Anda di halaman 1dari 12

KLASIFIKASI TUNA RUNGU WICARA

MAKALAH
disusun guna memenuhi tugas presentasi mata kuliah klien dengan kebutuhan khusus
dosen pengampu: Ns. Latifa Aini S., M.Kep., Sp.Kom.

oleh:
Haidar Dwi Pratiwi NIM 112310101012
Frandita Eldiansyah NIM 112310101014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

PEMBAHASAN
A. Definisi
Sardjono (2000) menjelaskan bahwa pengertian anak tuna rungu wicara
adalah sebagai berikut.
1) Tuna Rungu adalah mereka yang menjalani kekurangan tetapi masih
mampu (tidak kehilangan kemampuan berbicara).
2) Tuna Wicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir,
yang karenanya tidak dapat manangkap pembicaraan orang lain, sehingga
tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tidak
mengalami gangguan pada alat suaranya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tuna rungu
wicara adalah anak yang mengalami ketulian berat sampai total, tetapi mereka masih
mempunyai kemampuan berbicara.

B. Klasifikasi
Klasifikasi anak tuna rungu dapat dibedakan menjadi beberapa macam
menurut beberapa ahli.
Klasifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk dalam
Sardjono (2000) adalah sebagai berikut.
a. 0 dB : menunjukkan pendengaran optimal.
b. 0-26 dB : menunjukkan masih mempunyai pendengaran normal.
c. 27-40 dB : menunjukkan kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh,
membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi
wicara (tergolong tuna rungu ringan).
d. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi
kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tuna
rungu sedang).
e. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari arah yang dekat, masih
mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa ekspresif ataupun

reseptif dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan
cara yang khusus (tergolong tuna rungu agak berat).
f. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang
dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif,
membutuhkan alat bantu mendengar (ABM) dan latihan bicara secara
khusus (tergolong tuna rungu berat).
g. 91 dB keatas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran,
banyak tergantung pada penglihatan dari \pada pendengarannya untuk
proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong
tunar ungu barat sekali).
Kehilangan pendengaran pada anak tuna rungu dapat diklasifikasikan dari
0-91 dB ke atas. Setiap tingkatan kehilangan pendengaran mempunyai
kemampuan mendengar suara atau bunyi yang berbeda-beda, sehingga
mempengaruhi kemampuan komunikasi anak tuna rungu terutama pada
kemampuan anak berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggi
kehilangan pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya.
Berdasarkan tingkat kehilangan ketajaman pendengaran yang diukur dengan
satuan desiBell (dB), klasifikasi anak tuna rungu menurut Purwanto (1998) adalah
seperti berikut.
a) Sangat ringan (light) : 25 dB - 40 dB
b) Ringan (mild) : 41 dB - 55 dB
c) Sedang (moderate) : 56 dB - 70 dB
d) Berat (severe) : 71 dB - 90 dB
e) Sangat berat (profound) : 91 dB lebih
Tingkat kehilangan pendengaran dapat di bagi menjadi 5 tingkatan, yaitu
sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat. Semakin tinggi kehilangan
pendengaran, semakin lemah kemampuan mendengar suara atau bunyi bahkan
hanya merasakan getaran dari suara saja. Selain itu juga, biasanya berdampak
pada kemampuan komunikasi, terutama kemampuan bicara dengan artikulasi yang
jelas sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain.

