Anda di halaman 1dari 13

Kegiatan Belajar 9:

TUNA RUNGU DAN KELAINAN BICARA

Setelah mempelajari materi yang disajikan pada Modul 2 Kegiatan Belajar 3


ini, Anda diharapkan dapat:
1. Menjelaskan macam-macam jenis bentuk-bentuk kelainan bicara dan
Bahasa yang dialami seseorang dalam fase perkemabangannya.
2. Menjelaskan karakteristik kelainan artikulasi bicara
3. Menjelaskan karakteristik kelainan arus ujaran dalam berbicara.
4. Menjelaskan karakteristik kelainan pita suara
5. Menjelaskan karakteristik kelainan bicara dan Bahasa yang dikaitkan
dengan cerebral palsy
6. Menjelaskan factor penyebab berbagai karakteristik kelainan bicara dan
bahasa.

Pengantar
Dalam susunan pancaindera manusia, telinga sebagai indera pendengaran
merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui
penglihatan. Oleh karena itu, kehilangan sebagian atau keseluruhan
kemampuan untuk mendengar berarti kehilangan kemampuan menyimak secara
utuh peristiwa di sekitarnya. Akibatnya semua peristiwa yang terekam oleh
penglihatan penderitanya, tampak seperti terjadi secara tiba-tiba tanpa dapat
memahami gejala awalnya.
Secara fisiologis, keberadaan organ telinga di atas dalam sistem
pendengaran manusia memiliki fungsi sebagai penghantar getaran suara
(konduksi) serta berfungsi sebagai penerima suara (persepsi). Organ telinga
berfungsi sebagai penghantar meliputi: organ telinga yang terdapat di telinga
bagian luar, telinga bagian tengah dan sebagian telinga bagian dalam.
Sedangkan organ telinga berfungsi sebagai penerima meliputi sebagian telinga
bagian dalam, syaraf pendengaran (auditory nerve) dan sebagian dari otak
yang mengatur persepsi bunyi.
Selanjutnya melalui syaraf, rangsang suara tersebut diteruskan ke pusat
pengertian. Di pusat pengertian inilah suara mengalami proses pengolahan dan
pemahaman melalui tanggapan akustik. Di sinilah timbulnya kesadaran seseorang
terhadap suara atau bunyi (Thompson, 2012).
Jika dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau lebih organ
telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam
mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan (National
Health Service, 2009) atau sebab lain yang tidak diketahui, sehingga organ
tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, keadaan tersebut dikenal
dengan tunarungu (memiliki hambatan, gangguan, kelainan pada aspek
pendengaran). Anak yang berada dalam keadaan bermasalah dalam pendengaran
tersebut, selanjutnya disebut sebagai anak dengan gangguan atau berkelainan
pendengaran atau anak tunarungu
Gambar 3.1. Penampang Telinga Manusia.

