Anda di halaman 1dari 10

A.

Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Bahasa


Hambatan penglihatan berdampak pada peroleh konsep dan makna. Elstner Kingsley,
1999 menyatakan bahwa bayi dengan hambatan penglihatan cenderung menggunakan
bahasa dalam cara yang berbeda dari bayi awas. Bayi awas akan menggunakan bahasa
tidak hanya untuk tujuan komunikasi, tetapi juga untuk pemerolehan konsep. Sedangkan
bayi dengan hambatan penglihatan yang sudah dapat berbahasa menggunakan bahasa
semata-mata untuk tujuan komunikasi, dan bukan untuk pemerolehan konsep. Hal ini
sejalan dengan penemuan Mills Kingsley, 1999 bahwa anak tunanetra tetap berada pada
fase ekolalia dalam periode yang lama dan cenderung akan menjadi verbalisme. Dengan
demikian, anak dengan hambatan penglihatan akan lebih miskin konsep daripada anak
awas.
B. Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Kognitif
Lowenfeld (Kingsley, 1999) menyatakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga
keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif: (1) dalam sebaran dan jenis
pengalaman anak; (2) dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya; (3)
dalam interaksinya dengan lingkungannya.
Jan et al. (Kingsley, 1999) berpendapat bahwa permasalahan dalam perkembangan
kognitif tersebut mungkin disebabkan oleh kurang kayanya informasi, didasarkan pada
fakta bahwa indera-indera lain tidak dapat memproses informasi seefisien indera
penglihatan. Misalnya, bila anak-anak yang awas menyusun jigsaw puzzle (teka-teki
potongan-potongan gambar), mereka dapat melihat masing-masing potongan gambar itu
dan dengan cepat dapat menentukan ke mana arah membujurnya dan menaksir luas
bidang yang tepat untuk tempat potongan gambar tersebut. Dengan berkoordinasi dengan
mata, otak dapat memproses warna dan bentuk masing-masing potongan gambar itu
secara hampir berbarengan dalam kaitannya dengan potongan-potongan lain untuk
menentukan lokasinya. Tidak ada alat indera lain yang mampu memberikan begitu
banyak informasi secara demikian cepatnya. Akan tetapi, tidak ada bukti kuat yang
menunjukkan bahwa keterbatasan-keterbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga
membatasi potensi.
Saat terjadinya ketunanetraan juga akan berdampak terhadap perolehan pengetahuan dan
konsep-konsep. Ketunanetraan yang terjadi sebelum kelahiran, atau saat kelahiran akan
berdampak miskinnya informasi yang diperoleh dan hal ini akan berakibat pada
kemiskinan konsep danpengalaman. Adapun ketunanetraan yang terjadi setelah anak
mampu memahami informasi tidak berdampak pada perolehan pengalaman dan konsep.
Jadi ketunanetraan yang terjadi kemudian akan memiliki kekayaan konsep dan
pengalaman. Dia memiliki pemahaman dan konsep yang utuhtentang bagaimana orang
“berjalan”, bagaimana sikap tubuh yang baik, bagaimana ayunan langkah kaki melangkah
ketika berjalan, dan bagaimana ayunan tangan ketika sedang berjalan.
Rogow (Hadi, 2005) menyebutkan bahwa anak tunanetra memiliki kesulitan gerak
berupa:
a. Spasticity yang ditunjukkan oleh lambat bergerak, kesulitan dan koordinasi gerak
yang buruk.
b. Dyskinesia yaitu adanya aktivitas gerak yang tak disengaja, gerak athetoid, gerak
tak terkontrol, tak beraturan, gerakan patah-patah dan berliku-liku.
c. Ataxia yaitu koordinasi yang buruk pada keseimbangan postur tubuh, orientasi
terbatas, oleh akibat kekakuan atau ketidakmampuan dalam menjaga
keseimbangan.
d. Mixed Types merupakan kombinasi pola-pola gerak dyskitenik, spastic, dan
ataxic.