Klasifikasi tuna rungu menurut tarafnya diketahui dengan jalan mengukur


gradasi kehilangan rungu dengan menggunakan audiometer (tes audiometris).
Kekuatan rungu dan hilangnya rungu dinyatakan dengan decibel yaitu satuan yang
dipakai untuk menyatakan potensi rungu seseorang. DeciBel biasanya disingkat
dengan huruf dB. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan, Dwijosumarto
(1990) mengklasifikasikan tuna rungu sebagai berikut.
a) Tingkat I : Kehilangan kemampuan mendengar antara 35dB Sampai 54dB.
Penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan secara khusus.
b) Tingkat II : Kehilangan kemampuan mendengar antara 55dB sampai 69dB.
Penderitanya kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara
khusus dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan
bantuan latihan berbahasa secara khusus.
c) Tingkat III : Kehilangan kemampuan mendengar antara 70dB sampai
89dB.
d) Tingkat IV : Kehilangan kemampuan mendengar 90dB keatas. Penderita
dari kedua kategori ini (III dan IV) dikatakan mengalami tuli. Dalam
kebiasaan sehari-hari penderita perlu sekali adanya latihan berbicara,
mendengar, berbahasa dan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak
yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III sampai tingkat IV
pada hakikatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Somad dan Hernawati (1996) mengklasifikasikan tuna rungu menurut letak
kerusakan pada alat pendengarannya, klasifikasi tersebut dibedakan menjadi:
a) Tuli Kondusif
Tuli kondusif terjadi karena tidak berfungsinya organ telinga yang
berperan menghantarkan bunyi dari dunia luar.
b) Tuli Sensorineural
Tuli sensorineural terjadi karena adanya kerusakan atau kelainan di rumah
siput (koklea), saraf pendengaran dan batang otak sehingga bunyi tidak
dapat diproses sebagaimana mestinya. Biasanya merupakan kelainan
bawaan, keturunan/genetika, saat proses persalinan, dan lain-lain. Pada tuli
sensorineural ini umumnya bersifat permanen.

c) Tuli Campuran (Mixed Deatness)


Tuli Campuran terjadi bila pada saat bersamaan seseorang mengalami tuli
kondusif dan tuli sensorineural.
Donald R Calverd dalam Sardjono, 1997, mengklasifikasikan jenis
ketunarunguan serta kemampuan mengerti bicara dan bahasa sebagai berikut:
a. 10 20 dB (normal), tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa.
b. 20 35 dB (mild hearing impairment), tidak ada hubungan dengan
gangguan bahasa. Tapi mungkin perkembangan bahasa terlambat.
c. 35 55 dB (mild to moderate hearing impairment), ada beberapa kesulitan
artikulasi, perkembangan kata mungkin tak sempurna.
d. 55 -70 dB (moderate hearing impairment), artikulasi dan suara tidak baik
dan perbendaharaan kata mungkin tak sempurna.
e. 70 -90 dB (severe hearing loss), artikulasi dan kualitas suara tidak baik.
Kalimat dan aspek-aspek bahasa tidak sempurna.
f. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment), ritme bicara,
suara dan artikulasi tidak baik. Bicara, bahasa harus dikembangkan secara
intensif dan seksama.
g. 100 dB lebih (profound hearing impairment), sangat perlu bantuan tentang
keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu bantuan pengembangan
bicara melalui pendengaran.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengklasifikasian anak tuna rungu dapat dibedakan yaitu berdasarkan
1) Kepentingan pendidikan
Berdasarkan kepentingan pendidikan yang terdiri dari anak tuna rungu
yang mempunyai kemampuan mendengar 35 dB sampai 54 dB (hanya
memerlukan latihan berbicara dan bantuan secara khusus), anak tuna rungu
yang mempunyai kemampuan mendengar 55 dB sampai dengan 69 dB
(memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara
khusus), anak yang kehilangan kemampuan mendengar 70 dB sampai
dengan 89 dB dan anak yang kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke

atas (pada dua kategori akhir ini anak bisa dikatakan tuli total dan
membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus).
2) Letak kerusakan pada indera pendengaran
Berdasarkan letak kerusakan pada indera pendengaran anak tuna rungu
terdiri dari anak yang mengalami tuli kondusif, tuli sensorineurial dan tuli
campuran.
3) Tingkat atau gangguan pendengaran
Anak dengan tuna rungu sangat ringan (0-25 dB), anak dengan tunarungu
rinagan (30-40 dB), anak dengan tunarungu sedang (40-60 dB), anak
dengan tunarungu berat (60-70 dB), anak dengan tuli dan tuli berat (70 dB
dan lebih parah) dan anak dengan tuli total (tuli total).
Klasifikasi tuna wicara dapat dibedakan menjadi beberapa macam menurut
beberapa ahli. Dalam buku Ortopedagogik Umum (1998), Heri Purwanto
mengemukakan tunawicara secara umum diklasifikasikan menjadi 4 bagian,yaitu
1.

Keterlambatan bicara (Delayed speech)


Seseorang yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicaranya
jika dibandingkan dengan anak seusianya.