Klasifikasi anak penyandang gangguan pendengaran atau tunarungu


secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi kelompok tuli (deafness) dan
kelompok lemah pendengaran (hard of hearing) (Hallahan & Kauffman, 2006;
Kirk et.al., 2009). Seseorang dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia
kehilangan kemampuan mendengar 70 dB atau lebih menurut ISO, sehingga ia
akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaraan orang lain
walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing aid). Sedangkan kategori lemah pendengaran, Seseorang
dikategorikan lemah pendengaran jika ia kehilangan kemampuan mendengar
antara 35 - 69 dB menurut ISO, sehingga mengalami kesulitan mendengar suara
orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba
memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.
The Royal Institute for Deaf People (2009) mengelompokkan anak
tunarungu menjadi: gangguan pendengaran ringan, gangguan pendengaran
sedang, gangguan pendengaran parah dan gangguan pendengaran sangat parah
(Thompson, 2012). Secara terperinci The American Speech-Language Hearing
Association (2008) untuk kepentingan layanan pendidikannya mengklasifikasikan
anak dengan gangguan pendengaran berdasarkan jenjang ketunarunguannya,
sebagai berikut: tunarungu kategori slight losses (kehilangan pendengaran 15-20
dB), tunarungu kategori mild losses (kehilangan pendengaran 20-40 dB),
tunarungu kategori moderate losses (kehilangan pendengaran 40-60 dB),
tunarungu kategori severe losses (kehilangan pendengaran 60-80 dB), tunarungu
kategori profoundly losses (kehilangan pendengaran >80 dB).
Tunarungu kategori slight losses (kehilangan pendengaran 15-20 dB)
memiliki ciri-ciri antara lain: (a) kemampuan mendengar masih baik karena
berada di garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan pendengaran
taraf ringan, (b) tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat
mengikuti sekolah biasa dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan,
terutama harus dekat guru., (c) dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui
kemampuan pendengarannya, (d) perlu perhatian kekayaan perbendaharaan
bahasa supaya perkembangan bicara dan bahasanya tidak terhambat, (e)
disarankan yang bersangkutan menggunakan alat bantu dengar untuk
meningkatkan ketajaman daya pendengarannya. Untuk kepentingan
pendidikannya pada anak tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan
latihan membaca bibir untuk pemahaman percakapan.
Tunarungu kategori mild losses (kehilangan pendengaran 20-40 dB)
memiliki ciri-ciri antara lain: (a) dapat mengerti percakapan biasa pada jarak
sangat dekat, (b) tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya,
(c) tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah, (d) kesulitan
menangkap isi pembicaraan dari lawan bicaranya, jika berada pada posisi tidak
searah dengan pandangannya (berhadapan), (e) untuk menghindari kesulitan
bicara perlu mendapatkan bimbingan yang baik dan intensif, (f) ada kemungkinan
dapat mengikuti sekolah biasa, namun untuk kelas-kelas permulaan sebaiknya
dimasukkan dalam kelas khusus, (g) disarankan menggunakan alat bantu dengar
(hearing aid) untuk menambah keajaman daya pendengarannya. Kebutuhann
layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir,
latihan pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosa kata.
Tunarungu kategori moderate losses (kehilangan pendengaran 40-60 dB)
memiliki ciri-ciri antara lain: (a) dapat mengerti percakapan keras pada jarak
dekat, kira-kira satu meter, sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada jarak
normal, (b) sering terjadi mis-understanding terhadap lawan bicaranya, jika ia
diajak bicara, (c) penyandang tunarungu kelompok ini mengalami kelainan
bicara, terutama pada huruf konsonan. misalnya; huruf konsonan “K” atau “G”
mungkin diucapkan menjadi “T” dan “D” , (d) kesulitan menggunakan bahasa
dengan benar dalam percakapan, (e) perbendaharaan kosa katanya sangat terbatas.
Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini meliputi:
latihan artikulasi, latihan membaca bibir, latihan kosa kata, serta perlu
menggunakan alat bantu dengar untuk membantu ketajaman pendengarannya.
Tunarungu kategori severe losses (kehilangan pendengaran 60-80 dB)
memiliki ciri-ciri antara lain: (1) kesulitan membedakan suara, (2) tidak memiliki
kesadaran bahwa benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki getaran suara.
Kebutuhan layanan pendidikannya, perlu layanan khusus dalam belajar bicara
maupun bahasa, menggunakan alat bantu dengar, sebab anak yang tergolong
kategori ini tidak mampu berbicara spontan. Oleh sebab itu, tunarungu ini
disebut juga tunarungu pendidikan, artinya mereka benar-benar dididik sesuai
dengan kondisi tunarungu. Pada intensitas suara tertentu mereka terkadang
dapat mendengar suara keras dari jarak dekat seperti,; gemuruh pesawat terbang,
gonggongan anjing, teter mobil, dan sejenisnya. Kebutuhan pendidikannya anak
tunarungu kelompok ini perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir,
latihan pembentukan kosa kata.
Tunarungu kategori profoundly losses (kehilangan pendengaran >80 dB)
memiliki ciri utama bahwa yang bersangkutan dapat mendengar suara keras sekali
pada jarak kira-kira 1 inchi - 2,54 cm atau sama sekali tidak mendengar.
Biasanya ia tidak menyadari bunyi keras, mungkin juga ada reaksi jika dekat
telinga. Anak tunarungu kelompok ini meskipun menggunakan pengeras suara
tetapi tetap tidak dapat memahami atau menangkap suara. Jadi, mereka
menggunakan alat bantu dengar atau tidak dalam belajar bicara atau bahasanya
sama saja. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu dalam
kelompoki ini meliputi: membaca bibir, latihan mendengar untuk kesadaran
bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran dengan menggunakan metode-
metode pengajaran yang khusus seperti; tactile kinestetic, visualisasi yang
dibantu dengan segenap kemampuan inderanya yang tersesisa.

x = telinga kiri
o = telinga kanan

Dilihat dari akibat yang menyertai dari kondisi ketunarunguan yang


dialami oleh seseorang, berdasarkan pentahapan terjadinya dapat dikelompokkan
menjadi tunarungu pre-lingual dan tunarungu post-lingual. Tunarungu pre-lingual
terjadi manakala kehilangan pendengarannya terjadi pada masa kanak-kanak
sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk. Sedangkan tunarungu post-lingual
adalah jenis ketunarunguan yang terjadi manakala anak lahir dengan pendengaran
normal, namun setelah mencapai usia dimana anak sudah memahami suatu
percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran karena satu
dan lain sebab. Ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa
kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, ada kecenderungan termasuk
dalam kategori tunarungu berat. Sedangkan ketunarunguan yang diperoleh
setelah anak memahami percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk,
ada kecenderungan termasuk dalam kategori sedang atau ringan.

Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Bicara dan Bahasa


Terdapat semacam kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami
tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknya sulit
dihindari, karena keduanya dapat merupakan rangkaian sebab dan akibat.
Seseorang penderita tunarungu, terutama jika terjadi pada sebelum bahasa dan
bicaranya terbentuk, dapat dipastikan bahwa akibat berikut yang terjadi pada diri
penderita adalah kelainan bicara (tunawicara). Namun tidak demikian halnya
seseorang penderita tunawicara, tidak ditemukan rangkaian langsung dengan
kondisi tunarungu. Kasus-kasus seperti penderita stuttering (gagap) dan
cluttering (kekacauan artikulasi) adalah contoh-contoh kelainan bicara yang
sebenarnya kecil kemunghkinannya berkaitan dengan kondisi ketunarunguan.
Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas gangguan anak tunarungu
dalam aspek kebahasaannya. Pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran
(tunarungu) berdampak pada kesulitan dalam menerima segala macam rangsang
bunyi atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat
keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya penderita
akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada
di sekitarnya. Kemunculan kedua kondisi tersebut pada anak tunarungu, secara
langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan
bicaranya.
Pada anak yang normal pendengarannya, perkembangan bahasa dan
bicaranya secara kronologis akan melewati fase-fase berikut: fase reflexive
vocalization (0 - 6 minggu), fase babling (6 minggu - 6 bulan), fase lalling (6
bulan-9 bulan), fase yargon (9 bulan - 12 bulan), fase true speech (12 bulan -
18 bulan) (Smith, 1979). Anak yang mengalami ketunarunguan sejak lahir,
tampak sulit untuk melewati fase-fase perkembangan bahasa dan bicara seperti
yang diuraikan di atas. Pada penderita tunarungu sejak lahir ketika meniti fase
pertama perkembangan bahasa dan bicara barangkali tidak mengalami kesukaran,
karena pada fase ini anak hanya melakukan refleksi suara yang tidak teratur
dan hanya menangis saja. Namun pada fase berikutnya yakni fase babbling atau
meraban (masa dimana anak mulai mencoba untuk mereaksi suaranya sendiri)
perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu segera terhenti (Kirk et.al.,
2009) . Kekhasan yang terjadi pada fase ini, biasanya timbul keinginan pada diri
anak untuk menyatakan suaranya, terutama bila merasa puas atau senang sekali
melalui variasi suara yang tak jelas. Fase ini berlangsung hingga usia 6 bulan.
Kemandegan perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu
yang berhenti pada awal masa meraban ini, disebabkan tidak adanya umpan
balik atas suaranya sendiri dan perhatian orang di sekitarnya. Oleh karena itu,
pada akhir fase ini perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu tidak
diikuti fase perkembangan berberikutnya. Oleh karena itu bila bahasa tidak
dipelajari pada masa kritis, maka seseorang akan mengalami kesulitan dalam
menguasai bahasa (Suzan & Rizzo, 1979 dalam Mangunsong, 2009).
Terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu jelas
merupakan masalah utama, karena kita tahu bahwa perkembangan bahasa dan
bicara bagi manusia mempunyai peranan yang vital. Memang sulit dibuktikan
tentang kemampuan berpikir seseorang tanpa aktualisasi lewat ekspresi lisan
(bicara) maupun penulisan bahasa (tulisan). Furth (1966) beranggapan bahasa
adalah alat mutlak dalam komunikasi dan bukan alat mutlak alat berpikir,
namun, kecakapan bahasa seseorang tergantung kepada kecerdasannya (dalam
Cruickshank, 1980). Perkembangan intelektual sangat ditentukan oleh
pengalamannya terutama dalam bahasa, karena bahasa dapat dipergunakan untuk
menerima konsep-konsep ilmu pengetahuan. Misalnya; seseorang anak yang tiba-
tiba melihat suatu benda yang jarang ditemui atau baru pertama kali dijumpai,
tentu timbul hasrat untuk mengetahui lebih banyak tentang benda yang
dilihatnya, mulai dari namanya, jenisnya, suaranya, dan seterusnya pokoknya
segala sesuatu yang menjadi karakteristik benda tersebut, contohnya mobil,
gajah, kapal, dan lain-lainnya.
Bagi anak normal untuk memahami tentang peristiwa benda yang
pernah dikenalnya bukanlah suatu yang sulit, karena ia dapat memahami lewat
penglihatan dan pendengaran serta dibantu yang lain. Hasil eksplorasi dari
lingkungan akan disimpan dalam ingatannya. Untuk anak yang sudah memahami
lambang atau simbul bahasa yang diwujudkan dalam bentuk huruf, manakala
benda itu dapat dilihat dan didengar serta diasosiasikan pula melalui sebuah
rangkaian huruf hingga menjadi sebuah kata atau kalimat bermakna. Tidak
demikian halnya bagi anak tunarungu, segala sesuatu yang sempat terekam di
otak lewat persepsi visualnya, tak ubahnya bagai pertunjukkan film bisu. sebab
anak tunarungu hanya dapat menangkap peristiwa itu secara visual saja dan tidak
lebih dari itu. Atas dasar itulah menurut Sastrawinata (1979) rata-rata problem
yang dihadapi oleh anak tunarungu dari aspek kebahasaannya tampak: (1)
miskin kosa kata (perbendaharaan kata/bahasa terbatas), (2) sulit mengartikan
ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan atau sindiran, (3) kesulitan dalam
mengartikan kata-kata abstrak seperti kata Tuhan, pandai, mustahil, dan lain-
lain, (4) kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa (Efendi, 2008).
Quiqley (1978) pernah mengadakan penelitian tentang penafsiran bahasa
anak tunarungu yang berusia 4 tahun. Ia mencoba mengajarkan peristiwa bahasa
dengan pola susunan subyek, predikat dan obyek dalam suatu kalimat.

