitian Muslimah dalam “Efektifitas pendidikan Ketrampilan Bagi anak
Berkebutuhan khusus (tunagrungu) untuk membentuk sikap kemandirian
“mengemukakan bahwa Pendidikan ketrampilan memamg diperlukan bagi siswa
SLB termasuk anak tunarungu.Berbagai pendidikan yang ditawarkan kepada
orang tua siswa maupun siswa antara lain tatarias,(salaon),tata
boga(memasak),bengkel,pertanian dan tata busana(menjahit) menjadi pilihan yang
di berikan kepada anak untuk dapat menjadikan anak berlatih mandiri.
Sasaran yang ingin dicapai melalui pendidikan ketrampilan yaitu membentuk
sikap kemandirian bagi para siswa ternyata belum maksimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Senja Aisah Darma dan wagino dalam
“Pelaksanaan Bimbingan Karir untuk kemandirian Siswa Tunarungu Di SMA-B”
mengemukakan bahwa Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui proses penelitian
terhadap pelaksanaan bimbingan karier untuk kemandirian siswa tunarungu di
SMALB-B Karya Mulia Surabaya yang telah dideskripsikan dan dianalisis pada
Bab IV maka penelitian dapat disimpulkan bahwa:
a.Pelaksanaan bimbingan karier sudah cukup baik, terbukti dengan
terlaksananya seluruh pedoman bimbingan karier di SMALB-B Karya
Mulia Surabaya. Pedoman singkat pelaksanaan bimbingan karier
meliputi pendekatan pembimbing, teknik pemahaman individu, teknik
dan cara pendekatan, serta teknik evaluasi.
b. Kemandirian siswa tunarungu sebelum mengikuti bimbingan karier
adalah sudah cukup baik, karena siswa tunarungu sudah di latih mandiri
32

sejak SDLB nya sehingga masuk SMALB sudah cukup mandiri


meskipun belum mengikuti bimbingan karier.
c. Kemandirian siswa tunarungu saat mengikuti bimbingan karier ialah
sudah sangat baik dalam mengerjakan tugas praktek, namun untuk
kemandirian yang berhubungan dengan berbahasa masih butuh bantuan
d. Kemandirian siswa tunarungu setelah mengikuti bimbingan karier ialah
hampir seluruh siswa tunarungu memiliki kemandirian dan
tanggungjawab yang baik meskipun di luar jam pelajaran bimbingan
karier.
e. Hasil bimbingan karier siswa tunarungu di SMALB-B Karya Mulia
Surabaya ialah siswa mampu menentukan pilhan karier setelah lulus
dari SMALB apakah ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, bekerja, atau penganggur
Menurut Penelitian Ira Puspitawati,dan Revi Safitri dalam “ Hubungan antara
Kemampuan Komunikasi dengan Kemandirian Pada Remaja Tunarungu”
menyebutkan Penelitian ini berusaha untuk menguji hubungan antara
kemampuan komunikasi dengan kemandirian pada remaja tunarungu.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis dalam penelitian ini
ditolak dengan nilai signifikansi sebesar 0,165 (P > 0,05), yang berarti tidak ada
hubungan yang signifikan antara kemampuan komunikasi dengan kemandirian
pada remaja tunarungu. Berdasarkan perhitungan dapat dilihat bahwa pada
variabel kemampuan komunikasi memiliki mean empirik yaitu 73,11 berada
diantara MH – SDH < x ≤ MH + SDH (36,7 < x ≤ 73,3), yang berarti subjek
memiliki kemampuan komunikasi yang termasuk sedang.
Kemandirian seseorang sangat dipengaruhi dari pola asuh orang tua.
Menurut Anshar dan Alshodiq (2005), bahwa pola asuh sangat berperan besar
dalam membentuk kemandirian seorang anak. Perkembangan anak dimulai dari
lahir sampai berfungsi secara mandiri sangat ditentukan oleh pola asuh, orang tua
memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengasuh secara optimal. Secara
alamiah, setiap anak mempunyai dorongan untuk mandiri, dan perlu dilatih untuk
mengembangkan kemandirian sesuai kapasitas dan tahapan perkembangan.
33

