Anda di halaman 1dari 12

TEHNIK BEPERGIAN DENGAN TONGKAT

Irham Hosni / UPI

A. Sejarah tongkat tunanetra


Seperti telah diterangkan pada Pengantar, titik awal digunakannya tongkat
panjang untuk tunanetra ialah pada tahun 1930, pada latihan-latihan yang
diselenggarakan oleh Lions Club USA. Sedang teknik penggunaan tongkat
panjang secara sistimatik baru dimulai pada tahun 1945 di Valley Forge Hospital
USA, yang pada waktu itu digunakan untuk merehabilitasi para tunanetra veteran
di bawah asuhan Dr. Richard Hoover.
Richard Hoover pada waktu itu menciptakan tongkat panjang dengan
ukuran : panjang 46 inci, garis tengah 0,5 inci dan beratnya 6 ons.

B. Jenis tongkat
Pada waktu ini tunanetra dalam orientasi dan mobilitasnya mengenal dua jenis
tongkat, yaitu tongkat panjang (long cane) dan tongkat lipat (collapsible cane).
Buat tunanetra yang ketrampilannya menggunakan tongkat belum sempurna
lebih baik tidak usah menggunakan tongkat lipat lebih dahulu, karena akan lebih
aman dan selamat jika menggunakan tongkat panjang. Tongkat lipat akan lebih
baik bila digunakan oleh tunanetra yang sudah benar-benar sempurna dalam
tehnik penggunaan dan akan efektif dan efisien jika digunakan waktu masuk
kuliah, karena dapat dilipat dan disiapkan di dalam tas.
Bagi Indonesia yang masih sangat muda dalam bidang orientasi dan
mobilitas tunanetra, oleh Pusat Orientasi dan Mobilitas di Bandung, juga sudah
diusahakan untuk menciptakan tongkat panjang yang disesuaikan dengan
kondisi orang Indonesia.

C. Spesifikasi Tongkat Panjang


Adapun syarat dan ciri-ciri tongkat panjang untuk Indonesia adalah sebagai
berikut :
a. Panjang : Panjang tongkat yang dibuat oleh pabrik ialah 132
centimeter (52 inci). Tongkat ini boleh dipotong, disesuaikan
dengan tinggi badan dan lebar langkah si tunanetra yang
memakai oleh instruktur atau guru orientasi dan mobilitas
yang sudah berijazah.
b. Batang : Batang tongkat dibuat dari bahan aluminium yang kuat tetapi
ringan dengan garis tengah 12,5 milimeter (5,2 inci).
c. Berat : Berat tongkat keseluruhan kira-kira 175 gram atau antara
enam sampai delapan cunces. Jadi harus ringan, untuk
menghindarkan kelelahan dan ketegangan pada
pergelangan tangan serta lengan tunanetra.
d. Warna : Harus memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam
Penetapan Lalu-Lintas Jalan Perhubungan Pen L – P (Surat
Keputusan Direktur Perhubungan dan Pengairan tanggal 26
September 1936; Nomor W.1/9/2, seperti telah dirobah dan
ditambah terakhir dengan penetapan Menteri Perhubungan
tanggal 1 Juli 1951 No. 244/Ment., Lembaran Tambahan No.
144). Pasal 4 a, yang berbunyi :
Tanda untuk orang-orang berjalan kaki yang kurang
penglihatan dan buta ialah sebatang tongkat putih, yang
pada jarak ¾ dari panjangnya diukur dari bawah, mempunyai
ban merah yang lebarnya 8 cm.
e. Ujung : Terbuat dari bahan plastik atau nylon yang keras yang bila
sudah usang dapat dilepas dan diganti dengan mudah oleh
tunanetra. Ukuran ujung tongkat, panjang 8 cm, garis tengah
18 atau 19 mm dan beratnya tidak lebih dari 20 gram.
f. Daya tahan : Tongkat harus kuat menahan pemakaian yang keras di jalan,
tidak mudah pecah dan bengkok dalam keadaan yang biasa.
g. Kekakuan : Harus benar-benar kaku, sehingga dapat untuk menentukan
arah dan jarak.
h. Daya hantar : Tongkat harus dapat digunakan untuk memeriksa dan
meraba permukaan tanah dan benda-benda lainnya dengan
ujungnya. Jadi harus mampu menyampaikan getaran.
i. Keindahan : Tongkat harus mempunyai keindahan, sehingga menarik bila
dipandan dan tidak merendahkan derajad pemakainya.
j. Kaitan/crook : Dibuat sekecil mungkin, supaya tidak mengkait benda-benda
lain, dengan bahan yang tidak menambah berat tongkat,
melainkan hanya untuk keseimbangan.
k. Pegangan/grip : Pegangan tongkat dapat dibuat dari karet, plastik atau bahan
lain yang enak dipegang dan tidak licin. Panjang pegangan
18,5 centimeter. Bagian kanan pegangan dibuat datar untuk
menempatkan telunjuk dan tepat searah dengan kaitan.