2.

Gagap (Stuttering)
Kelainan dalam memulai pembicaraan dapat berupa,
a. Pemanjangan fonom atau suku kata depan (prolongation),
b. Pengulangan suku kata depan ( repetition),
c. Gerak mulut berbicara namun tidak keluar suara ( silent struggle )
d. Anak dengan kekacauan dalam berbicara (cluttering), biasanya berupa
bicara terlalu cepat, struktur kalimat tidak karuan, repitisi berlebihan.

3.

Kehilangan kemampuan berbahasa (disphasia).


Kehilangan kemampuan berbahasa mulai dari kesalahan dalam inti
pembicaraan sampai tidak dapat berbicara sama sekali.

4.

Kelainan suara (voice disorder)


Ditandai dengan perbedaan suara dengan anak normal. Adapun kelainan suara
berupa

a. Kelainan nada (pitch)


Kelainan nada bicara dapat berupa nada terlalu tinggi, terlalu rendah, atau
monoton.
b. Kelainan kualitas suara
Kelainan kualitas atau warna suara berupa serak, lemah, atau desah.
c. Kelainan keras lembutnya suara.
Kelainan ini dapat berupa suara keras ataupun suara lembut

DAFTAR PUSTAKA
Dwijosumarto. 1990. Anak Tunarungu. Jakarta: Erlangga
Sardjono.1997. Orthopaedagogiek Tuna Rungu I (Seri Pendidikan bagi Anak
Tuna Rungu). UNS Press.
Sardjono. 2000. Orthopaedagogik Anak Tuna Rungu. Surakarta: UNS Press
Somad, Permainan & Tati Hernawati. 1996. Orthopedagogik Anak Tunarungu.
Bandung: Depdikbud
Purwanto, Heri. 1998. Ortopedagogik Umum.Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

SOAL KASUS
Kasus untuk soal nomor 1 dan 2
1. Sebuah keluarga memiliki seorang anak berumur 12 tahun yang mengalami
gangguan pada pendengarannya (tuna rungu). Anak tersebut bernama An. A.
An. A mengalami gangguan pendengaran sejak ia terjatuh dari atas tempat
tidurnya saat masih bayi. Saat dilakukan pemeriksaan dengan audiometer
didapatlan hasil ketajaman pendengaran An. A yaitu 38 dB. Jika dilihat dari
klasifikasi tuna rungu menurut Samuel Kirk, ciri yang muncul pada An. A
adalah...

2.

a.

Kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh

b.

Tidak dapat mengikuti diskusi kelas

c.

Membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara

d.

Pendengaran optimal

e.

Masih mempunyai pendengaran normal

Berdasarkan kasus pada soal nomor satu di atas, jika dilihat dari klasifikasi
tuna rungu menurut Purwanto, nilai hasil pengukuran Audiometer sebesar 38
dB pada An. A tergolong dalam kelompok tunarungu...
a. Sangat ringan
b. Ringan
c. Sedang
d. Berat
e. Sangat berat

Kasus untuk soal nomor 3, 4, dan 5


3.

Seorang pengusaha muda yang bernama Tn. A datang ke klinik THT Rumah
Sakit Harapan Anda dengan keluhan gangguan pada pendengarannya.
Kemudian dokter klinik melakukan tes audiometer pada Tn. A dan didapatkan
hasil bahwa ketajaman pendengaran Tn. A sebesar 80 dB. Kemudian dokter
menjelaskan hasil pemeriksaan pada Tn. A. Salah satu ciri/gejala yang
disebutkan oleh dokter kepada Tn. A adalah...

10

a. Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat


b. Memerlukan terapi wicara
c. Mendengar ketika sesorang memanggil dirinya
d. Kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh
e. Tidak dapat mengikuti diskusi di kantornya
4.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada Tn. A pada kasus di atas dimana


didapatkan hasil pemeriksaan sebesar 80 dB. Hal apa saja yang sangat
dibutuhkan

oleh

Tn.

untuk

membantu

mengatasi

gangguan

pendengarannya...
1. Pendidikan luar biasa yang intensif
2. Alat bantu mendengar (ABM)
3. Latihan bicara secara khusus
4. Belajar bahasa ekspresif
Jawaban: A. 1, 2, dan 3
5.