Kalimat Penafsiran Anak Tunarungu


Pasif: Anak laki-laki ditolong anak Anak laki-laki menolong anak
Perempuan perempuan
Aktif: Anak laki-laki melihat anak Anak perempuan membawa boneka
perempuan membawa boneka
Lengkap: Anak laki-laki menendang Anak laki-laki menendang bola
bola dan memecahkan kaca

Dapat dimengerti jika keterbatasan anak tunarungu dalam


mengintepretasikan kalimat di atas, karena kemampuannya menginterpretasi
hanya bersandar pada pengalaman bahasanya yang terbatas. Oleh sebab itu,
semakin bertambahnya usia semakin serius pula masalah yang dihadapi anak
tunarungu, terutama berkenaan dengan kemampuan bahasa dan bicaranya. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan anak tunarungu mengalami gangguan
kemampuan bicara: (1) anak tunarungu mengalami kesukaran dalam penyesuaian
volume suara, (2) anak tunarungu memiliki kualitas suara yang monoton, (3)
anak tunarungu kesulitan dalam malakukan artikulasi bicara secara tepat.

Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tunarungu dari aspek


kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah
pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program
pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan
kemampuan bahasa dan bicara anak tunarungu, yaitu oral dan isyarat. Selama
beberapa dekade kedua pendekatan digunakan dalam pendidikan anak tunarungu
secara kontroversial, sebab masing-masing institusi punya dasar filosofi berbeda.
Sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan kombinasi kedua pendekatan
tersebut. Beberapa penelitian diketahui, bahwa pemakaian kombinasi metode
dapat meningkatkan pencapaian pendidikan umum (Stevenson, 1964)
kemampuan membaca ujaran (Stuckless dan Birch, 1966) kemampuan bahasa
tulis dan kematangan sosial (Meadow, 1968). Penguasaan kemampuan
pemerolehan kosa kata anak tunarungu serta kemampuan mengungkapkan dalam
berbicara dengan menggunakan metode kombinasi isyarat dan oral rata-rata
mencapai 66% (Mulyana, 1993). Demikian pula dalam hal kecepatan membaca
efektif, anak tunarungu yang dididik dengan menggunakan komunikasi total
(kombinasi metode oral dan isyarat) memiliki kecepatan membaca efektif yang
lebih baik daripada anak tunarungu yang dididik menggunakan metode oral
(Asikin, 1995).
Program khusus pengembangan kemampuan komunikasi merupakan
upaya yang dilakukan untuk melatih berbagai kemampuan komunikasi peserta
didik tunarungu yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dengan orang lain di
lingkungan di mana mereka berada. Tujuan pengembangan kemampuan
komunikasi yaitu agar peserta didik tunarungu, antara lain: memiliki dasar
kemampuan ucapan yang benar, mampu membentuk bunyi bahasa (vocal dan
konsonan) dengan benar, sehingga dapat dimengerti orang lain, memiliki
keyakinan bahwa bunyi/suara yang diproduksi melalui alat biacaranya memiliki
makna, memiliki keterampilan pengucapan fonem, memiliki keterampilan
pengucapan kata, memiliki keterampilan pengucapan kalimat, memiliki
keterampilan komunikasi timbal balik secara lisan.