Gambar 17

Spesifikasi Tongkat Panjang Indonesia


Tongkat lipat atau Collapsible cane, juga mempunyai syarat-syarat dan ciri
sendiri. Antara lain ialah :
a. Sambungan : Sambungan harus dibuat yang kokoh dan kuat untuk
melindungi tali/kabel yang menjadi pegangan serta tidak
mudah lepas. Bila digerakkan sambungan tidak mengalami
geseran dan dapat memperkuat daya hantar.
Jumlah sambungan harus ganjil, misalnya tiga atau lima,
supaya kalau dilipat tunanetra tidak memegang ujung tongkat
yang kotor. Jumlah sambungan juga harus dibuat seminim
mungkin, supaya kalau dilipat tidak terlalu besar.
b. Kabel/tali : Di dalam pipa tongkat lipat kabel/tali untuk bahan penegang
harus dapat dibuat yang kuat, sehingga sambungan benar-
benar rapat, kokoh dan tahan lama dipakai. Kabel ini harus
mudah diganti oleh tunanetra sendiri.
c. Lipatan : Tongkat harus mudah dilipat, sehingga mudah disimpan oleh
tunanetra jika tidak dipergunakan.
Lipatan dibuat yang kecil, agar mudah disimpan di dalam tas
atau di dalam saku jacket.
d. Ciri-ciri lain : Sama dengan tongkat panjang.

Gambar 18

Tongkat lipat

Selanjutnya dengan posisi tersebut di atas, tunanetra disuruh melangkah maju


dan bila mengalami kesalahan segera dibetulkan. Jika dalam berjalan maju
menyentuh sesuatu benda harus segera dicek lebih dahulu. Caranya tunanetra
melangkah maju mendekati tongkat, posisi tongkat dibuat tegak lurus dan crook
diputar ke arah depan.

D. Tehnik tongkat
1. Tehnik menyilang tubuh (tehnik diagonal)
Dengan teknik diagonal ini tunanetra dapat menyelamatkan sebagian dari
tubuhnya dan bila menemui halangan dapat tersentuh serta tidak mengganggu
orang lain.
Dalam hal ini guru/instruktur orientasi dan mobilitas harus selalu
memperhatikan teknik memegangnya. Kalau memegangnya dengan ujung/tip
terlalu keluar/ke samping dan terlalu ke dalam, ini adalah suatu kesalahan yang
segera harus dibenarkan. Demikian pula kalu pergelangan tangan yang
memegang tongkat juga terlalu ke luar atau ke tengah-tengah badan.
Teknik diagonal ini juga digunakan sewaktu tunanetra naik atau turun
tangga.

2. Teknik Trailing
Teknik ini sebetulnya adalah teknik diagonal yang digunakan untuk
trailing. Tujuan penggunaan teknik ini agar tunanetra mampu berjalan di
dalam ruangan yang sudah dikenal dan dengan teknik ini tunanetra dapat
berjalan lurus dalam mencapai tujuan tertentu.
Caranya posisi tongkat sama dengan teknik diagonal, tetapi posisi
tip/ujung tongkat menempel pada permukaan datar yang ada pada tembok
atau mungkin pagar batu yang datar pada pinggiran yang horisontal dan
vertikal.