e. Hypotonia ditunjukkan oleh kondisi lemahnya otot-otot dalam merespon stimulus
dan hilangnya gerak reflex
Jan et al. (Kingsley, 1999)) mengemukakan bahwa anak-anak yang menyandang
ketunanetraan yang parah dengan sistem saraf yang sehat, yang belum pernah diberi
kesempatan yang memadai untuk belajar keterampilan motorik, sering mengalami
keterlambatan dalam perkembangannya. Sering kali mereka lemah, daya
koordinasinya buruk, berjalannya goyah, dan kedua belah kakinya senantiasa
"bertukar tempat". Apabila berjalan kakinya diseret dan tangannya menjulur ke
depan. Hilangnya/kurangnya penglihatan membatasi kemampuan anak untuk: (1)
Mengetahui di mana dia berada dan bagaimana cara berpindah dari satu tempat ke
tempat lain; (2) Meniru dan berinteraksi sosial; (3) Memahami apa yang
menyebabkan sesuatu terjadi.Anak yang mengalami hambatan penglihatan sejak lahir
memiliki masalah dalam pembentukan konsep tentang tubuh mereka sendiri. Mereka
juga memiliki keterbatasan dalam peta mentaltentang lingkungannya maupun posisi
diri mereka. Best (1992) mengemukakan bahwa anak-anak yang tunanetra tidak dapat
dengan mudah memantau gerakannya dan oleh karenanya dapat mengalami kesulitan
dalam memahami apa yang terjadi bila mereka menggerakkan atau merentangkan
anggota tubuhnya, membungkukkan atau memutar tubuhnya. Karena mereka tidak
dapat melihat orang lain dengan jelas, mereka tidak bisa mengamati bagaimana orang
duduk, berdiri, dan berjalan serta kemudian menirukannya. Maka mereka akan
memiliki lebih sedikit kerangka acuan (term of reference), dan mungkin tidak akan
menyadari apa artinya "duduk tegak", berjalan kaki melangkah dan tangan diayun,
sehingga terjadi keserasian gerak antara kaki, tangan, dan tubuh ketika sedang
berjalan. Tanpa intervensi yang tepat, mereka mungkin tidak akan tahu ke arah mana
mereka harus pergi atau bagaimana cara menemukan jalan untuk menghindari
rintangan agar tiba ke tujuannya. Ketidakpastian tentang lingkungannya dapat
mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri dalam mengeksplorasi lingkungan.1
C. Proses Pembelajaran Anak Tunanetra
Menurut Lowenfeld (dalam Sugiamin 1975) ada 3 prinsip dalam proses yang harus
diperhatikan pendidikan bagi anak berkelainan indra penglihatan, yaitu:
1. Pengalaman konkrit
Siswa dapat mengenali obyek melalui benda yang dapat disentuh sehingga dapat
mengetahui kualitas bentuk, ukuran, dan orientasi yang tidak dapat dipahami.
1
Ahmad Nawawi, dkk. Pentingnya Orientasi Dan Mobilitas Bagi Tunanetra dalam https://123dok.com/document/d
y42ke5q-gaya-jalan-tunanetra.html, diakes pada 7 April 2021.
2. Kesamaan pengalaman
Agar mendapatkan pandangan yang menyeluruh siswa berkelainan penglihatan
perlu diberi pengalaman yang sistematis melalui indra orang lain.
3. Belajar dengan bertindak
Siswa harus dijalin supaya aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
Adapun beberapa kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran para
tunanetra antara lain:
a. Bacaan dan tulisan Braille. Huruf Braille adalah suatu sistem yang
menggunakan kode berupa titik-titik yang ditonjolkan untuk menunjukkan
huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya.
b. Keyboarding. Kemampuan menggunakan keyboard merupakan cara agar
tunanetra dapat berkomunikasi dalam bentuk tulisan dengan orang lain.
c. Alat bantu menghitung. Sempoa dan kalkulator menjadi alat bantu yang
penting bagi orang-orang tunanetra.
d. Optacon. Mesin ini bisa membuat penyandang tunanetra mengakses
materi-materi yang dulu tidak mungkin diperoleh, kendalanya adalah
harganya yang mahal.
e. Mesin baca Kurzweil. Mesin ini dapat membaca buku yang tercetak hasil
huruf-hurufnya dikeluarkan dalam bentuk suara.
f. Buku bersuara talking book telah menjadi alat pendidikan standar bagi
penyandang tunanetra.
g. Teknologi komputer. Kemajuan dalam teknologi komputer memberikan
dampak positif dalam pendidikan anak yang mengalami hambatan
penglihatan.
h. Latihan orientasi dan mobilitas. Orientasi dan mobilitas formal harus
segera dimulai begitu anak masuk program pendidikan inklusi dengan
teknik:
1) Pemandu. Seorang pemandu akan memandudi daerah yang ramai
atau tempat yang asing. Pemandu dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi, arah atau jalan.
2) Tongkat pemandu. Tongkat ini digunakan secara mandiri saat
bepergian.
3) Alat Bantu gerak elektronik. Alat ini dipakai di leher dan akan
menghasilkan sinyal ketika ada benda yang menghalangi di jalan.
4) Kemampuan menolong diri sendiri.
