Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “TUNARUNGU (Gangguan
Pendengaran)” ini dengan tepat waktu. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Nawang Wulan, M.Pd.
selaku dosen pengampu mata kuliah Anaka Berkebutuhan Khusus Universitas Trunojoyo Madura yang
telah.memberikan tugas serta bimbingannya.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Pengembangan Kurikulum. Semoga Allah Swt, memberikan balasan atas kebaikan yang telah
diberikan penulis. Akhir kata penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Namun, jika masih ada kekurangan kami bersedia menerima saran perbaikan.
Penulis
2|Page
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………… 4
BAB II PENDAHULUAN
3|Page
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Andreas Dwidjosumarto (1990:1) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang
mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori
yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi
lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan
tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing aids).
1.3 Tujuan
a. Dapat Memahami Definisi Tunarungu (Gangguan Pendengaran)
b. Dapat Memahami Jenis-Jenis Gangguan Pendengaran
c. Dapat Memahami Karakteristik Anak yang Mengalami Gangguan Pendengaran
d. Dapat Memahami Penyebab Gangguan Pendengaran
e. Dapat Memahami Bentuk Layanan dan Pendidikan untuk Anak yang Mengalami Gangguan
Pendengaran
4|Page
BAB II
PEMBAHASAN
Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat diklasifikasikan dari 0dB-91 dB ke atas.
Setiap tingkatan kehilangan pendengaran mempunyai pada kemampuan mendengar suara atau
bunyi yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi kemampauan komunikasi anak tunarungu.
Terutama, pada kemampuan anak berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggi
kehilangan pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994)
mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat
mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa
sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat
mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan
tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh,
tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat
mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara
bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak
mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4. Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya
dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal
tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu,
ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi
(superpower).
Sedangkan menurut Bambang Putranto (2015 : 227), tunarungu dapat dibedakan berdasarkan
beberapa tingkat kerusakan dan tempat terjadinya kerusakan. Apabila dilihat dari tingkat kerusakan
maka tunarungu dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu sangat ringan (27-40 desibel), ringan
(41-55 desibel), sedang (56-70 desibel), berat (71-90 desibel), serta ekstrem/tuli (91 desibel atau lebih
tinggi).
Adapun jika ditinjau berdasarkan tempat terjadinya maka tunarungu dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama, kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah sehingga menghambat bunyi/suara yang
6|Page
hendak masuk ke telinga. Ganggun tersebut disebut juga tuli konduktif. Kedua, kerusakan pada
telingan bagian dalam sehingga mengganggu hubungan ke saraf otak. Hal itu disebut juga tuli sensoris.
7|Page
3. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (postnatal), diantaranya infeksi, meningitis (radang selaput
otak), tunarungu perspektif yang bersifat keturunan, serta otitis media yang kronis.
Namun ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan tercadinya tunarungu.
Upaya tersebut dapat dilakukan pada saat sebelum nikah (pranikah), hamil (prenatal), persalinan
(natal), dan setelah kelahiran (post natal), yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Upaya yang dapat dilakukan pada saat sebelum nikah (pranikah)
a. Menghindari pernikahan sedarah atau pernikahan dengan saudara dekat, terutama pada
keluarga yang mempunyai sejarah tunarungu.
b. Melakukan pemeriksaan darah.
c. Melakukan konseling genetika.
2. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil (prenatal)
a. Menjaga kesehatan dan memeriksakan kehamilan secara teratur kepada dokter kadungan atau
bidan.
b. Mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang serta menghindari makanan yang
mengandung bahan berbahaya.
c. Tidak meminum obat sembarangan karena dapat menyebabkan keracunan pada janin.
d. Melakukan imunisasi anti tetanus.
3. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu melahirkan (natal)
a. Pada saat melahirkan diupayakaan tidak menggunakan alat penyedot.
b. Apabila ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya, maka kelahiran
harus melalui operasi Caesar.
4. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu setelah melahirkan (post natal)
a. Melakukan imunisasi dasar serta imunisasi rubella yang sangat penting, terutama bagi wanita.
b. Apabila anak mengalami sakit influenza, harus dijaga/ diobati jangan sampai terlalu
lamakarena virusnya dapat masuk kerongga telinga tengah melalui saluran eustaschius, dan
dapat menyebabkan peradangan (otitis media).
c. Menjaga telinga dari kebisingan, seperti menggunakan pelindung telinga bagi para pekerja di
pabrik.
E. Bentuk Layanan dan Pendidikan untuk Anak yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat menyulitkan proses belajar anak. Anak yang tuli secara lahir atau
menderita tuli saat masih anak-anak biasanya lemah dalam kemampuan berbicara dan bahasanya.
Banyak anak yang memiliki masalah pendengaran mendapatkan pengajaran tambahan diluar kelas
8|Page
regular. Pendekatan pendidikan untuk membantu anak yang punya masalah pendengaran terdiri dari
dua kategori :
1. Pendekatan oral, pendekatan ini menggunakan metode membaca gerak bibir, speech reading
(menggunakan alat visual untuk mengajar membaca), dan sejenisnya.
2. Pendekatan manual adalah sistem gerakan tangan yang melambangkan kata. Bahasa isyarat adalah
system gerakan tangan yang melambangkan kata. Pengejaan jari adalah “mengeja” setiap kata
dengan menandai setiap huruf dari satu kata.
Pendekatan oral dan manual dipakai bersama untuk mengajar murid yang mengalami gangguan
pendengaran (Hallahann & Kauffman, 2000). Beberapa kemajuan medis dan tekhnologi, seperti yang
disebutkan di sini, juga telah meningkatkan kemampuan belajar anak yang menderita masalah
pendengaran (Boyles & Contadino, 1997) :
1. Pemasangan cochlear (dengan prosedur pembedahan). Ini adalah cara kontroversial karena banyak
komunitas orang tuli menentangnya, sebab menganggapnya intrusive dan melukai kultur orang
tuli. Yang lainnya beranggapan bahwa pemasangan cochlear ini bisa meningkatkan kualitas hidup
banyak anak yang menderita problem pendengaran (Hallahann & Kauffman, 2003).
2. Menempatkan semacam alat di telinga (prosedur pembedahan untuk disfungsi telinga tingkat
menengah). Ini bukan prosedur permanen.
3. System hearing aids dan amplifikasi.
4. Perangkat telekomunikasi, teletypewriter – telephone, dan RadioMail (menggunkan internet).
9|Page
KESIMPULAN
Tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun
seluruhnya (deal) yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan
sehari-hari. Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut
lokasi ganguannya yakni Conductive loss, Sensorineural loss dan Central auditory processing disorder.
Kehilangan pendengaran pada anak tunarungu dapat diklasifikasikan dari 0dB-91 dB ke atas.
Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa anak tunarungu mempunyai
hambatan dalam perkembangan bahasa (mendapatkan bahasa). Ada beberapa faktor penyebab
tunarungu pada anak yaitu faktor sebelum anak dilahirkan (prenatal), faktor saat anak dilahirkan (natal),
dan faktor sesudah anak dilahirkan (postnatal). Namun ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai
upaya pencegahan tercadinya tunarungu. Upaya tersebut dapat dilakukan pada saat sebelum nikah
(pranikah), hamil (prenatal), persalinan (natal), dan setelah kelahiran (post natal).
Banyak anak yang memiliki masalah pendengaran mendapatkan pengajaran tambahan diluar kelas
regular. Pendekatan pendidikan untuk membantu anak yang punya masalah pendengaran terdiri dari dua
kategori yakni pendekatan oral dan manual.
10 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Putranto, Bambang, S.Pd. 2015. Tips Menangani Murid yang Membutuhkan Perhatian Khusus. Jakarta :
Diva Press
Santrock, John W. 2015. PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Jakarta : PT. Kencana.
Somantri, Dr. T. Sutjihati, M.Si., psi. 2012. PSIKOLOGI ANAK LUAR BIASA. Bandung : PT. Refika
Aditama.
Thompson,Jenny. 2010. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Erlangga
11 | P a g e