3. Teknik di luar ruangan (out door technique)


Teknik ini dapat digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun yang
belum dikenal oleh tunanetra. Panjang tongkat harus sudah diukur yang
sebaik-baiknya dengan tunanetra yang memakainya. Panjangnya yang paling
ideal adalah setinggi tulang dada tunanetra yang memakainya.
Dalam hal ini perlu diperhatikan beberapa teknik yang harus dikuasai
dengan baik oleh tunanetra, yaitu :
a. Mengenai cara memegang tongkat (grip).
b. Lebar busur ke kiri dan ke kanan harus selalu sama dan stabil (arc
consistent).
c. Sebelum melangkahkan kaki, tunanetra harus mengecek dulu tempat
yang akan diinjak untuk berjalan (clearing before walk).
d. Posisi tangan lentur di depan pada tengah-tengah badan (arm resting on
body).
e. Gerak tongkat dan langkah kaki ada koordinasi yang harmonis
(coordination/keep in step).
4. Jenis tehnik diluar ruang
Dalam teknik di luar ruangan (out door technique), akan diuraikan
beberapa teknik yang harusdikuasai oleh tunanetra dan mampu
menggunakan teknik dengan trampil pada daerah/tempat yang sedang
dilaluinya.
Teknik-teknik itu ialah :
a. Teknik sentuhan (Touch technique)
Teknik ini dapat digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun
daerah yang belum dikenal oleh tunanetra, yang masih asing bagi
tunanetra untuk menjelajahi tempat tersebut, namun tunanetra dapat
berjalan dengan selamat.
Prosedur dari teknik sentuhan ini adalah sebagai berikut :
1) Cara memegang tongkat (grip)
Cara memegang grip diharapkan tidak tegang, tetapi harus relax
seperti orang yang sedang berjabat tangan. Dari yang benar-benar
berfungsi dalam memegang tongkat in adalah jari telunjuk yang untuk
menahan tongkat dan ibu jari, untuk menekan pegangan atau grip.
Sedang jari-jari yang lain fungsinya hanya sebagai pembantu saja.
Posisi tongkat harus rapat pada telapak tangan dengan telunjuk lurus
pada bagian tongkat atau grip yang datang (rata).
2) Lebar Busur
Lebar busur ke kiri dan ke kanan harus selalu sama atau stabil
sehingga dapat melindungi kaki kiri dan kanan (tip tepat lurus dengan
bahu) tidak boleh terlalu lebar ke kiri atau ke kanan. Posisi
pergelangan tangan juga tidak boleh terlalu ke tepi / sisi kiri atau
kanan, terlalu ke atas atau ke bawah.
3) Mengecek sebelum melangkah (clearing)
Sebelum melangkahkan kaki, tunanetra harus mengecek lebih dulu
tempat yang akan diinjak untuk berjalan.
Bila menyentuh sesuatu harus benar-benar diperhatikan apakah jenis
benda itu.
Cara mengecek : Ujung tongkat (tip) digeserkan dari samping kiri ke
samping kanan (atau sebaliknya), kemudian digeserkan kembali ke
depan pada tengah-tengah badan, selanjutnya ditarik digeser menuju
tengah-tengah ke dua telapak kaki. Teknik ini digunakan juga waktu
akan menyeberang jalan.
4) Posisi tangan
Posisi pergelangan tangan di tengah-tengah badan, sehingga kalau
menyentuh / menabrak sesuatu benda atau terkait tidak menusuk perut
dan bagian busurnya akan menyentuh benda itu lebih dulu.
Pergelangan tangan yang ditengah-tengah ini juga akan membantu
tunanetra untuk dapat bejalan dengan lurus.
5) Gerak tongkat dan langkah kaki ada koordinasi yang harmonis
Gerak tongkat dan langkah kaki harus selalu seimbang, seirama dan
stabil. Dengan posisi kalau kaki kiri melangkah, maka ujung tongkat
bergerak ke kanan dan sebaliknya kalau kaki kanan melangkah maka
ujung tongkat bergerak ke kiri. Sela langkah dapat terjadi jika kaki
geraknya tidak seperti tersebut diatas. Misalnya kaki kiri melangkah
dan ujung tongkat ada di depan kaki kiri melangkah dan ujung tongkat
ada di depan kaki kiri tersebut. Demikian pula pada langkah kaki
kanan, juga dapat terjadi salah langkah atau out step. Hal ini harus
segera diingatkan oleh guru (instruktur) orientasi dan mobilitas setelah
terjadi beberapa langkah out step, padahal anak tidak menyadari.
Setelah prosedur tersebut diketahui anak tunanetra , maka cara
berjalan adalah dengan menyentuhkan ujung tongkat di daerah kaki kiri,
kemudian digeser ke kanan ke depan telapak kaki ke kanan sampai
menyentuh garis pengarah (shore line) terus diangkat sedikit dari
permukaan tanah dikembalikan ke kiri atau sebaliknya dari permukaan
tanah dikembalikan ke kiri atau sebaliknya dapat pula dimulai dengan
menyentuhkan ujung tongkat pada sisi kanan, terus digeser ke kiri dan
seterusnya.
Secara rasional di jalan yang rata / trotoar bila tunanetra
menggunakan teknik ni akan selamat sampai ke tujuan, karena dengan
ujung tongakt yang digeser ke arah garis pengarah yaitu pada sebelah kiri
atau kanan tunanetra, semua benda akan tersentuh, sehinggga kaki dan
tubuh akan terlindung oleh gerakan tongkat.
Dengan selalu menyentuh garis pengarah tunanetra selanjutnya
akan mengikuti ke arah tujuan yang akan dicapai dengan selamat.