Menurut Purwanto, nilai hasil pengukuran Audiometer sebesar 80 dB pada


Tn. A tergolong dalam kelompok tunarungu...
a. Sangat ringan
b. Ringan
c. Sedang
d. Berat
e. Sangat berat

6. Pada penderita tuna rungu anak, setiap tingkatan kehilangan pendengaran


mempunyai kemampuan mendengar suara atau bunyi yang berbeda-beda,
sehingga mempengaruhi kemampuan komunikasi pada anak tuna rungu
terutama pada kemampuan anak berbicara dengan artikulasi yang tepat dan
jelas. Kehilangan pendengaran yang semakin tinggi maka...
a.

Kemampuan artikulasinya semakin lemah.

b.

Kemampuan artikulasinya semakin baik.

c.

Suaranya saat berbicara semakin lemah

d.

Suaranya saat berbicara semakin keras

e.

Tidak ada pengaruh pada kemampuan berbicara

11

7.

Di sebuah Desa bernama Desa Harum Bersemi terdapat suatu keluarga yang
mempunyai anak berumur 6 tahun. Anak tersebut bernama An. P. Sejak lahir
An. P memiliki gangguan pada pendengarannya. Selain An. P ternyata Ibu
dan nenek dari An. P juga mengalami gangguan pada pendengarannya sejak
lahir. Berdasarkan kasus di atas, gangguan pendengaran (tuli) yang dialami
An. P termasuk dalam kategori...
a. Tuli kondusif
b. Tuli sensorineural
c. Tuli campuran
d. Mixed Deatness
e. Tuli keturunan

8. Seorang anak berumur 8 tahun baru saja diterima di sebuah SLB. Anak
tersebut oleh orang tuanya disekolahkan di SLB dikarenakan anak tersebut
mengalami gangguan pada pendengarannya sejak lahir. Sebelum masuk ke
SLB, orang tuannya sempat memeriksakan anaknya ke dokter. Hasil
ketajaman pendengaran yang didapatkan yaitu dari hasil tes audiometer pada
anak tersebut yaitu 50 dB. Jika melihat dari pengklasifikasian tuna rungu
menurut Donald R Calverd ciri kemampuan mengerti bahasa dan bicara pada
anak tersebut adalah...
a. Tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa.
b. Tidak

ada

hubungan

dengan

gangguan

bahasa

tetapi

mungkin

perkembangan bahasa terlambat.


c. Ada beberapa kesulitan artikulasi dan perkembangan kata mungkin
tak sempurna.
d. Artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin tak
sempurna.
e. Artikulasi dan kualitas suara tidak baik dan kalimat serta aspek-aspek
bahasa tidak sempurna
9. Seorang ibu rumah tangga mengalami gangguan pada pendengarannya sejak
lahir. Sejak dulu dia tidak pernah memeriksakan dirinya ke dokter. Hingga
pada suatu waktu, suaminya memeriksakan dirinya ke sebuah klinik di RS

12

Harapan Anda. Dari hasil pemeriksaan tes audiometer didpatkan hasil yaitu
sebesar 30 dB. Jika melihat dari pengklasifikasian tuna rungu menurut
Donald R Calverd ciri kemampuan mengerti bahasa dan bicara pada ibu
tersebut adalah...
a. Tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa.
b. Tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa tetapi mungkin
perkembangan bahasa terlambat.
c. Ada beberapa kesulitan artikulasi dan perkembangan kata mungkin tak
sempurna.
d. Artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin tak
sempurna.
e. Artikulasi dan kualitas suara tidak baik dan kalimat serta aspek-aspek
bahasa tidak sempurna
10. Seorang anak mengalami gangguan pada saat berbicara. Anak tersebut
mengalami kekacauan dalam berbicara dimana saat berbicara anak tersebut
terlalu cepat, struktur kalimatnya tidak karuan, dan sering mengulang-ulang
apa yang dia bicarakan secara berlebihan. Berdasarkan ciri-ciri yang dialami
anak tersebut, gangguan bicara pada anak tersebut termasuk dalam...
a. prolongation
b. repetition
c. silent struggle
d. cluttering
e. disphasia

Anda mungkin juga menyukai