Dampak Ketunarunguan Terhadap Perkembangan Kecerdasan


Kecerdasan seseorang seringkali dihubungkan dengan prestasi
akademis, sehingga orientasi akademis tertentu yang dicapai seseorang
merupakan gambaran riil kecerdasannya. Gambaran tentang tingkat kecerdasan
itu sendiri secara spesifik hanya dapat dapat diketahui melalui tes-tes kecerdasan.
Distribusi kecerdasan yang dimiliki anak tunarungu sebenarnya tidak
bedanya dengan anak normal umumnya. Sebab anak tunarungu ada yang
memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata (average),
maupun di bawah rata-rata (sub-normal). Namun untuk menggambarkan secara
riil keragaman kecerdasan anak tunarungu seringkali mengalami kesulitan. Untuk
mengetahui kondisi kecerdasan anak tunarungu memerlukan cara-cara yang agak
berbeda dibandingkan dengan anak normal umumnya.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, kehilangan
pendengaran yang dialami anak tunarungu berdampak pada kemiskinan kosa
kata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi, efeknya dapat menyebabkan
perbedaan sangat signifikan tentang apa yang tidak dapat dan apa yang dapat
dilakukan oleh anak tunarungu maupun anak normal. Tanpa memperhatikan
kenyataan ini, jelas akan mengakibatkan mengalami kekeliruan dalam mengambil
kesimpulan tentang kondisi kecerdasan anak tunarungu. Atas dasar itulah dalam
menyajikan perangkat tes apapun terhadap anak tunarungu, hendaknya
mempergunakan perintah-perintah yang lebih akurat dan mudah dipahami anak
tunarungu. Sebab tidak mustahil kekeliruan seorang tester dalam menyampaikan
perintah tes kepada anak tunarungu berdampak pada kesesatan intepretasi
terhadap kondisi kecerdasan anak tunarungu yang sebenarnya.
Cruickshank (1980) mengemukakan bahwa anak tunarungu seringkali
memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang nampak
terbelakang. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan
pendengaran yang dialami oleh anak, melainkan juga tergantung kepada potensi
kecerdasan yang dimilikinya. Rangsangan mental serta dorongan dari
lingkungan sekitar, dapat memberikan kesempatan bagi anak tunarungu untuk
mengembangkan kecerdasannya. Pintner, seorang psikolog yang bekerja pada
lembaga pendidikan anak tunarungu mengemukakan bahwa anak tunarungu
hanya dapat menunjukkan kemampuan dalam bidang motorik dan mekanik, serta
intelegensi kongkrit, akan tetapi memiliki keterbatasan dalam intelegensi verbal
dan kemampuan akademik (Siregar, 1981).
Menyiasati masalah prestasi akademik yang dicapai oleh rata-rata anak
tunarungu, Pusat Studi Demografi Universitas Gallaudet (Universitas yang
mahasiswanya sebagian besar penderita tunarungu) yang berkedudukan di
Amerika Serikat. Berdasarkan hasil tes prestasi anak tunarungu dapat disimpulkan
bahwa anak tunarungu berusia 10 tahun memiliki kemampuan setingkat dengan
anak kelas II dalam membaca dan berhitung. Sedangkan anak tunarungu
berusia 17 tahun memiliki kemampuan setingkat dengan anak kelas IV dalam hal
berhitung. Masih menggunakan tes yang sama (tes prestasi Stanford).
Jensema (1975) mencatat bahwa anak tunarungu yang memasuki periode
usia 10 tahun dari usia 8 - 10 tahun, rata-rata mengalami penambahan kosakata
sebanyak pada murid-murid yang normal pendengarannya antara permulaan
taman kanak-kanak hingga akhir kelas II. Ditambahkan pula, kemampuan
membaca anak tunarungu usia 14 tahun setingkat dengan anak kelas III.
Demikian juga dalam kemampuan berhitung, anak tunarungu usia 10 tahun
setingkat dengan anak normal kelas III. Pada bagian lain ditemukan pula,
bahwa usia terjadinya ketunarunguan dan tingkat keparahan memainkan