b) Teknik Dua Sentuhan (Two Touch Technique)


Teknik dua sentuhan ini pada dasarnya adalah sama dengan teknik
sentuhan, perbedaanya hanya pada penggunaan dan geseran tongkat
saja.

Teknik dua sentuhan digunakan untuk berjalan di jalan / tempat


yang kasar, dimana kalau tongkat digeser busrnya akan kerap tersangkut /
menusuk jalan atau tanah, sehingga gerakan tongkat ke kiri dan kanannya
tidak dengan digeser, melainkan sedikit diangkat ujungnya dari tanah
(jangan lebih dari 10 sentimenter diatas tanah), dan disentuhkan ke
sebelah kiri dan kanan di depan telapak kaki jaraknya sama dengan teknik
sentuhan.
Tujuan penggunaan teknik ini untuk berjalan mengikuti shore line,
mencari belokan, jalan masuk, jalan yang bahaya (kasar) dan untuk
mengecek posisi tubuh berada di pinggir atau tidak.
Teknik sentuhan maupun teknik dua sentuhan ini tidak selalu
digunakan sepanjang perjalanan, tetapi hanya digunakan dalam hal-hal
seperti tersebut ditas.
Dengan teknik dua sentuhan ini tunanetra juga akan aman tidak
akan tertabrak kendaraan, tersesat dan akan dapat berjalan dengan laras.

c) Teknik Menggeserkan Tip (Slide Technique)


Prosedur teknik ini juga sama dengan prosedur kedua teknik
tersebut diatas. Perbedaannya juga hanya pada penggunaan geseran
waktu menggerakan tongkat.
Teknik ini digunakan pada jalan / trotoar / tempat yang rata / licin
permukaannya dengan menggunakan ujung tongkat ke kiri atau ke kanan
pada jalan / trotoar / tanah yang rata, sehingga semua benda, lubang baik
besar maupun kecil dapat tersentuh oleh bagian busur tongkat dan
akhirnya tidak ada sesuatu halangan pun yang tidak tersentuh oleh bagian
busur dari geseran tongkat sebelumnya.
Berjalan dengan teknik menggeserkan tip yang besar, akan
membawa tunanetra sampai ke tempat tujuan dengan aman dan sleamat
karena semua halangan akan terdeteksi.