Dengan demikian jelaslah bahwa melaksanakan proses pembelajaran pada anak tunanetra tidak
sama dengan mendidik anak normal. Sebab selain memerlukan pendekatan yang khusus juga
memerlukan strategi yang khusus pula. Hal tersebut semata-mata bersandar pada kondisi yang
dialami anak tunanetra. Oleh karena itu dengan pendekatan dan strategi khusus dalam
melaksanakan proses pembelajaran diharapkan anak tunanetra dapat:
1. Menerima kondisinya.
2. Melakukan sosialisasi dengan baik.
3. Berjuang sesuai kemampuan.
4. Memiliki ketrampilan yang dibutuhkan
Sehingga diharapkan anak tunanetra dapat berdaya guna dan berhasil guna secara
tepat sebagai warganegara dan anggota masyarakat. Sedangkan prinsip-prinsip
pendekatan khusus yang dapat dijadikan dasar dalam proses pembelajaran anak
tunanetra adalah:
1. Prinsip kasih sayang, artinya menerima mereka sebagaimana adanya,
mengupayakan mereka agar dapat menjalani kehidupan yang wajar seperti
anak normal. Untuk itu upaya yang perlu dilakukan adalah:
a. Tidak memanjakan
b. Tidak bersikap acuh tak acuh
c. Memberi tugas sesuai kemampuan
2. Prinsip layanan individual, perlu mendapat porsi yang lebih besar karena jenis
dan derajat ketunanetraannya tidak sama. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam
pembelajaran adalah:
a. Jumlah siswa tuna netranya sedikit
b. Jadwal pelajaran bersifat fleksibel
c. Tunanetra duduk paling depan
d. Modifikasi alat bantu pelajaran
3. Prinsip keperagaan, kelancaran dalam pembelajaran anak tunanetra perlu
dukungan alat peraga untuk mempermudah memahami materi yang diberikan.
Misal mengenalkan buah salak perlu dibawakan buah aslinya agar selain
mengetahui bentuk juga rasanya.
4. Prinsip belajar kelompok bertujuan agar anak dapat bergaul dengan
lingkungan tanpa merasa rendah diri dengan orang normal.
5. Prinsip keterampilan. Keterampilan yang diberikan pada anak tunanetra
berfungsi selektif, edukatif, rekreatif dan terapi agar dapat dijadikan sebagai
bekal dalam kehidupannya kelak.
6. Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap. Secara fisik dan psikis sikap
anak tunanetra kurang baik sehingga menjadi perhatian orang. Untuk itu perlu
diupayakan agar mempunyai sikap yang baik.2
D. Metode Belajar Anak Tunanetra
Anak tunanetra membutuhkan metode pembelajaran khusus. Menurut Smart (2010),
prinsip-prinsip pembelajaran pada anak tunanetra yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut:
a. Prinsip Individual. Prinsip individual yakni suatu kondisi dimana guru harus
memperhatikan setiap perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik tunanetra.
Seperti perbedaan umum, mental, fisik, kesehatan dan tingkat ketunanetraan
masing-masing siswa.

2
Nandiyah Abdullah, Bagaimana Mengajar Anak Tunanetra (Di Sekolah Inklusi), Magistra No. 82 Th. XXIV
Desember 2012ISSN 0215-9511 dapat diakses dalam https://studylibid.com/doc/791188/bagaimana-mengajar-anak-
tunanetra--di-sekolah-inklusi-
b. Prinsip Pengalaman Pengindraan. Pengalaman pengindraan siswa tunanetra
sangat penting bagi pemahaman yang akan mereka peroleh. Siswa membutuhkan
pengalaman nyata dari apa yang mereka pelajari. Dengan demikian strategi
pembelajaran guru harus memungkinkan adanya pengalaman langsung siswa
tunanetra terkait materi yang mereka pelajari.
c. Prinsip Totalitas. Prinsip totalitas maksudnya pembelajaran yang diterapkan pada
siswa tunanetra hendaknya menggunakan seluruh fungsi indra yang masih
berfungsi dengan baik pada diri mereka. Indra ini digunakan oleh guru untuk
mengenali objek yang dipelajari siswa secara utuh dan menyeluruh. Misalnya
seorang tunanetra ingin mengenali bentuk burung, pembelajaran yang diterapkan
harus dapat memberikan informasi yang utuh dan baik mengenai bentuk, ukuran,
sifat permukaan, kehangatan, suara dan ciri khas burung tersebut. Sehingga anak
mampu mengenali objek secara sempurna.
d. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity). Dalam proses pembelajaran guru dapat
menjadi fasilitator dan motivator anak untuk dapat belajar secara aktif dan
mandiri. Dalam prinsip ini proses pembelajaran bukan sekedar mendengar dan
mencatat, akan tetapi juga ikut merasakan dan mengalaminya secara langsung.3
E. Media Pembelajaran Anak Tunanetra
Media pembelajaran merupakan alat bantu pembelajaran yang digunakan sesuai dengan
tujuan dan isi materi pembelajaran sebagai usaha untuk mempermudah menyampaikan
informasi dari sumber belajar kepada penerima informasi, dengan tujuan untuk
memperoleh hasil belajar yang lebih baik dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan
demikian maka seorang pendidik dalam melakukan proses belajar mengajar harus dapat
memilih antara media yang cocok dengan materi yang akan diberikan kepada siswanya.
Penggunaan media pembelajaran yang tidak sesuai mengakibatkan materi tidak
tersampaikan dengan sempurna. Pemilihan media pembelajaran juga harus
memperhatikan kondisi siswa sebagai subjek pembelajaran. Pemilihan media belajar
seyogyanya harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Siswa tunanetra berbeda
kondisinya dengan tuna rungu, begitu pula dengan siswa normal, semuah siswa memiliki
kekhususan dalam melakukan pembelajaran.4 Berikut adalah beberapa media
pembelajaran yang bisa digunakan untuk pembelajaran anak tunanetra:
1. Huruf braille
Huruf braille seolah menjadi kebutuhan utama bagi para penderita tunanetra.
Melalui huruf yang ditemukan oleh Louis Braille inilah mereka dapat membaca
dan memahami tulisan. Huruf braille merupakan kumpulan titik-titik timbul yang
disusun untuk menggantikan huruf biasa. Huruf ini tersusun atas enam buah titik,
dua dalam posisi vertikal, sedangkan tiga lainnya berada dalam posisi horizontal.
Semua titik yang timbul ini dapat ditutup menggunakan satu jari sehingga
memudahkan anak dalam membaca ataupun menulis braille.
3
Muchlisin Riadi, Karakteristik, Penyebab dan Metode Belajar Anak Tunanetra dalam https://www.kajianpustaka.
com/2019/11/jenis-karakteristik-penyebab-dan-metode-belajar-anak-tunanetra.html, diakses pada 7 April 2021.
4
Ipan Hidayatulloh, Pemilihan Media Pembelajaran Yang Tepat Bagi Siswa Tunanetra dalam https://psibkusd.word
press.com/about/a-tunanetra/pemilihan-media-pembelajaran-yang-tepat-bagi-siswa-tunanetra/, diakses pada 7 April
2021.
2. Kamera touch sight
Masih berhubungan dengan tulisan braille. Kali ini ada alat bernama kamera
touch sight yang berfungsi membantu tunanetra melalui penggunaannya. Kamera
ini mempunyai layar braille fleksibel yang menampilkan gambar tiga dimensi
dengan gambar timbul pada bagian permukaan. Alat ini digunakan dengan
meletakan kamera diletakkan pada kening pengguna untuk merekam suara selama
tiga detik. Ini yang menjadi petunjuk pengguna untuk mengatur foto.
3. Reglet dan stylus
Reglet merupakan alat untuk menulis braille khusus yang dapat digunakan oleh
anak-anak tunanetra. Alat tulis khusus ini digunakan untuk membuat tulisan
dalam huruf braille. Reglet sendiri biasanya dilengkapi dengan stylus atau pen.
Reglet memiliki bentuk seperti penggaris dengan 2 plat terhubung oleh engsel.
Plat bawah memiliki lubang-lubang tak tembus sebagai cetakan titik, sedangkan
plat atas berbentuk lubang-lubang tembus sebagai pengarah. Sedangkan stylus
atau pen berbentuk seperti paku kecil yang dengan ujung tajam untuk menusuk
kertas pada reglet. Terdapat juga ujung tumpul yang berfungsi untuk menghapus
huruf timbul braille jika salah menulis.
4. Optacon
Optacon merupakan istilah dari Optical-to-Tactile converter. Optacon ini
merupakan alat yang memungkinkan pembaca tunanetra untuk membaca tulisan
lawas. Alat ini dapat mengubah tulisan atau gambar menjadi getaran yang dapat
dirasakan dan dibaca oleh penggunanya. Sebuah kamera dengan elemen
photosensitive dalam Optacon membuatnya dapat mendeteksi tulisan tertentu.
Kamera ini dihubungkan ke susunan sandi raba yang sesuai dengan huruf tertentu.
Ketika salah satu huruf yang terdeteksi oleh kamera, maka akan dihasilkan pola
getaran tertentu yang bisa dirasakan dengan meraba.