peranan penting dalam mencapai prestasi anak. Prestasi anak yang mengalami
ketunarunguan setelah usia 3 tahun akan lebih tinggi dari anak yang mengalami
ketunarunguan lebih awal, dan anak yang memiliki taraf ketunarunguan kategori
ringan memiliki prestasi lebih besar (dalam Efendi, 2008).
Trybus dan Kurchmer (1977) melaporkan hasil penelitiannya tentang
kemajuan membaca dan berhitung pada 1543 anak tunarungu usia 3 tahun. Ia
menemukan bahwa pemahaman membaca anak tunarungu usia 9 tahun setingkat
anak kelas II, dan pada usia 20 tahun setingkat dengan anak normal kelas V.
Meskipun pada beberapa penelitian anak tunarungu menunjukkan bahwa tingkat
kecerdasan anak tunarungu rata-rata berada di bawah anak normal, akan tetapi
adapula yang menunjukkan tingkat kecerdasan anak tunarungu normal.
(dalam Cruickshank, 1980)
Furth melakukan penelitian dengan memberikan tes kepada anak
tunarungu untuk mengetahui kemampuannya dalam memahami: (1) konsep
klasifikasi yaitu menyimpulkan benda- benda yang sama, (2) konsep servasi
yaitu menyusun benda-benda dari segi bentuk dan ukurannya, (3) konsep
konservasi yaitu pengertian bahwa berat dan isi dari benda cair sifatnya tetap.
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam hal ini kemampuan anak tunarungu sama
dengan anak normal. Menurut Furth, kemampuan kognitif anak tunarungu tidak
mengalami gangguan kecuali konsep yang tergantung pada pengalaman bahasa,
dan jika ada anak tunarungu yang kurang dalam menyelesaikan tugas-tugas
intelektualnya, mungkin karena kurangnya dorongan orang tua atau layanan
pengajarannya kurang efektif. Di samping itu, akibat yang ditimbulkan oleh
kelainan pendengaran adalah kelemahan dalam mengidentifikasi ucapan yang
diterimanya, sebab speech intelegency dan speech comprehensive anak
tunarungu ini tidak berfungsi secara penuh. Oleh karena itu sedikit sekali anak
tunarungu yang mempunyai kemampuan berbahasa yang lebih sulit strukturnya
(kalimat lengkap).
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil
penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti yang telah diuraikan diatas,
barangkali saja terletak pada: (1) perangkat tes yang digunakan, (2) testernya.
Pada umumnya tes yang digunakan untuk mengukur kecerdasan atau
kepribadian anak tunarungu memang tidak dibuat secara khusus. Tes-tes yang
digunakan seringkali menggunakan instruksi yang sukar ditangkap oleh anak
tunarungu, sehingga respons verbal yang dituntut oleh tes tersebut tidak dapat
diberikan oleh anak tunarungu. Akibatnya hal ini dapat mempengaruhi hasil tes
serta tidak memberi gambaran yang tepat (Kirk et.al, 2009).
Atas dasar itulah tes-tes untuk anak tunarungu dibuat dalam bentuk
perfomance tes, misalnya Form Board Test, Picture Completetion, Block
Design dan lain-lainnya. Demikian pula testernya, tester yang tidak
berpengalaman dalam menghadapi anak tunarungu akan menimbulkan kesulitan
dalam komunikasi, sehingga dapat menjadi penyebab timbulnya penyimpangan
dalam hasil tes. Sebab tes kecerdasan oral seringkali mengabaikan bahasa manual
sebagai bahasa anak tunarungu (Salvia et.al., 2007).
Beberapa tes kecerdasan yang biasa digunakan untuk orang normal,
seperti CPM (colour progresive matrics), WISC (Weschler Intelegence Scale
for Children), dan lain-ain yang dapat juga dipergunakan untuk mengetes
kecerdasan anak tunarungu dengan beberapa modifikasi. Namun, saat ini telah
diciptakan tes kecerdasan yang khusus diperuntukkan bagi anak tunarungu
yakni Snijders Oomen Non-verbal tes (SON), dan World Inteligibility Picture
Identification (WIPI) (Sanders, 1980).