d) Teknik Naik dan Turun Tangga (Up and Down Stair Technique)
Tujuan penggunaan teknik ini, agar tunanetra mampu berjalan nai
dan turun tangga dengan aman dan selamat sampai habis seluruh tangga
yang sedang dilalui.
Sebelum naik atau turun tangga tu harus mengadakan penertiban
dulu (squaring off) pada pinggir tangga yang pertama untuk naik atau
turun, dengan menggunakan ujung ke dua telapak kaki, dirasakan pada
bagian pinggir tangga (lurus dengan tangga).
Setela squaring off, tunanetra mengecek tinggi angga dan lebar
tangan serta posisinya sudah di tengah-tengah jalan atau belum, untuk
menghindari kalau tangga naik atau turunnya tidak menggunakan
pegangan agar tunanetra tidak terjun ke samping tangga. Tetapi kalau
disamping kiri / kanan ada pegangan, tunanetra lebih baik naik atau turun
mendekati pegangan. Tunanetra dapat naik atau turun denga sebelah
tangan memegang tongkat dan sebelumnya berpegangan pada pegangan
tangan.
Cara mengecek tunanetra menggeserkan ujung tongkatnya dari sisi
kiri ke sisi kanan, kemudian digeser kembali ke tengah dan ditarik ke ara
kaki, seperti waktu mencek pada awal perjalanan.
Kalau tunanetra sudah yakin bahwa posisinya sudah benar dan
siap akan naik, tunanetra hendaknya menggunakan teknik tongkat
menyilang tubuh dengan ujung tongkat disentuhkan pada pinggiran
tangga yang kedua dan tegak agak diangkat sehingga ujung tongkat kira-
kira hanya 5 centimeter berada di bawah bibir tangga ke dua. Kemudian
mulai naik dengan posisi tangga dan ujung tongkat yang tidak berubah
sampai terasa tangga naik habis, karena bila tangga naik habis ujung
tongkat tidak menyentuh tangga lagi.
Bila turun tekniknya juga sama, hanya ujung tongkat disentuhjkan
pada tangga ke dua pada bagian bibirnya kemudian sedikit menggantung
dan bila tangga turun nanti sudah habis, ujung tongkat akan menyentuh
lantai, selanjutnya tunanetra berjalan dengan teknik menggeserkan tip
(slide technique).
Untuk berjalan naik dan turun tangga yang lebar permukaan
tangganya tidak sama, tiap-tiap tangga harus dicek, sehingga tiap
melangkah satu tangga, tunanetra tidak boleh lupa mengecek, jadi naik
atau turunnya satu tangga demi satu tangga.
Teknik-teknik tersebut harus dilatihkan pada tu, dimulai dari
lingkungan tunanetra sendiri. Kalau mulai latihan di kompleks sekolah,
maka latihan di lingkungan sekolah ini harus dikuasai dulu, kemudian
diperluas sampai berjalan di keramaian kota yang penuh kesibukan lalu
lintas.
Kadang-kadang seorang tunanetra ingin berjalan menyusuri
sesuatu pagar, tembok, tepi parit, sisi jalan dan lain-lain, maka dia harus
tetap mengayunkan tongaktnya ke akan dan ke kiri agar dapat menyentuh
benda-benda tersebut. Tunanetra tidak boleh sama sekali hanya
menggeserkan ujung tongkatnya untuk ditarik sepanjang benda itu, karena
perbuatan yang demikian ini akan membahayakan tunanetra sendiri,
sebab badannya tidak terlindung oleh tongkat.
Dalam melatih tunanetra untuk berjalan dengan teknik tongkat yang
benar-benar dikuasai, guru orientasi dan mobilitas akan membutukan
waktu yang cukup lama, karena harus mengulangi latihan-latihan sampai
beberapa kali, sehinga tunanetra benar-benar menguasainya.
Bila tunanetra sudah berhasil menguasai sesuatu teknik, sebaiknya
guru mengatakan keapdanya, bahaw dia telah menguasai dan dapat
melakukan dengan baik. Hal ini akan membuat tunanetra berbesar hati
dan akan mendorong untuk mengerjakan yang lebih baik lagi.
Guru orientasi dan mobilitas hendaknya selalu menyadari bahwa
memberi kesempatan kepada tunanetra untuk menggunakan tongkat
berarti memberi kesempatan kepada tunanetra untuk bepergian ke tempat