Misalnya jika sejak kecil seseorang telah dibiasakan untuk mandiri, maka dengan
sendirinya orang tersebut akan tumbuh sebagai orang yang mandiri (Hadibroto
dkk, 2002). Tahapan dimana kemandirian menjadi salah satu tugas perkembangan
yang paling penting bagi seseorang adalah pada masa remaja.
Berdasarkan hasil mean dari sukunya ternyata subjek yang berasal dari
suku NTB memiliki kemandirian yang cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena orangtua subjek
berurbanisasi ke pulau Jawa yang hidup jauh dari keluarga dan bekerja keras
untuk bertahan hidup, sehingga subjek terbiasa dididik untuk mandiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Ayudhira Wiranti dalam “Hubungan antara
Attachment terhadap ibu dengan Kemandirian pada Remaja Tunarungu”
mengemukakan bahwa Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
attachment terhadap ibu dengankemandirian pada remaja tunarungu.
Penelitian yang dilakukan oleh Latifah Na`maika dalam “Manajemen
Kurikulum Vokasional Program Ketrampilan Tata Boga untuk Terciptanya
Budaya Mandiri Peserta Didik Di MAN Tempel Sleman” mengemukakan bahwa
Perencanaan kurikulum Vokasional program ketrampilan tata boga untuk
terciptanya budaya mandiri peserta didik MAN Tempel berupa Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar(SK-KD) ,Silabus, dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Perencanaan tersebut telah budaya mandiri pada indikator
silabus dan RPP,yaitu: peserta didik dapat melaksanakan semua tahapan
pembelajaran ketrampilan tataboga mulai dari persiapan alat dan
bahan,pengolahan,himga pemasaran secara mandiri.
B. Kerangka Berpikir

Rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Merencanakan pemagangan bagi peserta didik SMALB tunarungu.
2. Melaksanakan pemagangan bagi peserta didik tunarungu.
3. Menyusun rancangan penilaian kinerja peserta didik dalam praktek magang.
4. Melakukan evaluasi efektitifitas program magang.
34

Alasan Pemagangan Tindakan :


1. Memberikan Pelatihan
1. Kemampuan Ketrampilan ketrampilan Di sekolah
Rendah 2. Membawa anak
2. Sarana dan prasarana melakukan kegiatan
yang kurang memadahi ketrampilan di dunia
kerja
3. Mengevaluasi
kemampuan ketrampilan
anak

Masalah :

Bagaimanakah meningkatkan

Ketrampilan vokasional bagi anak

Tunarunggu di kelas XI /B SLB

ABCD YSD Polokarto ,Sukoharjo?

Tujuan Pendidikan Pemagangan : Kesimpulan :


Dengan melaksanakan
1.Meningkatkan kemampuan kegiatan pemagangan di
ketrampilan anak dunia Industri dapat
meningkatkan
2. Memberikan pengalaman kepada kemampuan vokasional
anak tentang dunia kerja yang anak Tunarungu di SLB
sesungguhnya ABCD YSD Polokarto
Sukoharjo.
3. Membantu mengenal kemampuan
diri dalam memilih jenis ketrampilan

Gambar 2.1. Bagan Rancangan Penelitian


35

C. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori yang telah dikembangkan dalam penelitian ini


maka dapat dirumuskan hipotesis sementara yaitu :
1. Pendidkan keterampilan vokasioanal dapat meningkatkan keterampilan hidup
peserta didik SMALB-B.
2. Keterampilan vokasional dengan model magang mampu membuat peserta
didik bekarja dengan baik sehingga dapat bersaing pada dunia kerja.

Anda mungkin juga menyukai