Dampak Ketunarunguan Terhadap Penyesuaian Sosial


Salah satu modal yang utama dalam proses penyesuaian adalah
kepribadian. Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap
seseorang yang akan menentukan cara-cara yang unik dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Karena itu untuk dapat mengetahui kepribadian
seseorang, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana penyesuaian diri yang
dilakukan terhadap lingkungannya, demikian juga pada anak tunarungu.
Kepribadian seseorang seperti yang banyak dibicarakan para ahli, bahwa
dalam perkembangannya banyak ditentukan oleh lingkungannya, terutama
lingkungan keluarga. Pada tahun-tahun pertama perkembangan anak, intervensi
orang tua atau keluarga dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pembenntukan kerangka kepribadian anak. Oleh karena itu, harmonis tidaknya
perkembangan sosial dan kepribadian seorang anak, tergantung pada proses
komunikasi yang terjalin antara anak dengan lingkungannya (keluarga dan
masyarakat sekitar), demikian pula yang terjadi pada anak tunarungu.
Salah satu perangkat pengukuran berupa skala, yang dapat digunakan
untuk mengukur perkembangan kematangan sosial anak tunarungu yaitu The
Veneland Social Maturity Test. Dari beberapa penelitian yang menggunakan
skala ini menunjukkan bahwa anak tunarungu memiliki tingkatan kematangan
sosialnya berada dibawah tingkatan kematangan sosial anak normal. Anak
tunarungu dari orang tua yang tunarungu juga menunjukkan relatif lebih matang
dari pada anak tunarungu yang dari orang tua normal. Anak tunarungu yang
berasal dari residental school (sekolah berasrama) menunjukkan social
immaturity.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa terganggunya
pendengaran pada seseorang menyebabkan terbatasnya penguasaan bahasa, hal
ini dapat menghambat kesempatan untuk berkomunikasi dengan lingkungan
sosialnya (Kirk et.al., 2009). Berangkat dari kondisinya yang demikian,
seseorang yang terganggu pendengarannya (tunarungu) seringkali tampak
frustasi. Akibat ia sering menampakkan sikap-sikap a-sosial, bermusuhan atau
menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan
manakala beban ini ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan-tekanan lain
yang berasal dari luar dirinya (keluarga, teman sebaya, masyarakat sekitar) yang
berupa cemoohan, ejekan bentuk penolakan sejenis dan berdampak negatif. Hal
ini tentu membuat anak tunarungu semakin tidak aman, bimbang dan ragu-
ragu terhadap keberadaan dirinya.
Sebagai bagian integral dari masyarakat yang mendengar, anak
tunarungu tidak dapat lepas dari nilai sosial yang berlaku dan harus
diilaksanakan. Oleh karena itu, penerimaan nilai-nilai sosial bagi anak tunarungu
merupakan jembatan dalam pengembangan kematangan sosial, sebab
kematangan sosial merupakan salah satu sarat yang harus dimiliki oleh setiap
individu dalam penyesuaian sosial di masyarakat.
Siregar (1981) berpendapat untuk mencapai kematangan sosial anak
tunarungu setidaknya memiliki:
1. Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan
di masyarakat.
2. Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan pengetahuan-
pengetahuan tersebut.
3. Cukup mendapat kesempatan mengalami bermacam-macam bentuk hubungan
sosial.
4. Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman di atas.
5. Struktur kejiwaan yang sehat dapat mendorong motivasi yang baik.
Hal-hal yang dipersyaratkan di atas, selain berlaku pada anak tunarungu
sebenarnya berlaku pula pada orang-orang yang normal pendengarannya,
bedanya akibat kehilangan pendengaran menyebabkan anak tunarungu sulit
dalam mencapai kondisi tersebut, sehingga kematangan sosialnya sukar dicapai
dengan sempurna. Derajat kematangan yang dicapai seseorang memang sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam factor. Salah satu diantaranya adalah
pengalaman hidup pada tahun-tahun pertama kehidupannya, yakni hubungan
antara anak dengan orang tua. Jadi, sifat hubungan yang terjadi antara anak
dengan orang tua pada tahun-tahun pertama kehidupannya akan menentukan
corak hubungan antara anak dengan lingkungan sosial sekitar di kemudian hari.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara kontinyu, Van Uden
(dalam Efendi, 2008) berhasil mencatat beberapa sifat kepribadian anak
tunarungu yang berbeda dengan anak normal, antara lain:
1. Anak tunarungu lebih egosentris.
2. Anak tunarungu lebih tergantung terhadap orang lain dan apa-apa yang sudah
dikenal.
3. Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan.
4. Anak tunarungu lebih memperhatikan yang kongkrit.
5. Anak tunarungu lebih miskin dalam fantasi.
6. Anak tunarungu umumnya mempunyai sifat polos, sederhana tanpa banyak
masalah.
7. Perasaan anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrim tanpa banyak
nuansa.
8. Anak tunarungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung.
9. Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan.
10. Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
Dengan memahami karakteristik kepribadian anak tunarungu secara
spesifik dalam kaitannya dengan proses penyesuaian sosial,. maka diupayakan
langkah-langkah untuk mengeliminasi masalah-masalah yang akan
menghambat anak tunarungu dalam melakukan penyesuaian sosial secara akurat.
Masalah penyesuaian sosial anak berkelainan pendengaran atau tunarungu