yang diinginkan oleh tunanetra, seperti ingin ke sekolah, ke tempat
ibadah, ke pasar, ke toko, ke alun-alun, ke pusat kota atau ke pertemuan-
pertemuan sosial.
Keadaan di lingkungan tunanetra akan mempermudah tunanetra
untuk gerakannya. Tunanetra harus mampu mengenali suara-suara
binatang, bau sampah dan barang-barang lain yang harus dihindari pada
waktu berjalan. Bau-bauan makanan, sayur-sayuran, buah-buahan atau
bunga-bunaan dapat menjadi petunjuk bagi tunanetra dimana dia berada.
Perbedaan suhu dan tiupan angin di sekeliling tunanetra akan dapat
menjadi petunjuk bagi para tunanetra untuk mengira-ira waktu dan cuaca
pada saat itu.
Seorang tunanetra harus dilatih juga untuk menyeberang jalan dan
menggunakan angkutan umum.
Di jalan yang sempit, tunanetra dapat mendengarkan apakah ada
kendaraan yang akan lalu atau tidak. Bila ternyata tidak ada kendaraan
yang lalu yang berarti keadaan jalan aman, maka sesudah squaring off
tunanetra dapat menyeberang jalan.
Sedang di jalan yang ramai keadaan kendaraannya tunanetra harus
mampu mendengarkan suara kendaraan untuk dapat mengambil
kesempatan yang aman untuk menyeberang jalan. Tetapi kalau tunanetra
tidak mampu menyeberang jalan di tempat yang ramai tidak ada salahnya
juga kalau minta tolong kepada orang lain.
Orang tunanetra juga sebagaimana halnya orang awas kalau
menyeberang jalan di tempat penyeberang yang ada zebra crossnya,
tunanetra juga harus mampu menggunakan tempat penyeberangan yang
ada zebra crossnya tersebut.
Untuk menyebarang jalan guru orientasi dan mobilitas harus juga
melatih dari tempat yang sepi, kemudian diperluas sampai di tempat yang
paling ramai lalu-lintasnya di pusat keramaian kota.
Sedang untuk latihan naik/menggunakan kendaraan umum, juga
dimulai dengan suatu waktu dimana dan kapan suasana kendaraan tidak
terlalu sibuk. Tunanetra juga harus melatih untuk bertanya kepada orang
lain, mengenai nomor dan tujuan kendaraan yang akan digunakannya,
dan dimana dia harus turun dan sebagainya.
Pada akhirnya tunanetra harus dilatih untuk selalu bertanya kepada
dirinya sendiri sebelum bergerak untuk berjalan tentang :
- Dimana saya berada?
- Kemana saya akan pergi?
- Bagaimana saya dapat sampai ke sana?
Dari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, tunanetra dapat
membuat suatu rencana perjalanannya. Tunanetra harus mengetahui ciri
medan dan beberapa petunjuk yang dapat membantunya. Tunanetra
harus juga sudah menguasai arah mata angin dengan baik dan juga harus
mempunyai kemampuan untuk membaca peta atau denah timbul dengan
trampil.
Bila tunanetra bepergian tanpa mengetahui bagaimana caranya
untuk mencapai tujuan, tunanetra dapat dengan mudah tersesat, sehingga
sulit untuk mencapai tujuan perjalanannya dengan cara yang efektif dan
efisien. Karena itu Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan ada 3 (tiga)
keterampilan yang harus dikuasai agar tunanetra dapat bepergian dari
suatu tempat ketempat lain yang dikehendaki dengan tepat, efisien dan
selamat tanpa banyak bantuan orang lain yaitu:
a) Keterampilan Orientasi adalah keterampilan yang membuat dan
mengantarkan tunanetra ketujuan dengan tepat sesuai dengan yang
diinginkan.
b) Keterampilan mobilitas adalah keterampilan yang membuat tnanetra
bergerak dengan baik dan lincah menuju tujuan.
c) Keterampilan menggunakan Tehnik Mobilitas, hal ini membuat
tunanetra bisa bergerak dan sampai ketujuan yang diinginkan
dengan dengan selamat.

Demikian materi tehnik Orientasi dan Mobilitas, semoga dapat difahami dan dikuasai
oleh peserta melalui kegiatan praktek langsung didalam acara kegiatan Bintek
Kompetensi ketunanetraan.

Anda mungkin juga menyukai