5. Papan hitung dan sempoa
Pelajaran menghitung tergolong sebagai salah satu pelajaran sulit yang perlu
dihadapi anak-anak. Maka dibuatlah beragam alat bantu hitung yang membantu
anak-anak meningkatkan kemampuan berhitungnya. Anak tunanetra juga tentunya
dapat menggunakan bantuan alat hitung melalui papan hitung dan sempoa. Bulir-
bulir yang terdapat pada sempoa memudahkan anak untuk mengikuti pelajaran
matematika.
6. Alat perekam suara
Anak-anak tunanetra lebih mengandalkan kemampuan pendengaran mereka untuk
berinteraksi dan beraktivitas sehari-harinya. Itulah mengapa alat-alat yang
berkaitan dengan suara memiliki peran penting bagi anak tunanetra. Alat perekam
suara merupakan salah satu memiliki kemampuan untuk menyimpan suara. Kini
perekam suara dapat digunakan dengan mudah melalui ponsel pintar. Melalui alat
tersebut, anak dapat belajar banyak hal. Dengan menyimpan informasi dalam
bentuk suara, anak dapat dengan mudah mengulang atau menangkap informasi
yang mereka terima.5
F. Pelayanan Pendidikan Anak Tunanentra
Tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan pada indra penglihatan. Pada
dasarnya, tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta total (blind) dan kurang
penglihatan (low vision). Buta total bila tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau
hanya melihat cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas.
Mereka tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf braille. Sedangkan yang disebut
low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan atau mata
dijauhkan dari objek yang dilihatnya. Untuk membantu low vision maka harus
menggunakan kacamata atau kontak lensa.
Anak tunanetra membutuhkan latihan khusus yang meliputi, latihan membaca dan
menulis huruf braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta melakukan
latihan visual atau fungsional pada penglihatannya. Layanan pendidikan bagi anak
tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu suatu sistem yang terpisah
dari anak yang masih memilki penglihatan yang masih bagus dan integrasi atau terpadu
dengan normal di sekolahan umum lainnya. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi
meliputi sekolah khusus, yaitu SLB-A, SLB-B dan lainnya. Strategi proses pembelajaran
memiliki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak pada tunumnya. Tetapi, ketika
dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi agar sesuai dengan anak yang melakukan
pembelajaran dengan menggunakan sistem indranya yang masih berfungsi dengan baik
sebagai sumber pemberi informasi.6
Samuel A. Kirk (1986) membuat gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus bergradasi dari model segregasi ke model mainstreaming bentuk-bentuk layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
besar, yaitu:
1. Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari
sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui
sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk
anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan
pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus,
seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah
Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan
segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua.
Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran
atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada
5
Klaudius Alfon, Penting, Metode dan Media Pembelajaran yang Cocok bagi Anak Tunanetra dalam https://www.
popmama.com/kid/4-5-years-old/alfon/metode-dan-media-pembelajaran-yang-cocok-bagi-anak-tunanetra/10,
diakses pada 8 April 2021.
6
Ni Luh Gede Karang Widiastuti, Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami
Kecacatan Fisik (Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Volume 5, Number 1, Juni 2019, pp. 46-54 P-ISSN: 2407-4551.), 48.
anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan
metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak
tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas.
Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, binapersepsi bunyi; anak
tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi
untuk mendukung fungsi fisiknya. Ada empat bentuk penyelenggaraan
pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
a. Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah. Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua.
Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan
sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan
diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada
awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang
sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB
untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk
tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk
tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat
dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih m.engarah ke sistem
individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB
yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu
SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi
karena jumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah
terbatas.
b. Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang
dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal
diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan
sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan
tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga
sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak
tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita,
SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta
SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran
antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan
tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama
merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal
dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c. Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas
kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan
wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.7
d. Sekolah Dasar Luar Biasa
Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang
dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari
kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu,
guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan
guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan
tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter
umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog.
Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
2. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu atau Terintegrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian,
melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak
normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem
pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan
khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut
dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
a. Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas
biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu
sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru
bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-
petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas
biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa
dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus
untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus
tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing
khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode
peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan
khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan
bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan
7
Ni Luh Gede Karang Widiastuti, Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami
Kecacatan Fisik…, 50-51
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c. Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan
sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah
umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini
disebut juga keterpaduan lokalibangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus
berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan,
metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode,
dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada
tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan
khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik,
seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam
istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.8

8
Ni Luh Gede Karang Widiastuti, Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami
Kecacatan Fisik,…, 51-53.

Anda mungkin juga menyukai