memang tidak lepas dari saat dimulainya intervensi dan diagnosisnya. Semakin
dini diketahui letak kelainan dan karakteristiknya, maka akan semakin baik
pelaksanaan intervensi habilitasinya. Habilitasi anak berkelainan pendengaran
atau tunarungu yang diketahui sejak lahir, dimaksudkan untuk mengembangkan
strategi apa yang diperlukan bagi pola anak dalam belajar, komunikasi maupun
penyesuaian secara psikologis. Orang tua yang mengetahui bahwa anaknya
mengalami kelainan pendengaran, maka satu hal yang perlu dilakukan yaitu
menyesuaikan secara cepat apa yang harus dilakukan, agar dapat berbuat lebih
banyak untuk kepentingan anaknya. Yang lebih penting dari itu, perlu
diantisipasi persepsi-persepsi baru yang muncul dari adik, kakak, ibu dan saudara
yang lain, sebab persepsi tersebut secara langsung dan tidak langsung sangat
berpengaruh terhadap pemenuhan perkembangan potensi anak tunarungu dalam
penyesuaian sosial.
Pengembangan Diri Program Kekhususan Tunarungu
Program khusus yang perlu diberikan pada pengembangan diri anak
tunarungu adalah Pengembangan Kemampuan Persepsi Bunyi dan Irama
(PKPBI), yaitu program pembinaan penghayatan bunyi yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja, sehingga kemampuan dengar yang masih dimiliki serta
perasaan vibrasi yang dimiliki peserta didik tunarungu dapat dipergunakan sebaik-
baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi
bermakna.
Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah pembinaan dilakukan
secara terprogram seperti tujuan pembinaan, jenis pembinaan, metode yang
digunakan dan alokasi waktu yang ditentukan. Sedangkan pembinaan secara tidak
sengaja adalah pembinaan yang spontan karena peserta didik bereaksi terhadap
bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, seperti tiba-
tiba terdengar bunyi motor, bunyi bel sekolah, suara bedug, kemudian guru
membahasnya. Misalnya, "Oh dengar suara motor ya? Suaranya 'Brem... brem...
brem...' benar begitu?" Kemudian guru mengajak peserta didik menirukan bunyi
bel sekolah dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena peserta
didik bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi. Dengan mengikuti program
pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama yang intensif dan
berkesinambungan anak tunarungu yang beratpun akan mampu berbicara secara
berirama. Hal ini penting artinya sebab irama bahasa akan menunjang daya ingat
anak, dan daya ingat akan besar pengaruhnya dalam perkembangan bahasanya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tujuan pembinaan bicara pada
anak tunarungu adalah sebagai berikut:
1) Agar anak tuna rungu memiliki dasar ucapan yang benar. Anak tunarungu
mampu membentuk bunyi bahasa (vokal dan konsonan) dengan benar,
sehingga dapat dimengerti orang lain.
2) Memberi keyakinan kepada anak tunarungu bahwa bunyi/suara yang
diproduksi melalui alat bicaranya harus mempunyai makna.
3) Agar anak tunarungu mampu mengoreksi ucapannya yang salah. Agar anak
tunarungu bisa membedakan ucapan yang satu dengan ucapan lainnya.
4) Agar anak tunarungu memfungsikan alat-alat bicaranya yang kaku, dengan
harapan otomatisasi alat bicara terlatih dengan baik.
Dengan diberikannya pelayanan pembinaan bicara ada harapan mereka bisa
berbicara walaupun tidak maksimal. Minimal mereka memiliki kepercayaan diri
kemampuan bicara yang baik penting untuk ditumbuhkembangkan pada diri
mereka. .
Bahasa yang diwujudkan secara lisan melalui bicara., maka adanya
hambatan bahasa/bicara sebagimana yang dialami anak tunarungu membutuhkan
pembinaan dan pembentukan bahasa/bicara pada mereka sesegera mungkin.
Artinya, makin awal mereka mendapatkan intervensi dalam pembinaan bicara dan
bahasa, maka dimungkinkan mereka mampu berbahasa/bicara untuk kepentingan
komunikasi yang luas dalam kehidupannya. Urgensinya pembinaan bicara yang
akurat perlu diberikan kepada anak tunarungu, tidak lepas dari pertimbangan
berikut:
1. Anak tunarungu supaya memiliki dasar ucapan yang benar, dalam hal ini anak
tunarungu mampu memiliki pola-pola ucapan bunyi bahasa Indonesia yang
benar atau standar, menurut pola-pola ucapan, yakni sesuai dengan aturan
pola-pola pengucapan. Dengan dilatihnya alat bicaranya, merka diharapkan
akan mempu membuat pola-pola ucapan yang menghasilkan pola bunyi bahasa
yang semestinya.
2. Anak tunarungu diharpkan mampu membentuk bunyi bahasa vokal dan
konsonan yang benar, artinya bahwa dengan dibina bicaranya, anak tunarungu
diharapkan mampu membentuk vokal dan konsonan yang benar dalam
rangkaian/susunan kata-kata dengan tujuan dapat dimegerti orang lain, karena
bagi anak tunarungu dalam mengucapkan vokal maupun konsonan memihki
keterbatasan-keterbatasan.
3. Anak tunarungu memiliki kesadaran dan keyakinan bahwa bunyi yang
diucapkan itu sebenarnya bermakna. Melalui pemahaman makna kosa kata
yang dimilikinya, akan timbul keyakinan diri untuk bisa beradaptasi.
4. Anak tunarungu memiliki kemamuan untuk bisa mengoreksi ucaapannya
sendiri berdasarkan kaidah bahasa yang benar.
5. Anak tunarungu dapat membedakan bunyi satu dengan bunyi yang lainnya
melalui getaran suara yang dapat dirasakannya.
6. Anak tunarungu mampu mengoptimalisasikan organ bicara agar tidak kaku
melalui latihan bicara dan pembinaan bicara..

Anda mungkin juga menyukai